Rabu, 27 Februari 2013

ANALISIS SITUASIONAL DAN ISU STRATEGIS PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP DI KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA-NTT


Oleh
Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si


Analisis Situasional Pembangunan Lingkungan Hidup

Peranan  Simberdaya Alam (SDA) dan Lingkungan Hidup (LH) sangat penting dalam pembangunan daerah Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), baik sebagai penyedia bahan baku bagi pembangunan ekonomi maupun sebagai pendukung sistem kehidupan masyarakat. Sesuai dengan fungsinya tersebut,SDA dan LH perlu dikelola dengan bijaksana agar dapat terjaga dan lestari untuk generasi saat ini dan di masa yang akan datang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (Sustainable development). Disamping itu karena lonjakan jumlah penduduk di Kabupaten TTU akan berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan akan SDA untuk bahan baku industri maupun kebutuhan konsumsi. Peningkatan kebutuhan tersebut dapat berakibat pada peningkatan pemanfaatan SDA secara berlebihan dan tidak ramah lingkungan yang pada akhirnya akan menurunkan daya dukung dan daya tampung atau fungsi dari LH. Kondisi ini sudah mulai dirasakan di Kabupaten TTU, terutama timbulnya permasalahan pemenuhan akan kebutuhan pangan, energi serta kebutuhan akan sumberdaya air di berbagai wilayah Kecamatan, adanya perubahan iklim mikro dan cuaca yang cukup ekstrim maupun terhadap perubahan lingkungan biologis  terutama di kawasan perdesaan.

Potret lahan kering Di Kab.TTU- NTT
Hal yang mendorong terjadinya berbagai fenomena ini dikarenakan  penduduk terus berlomba mencari nafkah dalam mendukung kehidupan sehari-harinya dengan memanfaatkan berbagai potensi SDA dan LH yang ada sehingga cenderung bersifat destruktif dan tidak lagi memperhatikan  daya dukung dan daya tampung dari LH tersebut. Persoalan yang timbul antara lain  adanya konversi lahan dan penebangan hutan secara berlebihan; apalagi ditambah dengan kebiasaan penduduk melaksanakan pola usaha tani lahan kering secara beringsut dan sistim tebas bakar (istilah lokal =“Kono”), maka dapat menyebabkan nilai kesuburan tanah/lahan menjadi berkurang dan pada gilirannya berpengaruh terhadap produktivitas hasil usaha pertanian yang relatif akan berkurang juga. Persoalan lainnya, bahwa pandangan SDA dan LH merupakan  milik bersama (common property resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open access), sehingga setiap pengguna sumberdaya berkeinginan untuk memaksimalkan keuntungan sebesar-besarnya yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan  SDA dan pencemaran LH serta konflik pemanfaatan ruang  sebagai akibat  dari over-eksploitasi dan deplesi terhadap ketersediaan potensi SDA (Soemarwoto,2001).
Berdasarkan pada hasil analisa pengujian  kualitas air (air permukaan, air limbah, air laut) dan kualitas udara maupun kualitas tanah untuk produksi biomassa di Kabupaten TTU pada tahun 2010, dapat dikatakan bahwa tingkat pencemaran  lingkungan belum memberikan dampak yang signifikan terhadap gangguan kehidupan manusia dan daya dukung lingkungan karena secara fisik data-data analisis masih berada di bawah standar baku  mutu yang dipersyaratkan. Namun di sisi lain telah terjadi perubahan kondisi ekologis secara umum yang telah menyebabkan berkurangnya keanekaragaman hayati; terutama parameter Indeks Nilai Penting (INP) flora dan fauna, sebagai akibat dalam  persaingan usaha di bidang LH (seperti kasus pertambangan Marmer dan Mangan) maupun perburuan liar dan penebangan hutan secara tidak syah, telah menyebabkan kondisi kualitas hutan merosot dengan; berkurangnya  keanekaragam flora dan fauna bahkan potensi untuk punah seperti : Rusa Timor (Cervus timorensis), Kakatua (Cacatua sulphurea), Ayam Hutan Merah (Gallus gallus), Gagak Hitam (Corvus corone), Merpati (Columba livia), Cendana (Santalum album), Gaharu (Aquilaria malaccensis), Ampupu (Eucalyptus urophylla). Hal ini sesuai dengan pendapat Manik (2009) bahwa pemanfaatan SDA yang tidak terkontrol akan menyebabkan terganggunya kualitas LH serta kelangsungan hidup berbagai makhluk hidup lainnya.
Secara umum  indikator dan parameter kerusakan  SDA dan pencemaran LH harus terus dikelola dan diawasi agar diketahui tingkat pencemaran dan kerusakannya sehingga dapat dirumuskan strategi yang tepat untuk mengatasi  dan menanggulangi persoalan yang mungkin akan terjadi di kemudian hari.Pengembangan SDA dan LH difokuskan untuk mendukung peningkatan ekonomi rakyat dengan fokus wiilayah perlindungan dan pengelolaan di prioritaskan pada kawasan cagar alam Mutis (2 Ha), kawasan DAS Benenain (wilayah tengah) = 150,080 Ha, kawasan sentra pertanian/perkebunan rakyat, kawasan wilayah pesisir = 50 Km dan laut = 900 Km² dan kondisi lingkungan permukiman padat penduduk untuk tetap menjaga keseimbangan ekologis.

