Kamis, 01 Oktober 2009

SEKARANG KAMI BEBAS DARI PRAKTEK IJON

(SUCCSESS STORY-PENDAMPINGAN PROGRAM PIDRA DI KAB.TTU-NTT)
OLEH: Ir. Beny. Ulu Meak
Praktek ijon merupakan suatu bentuk bisnis dengan sistim gadai yang meresakan masyarakat di pedesaan karena akan membuat masyarakat terus terlilit utang dan terbelenggu dengan kemiskinan fungsional. Praktek ijon biasanya dilakukan oleh petani akibat kebutuhan yang mendesak dan mereka mengambil dan atau meminjam uang kepada rentenir di desa atau orang kaya dengan menggadai barangnya beruapa hasil usaha (sebelum masa panenan tiba).
Program PIDRA (Participatory Integrated Development In Rainfed Areas) yang telah dilaksanakan selama kurang lebih 5 (lima) tahun pendampingan di Desa kami (tahun 2003 -2008) telah memberikan perubahan yang cukup berarti bagi masyarakat karena “ sekarang kami bebas dari sistim ijon”. Pernyataan ini disampaikan oleh bapak Silvester Nufa, anggota Kelompok Mandiri Pria (KMP) Nekmese, Desa Humusu A, Kecamatan Insana Utara. Hal senada juga disampaikan oleh sebahagian anggota –anggota kelompok dampingan program PIDRA di desa-desa lainnya. Sejak awal sebelum adanya pendampingan dari program PIDRA, kami sangat tergantung dan hanya mengenal pedagang lokal (pedangang pengumpul) sebagai tempat menjual hasil dan meminjam uang jika ada kebutuhan keluarga yang mendesak seperti untuk biaya pendidikan anak, biaya kesehatan dan biaya urusan sosial (adat). Utang ini akan kami bayar setelah hasil panen kacang tanah, jagung dan panen asam bahkan juga setelah kami menjual ternak sapi peliharaan dalam bentuk paron (kereman). “Kami sangat membutuhkan uang itu walaupun dengan bunga pinjaman yang relatip tinggi 15 % dari pokok pinjaman”. Pernyataan ini disampaikan oleh ibu Lusia Kolo, anggota Kelompok Mandiri Wanita (KMW) Beringin Jaya Desa Tunnoe, Kecamatan Miomaffo Timur.
Gambaran aktual dari kondisi masyarakat seperti ini,merupakan focus perhatian dari program PIDRA sehingga sejak awal pendampingan anggota masyarakat yang didentifikasi sebagai orang miskin telah diorganisir menjadi kelompok afinitas untuk melakukan kegiatan Usaha Bersama Simpan Pinjam (UBSP) sehingga kelompok mempunyai dana umum yang dapat dipinjamkan kepada anggota untuk melakukan aktivitas usaha mikro ataupun kebutuhan yang mendesak di tingkat keluarga dan secara langsung telah mengurangi sistim ijon karena tempat meminjam bukan lagi di para ijon tersebut tetapi di kelompok mereka sendiri. Berikut penuturan ibu Theodara Sasi ,anggota KMW Bikuni, Desa Buk,Kecamatan Bikomi Tengah bahwa : “ dengan kami melaksanakan kegiatan UBSP di kelompok telah menghilangkan praktek ijon selama ini, apalagi bunga pinjaman di kelompok relatif lebih rendah hanya 5 % jika dibandingkan dengan kita memimjam uang di ijon dengan bunga pinjaman sebesar 15 % “.
Selanjutnya lewat berbagai pelatihan penguatan kapasitas masyarakat oleh para tenaga pendamping di lapangan (PPL/PTL dan Fasilitator-LSMP) tentang pengelolaan ekonomi rumah tangga dan pengembangan kemampuan usaha mikro ataupun pelatihan teknis tentang pemasaran hasil,inovasi teknologi terapan dan sistim budidaya tanaman dan ternak dari program PIDRA sendiri ataupun dinas/instansi teknis terkait telah memberikan perubahan yang mendasar kepada peserta program di desa-desa dampingan baik dari aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap agar anggota kelompok dampingan program PIDRA secara perlahan dengan kemampuan potensi yang mereka miliki dapat menolong diri mereka sendiri agar terlepas dari persoalan yang mereka hadapi.
Setelah mereka mengikuti pelatihan-pelatihan tersebut dan akhirnya mereka menyadari akan kekeliruan dari tindakan mereka untuk melakukan ijon dengan pedagang pengumpul ataupun orang kaya yang ada di desa. Hal ini disampaikan oleh bapak Paulus Koa ,anggota KMP Sahabat, Desa Sunsea Kecamatan Naibenu bahwa “ setelah saya mengikuti pelatihan modul pengelolaan usaha mikro oleh pendamping di desa dan pelatihan pemasaran hasil di tingkat Kabupaten. Saya memulai usaha penggemukan sapi potong secara tekun selama kurang lebih 8 (delapan) bulan kemudian saya jual ke pedagang penampung di kota Kefamenanu dengan harga yang layak yaitu Rp.17.500,- per kilogram berat hidupnya dibandingkan dengan jika saya jual ke ijon hanya Rp.15.000,- per kilogram berat hidup, sehingga keuntungan itu saya dapat melunasi pinjaman ke padagang pengumpul/ijon di desa kami.
Kami sekarang sadar dan tahu bahwa jika kita melakukan usaha mikro secara baik dan melakukan pemasaran hasil secara tepat maka kami akan untung dan dapat membiayai kebutuhan keluarga yang mendesak sekalipun. “ Sekarang kami tidak terikat lagi dengan sistim ijon dan bebas menjual hasil kepada pedagang penampung di Kabupaten apalagi kini kami telah diorganisir dengan pola pemasaran bersama yang dimotori oleh asosiasi pemasaran di wilayah Kecamatan kami sehingga nilai jual hasil usaha lebih tinggi dan menguntungkan buat kami sebagai anggota kelompok dampingan program PIDRA di desa. Saya bersyukur karena dengan masuknya program PIDRA di desa saya, sekarang saya merasa lega karena telah bebas dari ijon tutur ibu Godelita Kefi,anggota KMW Bunu, Desa Tuntun, Kecamatan Miomaffo Timur.
Pelajaran yang dapat dipetik dari kisah cerita di atas bahwa akses orang miskin dapat dikembangkan jika potensi yang dimiliki tersebut di kelolah secara baik dengan pendekatan yang tepat dan oleh mereka sendiri maka mereka akan sadar, mengerti dan berani untuk melakukan tindakan korektif dari apa yang mereka hadapi.

Senin, 31 Agustus 2009

MOBILISASI TABUNGAN BAGI MASYARAKAT, SIAPA BILANG ORANG MISKIN TIDAK DAPAT MENABUNG

(Catatan kritis pendampingan Program PIDRA)
Oleh:
Ir. Beny Ulu Meak

Distorsi Pandangan
Banyak orang beranggapan bahwa orang miskin terutama mereka yang bermukim di kawasan lahan kering, tadah hujan dan jauh dari akses pembangunan wilayah pedesaan adalah sosok manusia yang tidak berkemampuan dan selalu dihimpit oleh serba keterbatasan atau kekurangan (terutama dalam aspek ekonomi maupun ketahanan pangan). Hal lain bahwa karakter demikian jika kita melakukan upaya pendampingan dalam hal pemupukan modal dengan cara menabung dalam berkelompok akan sulit direalisasi karena orang miskin menghadapi kondisi ”lack of capability” artinya orang miskin tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk keluar dari belenggu kemiskinan itu sendiri (terutama bersifat struktural) tetapi mereka hanya mampu bertahan hidup dalam berbagai keterbatasan yang mereka hadapi. Hal ini telah ditepis oleh program PIDRA (Participatory Integrated Development in Rainfed Areas) di Kabupaten Timor Tengah Utara Propinsi NTT,ternyata orang miskin memiliki sikap gotong-royong dan kesetiakawanan yang tinggi bahkan mempunyai semangat dalam melakukan upaya menabung di kelompok untuk secara bersama dijadikan dana umum yang akan dipinjamkan lagi kepada anggota lain yang membutuhkan sebagai modal untuk pengembangan usaha mikro di pedesaan.

Prinsip Menabung
Dalam pendampingan program PIDRA agar dapat membangun sikap untuk membiasakan anggota kelompok untuk menabung dilakukan dengan pola manajemen penguatan Capacity Building dengan pelatihan modul-modul penguatan kapasitas antara lain: (1).Konsep dasar dan tujuan berkelompok,(2).Tanggung jawab anggota dan pengurus kelompok,(3).Pertemuan Kelompok,(4).Membangun Visi dan Misi Kelompok, (5).Peraturan kelompok, (6).Analisis Sumber Kredit Lokal, (7).Pembukuan kelompok,(8).Komunikasi dan membangun kerjasama kelompok, (9).Kesatuan dan afinitas (persatuan dan tindakan), (10). Pengelolaan Ekonomi Rumah Tangga; Hal ini dapat memberikan keyakinan kepada orang miskin bahwa dengan menabung ”kita dapat memperoleh potensi yang besar untuk menolong diri kita sendiri ”. Prinsip yang dikembangkan bahwa:
Pertama :Tabungan adalah bagian dari pengeluaran bukan sisa dari pengeluaran dengan rumus PENDAPATAN – TABUNGAN = PENGELUARAN. Kondisi ini telah memberikan pemahaman kepada orang miskin jika mereka memperoleh uang (pendapatan) hal yang dilakukan adalah menabung dan sisa uang dari tabungan tersebut selanjutnya dapat dipergunakan untuk pengeluaran/pembelanjaan kebutuhan sehari-hari;
Kedua : Pinjaman yang diberikan kepada anggota kelompok pemanfaatannya tidak dibatasi tergantung dari tingkat kebutuhan yang ada atau jenis usaha mikro yang dikembangkan. Hal ini memberikan perubahan rasa percaya diri yang kuat bagi orang miskin karena mereka memperoleh kebebasan dan peluang dari kegiatan tabungan itu, apalagi bunga pinjamannya relatif tidak memberatkan mereka;
Ketiga : Segala transaksi keuangan dapat dilakukan pada saat rapat rutin anggota yang disepakati ataupun bagi yang mendesak kebutuhannya dapat dilakukan transaksi pinjaman kapan saja, sehingga kondisi ini telah memberikan rasa kesetiakawanan yang kuat ataupun jiwa afinitas dalam pengembangan komunikasi anggota kelompok;
Keempat : Manajemen tabungan dilakukan secara terbuka dan melalui pola musyawarah mufakat antara sesama anggota kelompok dengan beberapa langkah strategis oleh pendamping (Fasilitator,PPL/PTL) agar dapat memberikan dorongan kepada anggota kelompok untuk selalu rajin dalam menabung di kelompoknya;
Kelima : Setiap anggota kelompok dapat melakukan upaya pemecahan masalah kepada anggota lainnya yang tidak mampu mengembalikan pinjaman atau terjadi tunggakan dalam pengembalian kelompok.

Danpak yang diperoleh orang miskin lewat kegiatan menabung
Dari pola pendampingan dan prinsip yang dikembangkan oleh program PIDRA bagi orang miskin telah memberikan perubahan yang cukup signifikan dengan upaya kemandirian kelompok antara lain:
1. Dana yang ada di kelompok telah dijadikan sumber modal bagi orang miskin untuk memnuhi berbagai kebutuhan keluarganya dengan waktu yang relatif singkat dan selalu tersedia;
2. Penggunaan pinjaman telah bergeser dari yang dahulunya hanya untuk kegiatan konsuntif saja tetapi dapat berubah menuju ke kegiatan produktif (usaha mikro);
3. Tabungan kelompok telah menjadi suatu ikatan atau perekat bagi anggota masyarakat dalam berkelompok karena mereka memiliki investasi yang sama dengan peluang yang sama pula;
4. Kelompok telah mempunyai kemampuan yang baik untuk melakukan hubungan kemitraan usaha dengan pihak luar akibat adanya dana tabungan kelompok tersebut dapat dijadikan jaminan bagi pihak luar; dan kebiasaan pinjam ke rentenir telah hilang;
5. Kegiatan tabungan kelompok telah menjadi embrio dalam pengembangan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di tingkat desa.


