Oleh:
Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si
Pendahuluan
Dalam
konsep solidaritas sosial, sikap dan tindakan hidup manusia dilandasi atas
pengertian akan kesadaran tanggungjawab dan partisipasi sosial untuk peduli dan
terlibat dalam realitas sosial yang ditandai dengan keharmonisan hidup antara
alam dengan manusia antar generasi maupun intra generasi. Jika dihubungkan
dengan argumentasi teori Etika
Lingkungan “ biosentrisme” dari Keraf
(2010) bahwa; manusia dan alam sama-sama mempunyai nilai dan menganggap
manusia adalah bagian dari alam, sehingga manusia memiliki kepentingan untuk
selalu menghormati dan menjaga alam sebagai tempat hidupnya. Teori ini mendasarkan moralitas pada
keseluruhan kehidupan manusia terhadap alam, karena alam bernilai pada dirinya
sendiri maka ia harus dilindungi, sehingga diperlukan etika yang berfungsi
untuk menuntun manusia agar berperilaku baik guna menjaga dan melindungi alam.
Krisis dan isue kerusakan lingkungan
hidup di planet bumi telah menjadi sesuatu yang utama untuk diperbincangkan
karena kondisi faktual menggambarkan bahwa secara umum dari waktu ke waktu
kualitas dan kuantitas lingkungan hidup cenderung mengalami penurunan sebagai
akibat dari proses pembangunan yang tidak memperhatikan kelestarian dari
lingkungan hidup itu sendiri. Sadar atau
tidak sadar, manusia secara perlahan menerapkan budaya konsumerisme yang tinggi
mulai membuat wajah lingkungan hidup dengan kerusakan di mana-mana. Apakah kita
masih ingin hidup pada kondisi lingkungan hidup yang semakin rusak seperti ini
? Pertanyaan besar bagi kita semua sebagai penghuni planet bumi ini.
Konsepsi
Pandangan Manusia terhadap Alam
Menurut Hadi (2000) bahwa interkasi manusia dengan
lingkungan telah berlangsung seiring perkembangan peradaban manusia dan secara
umum telah mengalami perubahan dalam 3 (tiga) tahap yaitu : (1) tahap primitif
dimana manusia tunduk pada alam, karena manusia sebagai makluk hidup dapat
menyesuaikan pola hidupnya dengan alam untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang
tersedia untuk mempertahankan hidupnya. Manusia pada waktu itu jumlahnya masih
sedikit dan manusia merupakan bagian dari lingkungan/ alam; (2) tahap pra
modernisasi dimana manusia mulai untuk menguasai lingkungan karena manusia
telah mampu menggunakan teknologi untuk meningkatkan daya adaptasinya terhadap
lingkungan/alamnya. Pada tahap ini jumlah penduduk telah bertambah dan pola
hidup semakin meningkat,sehingga manusia mulai menguasai lingkungan/alamnya;
dan (3) tahap modernisasi dimana manusia menguasai lingkungan alam dengan
peningkatan penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan
mendayagunakan organisasi secara modern untuk memanfaatkan lingkungan.
Aldo
Leopold seorang ahli konservasi hutan yang melontarkan teori Etika Bumi (the
Land Ethic) melihat bumi atau alam semesta sebagai subyek moral dan melihat
alam sebagai sebuah komunitas moral. Sehingga tidak memandang bahwa manusia
sebagai satu-satunya yang bernilai dan menjadi pusat perhatian dan kekuatan
dari segala sesuatu di alam ini atau manusia bukan lagi dilihat sebagai penguasa
atau sebagai komponen alam yang lebih unggul, paling superior dari alam itu
sendiri, tetapi manusia dan alam hendaknya hidup saling melengkapi. Kemudian
dalam konteks ekologi manusia, khususnya pandangan immanen dikatakan bahwa manusia dipandang sama dengan makhluk hidup yang lain.
Manusia tidak mementingkan dirinya sendiri, tetapi yang dipentingkan adalah
keserasian hubungan antara manusia dan alam. Etika ini
mengakui nilai intrinsik semua makhluk hidup dan "memandang manusia tak
lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan".
Penghormatan
dan penghargaan hidup satu sama lain antara manusia dengan alam yang diwujudkan
dengan peran dan kontribusi manusia terhadap alam dengan bertanggungjawab untuk
melindungi dan melestarikan alam. Dengan demikian tanggungjawab manusia bukan
hanya untuk menikmati segala sesuatu yang dibutuhkan dari alam secara
berlebihan namun dengan pengelolaan yang baik alam dapat memberikan nilai
kehidupan untuk kelangsungan generasi yang satu ke generasi yang lain. Oleh karena itu
dalam pendayagunaan sumberdaya alam untuk semua aktivitas pembangunan
hendaknya selalu dimanfaatkan berdasarkan atas ukuran sebagi berikut : (1)
daya-guna dan hasil guna yang optimum
dalam batas-batas kelestarian yang mungkin dicapai, (2) tidak mengurangi
kemampuan dan kelestarian sumberdaya alam lain yang berkaitan dalam suatu
ekosistem, dan (3) memberikan kemungkinan untuk mempunyai pilihan penggunaan
bagi pembangunan di masa depan.
Arne Naess, filsuf dari Norwegia dalam
konsep yang disebutnya Ecosopy T mengatakan, ada tiga hal yang perlu manusia
sadari dalam usahanya menyelamatkan alam dan lingkungan. Pertama, manusia harus
memandang alam sebagai bagian dari dirinya sehingga usaha memelihara alam
berarti juga memelihara dirinya. Kedua, menyadari bahwa alam memunyai hak untuk
ada dan lestari. Manusia tak memiliki wewenang sedikit pun untuk merusaknya.
Ketiga, karena dua hal tersebut maka seberapa pun besarnya kebutuhan manusia
untuk memanfaatkan alam, manusia harus bijak mengolahnya. Mengambil manfaat
dari alam sekaligus mengupayakan kelestariannya.
Menurut
Elder (1972) dalam (Hilmanto, 2010)
bahwa manusia sebagai makhluk biologis
berinteraksi dengan lingkungan alam. Manusia merupakan bagian dari tumbuhan dan
hewan. Peran manusia pada ekologi sama seperti peran tumbuhan dan hewan di
lingkungan, dalam hal ini manusia ada yang berperan sebagai parasit, predator,
epifit dan sebagainya. Paham yang menyebutkan bahwa manusia bagian di dalam
alam disebut inklusionisme. Alam jika dilihat dari sudut pandang di luar
dari bagian manusia, dipandang sebagai kawan/berdampingan, yaitu: dapat diatur
dengan ilmu dan teknologi untuk kesejahteraan dan keinginan manusia dan/atau
lawan, yaitu: dapat memberikan kehancuran pada manusia dan paham ini disebut eksklusionisme.
Sikap harmonis dan dialogis yang
merupakan jalan tengah emas atas dua ekstrim sikap di atas sebagai prinsip
ekologi baru. Sikap ini melihat alam sebagi saudara, saudari, sahabat, ibu, dan
rumah di mana manusia hidup dan berinteraksi. Alam tetap boleh digunakan untuk
keperluan manusia tetapi tidak berlebihan melainkan secukupnya. Karena alam
adalah bagian dari inti diri manusia. Merusak alam berarti merusak diri
sendiri. Ini adalah sikap mencintai sesama ciptaan seperti mencintai diri kita
sendiri. Meluka alam berarti melukai diri kita sendiri. Alam sakit, manusia pun
akan sakit. Alam menderita, manusiapun akan menderita.