Isu Strategis Pembangunan Lingkungan Hidup

1) Terbatasnya tatalaksana  upaya  perlindungan dan pengelolaan  yang mendukung fungsi pelestarian SDA dan LH di daerah;
Berbagai upaya untuk menanggulangi kerusakan lingkungan hidup telah dilakukan namun potensi pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan hidup masih terus terjadi sebagai akibat  pertambahan jumlah penduduk setiap tahunnya maupun pencemaran dari aktivitas usaha kecil (home industry), pembangunan infrastruktur, eksploitasi sumberdaya mineral Mangan, limbah domestik serta teknologi yang tidak ramah lingkungan terus berjalan. Di beberapa lokasi, tingkat pencemaran terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati (kehati) cenderung menurun bahkan teracam punah. Akibatnya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dalam mendukung program-program pembangunan menjadi menurun, sehingga diperlukan pengelolaan lingkungan hidup yang terintegrasi  dan terpadu dari hulu ke hilir dengan pendekatan lintas sektoral (Sugandhy dan Hakim, 2009). Permasalahan lainnya yang dihadapi dalam penanganan kerusakan lingkungan adalah terbatasnya produk regulasi daerah dan lemahnya penegakan hukum lingkungan, rendahnya kapasitas sumber daya manusia masyarakat dan institusi pengelola LH. Selain itu, ketersediaan sistem data dan informasi juga masih perlu diperbaiki. Hal ini mempengaruhi ketepatan perencanaan, monitoring dan evaluasi penanganannya.

2) Perlindungan dan pengelolaan LH dengan  tidak memperhatikan ketersediaan  fungsi pelestarian (daya dukung dan daya tampung)
Sampai saat ini, upaya untuk meningkatkan manfaat SDA dan peningkatan kualitas LH terus dilakukan. Meskipun demikian, permasalahan pemanfaatan SDA yang belum memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup masih dihadapi yang mengakibatkan daya dukung lingkungan menurun dan ketersediaan SDA semakin menipis. Penurunan kualitas SDA ditunjukkan dengan tingkat eksploitasi hutan yang semakin mengkhawatirkan akibat terjadinya pembalakan liar (illegal logging), meluasnya kebakaran hutan dan lahan, penambangan liar, rusaknya wilayah laut akibat penangkapan ikan yang melanggar dan merusak (illegal  and destructive fishing-over fishing). Selain itu, meningkatnya konversi hutan alam, dan meluasnya alih fungsi lahan pertanian dan tambak untuk kegiatan ekonomi lainnya juga mempengaruhi tingkat produksi pangan yang dapat mengancam ketahanan pangan daerah.

3)    Adanya potensi gangguan terhadap kerusakan dan pencemaran Lingkungan  Hidup;
Pembangunan bidang SDA dan LH dilaksanakan untuk dapat mencegah dan mengantisipasi akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan pembangunan dan pemanfaatan SDA. Meningkatnya kegiatan usaha pertambangan Mangan telah mengakibatkan potensi gangguan terhadap pencemaran SDA dan LH terutama pencemaran air telah terindikasi adanya kandungan Mangan (Mn) pada sumber-sumber mata air di lokasi pertambangan seperti Mata Air seperti di Desa Sifaniha, Kecamatan Biboki Anleu (Lokasi Pertambangan Mineral Mangan)  sebesar  0,027 mg/l, walaupun masih berada di bawah baku mutu yang dipersyaratkan  yaitu sebesar 1,00 mg/l ataupun di lokasi penambangan lainnya.
Potensi kerusakan LH lebih disebabkan oleh faktor manusia dalam upaya penggunaan SDA yang berlebihan, sehingga telah, menimbulkan deplesi dan kemerosotan kualitas maupun kuantitas dari daya dukung SDA itu sendiri seperti : praktek perlandangan berpindah dengan sistim tebas bakar atau “ kono “ (istilah lokal) yang masih marak dilakukan oleh masyarakat.

4)   Adanya Ancaman perubahan iklim dan pemanasan global (global warming)
Kabupaten TTU  sebagai wilayah tropis dengan topografi yang berbukit, dikategorikan sebagai salah satu wilayah yang rentan terhadap perubahan iklim. Dampak perubahan iklim sudah menjadi ancaman yang cukup serius bagi lingkungan. Tanda-tanda dari dampak perubahan iklim di wilayah ini dapat dilihat dari adanya kenaikan temperatur udara, perubahan curah hujan, dan perubahan cuaca yang ekstrim. Kondisi ini menyebabkan terjadinya bencana kekeringan, banjir, tanah longsor, angin taupan dan bencana alam lainnya seperti serangan hama belalang Kumbara (Locusta migratoria) yang pernah terjadi di sebagian wilayah Kabupaten TTU pada tahun 2006 dan 2008.

5)   Pengetahuan dan kesadaran masyarakat yang masih terbatas terhadap upaya Pelestarian   SDA dan LH  
Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan SDA untuk mendukung pembangunan ekonomi adalah masih belum optimalnya pemanfaatan SDA  untuk pembangunan. Hal ini ditandai dengan tingginya tingkat eksploitasi sumber daya hutan/lahan dan energi untuk pembangunan, masih rendahnya pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut dibanding potensinya, serta masih kurang optimalnya usaha pertanian,perikanan dan kehutanan dalam mendorong ketahanan pangan dan perekonomian daerah karena pengetahuan dan kesadaran masyarakat yang masih terbatas.

6)   Degradasi Hutan dan Lahan
Praktek perladangan  dengan pola tebas bakar tanpa adanya upaya konservasi tanah yang sudah berlangsung sejak lama menyebabkan terjadinya kerusakan sumber daya alam di kabupaten TTU,  yang pada akhirnya menyebabkan degradasi sumber daya alam. Perusakan hutan dalam bentuk penebangan liar,  kebakaran dan pengembalaan liar di Kabupaten TTU sudah berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Luas lahan kritis cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya karena upaya rehabilitasi tidak seimbang dengan laju degradasi hutan dan lahan.