Pelajaran yang dipetik

Hal yang menarik dari pengalaman pendampingan program PIDRA di Kabupaten Timor Tengah Utara, Propinsi Nusa Tenggara Timur dalam penguatan kapasitas bagi orang miskin yaitu: Motivasi bagi masyarakat miskin merupakan suatu proses yang berkesinambungan artinya bahwa dalam suatu proses menuntut adanya suatu pentahapan sasaran yang merupakan prasyarat bagi tercapainya pengembangan masyarakat yang meliputi mempersatukan kemampuan setempat, meningkatkan mutu kemampuan dan melestarikan kemampuan tersebut. Sekecil apapun masyarakat desa adalah memiliki potensi yang dapat dikembangkan dan potensi yang kecil akan menjadi besar bila disatukan dan ditata secara cermat.

Jumat, 31 Juli 2009

MODEL PENANGANAN LAHAN KERING DI DESA DAMPINGAN PROGRAM PIDRA DI KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA-NTT

(Solusi Pengelolaan Sumber Daya Alam)
Oleh:
Ir. Beny. Ulu Meak
Manager PIDRA-Kab.TTU-NTT



Pendahuluan
Lahan pertanian di Kabupaten TTU dan khususnya desa-desa dampiingan program PIDRA didominasi oleh lahan kering (80 %) serta mempunyai tingkat kesuburan tanah yang rendah dan dengan derajat kemiringan dapat mencapai 40 %. Dari sifat-sifat fisik alamiah dari kawasan ini juga telah turut membentuk karakter usahatani lahan kering yang akhirnya telah memberi gambaran petani yang secara ekonomik tergolong sebagai petani miskin. Namun demikian mengingat sebahagian penduduk menggantungkan hidupnya pada usaha tani lahan kering maka sudah sepantasnya program PIDRA dapat membantu para petani dengan penanganan dan pengelolaan lahan kering secara baik agar agar ekologis tidak rusak dan tercapai produktifitas lahan tersebut sehingga tingkat ketersediaan pangan jangka panjang dapat dipenuhi.

Karaktaristik dan Ciri-ciri Lahan Kering
Karakteristik umum mengenai sumberdaya lahan dan iklim dari kawasan ini yang berhubungan dengan sistem usahatani setempat antara lain : jumlah curah hujan yang sangat rendah (700 – 1500 mm/tahun); jumlah bulan kering yang sangat singkat (8 – 9 bulan/ Maret – November); sifat curah hujan yang eratik dalam bulan basah (hujan yang tidak merata, namun pada waktu tertentu mengalami jumlah curah hujan yang sangat tinggi dan dapat menimbulkan banjir/genangan yang tidak menguntungkan bagi usahatani); suhu harian yang rata-rata antara 30 sampai 32°C; topografi yang berbukit sampai bergunung; memiliki tanah-tanah muda (entisol dan inseptisol) yang bersolum tipis..
Ciri-ciri usahatani lahan kering adalah sebagai berikut : (i) produktifitas yang sangat rendah; (ii) tanaman yang ditanam adalah jagung, ubi-ubian dan kacang-kacangan (umumnya jagung merupakan tanaman utama); (iii) mixed cropping (sebagai strategi antisipasi gagal panen; (iv) low input; (v) teknologi budidaya yang tradisional (manual); (vi) penguasaan lahan yang terbatas karena kendala tenaga kerja; serta (vii) cenderung menerapkan ladang berpindah yang berotasi (sebagai upaya penyembuhan lahan secara tradisonal). Komplikasi antara dari sifat alamiah kondisi biofisik wilayah serta keadaan usahatani yang telah disebutkan, maka profil usahatani lahan kering di dapat ditemui sebagai berikut : (i) menanam pada lahan-lahan miring yang rentan terhadap kualitas tanah; (ii) persiapan lahan yang didahului dengan pembakaran lahan; (iii) menanam tanpa olah tanah; (iv) sering mengalami gagal panen akibat kekeringan; (iv) musim tanam hanya sekali setahun (antara bulan Desembar dan Maret) (v) serta menggunakan varietas lokal secara turun-temurun.

Gangguan –gangguan Curah Hujan dan teknologi anjuranMusim tanam di sebagian besar wilayah Kab. TTU umumnya pada akhir bulan Oktober dan waktu panen jatuh pada akhir Maret atau awal April. Petani mengambil keputusan waktu tanam biasanya bila curah hujan normal selama tiga hari berturut-turut, dengan demikian petani untuk memutuskan waktu tanam tergantung curah hujan yang ada. Dari karateristik sumberdaya lahan dan usahatani yang telah dipaparkan di atas, menunujukkan bahwa, sebagian besar usahatani di wilayah Kab. TTU sering menghadapi gangguan-gangguan curah hujan sehingga mengalami penurunan produksi pangan bahkan menimbulkan gagal panen. Terdapat empat bentuk gangguan curah hujan pada usahatani lahan kering maupun lahan sawah yang umum terjadi yaitu:. Pertama, ketidak-pastian waktu tanam. Yakni suatu keadaan dimana jatuhnya curah hujan mengalami keterlambatan dan tidak memiliki tanda-tanda alamiah yang bisa dideteksi oleh petani. Keadaan ini telah menjadi hal yang sering terjadi. Resiko dari keadaan ini biasanya petani mengalami penanaman yang terlambat, namun biasanya mengalami kekeringan di fase pengisian biji karena waktu musim hujan telah berakhir. Kedua, gangguan curah hujan setelah petani telah melaksanakan penanaman. Keadaan ini pada awal musim hujan turun secara normal dan petani telah mengambil sikap untuk menaman. Pada saat tanaman mulai tumbuh (fase juvenil) curah hujan telah mengalami gangguan (± 3 – 4 dasarian tidak mengalami hujan). Pada keadaan ini sering petani menanam beberapa kali secara spekulatif untuk menggantikan tanaman yang telah mengalami kekeringan. Pada keadaan ini biasanya petani mengalami gagal panen secara permanen. Ketiga, Keadaan curah hujan yang berhenti menjelang memasuki fase berbunga atau fase pengisian biji. Keadaan ini yang sering dialami oleh petani . Namun keadaan ini umumnya berdampak pada penurunan hasil, dan tidak gagal panen. Dalam keadaan ini, walaupun jagung mengalami gangguan penurunan produksi, namun kacang-kacangan dan ubi-ubian tidak mengalami gangguan produksi yang signifikan. Keempat, adalah keadaan keterbatasan curah hujan yang ekstrim sampai sangat ekstrim. Pada kedua keadaan ini, sejak awal musim hujan tidak menunjukkan signal akan adanya curah hujan, walaupun secara mikro-lokal pada wilayah-wilayah tertentu mengalami turun hujan namun jumlahnya tidak memadai. Suhu udara cukup tinggi (antara 29 sampai 32°C). Keadaan ini merupakan kondisi yang luar biasa, dan biasanya hanya dalam kurun waktu tertentu (biasanya 15 tahun sekali). Dampak keadaan ini tidak hanya dirasakan untuk sektor pertanian saja. Debit air pada wilayah-wilayah irigasi tertentu serta sungai-sungai mengalami penurunan secara drastis. Jika mengalami keadaan ini umumnya petani mengalami gagal panen.
Oleh karena itu, strategi mengahadapi ancaman kekeringan untuk waktu ke depan didasari atas dua skenario iklim yaitu curah yang masih cukup sampai akhir April dan keadaan segera berakhirnya musim hujan pada awal April.
(a). Tekologi anjuran pada keadaan curah yang masih cukup sampai akhir April Karena
memungkinkan untuk masih bisa menanam tanaman berumur pendek maka dianjurkan menanam jenis kacang-kacangan dan sebaiknya jenis kacang hijau. Orientasi dari penerapan teknologi pada skenario pertama adalah produksi pangan untuk keluarga;
(b). Tekologi anjuran pada keadaan segera berakhirnya musim hujan (awal April) lebih ditekankan pada teknologi untuk menciptakan nilai tambah, dan sebaiknya tidak diarahkan untuk penanaman. Alasan utama tidak menanam adalah karena tidak tersedianya lengas tanah yang memadai untuk jangka waktu satu musim produksi. Selain itu, penekanan pada peningkatan nilai tambah karena petani-petani juga memliki tanaman-tanaman keras yang sudah berproduksi dan tidak banyak berpengaruh pada akibat gangguan curah hujan. Tanaman-tanaman keras yang umum dimiliki oleh petani dan berada pada masa produksi untuk jangka waktu ini antara lain, Kelapa, Pisang dan Mente yang nantinya dapat diolah menjadi produk yang bernilai ekonomis. Selain itu, meningkatkan mutu pemeliharaan ternak seperti ayam buras (untuk daging dan telur), kambing, babi dan sapi.yang lebih beroerientasi pada pendapatan (uang cash).

Teknologi Terasering
Perlakuan teknologi terasering dapat dilakukan pada lahan yang mempunyai kemiringan 10 – 40 % dengan didahului dengan penentuan garis kontur (metode bingkai A), selanjutnya lahan tersebut dapat diangkat tanahnya menjadi bangunan teras guludan, kredit ataupun bangku yang disesuaikan dengan kondisi lahan tersebut maupun kemampuan petani. Pada lahan demikian dapat pula dilengkapi dengan Saluran Pembuangan Air (SPA) maupun bangunan terjunan air ( drop structur) agar tingkat erosi dapat diminimalkan karena laju aliran air pada permukaan tanah tidak terkikis. Teras yang telah dibuat diharuskan untuk menanam tanaman penguat teras yang tahan kekeringan berupa ; Lantoro, turi, gamal, kaliandra atupun rumput gajah (Pennisetum purpereum) maupun rumput raja (King Grass) yang nantinya dapat berguna untuk pakan ternak.

Teknologi Olah Jalur dan olah lubang
Teknologi olah jalur dan olah lubang adalah cara mengolah kebun secara terbatas dimana sebagian dari kebun akan diolah secara intensif terutama di kawasan lahan yang berbatu dan miring yang mudah terkena erosi. Teknologi pengolahan lahan dengan olah jalur dan olah lubang biasanya dilakukan pada lahan-lahan yang telah dibuat bangunan teras (kredit/tembok batu, bangku maupun guludan) terlebih dahulu. Teknologi olah jalur di buat pada meja teras yang telah dibentuk dengan jarak kurang lebih satu meter atau dibawah garis kontur teras dibuat jalur-jalur/parit-parit kecil dengan ukuran lebar dan dalam 30 x 30 Cm kemudian dibenamkan pupuk campuran berupa pupuk kandang, kompos dan pupuk hijau yang telah disiapkan sebelumnya. Kemudian ditanam dengan tanaman semusim (jagung, kacang-kacangan dan ubi-ubian) dan tetap menjaga teras agar erosi dapat dikendalikan pada jalur tersebut.
Teknologi olah lubang merupakan modifikasi dari olah jalur dimana pada meja teras dibuat lubang-lubang dengan ukuran lebar dan dalam 30 x 30 Cm dengan jarak antar lubang dan deretan lubang sebesar satu meter selanjutnya dibenamkan pupuk organik dan ditanami dengan tanaman semusim. Biasanya teknologi olah jalur dapat digunakan 2 – 4 tahun dan menggunakan pupuk organik yang banyak sedangkan untuk olah lubang hanya dapat digunakan sekali tanam saja dan dengan pupuk organik yang lebih sedikit. Keuntungan dari sistim ini adalah dapat mengurangi kecepatan aliran air pada bidang teras dan dapat menampung air dengan adanya parit maupun lubang tanaman pokok. Disamping itu dapat meningkatkan produktivitas tanaman .

Pembenaman bahan organik
Bahan organik baik itu berupa pupuk kandang, kompos maupun pupuk hijau jika diberikan ke dalam tanah akan memperbaiki struktur tanah. Ruang pori tanah akan semakin banyak , sehingga kapasitas infiltrasi akan meningkat akibatnnya kelembaban tanah akan meningkat . Disamping itu bahan organik juga mampu memegang air tanah juga dengan kuat sehingga kehilangan air dalam bentuk penguapan dan run off akan menurun.

Pemberian mulsa
Pemberian mulsa dapat dilakukan dengan menghamparkan jerami rumput-rumputan atau daun-daunan diatas permukaan tanah yang ditanami dengan tanaman pangan (palawija), buah-buahan atau sayur-sayuran.Tindakan ini juga dapat mencegah erosi karena mulsa dapat mencegah erosi dengan mematahkan energi air hujan yang dapat merusak struktur tanah dan mencegah run-off.serta memperbesar infiltrasi akibatnya ketersedian air bagi tanaman dapat ditingkatkan karena fluktuasi suhu didalam tanah rendah sehingga evaporasi rendah.

Kebun Menetap dengan Pola usaha tani konservasi
a) Sistim Pertanaman Lorong (Alley Cropping) : Kebun menetap dengan pertanaman lorong (alley cropping) adalah usahatani terintegrasi yang umumnya sudah dilaksanakan oleh petani dengan menanam tanaman semusim, juga ada tanaman tahunan (buah-buahan dan perkebunan) serta tanaman makanan ternak (pakan).
b) Sistim tegal Pekarangan ; Kebun menetap dengan tegal pekarangan biasanya dilakukan pada lahan dengan kemiringan kurang dari 15 % dan telah dibuat bangunan terasering terlebih dahulu dengan menanam tanaman semusim yang meninggalkan tanaman keras yang memberikan hasil tahunan yang ditanam teratur sepanjang galengan dan sebagian bidang olah atau meja teras.
c) Usahatani konservasi Tanah terpadu (Joint Conservation Farming); Kebun menetap dengan menterpadukan penanaman tanaman semusim, tanaman tahunan dan tanaman penguat teras/ pakan ternak dan pemeliharaan ternak seperti kambing dan sapi di lahan tersebut. Dimana ternak yang dipelihara dapat memanfaatkan pakan dari tanaman penguat teras dan kotoran ternak dapat dipergunakan lagi sebagai pupuk kandang untuk menyuburkan lahan tersebut.
d) Wana tani (Agrosilvopastoral); Kebun menetap dengan menterpadukan penanaman tanaman semusim, tanaman tahunan, tanaman pepohonan dan tanaman penguat teras/ pakan ternak serta pemeliharaan ternak seperti kambing dan sapi di lahan tersebut. Dimana ternak yang dipelihara dapat memanfaatkan pakan dari tanaman penguat teras dan kotoran ternak dapat dipergunakan lagi sebagai pupuk kandang untuk menyuburkan lahan tersebut.

Penutup
Solusi strategis untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat di wilayah lahan kering adalah mengoptimalkan pengelolaan lahan kering dengan berbagai model desiminasi teknologi yang dianggap sesuai dan dapat dilaksanakan oleh petani itu sendiri.

Selasa, 23 Juni 2009

PENELITIAN OLEH PETANI

(Solusi Percepatan Proses Desiminasi Inovasi Teknologi Pertanian)

OLEH: Ir. Beny. Ulu Meak

Ketertinggalan petani dalam berusaha tani selama ini bukan hanya pada hasil inovasi teknologi pertanian yang baru bahkan terhadap teknologi yang lama juga jauh tertinggal.Oleh karena itu, diperlukan percepatan penyampaian teknologi pertanian hingga ke petani dengan menerjunkan peneliti langsung ke desa dan langsung mempraktekannya bersama petani. Ironisnya lagi dari berbagai hasil penelitian di bidang pertanian disinyalir bahwa belum banyak hasil penelitian itu yang disumbangkan langsung ke petani. Hal ini mengisyaratkan bahwa teknologi yang dihasilkan itu belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh para petani dalam berusaha tani karena untuk mempercepat penyampaian hasil penelitian ke petani tidak bisa dilakukan sendirian oleh peneliti namun perlu ada kerjasama yang baik dengan petani untuk mendekatkan penyampaian inovasi teknologi pertanian yang akan diterapkan. Dalam rangka mempercepat proses adaptasi dan adopsi teknologi oleh petani dan untuk menyakinkan agar petani merasa memiliki teknologi tersebut, maka sudah sepantasnya jika teknologi itu dapat direncanakan dan dilaksanakan oleh petani secara mandiri atau lebih di kenal dengan rancangan Penelitian oleh Petani (PoP) atau Farmers Lead Research (FLR). Agenda PoP ini biasanya disusun dan dirancang oleh petani sedangkan penyuluh pertanian lapangan (pendamping) akan bertindak sebagai fasilitator. Dalam kegiatan ini sebaiknya melibatkan pihak Perguruan Tinggi ataupun lembaga penelitian lokal/institusi lainnya sebagai peneliti utama, sedangkan petani secara berkelompok akan bertindak sebagai pelaksana utama dari kegiatan penelitian itu.
Petani yang terwadah dalam kelompok akan merumuskan pemecahan masalah berdasarkan perpaduan pengetahuan lokal dan merekomendasikan dari pendamping lapangan maupun fasilitator, menguji dan mengadaptasikan teknik yang sudah dirumuskan. Kesemua langkah ini diharapkan dapat memperbaiki keadaan sistem usaha tani, meningkatkan pendapatan petani dan melestarikan penggunaan sumberdaya lahan/lingkungan. Penelitan oleh Petani (PoP) adalah suatu pengujian gagasan atau teknologi baru yang ingin diterapkan atau dipelajari oleh anggota kelompok dalam skala kecil sebelum dipakai atau dilaksanakan dalam skala yang lebih luas.Manfaat dari PoP adalah :
1. Meningkatkan ketrampilan anggota kelompok dalam membuktikan hal yang baru;
2. Melakukan penyesuaian teknologi dengan keinginan dan keadaan setempat;
3. Mengurangi resiko kegagalan dalam berusaha tani;
4. Membuat contoh yang bisa dipelajari dan ditiru oleh anggota kelompok / petani lain di dalam wilayah Desa;
5. Menilai pengalaman dan teknologi yang bisa diterapkan petani sebelumnya.

Agar PoP dapat memberikan dampak yang posetif maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Bahan dan alat yang akan digunakan dalam penelitian tersedia di desa;
2. Rancangan penelitian sederhana dan dirumuskan bersama dengan petani;
3. Gagasan yang akan di coba sebaiknya menggunakan faktor perlakuan yang sederhana;
4. Indikatornya/parameter tidak banyak sehingga mudah dalam pengamatan, dapat diukur dan dibandingkan;
5. Penelitan tidak memerlukan perlakuan yang khusus;
6. Penelitan dapat dilakukan sesuai jadwal petani dan cocok dengan kondisi agroklimat maupun agroekosistem setempat;
7. Sebaiknya penelitian dilakukan di kebun milik anggota kelompok sehingga petani lebih merasa memiliki penelitan dan bertanggung jawab terhadap jalannya penelitan;
8. Rancangan teknis PoP ini sudah harus disiapkan oleh anggota Kelompok sebelum musim tanam tiba agar waktu pelaksanaan dan pengamatan di lapangan dapat dilakukan dengan jenis usaha tani yang ditentukan .
Penelitian oleh Petani diawali dengan identifikasi masalah, perumusan pemecahan masalah, implementasi dan monitoring serta evaluasi masalah dan hasil yang berkaitan dengan penerapan teknologi akan didokumentasikan oleh petani dan difasilitasi oleh pendamping lapang/fasilitator maupun peneliti utama. Tahapan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Pendamping Lapangan/fasilitator mendokumentasikan berbagai bentuk praktek pertanian terutama yang berkaitan dengan kondisi usaha tani yang ada;
2. Petani yang tergabung di dalam kelompok difasilitasi oleh pendamping lapangan/fasilitator untuk mengidentifikasikan masalah utama/prioritas yang berhubungan dengan sistem usahatani;
3. Selanjutnya kelompok difasilitasi untuk menemukan solusi dari masalah yang teridentifikasi berdasarkan pengetahuan lokal mereka;
4. Solusi yang berdasarkan pengetahuan lokal ini dipadukan dengan solusi yang berdasarkan hasil penelitian dilokasi setempat, maupun dari lokasi lain yang mempunyai masalah serupa;
5. Selanjutnya dilakukan pengkajian tentang implikasi penerapan teknik yang dirumuskan. Apakah petani mampu berinventasi secara finansial dan apakah bahan yang diperlukan untuk penelitian dapat diakses oleh petani. Diupayakan agar dalam penerapan teknologi sebanyak mungkin digunakan bahan lokal;
6. Kelompok selanjutnya membentuk panitia pelaksana penelitian yang anggotanya berasal dari kelompok. Panitia ini bertugas sebagai pelaksana penelitian dan mengkomunikasikan kemajuan serta hasil penelitian kepada anggota kelompok dan masyarakat sekitarnya. Panitia ini selalu didampingi oleh fasilitatator dalam penerapan PoP, monitoring dan evaluasi.
7. Peneliti utama akan bertugas untuk menfasilitasi proses penyusunan rancangan penelitian bersama petani dan pendamping lapangan;
8. Pelaporan dan hasil analisis akan didokumentasikan oleh peneliti utama berdasarkan data hasil pengukuran kegiatan penelitian tersebut;

PoP ditargetkan berlangsung sekurang-kurangnya disesuaikan dengan masa waktu kegiatan usaha tani tersebut dan untuk aspek penelitian dapat dilakukan untuk kegiatan yang sama jika itu bersifat lanjutan atau yang dirubah sesuai dengan kebutuhan dan masalah yang berkembang. PoP yang berhubungan dengan tanaman pangan maka luas lahan yang digunakan untuk penelitian sekurang-kurangnya 0,25 ha dan luasan ini dapat bertambah disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Pada hamparan kegiatan penelitian tersebut dapat dibandingkan beberapa perlakuan. Misalnya praktek yang biasa dilakukan oleh petani, anjuran teknologi berdasarkan penelitian dan perlakuan transisi antara teknik petani dengan anjuran. Tiga perlakuan ini dapat diulangi beberapa kali sehingga luas lahan untuk keperluan pembelajaran akan menjadi lebih besar sesuai dengan jumlah ulangan. Penelitian bisa dilakukan pada sebidang lahan (lahan kelompok/desa) tetapi bisa pula disebar pada lahan anggota kelompok. Penelitan yang disebar (satu ulangan pada satu lahan petani) mempunyai keuntungan berupa tercakupnya variasi kesuburan tanah.
Semoga model penelitian ini dapat memberikan solusi untuk proses percepatan desiminasi teknologi kepada petani dalam rangka peningkatan produktivitas/produksi usaha tani dan pada akhirnya dapat memberikan kontibusi yang positip untuk peningkatan pendapatan dan ketahanan pangan di pedesaan.

Selasa, 16 Juni 2009

DESKRIPSI DAN PELAKSANAAN PROGRAM PIDRA

A. Deskripsi Program

Pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam program PIDRA, dilakukan dengan model pendampingan yang intensif di tingkat lapangan oleh aparat pelaksana (Penyuluh Pertanian Lapangan/Petugas Teknis Lapangan) yang mempunyai pengalaman dalam ketrampilan teknis budidaya dan pengolahan hasil pertanian dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (Fasilitator-LSM Pelaksana) yang mempunyai pengalaman khusus dalam penumbuhan dan penguatan masyarakat/kelompok melalui kerjasama kemitraan. Kegiatan strategis yang dikembangkan dalam proses pemberdayaan masyarakat program PIDRA pada fase I (tahun 2001 s/d 2004) adalah : menumbuhkan dan memperkuat kapasitas kemampuan anggota kelompok yang terdiri atas kepala keluarga miskin di desa dampingan yang tergabung dalam Kelompok Mandiri Pria (KMP), Kelompok Mandiri Wanita (KMW), Kelompok Mandiri Campuran (KMC) serta kelembagaan Tim Pelaksana Pembangunan Prasarana Desa (TP3D), Perkumpulan Pelaksana DAS Mikro (P2DM) dan identifikasi ataupun kaderisasi tenaga relawan/VCO (Volunter Community Organiser). Pada tahap ini, KM (Kelompok Mandiri) didorong untuk membiayai usahanya sendiri melalui pola tabungan, usaha produktif/mikro yang kemudian dipromosikan untuk mendapatkan dana hibah prestasi (Matching Grant). KM yang telah berkembang dengan baik, akan mampu membuat akses lebih luas kepada jaringan usaha maupun sumber permodalan lainnya.
Pada Fase II (tahun 2005 – 2008) pendampingan diarahkan untuk meneruskan pembinaan kegiatan KM yang telah terbentuk dengan pengembangan usaha dan kredit mikro, memperkuat peranan masyarakat melalui pembentukan lembaga masyarakat yang akan menangani kegiatan ekonomi dan pembangunan wilayah seperti fasilitasi penguatan KM dan pembentukan Federasi atau gabungan kelompok di dalam desa yang diarahkan legalitasnya menjadi koperasi primer dan pengembangan Lembaga Keuangan Mikro (LKM), Memperkuat Lembaga Pembangunan Desa (LPD) yang merupakan gabungan/restrukturisasi dari TP3D-P2DM (Kelembagaan fase I) serta mengembangkan kerjasama kemitraan antara KM dan Federasi dengan lembaga-lembaga yang bergerak dibidang sosial, ekonomi maupun pemasaran seperti pihak swasta, BUMN/BUMD,Lembaga Swadaya Masyarakat, Bank, Perguruan Tinggi dan Pemerintah (Desa, Kecamatan,Kabupaten).
Pelaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat dan jender dalam pelaksanaan komponen program, dilakukan melalui kerjasama pendampingan yang intensip oleh aparat pelaksana dan LSM melalui kerjasama kemitraan. Kegiatan yang strategis yang telah dikembangkan dalam proses pemberdayaan masyarakat adalah : Menumbuhkan kelembagaan masyarakat (KM,Federasi,LPD), Menfasilitasi pembinaan kegiatan KM yang telah terbentuk dengan pengembangan usaha dan kredit mikro, memperkuat peranan masyarakat melalui pembentukan lembaga masyarakat yang akan menangani kegiatan ekonomi dan pembangunan wilayah seperti fasilitasi penguatan KM menuju koperasi primer, pembentukan Federasi antar KM yang diarahkan kegiatannya menjadi koperasi Sekunder, Lembaga Pembangunan Desa (LPD) dan mengembangkan kerjasama kemitraan antara KM, Federasi dengan lembaga-lembaga yang bergerak dibidang sosial dan ekonomi seperti pihak swasta, lembaga Swadaya Masyarakat, perbangkan dan pemerintah daerah. Mengembangkan kegiatan pengelolaan SDA berbasis masyarakat dan membangun partisipasi masyarakat dalam pembangunan fisik prasarana pedesaan.
Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowering) sering disebut juga sebagai pengembangan masyarakat (Community Development) /CD lebih ditekankan kepada upaya pemenuhan kebutuhan oleh masyarakat itu sendiri (Community based service) dengan ide utamanya dalam program PIDRA adalah kemandirian (Selp help), keberlanjutan (Suistainable) dan peningkatan pendapatan (in come generating capacity) oleh sebab itu pemberdayaan masyarakat dalam pendampingan diselenggarakan untuk mencapai kondisi masyarakat dimana transformasi sosial, ekologi dan ekonomi dapat dilaksanakan oleh masyarakat itu sendiri secara berkelanjutan dan adanya peningkatan taraf hidup masyarakat atau paling tidak mengarah kepada pengurangan kemiskinan secara riil.
Pemberdayaan dalam program PIDRA bukan dijadikan sebuah prinsip melainkan harus menjadi suatu tujuan dari pengembangan masyarakat oleh karena itu strategi pemberdayaan dilakukan dengan penguatan kapasitas yang berarti menfasilitasi terhadap kelembagaan lokal yang tumbuh berdasarkan afinitas dan merupakan wadah untuk pengembangan modal sosial dengan membangun kesempatan, pengetahuan dan keterampilan agar mereka dapat meningkatkan kapasitas itu untuk mengelola potensi sumberdaya mereka, menolong dirinya sendiri dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dengan tidak tergantung kepada pihak luar.
Secara detail analisis deskripsi-kontekstual program PIDRA yang dilaksanakan di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dapat disimpulkan sebagai berikut :



  1. Fokus kegiatan berbasis kepada pengembangan kawasan lahan kering/tadah hujan secara terpadu melalui pemberdayaan masyarakat dan wanita pedesaan dalam pembagunan wilayah Desa dan perbaikan taraf hidup keluarga;


  2. Adanya bimbingan dan pendampingan (PPL/PTL dan F-LSMP) untuk bersama memperbaiki kapasitas kelembagaan masyarakat dengan mendayagunakan seluruh potensi sumber daya alam yang belum tergali secara optimal dan mewujudkan kemandirian serta keberlanjutan;


  3. Dukungan program diberikan secara berkelompok yang berbasis pada usaha tani lahan kering untuk meningkatkan kompetensi kerja (on farm, of farm,non farm) dalam kontribusi untuk menghasilkan pendapatan;


  4. Fasilisasi pemerintah, swasta dan LSM memberikan kemudahan dan menciptakan iklim usaha yang dapat mendorong berkembangnya bidang usaha produksi pertanian dan pembangunan desa;


  5. Penekanan program kepada keluarga miskin dengan tidak memanjakan kepada prilaku ketergantungan tetapi lebih diarahkan kepada proses mewujudkan motivasi /gairah kerja dalam meningkatkan keterampilan dan semangat berinisiatif.




  6. B. Visi ,Misi dan Tujuan Program
    Visi Program PIDRA Kabupaten TTU adalah terwujudnya peningkatan taraf hidup masyarakat pedesaan secara berkelanjutan pada wilayah lahan kering/tadah hujan di 17 Desa dampingan.
    Misi Program PIDRA adalah:
    1. Membangun kemampuan masyarakat dan jender agar memiliki rasa percaya diri untuk memperbaiki taraf hidupnya ;
    2. Menfasilitasi pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat secara berkelanjutan;
    3. Meningkatkan kapasitas pelaku usaha mikro untuk meraih posisi tawar dan skala ekonomi usaha;
    4. Meningkatkan ketahanan pangan keluarga miskin di wilayah lahan kering/tadah hujan;
    5. Menfasilitasi pembangunan prasarana pedesaan untuk kelancaran akses informsi, ekonomi dan kesehatan dasar masyarakat.

    Tujuan Program adalah :
    1. Terwujudnya kemandirian kelembagaan masyarakat;
    2. Meningkatkan pendapatan anggota masyarakat;
    3. Meningkatkan ketahanan pangan dengan kegiatan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang berkelanjutan;

    C. Sasaran Program

    Adapun sasaran Program sampai dengan tahun 2008 sebagai berikut :
    1. Lokasi sasaran program terfokus pada 6 Kecamatan dan 17 desa yakni Kecamatan Miomaffo Timur meliputi Desa Fatusene, Tuntun, Jak dan Tunnoe; Kecamatan Naibenu meliputi Desa Sunsea, Bakitolas, Benus dan Manamas; Kecamatan Bikomi Utara meliputi Desa Sainoni dan Haumeni; Kecamatan Bikomi Tengah meliputi Desa Buk; Kecamatan Insana Utara meliputi Desa Humusu A dan Fatumtasa; serta Kecamatan Insana Fafinesu meliputi Desa Oenain, Fafinesu B, Fafinesu C dan Banuan.
    2. Total KM sampai dengan posisi Desember tahun 2008 sebanyak 170 KM (76 KMP, 93 KMW dan 1 KMC), dengan cakupan jumlah KK miskin sebanyak 2.604 ;
    3. Cakupan Federasi sebanyak 17 unit sesuai jumlah desa sasaran program;
    4. Cakupan Lembaga Pembangunan Desa (LPD) sebanyak 17 unit sesuai jumlah desa sasaran program;
    5. Cakupan Kaderisasi VCO/relawan sebanyak 34 orang; (18 orang Perempoan dan 16 orang laki-laki);
    6. Lembaga Penunjang program dalam pemasaran bersama sebanyak 2 (dua) Asosiasi masing-masing di Kecamatan Insana Utara (Asosiasi Fafinesu) dan Kecamatan Miomaffo Timur (Asosiasi Bituna).

    D. Komponen Program

    Pelaksanaan kegiatan komponen PIDRA berorientasi program yang dicirikan: (1).berbasis membangun kelembagaan masyarakat miskin secara partisipatip untuk mewujudkan kemandirian masyarakat dan berkesinambungan; (2).tumbuhnya perhatian dan kontribusi pemerintah daerah bersama unsur instansi teknis terkait dalam memperkuat dan memperluas program; (3). kontribusi lembaga non pemerintah untuk memperkuat basis kelembagaan masyarakat yang mandiri yang mendukung kelangsungan program, dan (4).kaderisasi fasilitator dari masyarakat untuk mendampingi masyarakat miskin secara berkesinambungan.

    KOMPONEN PROGRAM PIDRA FASE I (2001 – 2004)
    1. SASARAN
    · KM (Kelompok Mandiri)
    · P2DM (Perkumpulan Pelaksana DAS Mikro)
    · TP3D (Tim Pelaksana Pembangunan Prasarana Desa)
    · Relawan/VCO

    1. KOMPONEN
    Komponen 1: Pengembangan Masyarakat yang BerperspektifJender
    · Memfasilitasi KM dalam hal penguatanb Organisasi dan manajemen kelembagaan dan pelatihan melek huruf.
    · Mendorong KM untuk membiayai usahanya sendiri melalui pola tabungan, kemudian dipromosikan untuk mendapatkan dana hibah prestasi.
    · Fasilitasi akses lebih luas kepada jaringan usaha maupun sumber permodalan lainnya
    · Pengembangan gender
    Komponen 2: Pengembangan Pertanian dan Peternakan
    Fasililtasi upaya peningkatan produksi pertanian spesifik lokasi, serta pelestarian sumberdaya alam dengan mengedepankan petani sebagai pelaku utama mencakup
    · Pengembangan tanaman pangan dan Perkebunan. Kelompok-kelompok di desa akan difasilitasi dan didorong untuk mengembangkan kemampuan secara mandiri dalam memproduksi benih unggul dan membuat lahan percontohan untuk pembibitan, budidaya tanaman buah dan sayuran serta jaringan pemasaran.
    · Pengembangan peternakan. Anggota KM dapat memanfaatkan dana umum KM untuk pembelian ternak kecil seperti ayam, itik, kambing dan lainnya. fasilitasi kebutuhan pelatihan anggota KM baik dalam vaksinasi dan perlakuan medis yang sederhana, pengembangan areal pakan ternak, produksi telur dan jaringan pemasaran.
    · Konservasi tanah. Fasilitasi pengelolaan kawasan DAS (Daerah Aliran Sungai) mikro dengan menerapkan teras bangku, pagar tanaman berkontur, tanaman tumpangsari, pengolahan tanah minimal, pemberian mulsa, strip cropping dan lain-lain.
    · Penelitian oleh petani.
    Komponen 3. Pengelolaan Prasarana dan Lahan Pedesaan
    · Fasilitasi Tim Pelaksana Pembangunan Prasarana Desa (TP3D) yang mencakup perbaikan jalan desa, sarana air bersih, pasar desa, pembangunan irigasi mikro (misal untuk petak pembibitan dan sayuran) dan konservasi DAS mikro.
    · Fasilitasi kelembagaan Perkumpulan Pelaksana DAS Mikro (P2DM), Pengembangan DAS mikro yang mencakup pembangunan teras, saluaran drainase, bangunan terjun, dan penanaman vegetasi.
    · Masyarakat desa juga harus bersedia untuk menyediakan biaya pemanfaatan dan pemeliharaannya.