Kecerdasan
ekologikal menurut seorang ahli psikologi yang bernama Goleman (2009) adalah
sebuah kecerdasan untuk memahami bagaimana alam bekerja, termasuk pengakuan dan
pemahaman sistem kerja manusia berinteraksi dengan alam. Kecerdasan ekologial
memadukan antara kemampuan kognitif dengan rasa empati terhadap semua aspek
kehidupan, terutama pada sistem alam menyeluruh.
Kecerdasan
ekologikal ditandai dengan kepekaan terhadap masalah ekologi dan dilanjutkan
dengan kepedulian untuk melakukan tindakan konkret. Kecerdasan ekologikal dapat
ditandai dengan tidak membuang punting rokok sembarang yang dapat mengakibatkan
kebakaran, sangat sepele tetapi karena sebuah puntung rokok yang tidak
dimatikan kemudian dibuang sembarang terutama di kawasan hutan yang pada
akhirnya mendatangkan bencana kebakaran. Orang yang mempunyai kecerdasan
ekologikal tentunya tidak akan pernah membuang putung rokok yang masih menyala,
tentunya orang cerdas akan mematikannya terlebih dahulu kemudian membuang pada
tempat yang semestinya. Orang-orang yang memiliki kecerdasan ekologikal tidak
akan mungkin membakar hutan atau lahan tanpa pengendalian, mereka akan berpikir
dan seharusnya berpikir bahwa yang mereka lakukan ada sebuah perbuatan keliru yang
tidak hanya merugikan untuk dirinya tetapi untuk semua makhluk hidup.
Penutup
Dewasa
ini telah menjadi keyakinan yang luas bahwa kelestarian lingkungan hidup bukan
sekedar masalah teknis, tetapi juga terkait dengan kebijakan, mekanisme pasar
dan budaya (gaya hidup), bahkan dikaitkan juga dengan isu keamanan dan keadilan
sosial. Isu yang sebelumnya dipandang tentang lingkungan, seperti perubahan
iklim, kini dianggap sebagai tantangan kemanusiaan terbesar yang mengancam
kemajuan pembangunan dan peradaban manusia itu sendiri. Kompleksitas tersebut mencerminkan kesadaran mengenai keterkaitan
yang kuat antara lingkungan dan seluruh aspek kehidupan, dan pada ujungnya
eksistensi umat manusia di atas Bumi menjadi terancam. Kompleksitas tersebut
pula menuntut penanganan yang disertai perspektif dan keahlian yang
komprehensif, partisipasi semua pihak, dan keterpaduan dari semua unsur
tersebut dengan membangun solidaritas sosial demi memulihkan kerusakan alam
akibat ketamakan dan kerakusan manusia itu sendiri. Alam semesta bukan hanya
sumber eksploitasi, tetapi sebagai rumah hidup bersama yang terus dilindungi,
dirawat, ditata, dan bukan dihancurkan.
Alam tidak boleh
dipandang sebagai obyek yang harus dikeruk keberadaannya, melainkan sebagai subyek
dalam berpartner demi terciptanya kehidupan yang harmonis. Kehidupan yang
ditandai dengan relasi yang adil dan penuh hormat antara manusia dengan manusia
dan manusia dengan alam tempat tinggalnya. Solidaritas sosial menjadi sikap
dasar dalam membangun hubungan antara manusia dengan alam, Dengan demikian akan
terjadi perubahan gerak dari keserakahan menjadi kemurahan hati, dari
pemborosan menjadi semangat berbagi dan dari kebodohan menjadi kecerdikan untuk
mengelolah alam.
DAFTAR BACAAN
Goleman,
Daniel. 2009. Ecological intelligence: how knowing the hidden impacts of
what we buy can change everything. Broadway Bussines. New York.
Hadi, S. 2000., Manusia dan
Lingkungan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Keraf.A, Sonny., 2010., Etika
Lingkungan Hidup, PT. Kompas Media, Jakarta.
Hilmanto, Rudi., 2010., Etnoekology,
Universitas Lampung, Bandar Lampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar