Senin, 05 November 2018

PANDANGAN MANUSIA TERHADAP ALAM (Konsep Menuju Kecerdasan Ekologikal)


Oleh:
Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si


Pendahuluan
            Dalam konsep solidaritas sosial, sikap dan tindakan hidup manusia dilandasi atas pengertian akan kesadaran tanggungjawab dan partisipasi sosial untuk peduli dan terlibat dalam realitas sosial yang ditandai dengan keharmonisan hidup antara alam dengan manusia antar generasi maupun intra generasi. Jika dihubungkan dengan argumentasi  teori Etika Lingkungan “ biosentrisme dari Keraf  (2010) bahwa; manusia dan alam sama-sama mempunyai nilai dan menganggap manusia adalah bagian dari alam, sehingga manusia memiliki kepentingan untuk selalu menghormati dan menjaga alam sebagai tempat hidupnya.   Teori ini mendasarkan moralitas pada keseluruhan kehidupan manusia terhadap alam, karena alam bernilai pada dirinya sendiri maka ia harus dilindungi, sehingga diperlukan etika yang berfungsi untuk menuntun manusia agar berperilaku baik guna menjaga dan melindungi alam.
Krisis dan isue kerusakan lingkungan hidup di planet bumi telah menjadi sesuatu yang utama untuk diperbincangkan karena kondisi faktual menggambarkan bahwa secara umum dari waktu ke waktu kualitas dan kuantitas lingkungan hidup cenderung mengalami penurunan sebagai akibat dari proses pembangunan yang tidak memperhatikan kelestarian dari lingkungan hidup itu sendiri. Sadar atau tidak sadar, manusia secara perlahan menerapkan budaya konsumerisme yang tinggi mulai membuat wajah lingkungan hidup dengan kerusakan di mana-mana. Apakah kita masih ingin hidup pada kondisi lingkungan hidup yang semakin rusak seperti ini ? Pertanyaan besar bagi kita semua sebagai penghuni planet bumi ini.