7)   Persampahan
Masalah persampahan merupakan permasalahan lama yang sampai dengan saat ini belum terselesaikan dengan baik. Salah satu contoh yang sering kita saksikan adalah permasalahan persampahan di Kota Kefamenanu dari tahun ke tahun belum bisa diselesaikan, mulai dari sumber sampah dan Tempat Pengelolaan Sementara (TPS) dan Tempat Pengelolaan Akhir Sampah (TPA).  Selama ini masyarakat masih memandang sampah sebagai barang sisa yang tidak berguna dan bukan sebagai sumber daya yang perlu dimanfaatkan. Masyarakat dalam mengelola sampah masih bertumpuh pada pendekatan akhir (end of pipe), yaitu sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke tempat pemrosesan akhir sampah. Timbunan sampah dengan volume yang besar di lokasi pembuangan akhir sampah berpotensi melepaskan gas metan (CH4) yang mudah terbakar dan dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dan memberikan kontribusi terhadap pemanasan global.
Paradigma pengolahan sampah yang bertumpuh pada pendekatan akhir  (end of pipe) sudah saatnya ditinggalkan dan diganti dengan paradigma baru pengolahan sampah. Paradigma baru pengolahan sampah  yang dimaksud adalah sampah sebagai sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan, misalnya untuk energi (biogas), kompos, pupuk atau untuk bahan baku industri. Pengolahan sampah dilakukan dengan pendekatan yang komprehensip dari hulu sampai hilir dilakukan dengan prinsip 3R yaitu : pengurangan sampah meliputi Reduce (pembatasan), Reuse (penggunaan kembali) dan Recycle (pendauran ulang) yang sering disingkat dengan 3R, sedangkan kegiatan penanganan sampah meliputi pengumpulan, pengagkutan, pengolahan dan pemrosesan akhir. Paradigma baru pengolahan sampah tersebut di atas belum diterapkan di Kabupaten TTU sehingga sampai dengan saat ini sampah merupakan masalah yang belum terselesaikan, apalagi lokasi TPA belum di integrasikan di dalam RTRW Kabupaten..
Metode 3R ini sebenarnya bisa mengurangi jumlah sampah lebih dari 50%, karena sampah yang dibuang oleh masyarakat sebagian besar adalah sampah organik, selain itu manfaat berikutnya adalah masyarakat memperoleh pupuk organik yang apabila dikelola dalam skala yang cukup besar dapat pula meningkatkan pendapatan masyarakat melalui penjualan pupuk organik, apalagi sekarang lagi digalakan pemanfaatan bahan makanan yang menggunakan pupuk organik.  Diharapkan kedepan apabila penerapan 3R ini berhasil di Kabupaten TTU maka permasalahan sampah tidak akan menjadi masalah lingkungan hidup seperti yang banyak terjadi saat ini.

Penutup

SDA dan LH memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pembangunan dan sebagai penopang sistem kehidupan. Paradigma umum yang berkembang saat ini lebih menempatkan SDA dan LH sebagai sumberdaya ekonomis daripada sumberdaya ekologis. Kondisi tersebut berdampak pada pola pemanfaatan SDA dan LH yang lebih diarahkan pada kepentingan ekonomi semata dan kurang mempertimbangkan manfaat dan dampak pengelolaan sumberdaya alam secara ekologis.
Kebijakan lingkungan hidup sarat dengan aspek politik karena kuatnya keragaman pemikiran dan pendapat para pemangku kepentingan yang tata nilainya sering bertolak belakang. Tipologi keputusan yang dihasilkannya akan selalu diperangkap perdebatan etika, karena umumnya berkaitan dengan pilihan-pilihan: mana yang harus dikorbankan-mana yang harus diselamatkan, bagaimana mendistribusikan manfaat secara “adil”, atau bahkan memperjuangkan nasib kelompok yang tidak akan pernah terwakili dengan baik (misalnya generasi yang akan datang). Oleh sebab itu kebijakan pengelolaan SDA dan LH di Kabupaten TTU tidak bisa semata-mata bergerak di area ekologis saja, tetapi juga harus menjembataninya dengan isu-isu ekonomi maupun sosial-budaya sebagai pilar dari pembangunan berkelanjutan.

Daftar Bacaan

Manik, Karden, E,S, 2009, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Djambatan, Jakarta.
Soemarwoto, Otto, 2001, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta.
Sugandhy, Aca dan Hakim, Rustam, 2009, Prinsip Dasar Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan,Bumi Aksara, Jakarta.

Selasa, 26 Februari 2013

PENDEKATAN TEORI MOTIVASI BERPRESTASI DARI McCLELLAND DENGAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBANGUNAN PEDESAAN DAN PERTANIAN DI PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR


Oleh
Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si


I.     PENDAHULUAN
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai salah satu provinsi kepulauan yang berada pada wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), secara astronomis terletak di antara 80 – 120 Lintang Selatan dan 1180 – 1250 Bujur Timur , dan memiliki gugusan pulau sebanyak 1.192 pulau (42 pulau dihuni dan 1.150 pulau tidak dihuni). Tiga pulau terbesar yang terdapat di Provinsi NTT adalah Pulau Flores, Sumba dan Timor. Provinsi NTT memiliki luas wilayah secara keseluruhan ± 247.349,90 km2, dimana ± 48.718,10 km2 adalah luas daratan dan ± 200.000 km2 merupakan luas wilayah laut (BPS NTT, 2010). Keseluruhan luas wilayah tersebut, tentunya memiliki ketersediaan Sumberdaya Alam (SDA) yang sangat banyak, baik yang terdapat pada wilayah lautnya maupun di wilayah daratan. Jumlah penduduk sebanyak 4,165 juta jiwa, dengan ± 75 % penduduk bermata pencaharian sebagai petani .
Pembangunan yang dilaksanakan sebagai wujud pengelolaan SDA dalam kerangka pengembangan pertanian yang tersedia di daerah ini, tentunya dilaksanakan  dengan sebaik-baiknya untuk kebutuhan masyarakat.Tujuannya untuk mengurangi disparitas atau ketimpangan pembangunan antar daerah dan antar sub daerah serta antar warga masyarakat, memberdayakan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan, menciptakan atau menambah lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat daerah, serta mempertahankan atau menjaga kelestarian sumberdaya alam agar bermanfaat bagi generasi sekarang dan generasi di masa yang akan datang. Dengan demikian pendekatan pembangunan dapat diartikan sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat dengan lebih baik (Soemarwoto, 2001).
Proses pelaksanaan pembangunan pedesaan dan pertanian di Provinsi NTT, perlu didukung oleh sumberdaya manusia yang handal sebagai pelaku-pelaku dalam pembangunan. Dengan meningkatkan motivasi berprestasi dan komitmen yang kuat dari para pelaku pembangunan ini, pengelolaan sektor pertanian yang merupakan sektor andalan dalam mendukung pendapatan domestik dapat diwujudkan secara optimal. Implikasi teori motivasi berprestasi dari McClelland tiba pada konsepnya yang terkenal, yaitu need for achievement (n-Ach). Pandangan teori ini, mirip dengan etika protestan yang dikemukakan oleh Max Weber, dimana keinginan dan dorongan untuk berprestasi ini tidak sekedar untuk meraih imbalan material semata. Ada kepuasan pribadi tersendiri apabila seseorang berhasil melaksanakan pekerjaannya dengan sempurna. Selanjutnya apabila dalam sebuah masyarakat ada banyak orang yang memiliki n-Ach yang tinggi, sudah pasti masyarakat tersebut akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam pembangunan (Arjana, 2011).
Persoalan pembangunan pedesaan dan pertanian di provinsi NTT diidentifikasi bertumpu pada 3 (tiga) komponen utama yaitu: (1) optimalisasi sumberdaya alam masih terbatas karena produktivitas hasil pertanian sangat tergantung pada alam/cuaca, waktu usaha dibatasi oleh musim, lahan kering lebih luas 92 %) dari lahan basah/sawah 8 %), skala usaha belum ekonomis dengan rata-rata pemanfaatan lahan < 1 ha/KK tani dan kawasan produksi berada pada kawasan lahan dengan kemiringan 8 – 40 %; (2) kemampuan pengembangan teknologi yang masih bersifat parsial sebab hanya mengandalkan teknologi tradisional, adopsi inovasi teknologi hanya tergantung pada pihak luar/para penyuluh, penerimaan inovasi masih tergolong lama dan ragu-ragu serta pengaruh budaya setempat sangat kuat bahkan sering bertentangan dengan inovasi teknologi tersebut; dan (3) Menurut Blegur (2005) bahwa kemampuan sumberdaya manusia-petani masih lemah dengan karakteristik ketersediaan tenaga kerja sangat besar (75 %) berpendidikan formal rendah (tidak sekolah + tidak tamat SD + tamat SD sebanyak 72%), memiliki keahlian/keterampilan (skill) yang rendah, belum memiliki kemampuan analisis usaha yang baik, puas dengan hasil kerja yang ada, dan memiliki waktu senggang setelah panen 5 – 6 bulan menganggur. 

II.  TEORI MOTIVASI BERPRESTASI-McCLELLAND

2.1.Argumentasi Teori Motivasi Berprestasi dari McClelland
Teori Motivasi berprestasi dicetuskan pertama kali oleh  David Clarence McClelland (1917-1998) yang  mendapat gelar doktor dalam psikologi di Universitas Yale pada 1941, dan menjadi profesor di Universitas Wesleyan. McClelland dikenal untuk karyanya pada pencapaian motivasi, khusunya mempelopori motivasi kerja berpikir, mengembangkan pencapaian kerja berbasis teori dan model motivasi. Dewasa ini ide dari pandangan McClelland,  telah diadopsi secara luas di berbagai organisasi dan negara yang menurut beberapa pakar perubahan sosial dan pembangunan sangat berkaitan erat dengan pandangan Frederick Herzberg tentang teori dua faktor yaitu higiene dan motivator. Teori McClelland ini oleh Suwarsono dan Alvin (2000) digolonglan dalam pendekatan teori modernisasi klasik dalam konteks perubahan sosial dan pembangunan.
Pada tahun 1961, McClelland melakukan penelitian terhadap proses modernisasi negara-negara dunia ketiga terhadap tiga strata masyarakat yaitu kaum wiraswastawan domestik, para politikus dan kaum masyarakat lokal yang dipublikasikan dengan judul ”Business Drive and National Achievement.  Ia menyatakan bahwa  motivasi berprestasi atau juga sering disebut sebagai kebutuhan berprestasi adalah keinginan yang kuat untuk mencapai prestasi gemilang bagi para wiraswastawan melalui cara kerja yang baik, yaitu dengan selalu berpikir dan berusaha untuk menemukan cara-cara baru untuk memperbaiki kualitas kerja yang dicapainya. Penelitan yang dibuat oleh McClalland menemukan bahwa suatu negara yang memiliki kebutuhan berprestasi yang lebih tinggi akan mempunyai kesempatan untuk lebih mencapai kemajuan. Hal tersebut diketahui pula dari penelitian yang dilakukan di antar negara dimana negara yang memiliki derajat yang lebih tinggi kebutuhan berprestasinya, akan memiliki derajat yang lebih tinggi pula pada pembangunan ekonominya (Suwarsono dan Alvin, 2000).
Menurut Arjana (2011) bahwa faktor yang mendorong untuk berhasil mencapai kemakmuran adalah: the need for Achievement (n-Ach) sebagai dorongan untuk berprestasi. Selanjutnya jika n-Ach tinggi yang dicirikan oleh rasa optimis, berani mengubah nasib, tidak cepat menyerah dan berprestasi bukan sekedar butuh imbalan material, tetapi hasil kerja yang dianggap baik. Apabila dalam komunitas masyarakat pedesaan  terdapat n-Ach yang tinggi, akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena n-Ach tidak diwariskan, tetapi seperti virus yang mempunyai sifat menyebar  dan dapat dimiliki oleh kelompok masyarakat serta dapat memotivasi jiwa kewirausahaan.
 Argumentasi teori motivasi berprestasi dari McClelland menyatakan bahwa: keinginan untuk mencapai prestasi dengan berpikir dan selalu berusaha untuk mencari cara-cara baru dalam mencapai kualitas kerja untuk memperoleh laba atau keuntungan (Todaro, 1989; Suwarsona dan Alvin, 2001). Selanjutnya oleh Gibson, et al (1997) menyatakan bahwa teori motivasi berprestasi dari McClelland menfokuskan pada 3 (tiga) kebutuhan yaitu kebutuhan akan prestasi (achievement), kebutuhan akan kekuasaan (power), dan kebutuhan akan hubungan (afiliasi). Model motivasi ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Kebutuhan akan prestasi (n-ACH) : Kebutuhan akan prestasi merupakan dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar, bergulat untuk sukses. Kebutuhan ini pada hirarki Maslow terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Ciri-ciri inidividu yang menunjukkan orientasi tinggi antara lain bersedia menerima resiko yang relatif tinggi, keinginan untuk mendapatkan umpan balik tentang hasil kerja mereka, keinginan mendapatkan tanggung jawab pemecahan masalah. n-ACH adalah motivasi untuk berprestasi, karena itu karyawan akan berusaha mencapai prestasi tertingginya, pencapaian tujuan tersebut bersifat realistis tetapi menantang, dan menghasilkan kemajuan dalam pekerjaan. Karyawan perlu mendapat umpan balik dari lingkungannya sebagai bentuk pengakuan terhadap prestasinya tersebut.
2)  Kebutuhan akan kekuasaan (n-POW) : Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara dimana orang-orang itu tanpa dipaksa tidak akan berperilaku demikian, atau suatu bentuk ekspresi dari individu untuk mengendalikan dan mempengaruhi orang lain. Kebutuhan ini pada teori Maslow terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri. McClelland menyatakan bahwa kebutuhan akan kekuasaan sangat berhubungan dengan kebutuhan untuk mencapai suatu posisi kepemimpinan. n-pow adalah motivasi terhadap kekuasaan. Karyawan memiliki motivasi untuk berpengaruh terhadap lingkungannya, memiliki karakter kuat untuk memimpin dan memiliki ide-ide untuk menang. Ada juga motivasi untuk peningkatan status dan prestise pribadi.
3) Kebutuhan untuk berafiliasi atau bersahabat (n-AFFIL) : Kebutuhan akan afiliasi adalah hasrat untuk berhubungan antar pribadi yang ramah dan akrab. Individu merefleksikan keinginan untuk mempunyai hubungan yang erat, kooperatif dan penuh sikap persahabatan dengan pihak lain. Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi umumnya berhasil dalam pekerjaan yang memerlukan interaksi sosial yang tinggi.
Kemudian Etzioni dan Etzioni (1964) berpendapat bahwa sintesa dari teori motivasi berprestasi dari McClelland mengasumsikan bahwa kebanyakan orang memiliki kombinasi karakteristik tersebut, akibatnya akan mempengaruhi perilaku masyarakat dalam bekerja atau memperoleh keuntungan. Karakteristik dan sikap motivasi prestasi ala McClelland yaitu:  (a). Pencapaian adalah lebih penting daripada materi; (b). Mencapai tujuan atau tugas memberikan kepuasan pribadi yang lebih besar daripada menerima pujian atau pengakuan; dan (c). Umpan balik sangat penting, karena merupakan ukuran sukses (umpan balik yang diandalkan, kuantitatif dan faktual). Sedangkan Arjana (2011) mengatakan bahwa dorongan untuk berprestasi (the need for achievement/ n-ACH) mempunyai ciri-ciri yaitu: optimis, berani mengubah nasib dan tidak cepat menyerah pada keadaan.

2.2.Kelemahan Teori Motivasi Berprestasi dari  McClelland
Menurut Suwarsono dan Alvin (2000) dan Todaro (2000), kelemahan dari teori motivasi dari McClelland adalah:
1)   Teori ini tidak memberikan penjelasan bagaimana cara seseorang atau orang-orang di suatu negara memiliki kebutuhan untuk berprestasi yang tinggi. Kita semua juga mungkin dapat mempunyai anggapan justru kebutuhan untuk berprestasi itu bukanlah merupakan prasyarat dari kemajuan, tetapi juga merupakan hasil dari kemajuan suatu masyarakat atau negara. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan di masyarakat yang masih subsisten, dijumpai kenyataan mereka tidak mempunyai kebutuhan untuk berprestasi.
2)       Teori ini tidak memperhatikan kesulitan-kesulitan yang seringkali dihadapai oleh masyarakat/negara yang meskipun sudah memiliki kebutuhan berprestasi yang tinggi, tetapi tidak maju karena hambatan-hambatan struktural yang sering membelit mereka. Hambatan-hambatan stuktural tersebut sering kita lihat misalnya pada hambatan geografis, topografis bahkan idiologis. Orang-orang dengan kondisi stuktural yang ekstim tersebut sering kali tidak berdaya untuk berubah menjadi maju, padahal mereka sudah memiliki keinginan yang tinggi untuk berprestasi dan melakukan banyak hal untuk menopang kemajuan.
3)   Teori ini tidak merumuskan bagaimana cara mengukur motivasi berprestasi, karena di dalam setiap individu, kelompok dan komunitas masyarakat mempunyai dorongan  motif yang berbeda-beda.

2.3.  Kelebihan Teori Motivasi Berprestasi dari McClelland
Teori motivasi berprestasi dari McClelland untuk memperkuat dan membangkitkan kesadaran masyarakat tentang kemajuan pembangunan ekonomi pedesaan, dapat memberikan kesadaran pada pengambil kebijakan negara untuk membuat kebijakan agar para pribadi, kelompok dan masyarakat  di negara tersebut didorong untuk memiliki keinginan yang tinggi untuk berprestasi demi tercapainya kemajuan suatu negara. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara misalnya melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan untuk membangkitkan motivasi berprestasi. Hal ini dikemukan oleh Hasibuan (1990) dan Mangkunegara (2005)  bahwa motivasi terbentuk dari sikap seseorang dalam menghadapi situasi kerja, dan  merupakan suatu bentuk rangsangan dari luar. Motivasi dapat berupa benda atau bukan benda yang menimbulkan dorongan pada orang untuk memiliki, menikmati, menguasai atau mencapai apa yang menjadi tujuan itu.      
Tujuan-tujuan yang mendasari motivasi ditentukan sendiri oleh individu yang melakukannya, individu dianggap tergerak untuk mencapai tujuan karena motivasi intrinsik (keinginan beraktivitas atau meraih pencapaian tertentu semata-mata demi kesenangan atau kepuasan dari melakukan aktivitas tersebut), atau karena motivasi ekstrinsik, yakni keinginan untuk mengejar suatu tujuan yang diakibatkan oleh imbalan-imbalan eksternal (Wade dan Tavris, 2007).

III. IMPLIKASI PENDEKATAN TEORI McCLELLAND DALAM BIDANG              PEMBANGUNAN     PEDESAAN DAN PERTANIAN DI PROPINSI NTT

3.1. Implikasi dalam  Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian
Sistem pertanian yang diterapkan masyarakat di NTT umumnya masih bersifat subsisten dan dilakukan secara tradisional sesuai dengan karakteristik lokal masyarakat setempat, alat dan bahan yang digunakan dalam usaha taninya pun sangat sederhana. Kondisi ini disebabkan karena pemahaman petani yang tingkat pendidikannya sangat rendah (lebih di dominasi tamat SD dan tidak tamat SD) sehingga mereka masih mewariskan pola bercocok tanam yang ditinggalkan dari leluhurnya. Salah satu contoh petani di Kabupaten Alor yang pada umumnya masih mempercayai adanya tahun tikus dan bukan tahun tikus atau tahun ganjil dan tahun genap. Jika dianggap tahun tikus atau tahun ganjil maka petani tidak akan menyiapkan lahan untuk bercocok tanam pada musim penghujan, sedangkan jika dianggap tidak tahun tikus atau tahun genap maka petani akan menyiapkan lahannya untuk bercocok tanam pada musim penghujan secara tradisional dan menggunakan alat pertanian yang sederhana.
Berdasarkan ilustrasi ini maka menurut Irianto Gatot,(2009) diperlukan pola, strategi dan pedekatan peningkatan kesejahteraan petani dengan pendekatan berbasis teknologi (technological base), berbasis akses sumberdaya (resources access base) dan didukung basis politik pemasaran (marketing political base) yang proporsional. Di sisi lain Suryana (2006) menyatakan bahwa diperlukan sebuah inovasi atau kemampuan untuk menerapkan kreativitas dalam rangka memecahkan masalah dan menemukan peluang. Petani NTT tentu mempunyai naluri yang kuat untuk dapat meningkatkan produksi usaha pertaniannya. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu pendekatan melalui penyuluhan atau demonstrasi teknologi pertanian di lahan dengan model sekolah lapangan oleh Penyuluh Pertanian dan stakeholder lainnya, sehingga dapat merubah sikap dan perilaku petani agar petani mau dan mampu mengadopsi inovasi teknologi pertanian.
Sejalan dengan teori Mcclelland, sebenarnya bahwa dalam diri petani di NTT memiliki kemauan untuk berprestasi dan mau menguasai keterampilan dalam bidang pertanian (n-ACH), sebagai contoh adanya adopsi sistem persawahan secara terasering di Kabupaten Manggarai, pemanfaatan teknologi tepat guna di bidang pertanian antara lain pembuatan pupuk Bokashi, dan pemanfaatan kotoran sapi untuk biogas  seperti yang sudah berhasil diuji coba oleh (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTT di Desa Wolomasi, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende ataupun praktek olah lubang, olah jalur dan sistim wana tani di Kabupaten TTU yang dimobilisasi oleh Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM) dan program PIDRA (Participatory Integrated Development in Rainfed Areas).
Jika dilihat dari budaya petani NTT maka mereka memiliki rasa untuk menerima orang lain dalam hubungan kemanusian (n-AFFIL), hal ini dapat dilihat dengan terbentuknya kelompok-kelompok tani. Jika petani punya kesadaran dan kemauan yang kuat dalam berusaha tani dengan mengadopsi teknologi pertanian dan menerapkan di lahan pertaniannya, maka hal ini dapat menjadi sebuah kekuatan ekonomi bagi masyarakat tani di NTT (n-POW).

3.2. Implikasi dalam Pengelolaan Sumberdaya Pertanian Lahan Kering
Pola bertani masyarakat di NTT dalam pengelolaan sumberdaya pertanian lahan kering, dilakukan secara tradisional dengan sistim perladangan berotasi yang sering disebut juga sebagai perladangan berpindah (Swilddening) atau peladang tebas-bakar (Slash and burning farmer) dengan memanfaatkan kesuburan tanah hutan dan potensi lingkungan hutan/belukar yang relatif luas untuk kelangsungan hidupnya.Waktu rotasi berladang/berkebun 3 – 5 tahun untuk kembali pada lokasi kebun yang pertama, sedangkan dalam tenggang waktu tersebut kebun yang lainnya dibiarkan bera begitu saja. Kegiatan tebas–bakar dilakukan dengan menebang hutan/belukar dan membakarnya secara teratur atau biasanya disebut ” Kono ” (istilah lokal di Kabupaten TTU). Kegiatan ini dinilai oleh masyarakat sebagai teknologi sederhana dan murah karena memberikan hasil tanaman yang cukup baik selama 1-2 kali masa tanam pada lahan yang sama, sedangkan masa tanam berikutnya mereka sudah melakukan rotasi pada kawasan lahan lain. Hal ini kalau dibiarkan terus akan memberikan ancaman terhadap kelesetarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup (Woha, 2001).
Gambaran kondisi ini, jika dihubungkan dengan teori motivasi berprestasi dari McClelland menunjukkan bahwa keinginan untuk berprestasi dalam pengelolaan sumberdaya lahan kering cenderung bersifat statis dan masyarakat kurang berani untuk mengubah nasib. Dampaknya pada produktivitas hasil dari sumberdaya lahan kering di Propinsi NTT adalah belum tercukupinya  kebutuhan akan pangan bagi masyarakat. Hal lain karena dorongan untuk berprestasi secara eksternal dari lembaga penyuluhan belum optimal sehingga masyarakat masih ragu-ragu dalam mengubah pola bertani tersebut. Slamet (2000) berpendapat bahwa untuk menumbuhkan dan membina kemandiriannya, petani perlu diarahkan agar dengan kekuatan dan kemampuannya berupaya untuk bekerja sama dalam mencapai segala yang dibutuhkan dan diinginkan.
Implikasi dari teori motivasi berprsetasi dari McClelland adalah kemandirian, yang tidak diartikan sebagai anti terhadap kerja sama atau menolak saling keterkaitan dan ketergantungan. Sebaliknya, kemandirian justru menekankan perlunya kerja sama disertai tumbuh dan berkembangnya: aspirasi, kreativitas, keberanian menghadapi resiko (n-POW) dan prakarsa seseorang bertindak atas dasar kekuatan sendiri dalam kebersamaan (n-AFFIL). Aspirasi adalah dinamika untuk mencapai sesuatu dengan kerja keras atau ulet (n-ACH). Kreativitas adalah kecepatan menemukan pemecahan baru terhadap masalah-masalah yang dihadapinya. Berani menghadapi resiko adalah ciri petani yang rasional dengan ditandai oleh sifat inovatif yang senantiasa mencari peluang untuk meningkatkan kehidupannya dan memiliki kemampuan mengantisipasi masa depannya. Adapun prakarsa untuk bertindak adalah inisiatif untuk memulai suatu kegiatan ke arah tercapainya tujuan.

3.3. Implikasi dalam Bidang Pembangunan Ekonomi Pedesaan
Pembangunan ekonomi pedesaan ditentukan oleh faktor inovatif dari masyarakat lokal untuk berkreasi mencari cara-cara baru dalam meningkatkan usahanya.  Ekonomi pedesaan di NTT didominasi oleh bidang pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan. Pemerintah (n-POW) melalui upaya antara lain berupa: pembentukan  kelompok tani, KUAT (Kelompok Usaha Agribisnis Terpadu), PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan), LKMA (Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis), UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) telah memotivasi masyarakat pedesaan untuk berprestasi (n-ACH) meningkatkan perekonomiannya guna pengentasan kemiskinan. Selain itu, Pemerintah Daerah Provinsi NTT dengan program Desa Mandiri `Anggur Merah` (Anggaran Menuju Masyarakat Sejahtera) yang digulirkan dalam tahun 2011, diyakini akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat di pedesaan sehingga jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) masyarakat desa dapat terbentuk.
Sebagai contoh, produk perkebunan (kemiri, kopi, kacang mente dan kakao) di Kabupaten Belu dari tahun ke tahun semakin meningkat, demikian pula jumlah industri hasil pertanian dan kehutanan serta industri aneka (NTT Dalam Angkam2010). Lahan-lahan perkebunan baru telah dikembangkan dengan memanfaatkan lahan tidur. Juga munculnya industri skala rumah tangga (home industries) yang diprakarsai oleh ibu-ibu rumah tangga, bekerja dalam kelompok-kelompok usaha  untuk pengolahan hasil pertanian seperti pembuatan kripik pisang, emping jagung, minyak kelapa murni (virgin coconut oil) yang dapat meningkatkan ekonomi rumah tangga, sekaligus berimplikasi pada peningkatan ekonomi desa (n-AFFIL).

