Rabu, 25 September 2019

IKLIM TROPIK SEMI- RINGKAI (SEMI-ARID) DAN DAMPAK POTENSI BENCANA DI NUSA TENGGARA TIMUR


Oleh:
Ir.Beny. Ulu Meak, M.Si

I.         PENDAHULUAN
Secara umum, iklim wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) termasuk ke dalam kategori iklim semi-arid, dengan periode hujan yang hanya berlangsung 3-4 bulan dan periode kering 8-9 bulan. Kondisi iklim demikian mendeterminasi pola pertanian tradisional NTT yang hanya mengusahakan tanaman semusim dan ditanam dalam periode musim hujan.
Dalam konteks iklim, kata arid digunakan untuk menyatakan keadaan yang merujuk kepada suatu kontinum nisbah (ratio) rerata presipitasi tahunan (meliputi curah hujan, embun, dan salju) terhadap evapotranspirasi potensial tahunan (meliputi penguapan dari badan perairan terbuka dan penguapan dari mahluk hidup). Kata bahasa Indonesia yang digunakan secara teknis sebagai padanan kata arid adalah ringkai sehingga semi-arid menjadi semi-ringkai (Mudita, 2010).


II.      CUACA DAN IKLIM YANG BERPENGARUH
Pada dasarnya cuaca dan iklim merupakan faktor keselamatan, penunjang dan pembatas sumberdaya alam dan lingkungan telah memberikan pandangan kepada manusia untuk melakukan berbagai aktivitas di berbagai bidang kegiatan seperti bidang pertanian, infrastruktur dan bangunan maupun pola hidup atau budaya masyarakat yang saling berbeda. Secara eko-klimat sebagian besar wilayah NTT memiliki karakteristik sebagai daerah dengan kategori iklim semi-ringkai (semi- arid) dengan rata-rata curah hujan tahunan berkisar 1500-3000 mm per tahun dan terjadi dalam waktu yang singkat (3-4 bulan) dan fenomena ini menggambarkan bahwa sistim pertanian di NTT lebih didominasi oleh pola pertanian lahan kering Mudita (1999) dalam (Mau, 2008).
Menurut  Soerjani dkk,(1987) bahwa cuaca adalah keadaan udara dan gejala-gejala yang ada di dalamnya pada suatu saat tertentu. Sedangkan iklim adalah ciri atau sifat yang dimiliki oleh suatu udara di suatu tempat atau wilayah berdasarkan nilai rata-rata dari unsur cuaca yang terjadi selama kurun waktu yang panjang. Unsur-unsur cuaca di suatu tempat dapat berupa suhu (T), tekanan (P), angin (W), kelembaban (H), awan (c), hujan (R), dan kabut (V).
Cuaca dan iklim di NTT tidak terlepas dari pengelolaan berbagai jenis sumberdaya alam maupun produksi pangan, sehingga konsekuensinya jika terjadi perubahan cuaca maka iklim juga berfluktuasi akibatnya produksi pangan juga selalu berfluktuasi bahkan ketika terjadi bencana kekeringan maka dapat terjadi krisis pangan seperti terjadi pada tahun 2008. Kekhawatiran akan dampak perubahan suhu (unsur cuaca) pada dasawarsa terakhir ini telah melahirkan isu menarik tentang adanya pemanasan global (global warming) sebagai indikasi manusia ikut bertindak sebagai faktor pengubah iklim karena pemanasan global disinyalir disebabkan oleh  Gas Efek Rumah Kaca (GERK), penebangan dan pembakaran hutan dan penggunaan bahan bakar fosil (bbf) yang berlebihan. Hal ini jika ditelaah dari aspek klimatologis dikatakan bahwa NTT sangat rentan terhadap kekeringan dan ketersediaan pangan yang dijelaskan oleh Arjana, (2010) bahwa beberapa faktor geografis yang menyebabkan fenomena kekeringan di NTT adalah : (1). Letak astronomis NTT yang berada pada 80 – 120 LS dan  1180 – 1250 BT  dimana berada di luar zona doldrums atau palung equatorial yang berdampak pada kekurangan curah hujan; (2).Letak geografis NTT yang berada pada bagian tenggara, berimplikasi kurangnya curah hujan karena angin musim membawa hujan dari arah barat dan makin ke timur menyebabkan kandungan uap air makin rendah; (3). Faktor topografis, dengan ketinggian tempat dan kondisi pegunungan yang berada pada ± 2000 meter dpl yang bertumbukan dengan awan cumulus dan awan cummulonimbus  dapat mengakselerasi presipitasi, sehingga kawasan pulau Flores lebih basa dari pulau Timor; (4). Faktor lahan dengan kondisi tanah yang bersifat menyerap air yang tinggi (poroseus) karena tanah didominasi oleh struktur tanah berbatuan gamping; (5). Faktor vegetasi, karena penutupan vegetasi yang kurang maka tidak dapat mempertahankan tingkat kelembaban; (6). Pengaruh perubahan iklim global karena naiknya suhu akibat gas efek rumah kaca, pembukaan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil (bbf) yang berlebihan; (7).Pengaruh iklim regional, karena letaknya dekat dengan kawasan pasifik yang selalu menyebabkan fenomena el nino ; dan (8). Faktor penduduk, dengan praktek ladang berpindah dan tidak ramah lingkungan. 
       
III.             DAMPAK POTENSI BENCANA
Dampak dari kondisi cuaca dan iklim semi rinkai (semi-arid) di NTT dengan fenomena pemanasan global akan memberikan potensi bencana yang akan terjadi antara lain : kekeringan, banjir/tanah longsor. populasi hama pertanian, gagal tanam dan gagal panen yang akan bermuara pada tingkat ketersediaan pangan yang semakin berfluktuasi karena produksi pertanian akan cenderung menurun jika tidak dikelola secara baik dan terfokus. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Murdiyanto (2000) dan FAO  (2006) dalam (Mau,2008) bahwa secara umum dampak perubahan iklim akibat pemanasan global di beberapa wilayah regional akan mengalami penurunan produksi pertanian yang signifikan bahkan kekurangan pangan dan kelaparan, tetapi produksi di suatu wilayah akan di isi oleh peningkatan produksi di wilayah lain. 
            Lebih lanjut Mau (2008) menjelaskan bahwa dampak potensi bencana dengan posisi NTT yang berada pada daerah semi -arid sebagaimana daerah-daerah lain yang di sekitar katulistiwa sebagai akibat dampak pemanasan global adalah : (1). Kekeringan baik dari aspek perluasan wilayah dan lamanya kekeringan; (2). Meningkatnya curah hujan dari perubahan cuaca dalam waktu yang singkat yang menyebabkan daerah ini rentan terhadap banjir/tanah longsor dan erosi; (3). Meningkatnya curah hujan dan kekeringan dalam waktu singkat akan menyebabkan produktivitas pertanian menurun; (4). Fluktuasi cuaca dan iklim akan menyebabkan pergeseran musim tanam dan waktu tanam yang tidak menentu dan pada gilirannya timbul gagal tanam dan gagal panen; dan (5). Perubahan suhu yang tinggi pada kisaran tertentu akan mempersingkat siklus hidup hama dan konsekuensinya akan timbul peningkatan populasi hama dalam waktu singkat, contoh : kasus hama belalang kumbara di TTU pada tahun 2008 dan di Sumba Barat. pada tahun 2006.
 

IV.RESPONS MASYARAKAT DENGAN POLA PELADANG
Menurut Naylor,dkk (2006) dalam (Diposaptono,2009) mengatakan bahwa perubahan iklim menyebabkan perubahan pola curah hujan. Perubahan itu ditandai dengan terlambatnya awal musim hujan, sedangkan akhir  musim hujan terjadi lebih cepat. Disisi lain walaupun musim hujan itu berlangsung lebih singkat namun memiliki intensitas curah hujan yang lebih tinggi dan dengan semakin pendeknya periode musim hujan maka periode musim kemarau bertambah lebih panjang. Hal ini terjadi terutama di daerah yang terletak di bagian selatan katulistiwa  seperti NTT. Faktanya bahwa  dalam tahun 2010 (pada bulan Maret – Oktober) sebenarnya wilayah NTT berada pada musim kemarau, tetapi berubah menjadi pendek dan hujan turun lebih awal sebagai akibat dari fenomena la nina yang dipicu oleh pengaruh perbedaan tekanan udara yang ada di daerah asia pasifik (pusat tekanan udara tinggi) yang bergerak menuju pusat tekanan udara rendah di wilayah Australia sehingga menyebabkan NTT memasuki musim hujan lebih cepat. Namun karena perubahan iklim ini tidak disadari oleh masyarakat akibat kurangnya sosialisasi dari pemerintah disamping karena tidak adanya pemahaman yang baik oleh masyarakat tentang fenomena la nina ini  maka respon kegiatan bertani dengan pola perladangan berpindah tidak sempat dilaksanakan oleh para petani  di NTT (kasus wilayah Timor Barat).
Pola bertani masyarakat di NTT dilakukan secara tradisional dengan sistim perladangan berotasi yang sering disebut juga sebagai perladangan berpindah (Swilddening) atau peladang tebas-bakar (Slash and burning farmer) dengan memanfaatkan kesuburan tanah hutan dan potensi lingkungan hutan/belukar yang relatif luas untuk kelangsungan hidupnya dengan waktu rotasi berladang/berkebun 3 – 5 tahun untuk kembali pada lokasi kebun yang pertama sedangkan tenggang waktu tersebut kebun yang lainnya dibiarkan bera begitu saja. Kegiatan tebas –bakar dilakukan dengan menebang hutan/belukar dan membakarnya secara teratur atau bisanya disebut ” Kono ” (istilah lokal di Kabupaten TTU). