Selasa, 20 Agustus 2013

PEKERJA ANAK DAN TAMBANG MANGAN DI KAWASAN TIMOR BARAT, PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Oleh :
Ir. Beny. Ulu Meak, M,Si

Pendahuluan

Pekerja anak adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil. Istilah "pekerja anak" dapat memiliki konotasi pengeksploitasian  anak kecil atas tenaga mereka, dengan gaji yang kecil atau pertimbangan bagi perkembangan kepribadian mereka, keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depan (Wikipedia, 2013). Hal ini oleh pendapat umum  dianggap tidak baik bila seorang anak di bawah umur tertentu, tidak termasuk pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan sekolah. Seorang 'bos' dilarang untuk mempekerjakan anak di bawah umur, namun umum minimumnya tergantung dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Laporan terbaru dari Organisasi Buruh Sedunia (ILO) dalam tahun 2013, menyebutkan sebanyak 10.5 juta anak-anak bekerja sebagai pekerja domestik yang potensial menjurus ke kondisi "perbudakan". ILO menambahkan, hampir tiga perempat dari seluruh jumlah pekerja anak itu adalah anak perempuan, dan 6,5 juta di antaranya berusia antara 5- 14 tahun (Kompas Com, 2013). Secara umum pekerja atau buruh anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya, untuk orang lain atau untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak (Suyanto dan Hariadi, 2000).
Pekerja anak di lokasi tambang kawasan Timor Barat sudah menjadi isu publik, tetapi sampai dengan sekarang belum ada suatu ratifikasi yang dilakukan dengan tindakan pelarangan tegas misalnya penetapan  Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Bupati (Perbub)  atau mencanangkan daerahnya sebagai “zona bebas pekerja anak”. Sementara Indonesia telah meratifikasi secara berturut-turut Konvensi ILO (International Labour Organization) No. 38 mengenai usia minimum untuk bekerja dan Konvensi No. 182 mengenai pelarangan serta tindakan segera untuk menghapus bentuk-bentuk terburuk pekerjaan untuk anak dan salah satunya yaitu dengan ditetapkan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah menentukan bahwa setiap anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang sehingga orang tua dilarang menelantarkan anaknya. Orang tua dapat dikenakan sanksi hukuman kurungan yang cukup berat, termasuk perusahaan, jika mempekerjakan anak di bawah umur.
 
Pekerja Anak di Lokasi Tambang Mangan  di Desa Buk,Kab.TTU 
Kondisi pekerja anak di lokasi tambang Mangan kawasan Timor Barat, sudah semakin memprihatinkan karena keberadaan anak di bawah usia 18 tahun sudah menjadi pemandangan yang lazim, dan hampir di setiap titik lokasi tambang Mangan rakyat maupun tambang perusahaan terdapat anak-anak sebesar 4-5 % dari total jumlah pekerja tambang seluruhnya yang didominasi oleh pekerja anak laki-laki. Meskipun ada beberapa anak yang mengatakan dia ingin bekerja (karena bayarannya yang menarik atau karena anak tersebut tidak suka sekolah), hal tersebut tetap merupakan hal yang tidak diinginkan karena tidak menjamin masa depan anak tersebut. Namun beberapa kelompok penentang pekerja anak  merasa bahwa mempekerjakan anak di bawah umur tertentu merupakan tindakan kekerasan terhadap anak.
Penggunaan anak  sebagai pekerja sekarang ini dianggap oleh negara-negara kaya sebagai pelanggaran hak manusia, dan melarangnya, tetapi negara miskin mungkin masih mengijinkan karena keluarga seringkali bergantung pada pekerjaan anaknya untuk bertahan hidup dan kadangkala merupakan satu-satunya sumber pendapatan keluarga. Pandangan ini mengisyaratkan, bahwa anak merupakan salah satu aset untuk mengatasi masalah ekonomi keluarga. Akibatnya tidak ada lagi pilihan bagi anak, mereka harus bekerja untuk menambah penghasilan keluarga.

Faktor Pemicu Anak Bekerja Di Lokasi Tambang Mangan

Faktor pemicu , mengapa anak terlibat dalam berbagai pekerjaan di lokasi tambang Mangan dapat dikatakan beragam hal ynag mendorongnya sesuai dengan karakteristik kondisi sosial ekonomi (kemiskinan) disamping faktor keterbatasan Sumberdaya Manusia (SDM) dari orang tua ataupun pengaruh budaya setempat.  Hal ini senada dengan laporan penelitian oleh Le Vine (1988) dalam  Irwanto, (1996), menunjukkan bahwa tujuan mempunyai anak pada masyarakat miskin lebih bersifat kuantitatif, artinya semakin banyak anak akan semakin kuat jaminan sosial-ekonomi keluarga. Pandangan ini merupakan salahsatu penyebab utama kenapa anak-anak di bawah umur terpaksa bekerja pada tambang Mangan karena ada anggapan terutama pada keluarga miskin, anak merupakan jaminan hidup keluarga karena tenaganya memberikan sumbangan penghasilan keluarga.
Namun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa masalah kemiskinan bukanlah satu –satunya faktor penyebab timbulnya masalah pekerja anak. Dengan demikian, ada anggapan bahwa permasalahan pekerja anak akan hilang dengan sendirinya apabila permasalahan kemiskinan dapat diatasi, merupakan pandangan yang keliru. Sedangkan pendapat lain menyebutkan kekuatan ekonomi telah mendorong anak-anak masuk ke dalam pekerjaan di lingkungan yang membahayakan merupakan kekuatan yang paling besar dari semuanya, tetapi kebiasaan budaya dan pola sosial yang telah berakar juga turut memainkan peranan penting. Maraknya pekerja anak di lokasi tambang Mangan, kawasan Timor Barat minimal  disebabkan oleh dua aspek yang berpengaruh besar yaitu :  Pertama, meningkatnya angka kemiskinan dengan tuntutan biaya hidup, biaya pendidikan anak, dan lain-lain semakin besar di dalam keluarga telah mendorong orang tua untuk membiarkan anak-anak di bawah usia 18 tahun untuk memberikan kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga keluarga misikin di sekitar lokasi tambang Mangan.; dan Kedua, kurangnya pengawasan terhadap kecenderungan pengusaha tambang Mangan menggunakan tenaga kerja anak. Salah satu alasannya adalah pekerja anak dapat dibayar dengan upah yang lebih rendah dibandingkan dengan orang dewasa.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa anak –anak  dihadapkan bertarung dengan maut untuk mengais rupiah. Resiko tertimbun longsor atau ancaman penyakit tidak lebih penting ketimbang mendapatkan uang untuk membantu orangtua. Misalnya di Kabupaten Kupang, TTS, TTU dan Belu. Anak-anak itu bekerja seperti orang dewasa yaitu;  menggali, mengangkut batu Mangan atau sekedar mengerjakan apa pun pekerjaan kasar yang diperintahkan ‘bos’-nya. Tak berbeda dengan yang dilakukan oleh orang tuanya. anak-anak juga mendapatkan gaji dari hasil jual borongan batu Mangan. Tak heran bila mereka memilih hengkang dari bangku sekolah, dan lebih mementingkan rupiah. Diperkirakan pekerja anak rata-rata memberi sumbangan 10 - 15 %  bagi ekonomi keluarga. Dengan jumlah sebesar itu wajar jika banyak orangtua dengan ekonomi yang terbatas merelakan anaknya mencari tambahan penghasilan. Kenyataan ini menyebabkan anak-anak tersebut semakin terkungkung dalam dunia kerja yang penuh dengan ketidakpastian.
Alasan lain dari perusahan  tambang Mangan  untuk mempekerjakan anak karena pekerja anak mudah direkrut dan tidak sulit dipecat karena sifat bergantung dan tidak berdaya mereka. Selain itu, maraknya pekerja anak di  Timor Barat pada sektortambang Mangan  yang sering luput dari pengawasan pemerintah, menyebabkan banyak temuan tentang upah yang sangat minim, jam kerja yang panjang dan melelahkan, serta tanpa mekanisme perlindungan K3 karena anak dipekerjakan dengan tidak memakaiAPD standar di lokasi tambang Mangan.
Pada keluarga miskin di sekitar lokasi tambang Mangan di Kabupaten TTU, keputusan untuk bekerja sebagian datang dari anak sendiri, tetapi sebagian lain karena keinginan orang tua. Laporan Penelitian oleh Meak, dkk (2013) menemukan bahwa lebih dari separuh orang tua menghendaki anaknya membantu pekerjaan orang tua dengan maksud bekerja sambil sekolah, namun kenyataannya tetap mengakibatkan banyak anak usia sekolah lebih tertarik menekuni pekerjaan daripada sekolahnya. Sedangkan sebagian kecil keluarga lainnya membiarkan anak-anaknya bekerja baik dalam lingkungan keluarga maupun kepada orang lain atau kelompok tambang Mangan yang ada untuk tujuan ekonomi. Dalam situasi krisis belakangan ini kecenderungan keinginan orang tua untuk memperlakukan anak sebagai tenaga kerja produktif menjadi makin kuat karena penghasilan yang diperoleh orang tua tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga.

Dampak Tambang Mangan Terhadap Pekerja Anak

Berbagai bentuk keterlantaran maupun eksploitasi anak dapat berdampak negatif bagi tumbuh kembang mereka. Sekalipun berbagai peraturan telah ditetapkan untuk melindungi anak, pada kenyataannya tidak sedikit perlakuan pengusaha tambang Mangan tanpa mempertimbangkan dampak buruknya pada anak, seperti: praktik eksploitasi, penempatan anak pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan kondisi fisiknya, bahkan berbahaya bagi keselamatan jiwanya. Resiko yang paling mengancam pekerja anak di lokasi tambang Mangan adalah runtuhnya  lubang/gua, yang hampir selalu menyebabkan kematian, walaupun tidak ada laporan yang baru mengenai kecelakaan semacam ini. Selain resiko tersebut, penggalian batu Mangan  juga membutuhkan kegiatan fisik yang cukup berat. Kelelahan dan kesakitan adalah keluhan utama yang diajukan oleh pekerja anak (Meak, dkk , 2013).
Dampak jangka panjang adalah ketidaksiapan anak dalam menghadapi masa depan. Pendidikan yang rendah dan kepribadian yang belum matang akan membuat mereka tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dalam dunia kerja atau lingkungan sosial. Mereka akhirnya berfungsi sebagai pelestari siklus kemiskinan keluarganya. Dengan kata lain, tidak ada mobilitas vertikal yang dialami sang anak dalam perjalanan hidupnya akibatnya pekerja anak akan mengalami gangguan mental dan putus asa, sehingga kebanyakan anak di lokasi tambang mengalami putus sekolah.  Tidak adanya hubungan kerja antara investor penambang dengan pekerja tambang telah memperparah kondisi itu. Akibatnya, para penambang, termasuk buruh anak tidak mendapat jaminan keselamatan kerja, perlindungan saat kerja, asuransi kesehatan dan perlindungan lainnya. Atas hal ini, dapat memberikan petaka yang dihasilkan akibat aktivitas penambangan Mangan di Kawasan Timor Barat -NTT bisa sangat dahsyat. Bahkan pada suatu saat akan mengarah ke genosida (hilangnya ras/suku). Apalagi, sebagian besar pekerja tambang adalah anak-anak berusia sekolah. Kebiasaan menghirup dan menelan partikel partikel logam Mangan sangat berbahaya bagi anak anak.  Gejala keracunan Mangan adalah halusinasi, pelupa (Parkinson) dan kerusakan saraf (kebodohan), emboli paru-paru dan bronkitis, bahkan  ketika terkontaminasi partikel logam  dalam jangka waktu lama, mereka menjadi impoten. 
Sedangkan dalam jangka pendek pekerja anak juga sangat rawan terhadap tindak kekerasan, eksploitasi tenaga dan bahkan stres. Pekerja anak rawan mengalami tindakan-tindakan tersebut, sebab perusahaan pada umumnya mempekerjakan anak tidak berdasarkan segmentasi pekerjaan atas dasar usia. Mereka bekerja di bidang pekerjaan yang layaknya dilakukan pekerja dewasa. Hal  ini memaksa mereka matang sebelum waktunya, baik secara fisik maupun psikis. Walaupun ada alasan bahwa keterlibatan anak dalam dunia kerja karena alasan tradisi atau proses mewariskan keahlian oleh orangtua, namun kenyataannya, ketika ditelusuri lebih lanjut masalah anak-anak yang bekerja erat kaitannya dengan masalah ekonomi keluarga semata. Hal senada disorot  oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO)  di Timor Barat, jumlah pekerja anak pada sejumlah tambang Mangan rakyat cukup tinggi karena diakibatkan oleh krisis keuangan  keluarga yang berkepanjangan. Pendapatan dari orang tua anak yang rendah membuat anak berusaha menghasilkan uang dari aktifitas pertambangan Mangan  telah berdampak pada keselamatan dan moral anak juga akan ikut terganggu. Hal lain yang teridentifikasi adalah bahwa dengan disertakannya anak-anak dalam menambang Mangan maka kesempatan bermain bagi anak semakin kurang dan bahkan tingkat partisipasi sekolah anak juga kian menurun.
Dalam perspektif sosio-psikologis, perusahaan tambang Mangan tidak memperhatikan sama sekali mengenai lingkungan pekerjaan tempat anak-anak dipekerjakan. Lingkungan kerja di lokasi tambang Mangan di tempatkan bukan sebagai lingkungan pendidikan atau media pembelajaran yang layak bagi anak-anak. Lingkungan pekerjaan anak menjadi lingkungan yang tidak representatif untuk menyokong proses pematangan intelektual anak. Lingkungan ini tidak membentuk proses pendewasaan diri anak namun membuat tersumbatnya ruang-ruang positif bagi pengaktualisasian diri anak dan bagi perkembangan jiwanya. Karakteristik lainnya ialah lingkungan pekerjaan anak juga membangun hubungan antara anak-anak dan para pekerja dewasa. Mereka berada dalam poros komunikasi yang timpang. Dari pihak orang dewasa, pekerja anak dipandang oleh mereka sebagai pihak yang inferior (lemah, mudah diatur, senantiasa patuh dan lain sebagainya). Dalam kacamata psikologi anak, orang dewasa dipandang mereka sebagai pihak yang sebaliknya. Orang dewasa diletakkan dalam posisi yang superior (kuat, suka memerintah, wajib dihormati, dapat dijadikan tempat mengadu, dan lain sebagainya), sehingga tanpa disadari banyak resiko dan bahaya lain yang dihadapi yang mengancam masa depan anak  seperti: gangguan fisik (kelelahan dan dehidrasi, luka, cacat fisik, penyakit akibat terpapar zat kimia berbahaya, pertumbuhan lambat akibat terbiasa dengan beban berat, gangguan pada penglihatan, dan pendengaran) maupun gangguan psikis (trauma panjang karena jika terdapat  indikasi tindakan seksual orang dewasa, gaya hidup konsumtif dan kurang kepercayaan diri).


Daftar Bacaan

Irwanto.  1996, Studies of Chile Labour in Indonesia: 1993-1996.  International Programme on the Elimination of Child Labour (IPEC), ILO, Jakarta
Kompas Com , 2013, Pekerja Anak di Dunia,  Artikel dalam  http://internasional.kompas.com, diakses pada tanggal 03 Maret 2013
Meak, Ulu, B; Tahu, Maria, F; Mangngie, Mira, S; Wisang, H; Naisanu, J; dan Maghi, R, 2013, Dampak Pertambangan Mangan Terhadap Relasi Jender di Kabupaten Timor Tengah Utara Propinsi Nusa Tenggara Timur, Laporan Penelitian, Kerja Sama Dengan Oxfam Indonesia, Jakarta.  
Suyanto, Bagong dan Sri Sanituti Hariadi. 2000, Pekerja Anak: Masalah, Kebijakan dan Upaya Penanganannya. Lutfansah Mediatama,Surabaya.
Wikipedia , 2013,  Pekerja Anak , Artikel dalam  http://id.wikipedia.org, diakses pada tanggal 21 Febuari 2013

SEJARAH MUSIK SULING BAMBU DI TIMOR

Oleh:   Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si Sejarah tentang suling bambu sudah sedemikan lama dan erat kaitannya dengan peradaban manus...