3.4. Implikasi dalam Bidang Pembangunan Sosial Pedesaan
Pembangunan sosial pedesaan akan berjalan seiring dengan pembangunan ekonominya. Indikatornya adalah tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat. Makin baik pembangunan ekonomi suatu desa, makin baik pula kepedulian masyarakat desa tersebut terhadap pendidikan dan kesehatan. Masyarakat termotivasi untuk terlibat dan berprestasi dalam pendidikan (n-ACH), misalnya yang terjadi di Kabupaten Belu ,masyarakat yang tamat pendidikan lanjutan atas, akademi dan sarjana semakin meningkat dari waktu ke waktu, karena ada motivasi yang besar untuk meningkatkan taraf pendidikan masyarakat.
Di bidang kesehatan, penyuluh kesehatan dan tenaga paramedis berperan penting dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat desa. Dalam upaya pengendalian pertumbuhan penduduk, yang salah satunya melalui program keluarga berencana, bidan desa dapat menjadi motivator bagi pasangan usia subur (PUS) untuk merencanakan jumlah anak dalam suatu keluarga. Paradigma banyak anak banyak rejeki mulai berubah menjadi paradigma keluarga sejahtera yang membatasi jumlah anak dalam satu keluarga. Program KB dapat diterima dengan baik (n-AFFIL) oleh masyarakat di Kabupaten Belu, ditandai dengan meningkatnya persentase akseptor KB terhadap PUS.Pengendalian angka kelahiran berpengaruh signifikan terhadap pembangunan sosial karena  secara tidak langsung antara lain akan menurunkan tingkat pengangguran, kemiskinan, kriminalitas, kepadatan penduduk, serta tekanan terhadap lingkungan hidup.

IV. PENUTUP

4.1.Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tentang pendekatan teori motivasi berprestasi dari McClelland dengan implikasinya terhadap pembangunan pedesaan dan pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur ini dapat disimpulkan bahwa:
1)     Ada hubungan yang signifikan antara teori motivasi berprestasi dari McClelland dengan pembangunan pedesaan dan pertanian dalam konsep peningkatan sumberdaya manusia sebagai human capital dan social capital di Propinsi NTT;
2)      Teori motivasi berprestasi dari McClelland dapat diimplikasikan untuk peningkatan kinerja pembangunan pedesaan dan pertanian di Propinsi NTT; dengan  pola komunikasi yang diterapkan  adalah komunikasi dua arah serta penerapan contoh di lapangan oleh para penyuluh  dan pendamping yang ditempatkan di desa-desa. Hal ini akan memicu peningkatan kapasitas modal manusia dan sosial dalam pembangunan pedesaan dan pertanian di Propinsi NTT.

4,2,Saran
1)       Pemerintah daerah melalui aparat desanya lebih giat lagi memberikan motivasi kepada masyarakat desa  agar mereka mau terlibat aktif dalam pembangunan ekonomi dan pedesaan.
2)     Penyuluhan pertanian tidak hanya terbatas diperuntukkan bagi petani dan keluarganya, tetapi juga bagi masyarakat pertanian yang lain; Demikian juga dengan penyuluhan bidang lainnya, agar lebih banyak dilakukan contoh-contoh di lapangan supaya masyarakat dapat melihat langsung bukti nyata. Dengan demikian masyarakat desa termotivasi untuk mengadopsi teknologi baru yang dapat meningkatkan perekonomian desa.
3)  Pemerintah daerah menyiapkan pasar untuk produk-produk pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, kehutanan dan hasil industri lainnya, sehingga hasil usaha masyarakat ini dapat terjamin keberlangsungannya sebagai pemicu berprestasi

DAFTAR PUSTAKA

Arjana, Ida Bagus. 2011. Materi Perkuliahan Kependudukan, Lingkungan dan Pembangunan. Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (IPSAL), Program Pasca Sarjana, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Badan Pusat Statistik. 2010. Nusa Tenggara Timur Dalam Angka. BPS Prop. NTT, Kupang
Blegur, Maxi. 2005. Pengalaman dan Tantangan Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Pertanian, Peran Energi, Rekomendasi Strategi untuk Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di Nusa Tenggara Timur. Kupang.
Etzioni, Amitai dan Etzioni, Eva. 1964. Social Change. Basic Book, New York
Hasibuan, M. 1990. Manajemen Sumberdaya Manusia. Haji Mas Agung,  Jakarta.
Irianto, Gatot. 2009. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air. Papas Sinanti, Jakarta
Mangkunegara, A. P. 2006. Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia. Refika Aditama, Bandung.
Slamet M. 2000. Memantapkan Posisi dan Meningkatkan Peran Penyuluhan Pembangunan dalam Pembangunan. Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Menuju Terwujudnya Masyarakat Madani.  25-26 September 2000, Bogor.
Soemarwoto, O. 2001. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan, Jakarta.
Suwarsono dan Alvin, Y.S.O. 2000. Perubahan Sosial dan Pembangunan, Cetakan ke-3 (Edisi Revisi). Pustaka LP3S Indonesia, Jakarta.
Todaro, Michael P. 1989. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Terjemahan. Erlangga, Bandung.
Woha. U. P. 2001. Pembangunan Pertanian Lahan Kering di Nusa Tenggara Timur, dalam Pembangunan Pertanian di Wilayah Kering Indonesia. Widya Sari, Salatiga.
Wade, Carol dan Tavris, Carol. 2007,  Psikologi: Jilid 2. Erlangga, Jakarta.

SEJARAH MUSIK SULING BAMBU DI TIMOR

Oleh:   Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si Sejarah tentang suling bambu sudah sedemikan lama dan erat kaitannya dengan peradaban manus...