Konsepsi Pandangan Manusia terhadap Alam

Menurut Hadi (2000) bahwa interkasi manusia dengan lingkungan telah berlangsung seiring perkembangan peradaban manusia dan secara umum telah mengalami perubahan dalam 3 (tiga) tahap yaitu : (1) tahap primitif dimana manusia tunduk pada alam, karena manusia sebagai makluk hidup dapat menyesuaikan pola hidupnya dengan alam untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia untuk mempertahankan hidupnya. Manusia pada waktu itu jumlahnya masih sedikit dan manusia merupakan bagian dari lingkungan/ alam; (2) tahap pra modernisasi dimana manusia mulai untuk menguasai lingkungan karena manusia telah mampu menggunakan teknologi untuk meningkatkan daya adaptasinya terhadap lingkungan/alamnya. Pada tahap ini jumlah penduduk telah bertambah dan pola hidup semakin meningkat,sehingga manusia mulai menguasai lingkungan/alamnya; dan (3) tahap modernisasi dimana manusia menguasai lingkungan alam dengan peningkatan penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan mendayagunakan organisasi secara modern untuk memanfaatkan lingkungan.
 Aldo Leopold seorang ahli konservasi hutan yang melontarkan teori Etika Bumi (the Land Ethic) melihat bumi atau alam semesta sebagai subyek moral dan melihat alam sebagai sebuah komunitas moral. Sehingga tidak memandang bahwa manusia sebagai satu-satunya yang bernilai dan menjadi pusat perhatian dan kekuatan dari segala sesuatu di alam ini atau  manusia bukan lagi dilihat sebagai penguasa atau sebagai komponen alam yang lebih unggul, paling superior dari alam itu sendiri, tetapi manusia dan alam hendaknya hidup saling melengkapi. Kemudian dalam konteks ekologi manusia, khususnya pandangan immanen dikatakan bahwa manusia dipandang sama dengan makhluk hidup yang lain. Manusia tidak mementingkan dirinya sendiri, tetapi yang dipentingkan adalah keserasian hubungan antara manusia dan alam. Etika ini mengakui nilai intrinsik semua makhluk hidup dan "memandang manusia tak lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan".
Penghormatan dan penghargaan hidup satu sama lain antara manusia dengan alam yang diwujudkan dengan peran dan kontribusi manusia terhadap alam dengan bertanggungjawab untuk melindungi dan melestarikan alam. Dengan demikian tanggungjawab manusia bukan hanya untuk menikmati segala sesuatu yang dibutuhkan dari alam secara berlebihan namun dengan pengelolaan yang baik alam dapat memberikan nilai kehidupan untuk kelangsungan generasi yang satu ke generasi yang lain. Oleh karena itu dalam pendayagunaan sumberdaya alam untuk semua aktivitas pembangunan hendaknya selalu dimanfaatkan ber­dasarkan atas ukuran sebagi berikut : (1) daya-guna dan hasil­ guna yang optimum dalam batas-batas kelestarian yang mungkin di­capai, (2) tidak mengurangi kemampuan dan kelestarian sumberdaya alam lain yang berkaitan dalam suatu ekosistem, dan (3) memberikan kemungkinan untuk mempunyai pilihan penggunaan bagi pembangunan di masa depan.
Arne Naess, filsuf dari Norwegia dalam konsep yang disebutnya Ecosopy T mengatakan, ada tiga hal yang perlu manusia sadari dalam usahanya menyelamatkan alam dan lingkungan. Pertama, manusia harus memandang alam sebagai bagian dari dirinya sehingga usaha memelihara alam berarti juga memelihara dirinya. Kedua, menyadari bahwa alam memunyai hak untuk ada dan lestari. Manusia tak memiliki wewenang sedikit pun untuk merusaknya. Ketiga, karena dua hal tersebut maka seberapa pun besarnya kebutuhan manusia untuk memanfaatkan alam, manusia harus bijak mengolahnya. Mengambil manfaat dari alam sekaligus mengupayakan kelestariannya.
Menurut Elder (1972) dalam (Hilmanto, 2010) bahwa  manusia sebagai makhluk biologis berinteraksi dengan lingkungan alam. Manusia merupakan bagian dari tumbuhan dan hewan. Peran manusia pada ekologi sama seperti peran tumbuhan dan hewan di lingkungan, dalam hal ini manusia ada yang berperan sebagai parasit, predator, epifit dan sebagainya. Paham yang menyebutkan bahwa manusia bagian di dalam alam disebut inklusionisme. Alam jika dilihat dari sudut pandang di luar dari bagian manusia, dipandang sebagai kawan/berdampingan, yaitu: dapat diatur dengan ilmu dan teknologi untuk kesejahteraan dan keinginan manusia dan/atau lawan, yaitu: dapat memberikan kehancuran pada manusia dan paham ini disebut eksklusionisme.
Sikap harmonis dan dialogis yang merupakan jalan tengah emas atas dua ekstrim sikap di atas sebagai prinsip ekologi baru. Sikap ini melihat alam sebagi saudara, saudari, sahabat, ibu, dan rumah di mana manusia hidup dan berinteraksi. Alam tetap boleh digunakan untuk keperluan manusia tetapi tidak berlebihan melainkan secukupnya. Karena alam adalah bagian dari inti diri manusia. Merusak alam berarti merusak diri sendiri. Ini adalah sikap mencintai sesama ciptaan seperti mencintai diri kita sendiri. Meluka alam berarti melukai diri kita sendiri. Alam sakit, manusia pun akan sakit. Alam menderita, manusiapun akan menderita.
Kecerdasan ekologikal menurut seorang ahli psikologi yang bernama Goleman (2009) adalah sebuah kecerdasan untuk memahami bagaimana alam bekerja, termasuk pengakuan dan pemahaman sistem kerja manusia berinteraksi dengan alam. Kecerdasan ekologial memadukan antara kemampuan kognitif dengan rasa empati terhadap semua aspek kehidupan, terutama pada sistem alam menyeluruh.
Kecerdasan ekologikal ditandai dengan kepekaan terhadap masalah ekologi dan dilanjutkan dengan kepedulian untuk melakukan tindakan konkret. Kecerdasan ekologikal dapat ditandai dengan tidak membuang punting rokok sembarang yang dapat mengakibatkan kebakaran, sangat sepele tetapi karena sebuah puntung rokok yang tidak dimatikan kemudian dibuang sembarang terutama di kawasan hutan yang pada akhirnya mendatangkan bencana kebakaran. Orang yang mempunyai kecerdasan ekologikal tentunya tidak akan pernah membuang putung rokok yang masih menyala, tentunya orang cerdas akan mematikannya terlebih dahulu kemudian membuang pada tempat yang semestinya. Orang-orang yang memiliki kecerdasan ekologikal tidak akan mungkin membakar hutan atau lahan tanpa pengendalian, mereka akan berpikir dan seharusnya berpikir bahwa yang mereka lakukan ada sebuah perbuatan keliru yang tidak hanya merugikan untuk dirinya tetapi untuk semua makhluk hidup.

Penutup

Dewasa ini telah menjadi keyakinan yang luas bahwa kelestarian lingkungan hidup bukan sekedar masalah teknis, tetapi juga terkait dengan kebijakan, mekanisme pasar dan budaya (gaya hidup), bahkan dikaitkan juga dengan isu keamanan dan keadilan sosial. Isu yang sebelumnya dipandang tentang lingkungan, seperti perubahan iklim, kini dianggap sebagai tantangan kemanusiaan terbesar yang mengancam kemajuan pembangunan dan peradaban manusia itu sendiri. Kompleksitas tersebut mencerminkan kesadaran mengenai keterkaitan yang kuat antara lingkungan dan seluruh aspek kehidupan, dan pada ujungnya eksistensi umat manusia di atas Bumi menjadi terancam. Kompleksitas tersebut pula menuntut penanganan yang disertai perspektif dan keahlian yang komprehensif, partisipasi semua pihak, dan keterpaduan dari semua unsur tersebut dengan membangun solidaritas sosial demi memulihkan kerusakan alam akibat ketamakan dan kerakusan manusia itu sendiri. Alam semesta bukan hanya sumber eksploitasi, tetapi sebagai rumah hidup bersama yang terus dilindungi, dirawat, ditata, dan bukan dihancurkan.
         Alam tidak boleh dipandang sebagai obyek yang harus dikeruk keberadaannya, melainkan sebagai subyek dalam berpartner demi terciptanya kehidupan yang harmonis. Kehidupan yang ditandai dengan relasi yang adil dan penuh hormat antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam tempat tinggalnya. Solidaritas sosial menjadi sikap dasar dalam membangun hubungan antara manusia dengan alam, Dengan demikian akan terjadi perubahan gerak dari keserakahan menjadi kemurahan hati, dari pemborosan menjadi semangat berbagi dan dari kebodohan menjadi kecerdikan untuk mengelolah alam.



DAFTAR BACAAN

Goleman, Daniel. 2009. Ecological intelligence: how knowing the hidden impacts of what we buy can change everything. Broadway Bussines. New York.
Hadi, S. 2000., Manusia dan Lingkungan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Keraf.A, Sonny., 2010., Etika Lingkungan Hidup, PT. Kompas Media, Jakarta.
Hilmanto, Rudi., 2010., Etnoekology, Universitas Lampung, Bandar Lampung.


Tidak ada komentar:

SEJARAH MUSIK SULING BAMBU DI TIMOR

Oleh:   Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si Sejarah tentang suling bambu sudah sedemikan lama dan erat kaitannya dengan peradaban manus...