    Komponen 4: Dukungan kelembagaan dan manajemen
    ·Pelatihan MONEV dan penyusunan RKAT

    2. METODOLOGI PENDEKATAN
    · Partisipatif
    · Dialogis

KOMPONEN PROGRAM PIDRA FASE II (2005 – 2008)

1. SASARAN
· KM (Kelompok Mandiri)
· LPD (Lembaga Pembangunan Desa)
· Federasi
· Koperasi
· Relawan/VCO
2. KOMPONEN
Komponen 1: Pengembangan Taraf Hidup secara Berkelanjutan
Sub-komponen A: Pemberdayaan Masyarakat dan Kesetaraan Jender
· Penguatan lembaga-lembaga masyarakat miskin dan wanita dalam rangka membangun sumber daya keuangan yang dapat diakses dan dikontrol oleh mereka
· Peningkatan Keadilan dan Kesetaraan Jender

Sub-komponen B: Pengembangan Usaha Mikro Pedesaan
· Pengembangkan usaha-usaha mikro yang berbasis pada kegiatan on-farm, off-farm maunpun non-farm, yang dapat meningkatkan pendapatan yang berkelanjutan, walaupun Program PIDRA telah selesai.
· Mengembangkan Koperasi yang berbais (KM) dan Koperasi
· Memberikan dukungan terhadap peluang usaha dengan mengembangkan jejaring pasar sehingga diperoleh keuntungan ekonomi yang paling layak.

Sub-komponen C: Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berbasis Masyarakat

Meningkatkan sumber daya alam pendukung yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktifitas pertanian lahan kering dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan jangka panjang.
· Pengelolaan Lahan dan Penanaman Pohon. Pengelolaan lahan dilakukan dengan konservasi tanah dan air dan memperkaya kandungan tanah dengan bahan an-organik dan organik. Penanaman pohon lebih difokuskan pada jenis tanaman hortikultura dan hutan.
· Pertanian dan Peternakan. Kegiatan ini dilakukan dengan aplikasi Demplot dan pengadaan bahan yang dibutuhkan masyarakat, khususnya untuk vaksinasi ternak yang tidak mampu disediakan dengan cukup oleh pemerintah.

Komponen 2: Pembangunan Prasarana Desa

· Fasilitasi LPD (Lembaga Pembangunan Desa) meningkatkan investasi prasarana umum desa seperti pembangunan jalan penghubung desa, pasar desa, dan sekolah;
· Meningkatkan kondisi kesehatan melalui pengadaan air bersih, termasuk pembuatan penampung air hujan, bak penampungan air, sumur, serta sistem perpipaan yang bersumber dari mata air
· Masyarakat desa juga harus bersedia untuk menyediakan biaya pemanfaatan dan pemeliharaannya.
Komponen 3: Pengembangan Kapasitas Kelembagaan dan Manajemen Program

· Mengembangkan dan mengoperasikan sistem MONEV
· Transparansi dan pengambilan keputusan secara partisipatif

3. METODOLOGI PENDEKATAN
· Partisipatif
· Dialogis
Kegiatan-kegiatan dalam komponen ini diarahkan kepada upaya meningkatkan kesempatan usaha para keluarga miskin melalui wadah kerjasama kelompok mandiri, agar tumbuh usaha-usaha ekonomi dengan memanfaatkan sumber-sumber pendapatan baru yang menguntungkan dalam skala mikro. Fasilitasi tumbuhnya usaha dilakukan melalui wadah kelompok mandiri yang ada, federasi yang dibentuk oleh mereka serta Lembaga Pembangunan Desa yang dapat memberikan layanan akses modal, pasar, dan hubungan kerja dengan pemerintah daerah dalam mengoptimalkan sumberdaya alam serta lingkungan.



E. Rancangan Program

Implementasi program berpedoman kepada prinsip desentralisasi, dengan prioritas program secara partisipatif yang dimulai dari ; a).Mekanisme perencanaan dari bawah (buttom up planing) secara partisipatif di setiap tingkatan sehingga terwujud aspirasi masyarakat yang beragam sesuai kebutuhan b). Tanggungjawab pelaksanaan rencana diserahkan sepenuhnya kepada tingkatan dimana keputusan itu dibuat, c). Anggota kelompok mandiri program (KMP/KMW dan KMC) terlibat dalam proses penilaian perkembangan kelompok mereka, menganalisa interaksi mereka di dalam kelompok dan desa , membuat tindakan korektif serta evaluasi tingkat kemampuan dan membangkitkan kesadaran/motivasi.

Jumat, 01 Mei 2009

PERMASALAHAN USAHA MIKRO DI PEDESAAN DAN SOLUSI PEMBERDAYAAN

(Catatan Kritis Pendampingan Program PIDRA Kab.TTU-NTT)

Oleh: Ir. Beny. Ulu Meak

Upaya pengembangan usaha mikro sebagai suatu proses pemberdayaam bagi masyarakat miskin di Kabupaten Timor Tengah Utara dalam pelaksanaan program PIDRA diawali dengan proses pengkajian dan identifikasi pelaku usaha dan prospek pasar sesuai peluang usaha yang ada di masing masing desa sasaran program. Dari hasil kajian dan identifikasi ini ternyata banyak persoalan/hambatan yang dihadapi oleh anggota Kelompok Mandiri dalam mengembangkan usahanya. Namun demikian sejumlah kajian menyatakan bahwa usaha mikro berperan sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi di pedesaan,menyerap tenaga kerja melalui penciptaan lapangan pekerjaan serta mengatasi masalah kemiskinan dengan potensinya dalam meningkatkan posisi tawar (bargaining position) karena berperan sebagai penyangga (buffer) dan katup pengaman (safety valve) dalam upaya mengatasi dampak krisis ekonomi.


Permasalahan Usaha Mikro
Kendala utama yang dihadapi oleh para pelaku usaha mikro di Kabupaten TTU, antara lain:

Kelemahan Internal (kapasiatas manajemen.kewirausahaan) :
1. Pengetahuan dan keterampilan dalam mengembangkan usaha masih rendah. Sebagian besar anggota KM yang mengembangkan usaha mikro tidak berpendidikan formal (buta huruf). Ada sebagian pelaku usaha yang berpendidikan SD, SLTP dan SLTA tetapi jumlahnya sangat minim.
2. Usaha masih subsisten (pola usaha konsumtif). Kalaupun ada pelaku usaha yang termotivasi untuk mengembangkan usaha produktif tetapi masih berskala kecil.

Kelemahan Infrastruktur (sumber modal, pelatihan, teknologi,manajemen)
1. Pengelolaan/manajemen administrasinya masih lemah. Banyak pelaku usaha yang tidak mencatat adminstrasi keuangan secara baik, sehingga sulit memastikan layak-tidaknya usaha yang sedang dikembangkan. Selain itu juga kemampuan manajemen produksi masih rendah.
2. Modal masih terbatas. Selama ini sebagian besar pelaku usaha mikro masih mengandalkan modal sendiri. Kalaupun ada anggota yang pinjam, tetapi masih terbatas pada dana umum yang ada di kelompok. Sebenarnya ada dana kredit yang disalurkan melalui bank, tetapi mereka sulit mengakses dana-dana tersebut karena persyaratan administrasi perbankan yang berbelit.
3. Sulit mengakses perkembangan informasi dan teknologi karena semua pelaku usaha mikro tersebar di 17 desa yang lokasinya jauh dari kota Kabupaten. Kesulitan inilah yang menjadi hambatan bagi mereka untuk bisa meningkatkan usaha mereka di desa. Mereka lebih banyak melakukan kegiatan dengan teknologi yang sederhana berdasarkan pengalaman mereka sendiri yang telah dilakukan secara turun temurun.

Hubungan Hulu Hilir (struktur pasar)
· Akses pasar masih sangat lemah terutama jaringan pemasarannya. Hal ini diperparah lagi dengan manajemen produksi yang masih rendah sehingga hanya mengandalkan pasar lokal.
· Kurang adanya distribusi informasi yang memadai tentang bagaimana peluang pasar bisa diperoleh.

Mengapa Usaha Mikro tidak dan atau lambat berkembang ?
• Belum adanya Lembaga Keuangan/perbankan yang menaruh minat kepada kegiatan usaha mikro ;
• Kurangnya pemahaman dalam target usaha
• Kurangnya pengalaman dan strategi pemasaran
• Kurangnya pemahaman dalam pengadaan/pemeliharaan bahan baku dan sarana
• Kurangnya kehandalan pengelolaan administrasi dan keuangan
• Kurangnya kehandalan pengelolaan modal dan kendali kredit
• Kurangnya kehandalan SDM yang berwawasan wirausaha
• Kurangnya pemahaman perubahan teknologi
• Paket kebijakan pengembangan usaha sangat sektoral dan tidak terfokus pada satuan kelompok usaha.

Berkaitan dengan realitas tersebut, maka dalam program PIDRA dikenal 4 (empat) klasifikasi usaha berdasarkan tahap pertumbuhannya, yaitu Pra Usaha Mikro-I (Pemula/Trial and error), Pra Usaha Mikro II (usaha sendiri/Self employment), Usaha Mikro (Micro Business) dan Usaha Kecil (Small Business). Tujuan klasifikasi ini adalah untuk memudahkan dalam penentuan dan pencapaian target serta penentuan indikator kemajuan program. Penggolongan klasifikasi usaha ini mengacu pada ketentuan usaha mikro dan usaha kecil yang telah ditetapkan pemerintah.

Solusi Pemberdayaan usaha mikro

Solusi yang ditempuh dalam upaya pemberdayaan usaha mikro secara umum adalah:
(1).Peningkatan akses Usaha Mikro (UM) pada sumber pembiayaan ditempuh melalui penguatan sistem penjaminan kredit bagi UM dan .mengoptimalkan pemanfaatan dana non perbankan untuk pemberdayaan UM.
(2). Pengembangan jiwa kewirausahaan dan sumber daya manusia (SDM) melalui penguatan kapasitas kelembagaan pelaku usaha dalam meningkatkan mobilitas dan kualitas SDM serta mendorong tumbuhnya kewira-usahaan yang berbasis teknologi.
(3).Peningkatan peluang pasar produk UM dengan mendorong berkembangnya institusi promosi dan kreasi produk UM, mendorong berkembangnya pasar tradisional dan tata hubungan dagang antar pelaku pasar yang berbasis kemitraan serta mengembangkan sistem informasi sinergitas pasar.
(4). Reformasi regulasi dengan proteksi produk UM melalui pembebasan pungutan pajak.

Secara operasional proses pemberdayaan yang ditempuh dalam pelaksanaan program PIDRA antara lain :

1. Pendampingan
Pendampingan terhadap para pelaku usaha mikro dilakukan secara intensif, dengan menempatkan pendamping yang tinggal dan menetap di desa. Dengan adanya pendampingan intensif seperti ini, para pelaku usaha dapat dimotivasi secara terus menerus untuk meningkatkan kualitas produk dan jenis usaha yang dikembangkan serta manajemen organisasi melalui pelatihan modul Capacity Building sebanyak 6 paket dan terdiri dari .16 jenis modul. Paket dan jenis modul tersebut dijadikan alat dan media dalam proses pendapingan antara lain:
1) Bekerja, berwirausaha dan ciri berwirausaha;
2) Motivasi waktu memulai usaha;
3) Analisis potensi diri;
4) Membaca peluang usaha;
5) Memilih usaha;
6) Mengambil keputusan untuk memulai usaha;
7) Profil usaha mikro;
8) Pengelolaan Ekonomi Rumah Tangga;
9) Mengenal pasar;
10) Permodalan;
11) Alur dan proses produksi;
12) Administrasi dan keuangan;
13) Manajemen Sumberdaya Manusia;
14) Aspek sosial, lingkungan dan legalitas Usaha Mikro;
15) Pengembangan usaha;
16) Studi kasus kelayakan usaha;

2. Pelatihan Teknis

Kegiatan pelatihan merupakan salah satu upaya menumbuhkan jiwa bisnis dan peningkatan pengetahuan bagi anggota-anggota KM dalam mengembangkan usaha-usaha di tingkat desa sesuai potensi-potensi yang dimiliki. Pelatihan ini selalu disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pelaku usaha dan KM berdasarkan hasil identifikasi sebelumnya.

3.Pertemuan Rutin Pelaku Usaha Mikro dan KM

Salah satu bentuk motivasi kepada para pelaku usaha adalah memfasilitasi mereka untuk selalu melakukan pertemuan rutin setiap 3 bulan. Biasanya dalam pertemuan rutinitas ini, para pelaku usaha difasilitasi oleh para pendamping untuk saling membagi pengalaman, baik yang berhasil maupun yang mengalami kegagalan, termasuk juga masalah dan ataupun kendala yang dihadapinya. Dengan adanya sharing pengalaman ini, mereka terdorong untuk selalu berusaha meningkatkan modal /kapasitas usaha dan omset penjualan mereka.

3. Magang/Studi Banding

Kegiatan magang/studi banding dilakukan kepada pelaku usaha mikro dan pendamping sebagai bentuk motivasi untuk meningkatkan kualitas produk maupun cara pengelolaan usaha mikro itu sendiri dengan belajar dari pelaku usaha mikro di daerah lain.

4. Pameran/promosi Produk Usaha Mikro
Kegiatan pameran /promosi usaha mikro biasanya dilakukan di sesuaikan dengan acara hari-hari besar di tingkat Kabupaten dan di tingkat Desa dilaksanakan jika ada kunjungan tamu/pihak luar untuk melihat perkembangan pelaksanaan program PIDRA.

Kamis, 30 April 2009

PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN MELALUI PRODUKSI DAN KESEHATAN TERNAK

(Pemberdayaan Masyarakat di Desa Dampingan Program PIDRA Kab.TTU-NTT)

OLEH :

Ir. BENY. ULU .MEAK
Manager Program PIDRA –Kab.TTU-NTT



I. PENDAHULUAN

Program Participatory Integrated Development in Rainfed Areas (PIDRA) merupakan suatu model program pemberdayaan bagi masyarakat miskin yang di utamakan bagi masyarakat yang tinggal dilahan kering, kritis/tadah hujan dan kurang memperoleh akses dalam pembangunan wilayah pedesaan dengan menggunakan pendekatan secara partisipatif.
Pelaksanaan Program PIDRA di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur pada Fase II ( tahun 2005 – 2008 ) lebih difokuskan pada kegiatan pengembangan ekonomi bagi peserta program yang dioperasionalkan melalui pembentukan dan penguatan lembaga-lembaga masyarakat miskin (Kelompok Mandiri, Lembaga Pembagunan Desa dan Federasai) dalam rangka membangun fondasi pemberdayaan ke arah penguatan sumber daya keuangan yang dapat diakses dan dikontrol oleh masyarakat/kelompok itu sendiri. Selain itu, untuk mengembangkan usaha-usaha mikro yang berbasis pada kegiatan on-farm, off -farm dan non farm dimana Kelompok Mandiri maupun anggotanya dapat mengembangkan usaha produktif sesuai dengan potensi yang ada dalam anggota .
Pengembangan usaha peternakan (ayam buras, itik, babi, kambing dan sapi) sebagai bagian dari usaha mikro on-farm baik secara individu maupun kelompok sering dihadapkan pada permasalahan kesehatan ternak sehingga dapat mempengaruhi produksi ternak. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sering ada gangguan kesehatan ternak dipengaruhi oleh sanitasi, cara pemeliharaan dan kurangnya kemampuan pelaku usaha dalam mengidentifikasi penyakit yang sering menyerang ternak peliharaannya dan bagaimana cara atau langkah untuk mengatasinya yang belum dipahami secara baik oleh pelaku usaha mikro-ternak. Lembaga Pembangunan Desa (LPD) program PIDRA diharapkan dapat menjadi tenaga yang terampil dalam mengatasi persoalan demikian sehingga usaha mikro yang berbasis ternak dapat memberikan tingkat keuntungan dalam kontribusi pendapatan masyarakat.


II. ARAH DAN TUJUAN PROGRAM PIDRA

Mewujudkan kondisi yang mendukung peningkatan taraf hidup dan kemampuan keluarga miskin dalam merealisasikan kegiatan untuk peningkatan pendapatan serta lingkungan sumber daya alam secara berkelanjutan dengan : (1).Membangun dan memperkuat organisasi dan manajemen kelembagaan masyarakat, (2). Membangun dan memperkuat berkembangnya usaha ekonomi masyarakat secara berkesinambungan dan (3). Meningkatkan status ketahanan pangan masyarakat (Food Security).Arah kegiatan program diformulasikan kepada penguatan dan pengembangan faktor ekonomim sosial dan ekologis yang ditumbuhkan dengan komponen utama yaitu : pengembangan taraf hidup masyarakat secara berkelanjutan yang terdiri dari sub komponen (a).pengembangan kelembagaan masyarakat dan gender, (b).pengembangan usaha mikro dan (c). pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat. Kegiatan dalam komponen ini diarahkan kepada upaya meningkatkan peluang usaha untuk keluarga miskin melalui kerjasama Kelompok Mandiri (KM),Federasi dan LPD sehingga tumbuh suatu motivasi, kesadaran dan kemampuan mereka dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam dengan tetap menjaga fungsi kelestariannya sehingga secara ekonomik mereka dapat mengakses sumber pendapatan baru yang menguntungkan baik dalam usaha skala mikro maupun yang bersifat usaha kecil.
Upaya dalam meningkatkan produktifitas usaha pertanian lahan kering di Kabupaten TTU di tempuh dengan prinsip pengelolaan sumber daya alam yang ramah lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari pengelolaan lahan dengan berbagai teknologi tepat guna untuk konservasi tanah dan air serta penggunaan bahan organik dalam pelaksanaan kegiatan terasering, olah lubang, olah jalur maupun pembuatan pupuk cair organik, pupuk kompos dan pupuk bhokhasi. Berbagai kegiatan ini diharapkan akan memberikan kontribusi secara positif dalam rangka meningkatkan status ketahanan pangan peserta program PIDRA untuk jangka panjang maka kegiatan pengelolaan lahan dan pengembangan usaha peternakan dengan perbaikan produksi dan kesehatan ternak menjadi alternatif yang strategis.

Jenis Penyakit Ternak :
Jenis –jenis penyakit ternak yang sering terjadi sebelum ada pendapingan oleh Program PIDRA adalah jenis penyakit ternak yang bersifat zoonosis seperti : Brucellosis/Antraks bagi ternak sapi, Hog Cholera bagi ternak Babi dan ND bagi ternak Ayam Buras. Disamping itu ada juga penyakit yang menyerang ternak kambing seperti penyakit kudis dan cacing. Kejadian penyakit ini biasanya menyerang ternak peliharaan masyarakat pada peralihan musim (dari musim hujan ke musim panas atau sebaliknya). Gangguan kesehatan ternak secara langsung berpengaruh terhadap tingkat produksi ternak dan jika kondisi ini dibiarkan begitu saja maka tidak mungkin akan menyebabkan gangguan status ketahanan pangan masyarakat pada umumnya, sebab ternak bagi masyarakat dampingan program PIDRA di Kabupaten TTU-NTT selain sebagai sumber pendapatan keluarga dapat dijadikan juga salah satu penyangga bagi ketersediaan pangan pada musim paceklik. Hal ini telah dijadikan alasan strategis mengapa program PIDRA perlu memperhatikan produksi dan kesehatan ternak masyarakat.


III. UPAYA PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN MASYARAKAT

Upaya untuk mewujudkan kondisi yang mengarah kepada peningkatan taraf hidup keluarga miskin di wilayah marjinal dan peningkatan kemampuannya dalam merealisasikan kegiatan untuk peningkatan pendapatan dan status ketahanan pangan keluarga sekaligus perbaikan lingkungan alam/ekologi yang mendukung dan berkelanjutan secara spesifik lokal walaupun Program telah berakhir.
Mencermati hal ini maka program PIDRA dalam upaya meningkatkan produksi dan kesehatan ternak untuk peningkatan status ketahanan pangan keluarga telah menfasilitasi anggota KM, LPD dan Federasi seperti : Pelatihan Teknis manajemen peternakan, Kesehatan Hewan, Sekolah Lapang Ternak (Sapi, Kambing, Babi dan ayam buras), Bantuan bibit ternak (Babi, Kambing dan ayam buras), Bantuan alat mesin pertanian (mesin penetas telur ayam), bantuan kegiatan Vaksin ternak dan bantuan bibit/benih tanaman penguat teras sebagai pakan ternak. Dukungan Penyuluhan : Pendekatan layanan dilakukan secara partisipatif dengan inovasi teknologi berupa Suplemet Blok Gula Lontar (SBGL) dan Kandang lorong yang disesuaikan dengan potensi kearifan lokal dan kebutuhan masyarakat;


IV. PENUTUP

Beberapa kegiatan yang dimaksud di atas dalam peningkatan produksi ternak didasarkan atas suatu proses pemberdayaan bagi masyarakat dimana bantuan atau kegiatan ini disesuaikan dengan kondisi kebutuhan dari masyarakat itu sendiri dengan prinsip bahwa program PIDRA hanya memberi stimulan dan pendapingan yang intensif tetapi masyarakatlah yang akan merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi sendiri semua bentuk kegiatannya untuk kepentingan dirinya sendiri dimana masyarakat dapat menolong dirinya sendiri untuk keluar dari ketertinggalannya salah satunya adalsah di bidang peningkatan usaha ternak untuk pemenuhan ketahanan pangan rumah tangga yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan dari anggota masyarakat.
Sebagai catatan kritis terhadap pola pemberdayaan program PIDRA maka secara kontekstual telah memberikan perubahan kepada peserta program bahwa : selama tahun pelaksanaan program (tahun 2001 – 2008) tidak ada gangguan ketahanan pangan dan tingkat pendapatan masyarakat meningkat secara signifikan.

Jumat, 27 Maret 2009

INTEGRASI LOPO SEBAGAI LUMBUNG PANGAN

















INTEGRASI LOPO SEBAGAI LUMBUNG PANGAN
(Model Pengelolaan Lumbung Pangan di Desa Dampingan Program PIDRA, Kabupaten Timor Tengah Utara-NTT,Indonesia)
Oleh : Ir. Beny. Ulu Meak
Manager Program PIDRA-Kab.TTU

I. Arti Sebuah Lopo.

Kehidupan bagi sebagian besar orang Timor (atoin meto) atau masyarakat di wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara-Nusa Tenggara Timur rasanya kurang lengkap apabila didepan rumahnya tidak ada sebuah bangunan yang bentuknya seperti nasi tumpeng atau rumah orang eskimo tetapi memiliki empat tiang penyangga itulah bentuk daripada sebuah ”lopo ” (istilah dalam bahasa lokal). Secara historis Lopo memiliki peran dan potensi yang sangat strategis dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat desa termasuk desa-desa dampingan Program Participatory Integrated Development in Rainfed Areas (PIDRA) karena ” Lopo ” biasanya digunakan sebagai tempat penyimpanan bahan pangan keluarga dan tempat pertemuan kerabat/keluarga untuk membahas semua persoalan yang berkaitan dengan adat istiadat setempat. Letak bangunan ”lopo” ini selalu berada di depan rumah (dibangun di pekarangan) dimaksudkan untuk tempat peristirahatan keluarga atau kerabat yang lewat (menerima tamu) juga sebagai bentuk identitas–harga diri bagi keluarga tersebut. Semua permasalahan yang timbul di keluarga atau urusan adat di desa akan terselesaikan dengan baik melalui musyawarah apabila diselesaikan didalam bagunan lopo itu , disamping itu pula masalah kecukupan/ketersediaan pangan bagi kebutuhan konsumsi sebuah keluarga dapat terukur apabila di dalam lopo itu disimpan berbagai jenis bahan pangan.Konstruksi dari bangunan lopo ini pada umumnya, atapnya terbuat dari alang-alang dan tiangnya dari kayu bulat yang kokoh serta di bagian atasnya dibuat ”loteng/panggung” dari papan atau bambu yang di rejam sebelumnya dan di susun rapi sehingga menyerupai lantai di atasnya .Lopo seperti ini hanya berfungsi sebagai perekat sosial bagi kerabat keluarga dimana dari aspek cadangan bahan pangan dapat dijadikan kebutuhan pangan keluarga dalam setahunnya dan persediaan bibit untuk musim tanam berikutnya.
Mengingat dewasa ini masyarakat di desa selalu dihadapkan kepada persoalan tingkat ketahanan pangan (food security) yang tidak dikelola secara baik, maka ”lopo” dapat dijadikan suatu model alternatif pengelolaan lumbung pangan dan dintegrasikan dengan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dampingan Program PIDRA.

Suatu cerita menarik yang sempat dilihat secara langsung oleh Bapak.Ir.Alimin Yahya dari Program PIDRA Nasional ketika melakukan kegiatan supervisi tentang pengelolaan SDA yang dilakukan oleh masyarakat dampingan program PIDRA di desa Jak, beliau begitu terkesima dengan keberadaan sebuah lopo yang dimiliki oleh Keluarga Bapak Marselinus Siki dengan kondisi yang sudah cukup tua, tetapi ketika ditengok kedalam ketersediaan bahan pangan berupa jagung, padi ladang, kacang tanah, shorgum, dan gaplek masih melimpah bahkan jagung kulitnya ada yang masih baru dan ada yang kulitnya sudah kehitaman karena merupakan jagung dari dua tahun yang lalu yang tidak habis dikonsumsi, begitu pula halnya dengan padi ladang yang tersimpan rapi didalam karung hasil panen setahun yang lalu (Succses Story Program PIDRA,2008).

II. Pengelolaan Lumbung Pangan.

Lumbung pangan adalah suatu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa/kota yang bertujuan untuk pengembangan penyediaan cadangan pangan dengan sistim tunda jual, penyimpanan, pendistribusian, pengolahan dan perdagangan yang dikelola secara berkelompok (Anonymous, 2007). Tujuan dari pemberdayaan lumbung pangan adalah meningkatkan upaya penyediaan bahan pangan dan pendapatan bagi keluarga ataupun masyarakat di dalam desa tersebut. Keberadaan lumbung pangan di tingkat desa/kota akhir-akhir ini sudah semakin memudar sebagai akibat dari kemajuan sistim perdagangan dan berkembangnya lembaga logistik (cadangan pangan) formal pemerintah ataupun faktor lain seperti stabilisasi harga pangan yang tidak dapat di atasi.
Dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan keluarga, upaya yang dilakukan antara lain melalui penguatan cadangan pangan masyarakat dalam bentuk kelembagaan lumbung pangan dan sekarang sudah selayaknya lumbung pangan itu harus ada di tingkat keluarga maupun kelompok sebagai suatu strategi untuk mengantisipasi gejolak pangan yang terus berfluktuasi.

III. Integrasi Lopo sebagai Lumbung Pangan keluarga dan keberlanjutan.
Melihat kondisi alam desa-desa dampingan program PIDRA di kabupaten Timor Tengah Utara yang berada pada lahan kering/tadah hujan, topografi yang berbukit dan miring, bebatuan, diperparah lagi dengan curah hujan yang sangat minim semakin membuat petani bekerja lebih keras untuk dapat memperoleh hasil panen dan mempertahankan hidup. Memahami akan kondisi inilah maka program PIDRA dengan konsep ”Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat” dan startegi yang dikembangkan adalah menerapkan inovasi Teknologi Tepat Guna (TTG) seperti olah lubang , olah jalur, teknologi konservasi tanah dan air, kebun menetap maka dari tahun ke tahun ”hasil panen” mengalami peningkatan yang cukup menggembirakan dari segi jumlah, mutu maupun keragamannya dengan demikian maka masalah ketahanan pangan (food security) masyarakat dampingan program PIDRA terutama dari aspek ketersediaan dalam kondisi aman dan yang lebih hebat lagi bahwa semua bahan pangan yang tersimpan di lopo itu dalam keadaan aman dan bebas dari gangguan hama/penyakit. Kondisi tersebut telah memberikan suatu gambaran kepada kita bahwa ”lopo” berperan sebagai fungsi sosial terutama dalam menyediakan cadangan pangan bagi keluarga dan masyarakat di desa. Kita harapkan juga agar lopo ini dapat berperan ganda sebagai fungsi ekonomik maupun fungsi sosial bagi keluarga dan masyarakat dengan mengintegrasikan model pemberdayaan lumbung pangan modern antara lain ; (1). menguatnya permodalan usaha kelompok, (2). meningkatnya posisi tawar (bargaining position) anggota dalam penjualan hasil usaha tani, (3).berkembangnya keterampilan teknis anggota kelompok. (4).terjalinnya hubungan kemitraan dan jaringan usaha kelompok, (5). berkembangnya usaha kelompok menuju skala yang mampu memberikan peningkatan pendapatan yang layak bagi anggotanya dan (6).meningkatnya cadangan pangan minimal sebesar 3 (tiga) bulan kebutuhan konsumsi masyarakat.
Keberadaan lopo ini telah merupakan suatu tradisi-kearifan lokal maka perlu untuk keberlanjutannya harus ada pendampingan dengan mengembangkan sebuah” lopo induk –sebagai lumbung pangan di desa” sedangkan lopo yang ada sekarang tetap dijadikan lumbung pangan keluarga. Persoalannya bagaimana kita dapat melakukan proses pemberdayaan untuk penguatan kelembagaan lumbung pangan,pengembangan usaha kelompok,penguatan cadangan pangan di kelompok,penguatan modal usaha kelompok serta pelatihan teknis (technical buiding) dan pelatihan penguatan kapasitas kelompok (Capacity buiding).
Sebagaian upaya seperti disebutkan di atas ini telah dilakukan oleh program PIDRA selama pendampingan dan Menurut (Khudori, 2006) prinsip yang perlu dikembangkan lagi dalam upaya pemberdayaan lumbung pangan adalah (1).pengelolaan resiko, (2). bursa komoditas dan (3). saling percaya. Sedangkan hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan pengembangan jaringan usaha dan kemitraan.

IV. Pelajaran yang Dipetik.

· Tingkat Kelompok Lumbung Pangan yang ada di desa perlu melakukan :
1) Penyusunan Rencana Usaha Kelompok (RUK) untuk pengelolaan resiko;
2) Membangun fisik lumbung di desa (1 Kelompok : 1 Lumbung) dengan bursa komoditas unggulan yang disepakti sebagai bahan pangan untuk cadangan pangan kelompok;
3) Mengembangkan usaha ekonomi kelompok;
4) Meningkatkan kapasitas kemampuan manajemen (administrasi pembukuan-keuangan) dan ekonomi;
5) Melakukan monitoring dan evaluasi secara partisipatif untuk megetahui tingkat perkembangan kegiatan pemberdayaan lumbung pangan secara mandiri.
· Lopo di tingkat keluarga dapat dijadikan sebagai lumbung pangan keluarga (cadangan pangan) keluarga sedangkan Lopo induk di kelompok sebagai lumbung pangan di tingkat kelompok dan hubungan anatar lopo keluarga dan lopo induk kelompok bersifat horisontal dan saling melengkapi atau melekat dan tidak terpisah secara sendiri-sendiri. Jadi ini merupakan model BULOG di desa untuk pendistribusian bahan pangan antara desa satu dengan desa yang lainnya yang membutuhkan.
· Bantuan Modal usaha, pelatihan dan pendampingan harus dilakukan secara terpadu, terintegrasi dengan stakeholder yang ada dengan pola satu pintu.
· Catatan kritis bahwa sebelum adanya pendampingan Program PIDRA di desa –desa sasaran sering terjadi gangguan ketahanan pangan tetapi setelah ada pendapamingan Program PIDRA selama tahun 2001 – 2008 di desa –desa dampingan tidak ada gangguan ketahanan pangan karena salah satunya adalah pemberdayaan ”Lopo” sebagai lumbung pangan keluarga.

Daftar Bacaan

Anonymous, 2007. Pedoman Umum Pemberdayaan Lumbung Pangan, Badan Ketahanan Pangan,Departemen Pertanian RI, Jakarta;
Anonymous, 2008. Succses Story Pelaksanaan Program PIDRA Kabupaten Timor Tengah Utara-NTT Edisi II, Sekretariat Program PIDRA TTU, Kefamenanu;
Khudori, 2006. Urgensi Lumbung Pangan, Harian Republika, Edisi Selasa 29 Juli 2006;

Rabu, 25 Maret 2009

KEANEKARAGAMAN MAKANAN DAN BUDAYA

(PIKIRAN,IDE DAN GAGASAN)

Oleh :
Ir. Beny. Ulu Meak


I. PENDAHULUAN

Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan latar belakang etnis, suku dan tata kehidupan sosial yang berbeda satu dengan yang lain. Hal ini telah memberikan suatu formulasi struktur sosial masyarakat yang turut mempengaruhi menu makanan maupun pola makan. Banyak sekali penemuan para ahli sosialog dan ahli gizi menyatakan bahwa faktor budaya sangat berperan terhadap proses terjadinya kebiasaan makan dan bentuk makanan itu sendiri, sehingga tidak jarang menimbulkan berbagai masalah gizi apabila faktor makanan itu tidak diperhatikan secara baik oleh kita yang mengkonsumsinya.
Kecendrungan lain yang muncul dari suatu budaya terhadap makanan sangat tergantung dari potensi alamnya atau faktor pertanian yang dominan. Sebagai contoh : bahwa orang Jawa makanan pokoknya akan berbeda dengan orang Timor atau pendek kata bahwa setiap suku-etnis yang ada pasti mempunyai makanan pokoknya tersediri. Keragaman dan keunikan budaya yang dimiliki oleh suatu entitas masyarakat tertentu merupakan wujud dari gagasan, rasa, tindakan dan karya sangat menjiwai aktivitas keseharian baik itu dalam tatanan sosial, teknis maupun ekonomi telah turut membentuk karakter fisik makanan (menu,pola dan bahan dasar).

II. POLA BUDAYA TERHADAP MAKANAN

Kebudayaan adalah seluruh sistim gagasan dan ras, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar (Koentjaraningrat,1990). Selanjutnya dikatakan juga bahwa wujud dari budaya atau kebudayaan dapat berupa benda-benda fisik, sistim tingkah laku dan tindakan yang terpola/sistim sosial, sistim gagasan atau adat-istiadat serta kepribadian atau nilai-nilai budaya. Berdasarkan atas batasan demikian maka dapat dikatakan bahwa makanan atau kebiasaan makan merupakan suatu produk budaya yang berhubungan dengan sistim tingkah laku dan tindakan yang terpola (sistim sosial) dari suatu komonitas masyarakat tertentu. Sedangkan makanan yang merupakan produk pangan sangat tergantung dari faktor pertanian di daerah tersebut dan merupakan produk dari budaya juga. Dengan demikian pengaruh budaya terhadap pangan atau makanan sangat tergantung kepada sistim sosial kemasyarakatan dan merupakan hak asasi yang paling dasar, maka pangan/makanan harus berada di dalam kendali kebudayaan itu sendiri.
Beberapa pengaruh budaya terhadap pangan/makanan adalah :
  • Adanya bermacam jenis menu makanan dari setiap komunitas – etnis masyarakat dalam mengolah suatu jenis hidangan makanan karena perbedaan bahan dasar/adonan dalam proses pembuatan; contoh : orang Jawa ada jenis menu makanan berasal dari kedele, orang Timor jenis menu makanan lebih banyak berasal dari jagung dan orang Ambon jenis menu makanan berasal dari sagu.
  • Adanya perbedaan pola makan/konsumsi/makanan pokok dari setiap suku-etnis ; Contoh : orang Timor pola makan lebih kepada jagung, orang Jawa pola makan lebih kepada beras.
  • Adanya perbedaan cita - rasa, aroma, warna dan bentuk fisik makanan dari setiap suku-etnis; Contoh : makanan orang Padang cita - rasanya pedis, orang Jawa makananya manis dan orang Timor makanannya selalu yang asin.
  • Adanya bermacam jenis nama dari makanan tersebut atau makanan khas berbeda untuk setiap daerah; Contoh : Soto Makasar berasal dari daerah Makasar- Sulawesi Selatan, Jagung ”Bose” dari daerah Timor-Nusa Tenggara Timur.

III. SISTIM BUDAYA TERHADAP MAKANAN

Berbagai sistim budaya memberikan peranan dan nilai yang berbeda-beda terhadap makanan, misalnya bahan-bahan makanan tertentu oleh suatu budaya masyarakat dapat dianggap tabu atau bersifat pantangan untuk dikonsumsi karena alasasan sakral tertentu atau sistim budaya yang terkait di dalamnya. Disamping itu ada jenis makanan tertentu yang di nilai dari segi ekonomi maupun sosial sangat tinggi eksistensinya tetapi karena mempunyai peranan yang penting dalam hidangan makanan pada sesuatu perayaan yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat tertentu maka hidangan makanan itu tidak diperbolehkan untuk dikonsumsinya bagi golongan masyarakat tersebut.
Anggapan lain yang muncul dari sistim budaya seperti dalam mengkonsumsi hidangan makanan di dalam keluarga, biasanya sang ayah sebagai kepala keluarga akan diprioritaskan mengkonsumsi lebih banyak dan pada bagian-bagian makanan yang mengandung nilai cita rasa tinggi. Sedangkan anggota keluarga lainnya seperti sang ibu dan anak-anak mengkonsumsi pada bagian-bagian hidangan makanan yang secara cita-rasa maupun fisiknya rendah. Sebagai contoh pada sistim budaya masyarakat di Timor yaitu : apabila dihidangkan makanan daging ayam, maka sang ayah akan mendapat bagian paha atau dada sedangkan sang ibu dan anak-anak akan mendapat bagian sayap atau lainnya. Hal ini menurut (Suhardjo, 1996) dapat menimbulkan distribusi konsumsi pangan yang tidak baik atau maldistribution diantara keluarga apalagi pengetahuan gizi belum dipahami oleh keluarga.
Kasus lain yang berhubungan dengan sistim budaya adalah sering terjadi juga pada masyarakat di perkotaan yang mempunyai gaya hidup budaya dengan tingkat kesibukan yang tinggi karena alasan pekerjaan. Contohnya; pada ibu-ibu di daerah perkotaan yang kurang dan tidak sering menyusui bayinya dengan Air Susu Ibu (ASI) setelah melahirkan tetapi hanya diberikan formula susu bayi instant. Padahal kita tahu bahwa ASI sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik bayi. Selanjutnya gaya hidup mereka yang berasal dari golongan ekonomi atas (masyarakat elite kota) ,dalam hal makanan sering mengkonsumsi makanan yang berasal dari produk luar negeri atau makanan instant lainnya karena soal “gengsi” . Sedangkan makanan lokal kita hanya dikonsumsi oleh mereka yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah karena ada anggapan bahwa makanan dari luar negeri kaya akan nilai gizi protein dan makanan instant lebih praktis untuk dikonsumsi sedangkan makanan lokal kita nilai gizinya lebih kepada karbohidrat. Sehubungan dengan soal gengsi maka ada kebiasaan masyarakat di Timor jika ada kunjungan tamu ke rumahnya maka tamu tersebut selalu di hidangkan dengan makanan yang berasal dari beras walaupun kesehariannya mereka selalu mengkonsumsi jagung, ubi kayu/singkong dan makanan lokal lainnya sehingga beras atau nasi telah dianggap sebagai suatu citra bahan makanan yang mempunyai nilai “prestise” yang tinggi. Citra beras/nasi dibangun sebegitu kuatnya oleh masyarakat di Timor sehingga kondisi ini telah mempengaruhi sendi-sendi sosial budaya sedangkan pandangan mereka terhadap pangan di luar beras di tempatkan sebagai simbol lapisan masyarakat paling rendah.

IV. MASALAH BUDAYA DAN MAKANAN TERHADAP GIZI

Mencermati akan adanya budaya, kebiasaan dan sistim sosial masyarakat terhadap makanan seperti pola makan, tabu atau pantangan, gaya hidup, gengsi dalam mengkonsumsi jenis bahan makanan tertentu, ataupun prestise dari bahan makanan tersebut yang sering terjadi di kalangan masyarakat apabila keadaan tersebut berlangsung lama dan mereka juga belum memahami secara baik tentang pentingnya faktor gizi dalam mengkonsumsi makanan maka tidak mungkin dapat berakibat timbulnya masalah gizi atau gizi salah (Malnutrition). Lebih lanjut dijelaskan oleh Suhardjo, 1996 bahwa jika kalangan masyarakat yang terkena danpak dari sistim sosial atau budaya makan itu berasal dari golongan individu –individu yang termasuk rawan gizi seperti ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan anak-anak balita serta orang lanjut usia maka kondisi ini akan lebih rentant terhadap timbulnya masalah gizi kurang.
Gizi salah (Malnutrition) dapat didefenisikan sebagai keadaan sakit atau penyakit yang disebabkan oleh kekurangan relative atau mutlak dan kelebihan satu atau lebih zat-zat makanan esensial yang berguna dalam tubuh manusia. Menurut bentuknya, gizi salah diklasifikasikan oleh (Barba dkk, 1991) sebagai berikut :
1. Gizi kurang (undernutrition), kondisi ini sebagai akibat dari konsumsi makanan yang tidak memadai jumlahnya pada kurun waktu cukup lama. Contoh : Kekurangan Energi Protein (KEP) dapat menyebabkan penyakit marasmus dan kwashiorkor.
2. Gizi lebih (Overnutrition), keadaan ini diakibatkan oleh konsumsi makanan yang berlebihan untuk jangka waktu yang cukup lama. Contoh : kegemukan;
3. Kurang Gizi spesifik (Specific Deficiency): keadaan ini disebabkan oleh kekurangan relative atau mutlak pada zat-zat makanan tertentu. Contohnya : kekurangan vitamin A yang dapat menyebabkan penyakit xeropthalmia dan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) yang dapat menyebabkan penyakit gondok;
4. Gizi tak seimbang (inbalance): Kondisi yang merupakan akibat dari tidak seimbangnya jumlah antara zat-zat makanan esensial, dengan atau tanpa kekurangan zat makanan tertentu. Contoh ; gangguan keseimbangan tubuh,sering loyo dll.


V. ALTERNATIF MENGATASI MASALAH BUDAYA DAN MAKANAN

Masalah budaya dan makanan kita ketahui dapat menyebabkan masalah gizi yang berdampak pada kesehatan tubuh manusia, sehingga perlu secara cermat untuk memberdayakan masyarakat lokal dengan kearifan dan kecerdasan lokal (local wisdom and local genius) disamping terus melaksanakan penyuluhan gizi sebagai alternative mengatasi masalah budaya dan makanan.
Pendekatan yang paling utama adalah melalui perbaikan struktur sosial masyarakat tentang pandangan mereka terhadap bahan makanan walaupun lokal tetapi kaya akan nilai gizi. Langkah-langkah yang ditempuh seperti al ; (1).Perbaikan gizi keluarga dengan melakukan lomba menyiapkan hidangan makanan non beras (kasus budaya Timor),(2). Perbaikan budaya masyarakat dengan pengaruhsutamaan gender (PUG) terutama di tingkat keluarga, (3). Memperluas areal pertanian dengan menanam berbagai komoditi yang mempunyai nilai gizi tinggi sebagai bahan pangan/makanan seperti kedelai (kasus budaya Jawa), (4).Pemberian makanan tambahan yang bernilai gizi bagi anak-anak balita dan orang lanjut usia, (5).Penyuluhan gizi terpadu dan konsultasi gizi bagi masyarakat disamping (6).Melakukan pengkajian/penelitian dan riset untuk melihat pengaruh budaya terhadap makanan itu sendiri dengan berbagai implikasi yang terkait di dalamnya.

VI. PENUTUP

Berdasarkan gambaran naratif (pikiran,ide,gagasan) sebagai tersebut di atas maka dapat direpresentasikan bahwa ; persoalan budaya dan makanan menjadi suatu fenomena masyarakat yang cukup kompleks, maka sebagai upaya strategis yang ditempuh harus memperhatikan secara cermat tentang faktor budaya yang ada dalam komunitas etnis-masyarakat akan pentingnya makanan dan gizi bagi tubuh manusia. Upaya yang bersifat preventif dan promotif perlu dilakukan secara sadar oleh masyarakat itu sendiri dengan dukungan tenaga penyuluh gizi sehingga muncul prilaku manusia yang bermartabat serta paham akan pentingnya gizi dan makanan.
Saran konkrit yang perlu digagas ke depannya adalah ; perlu dilakukan upaya perbaikan prilaku-budaya dan makanan lewat pelayanan gizi dan kesehatan. Peran serta masyarakat dengan mengorganisir kader gizi masyarakat serta adanya dukungan lintas sektor untuk mengadvokasi masyarakat tentang budaya yang bias dan tidak memperhatikan faktor gizi dalam karakter fisik makanan (menu,pola dan bahan dasar). Sedangkan pelajaran yang dapat dipetik dari beragam jenis kuliner makanan akan menjadi daya tarik tersediri dalam pesona budaya itu sebagai ciri khas masyarakat-etnis tertentu atau sebagai obyek wisata kuliner yang dapat dijual kepada pihak luar atau bangsa lain dalam industri pariwisata yang berprospek ekonomik.

DAFTAR BACAAN :

1) Koentjaraningrat, 1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
2) Suhardjo, 1996. Perencanaan Pangan dan Gizi, Bumi Aksara, Jakarta.
3) Barba, Corazon V.C, dkk. 1991.Nutrition Intervention Programs. RTP-FNP-UPLB, Philippines.

SEJARAH MUSIK SULING BAMBU DI TIMOR

Oleh:   Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si Sejarah tentang suling bambu sudah sedemikan lama dan erat kaitannya dengan peradaban manus...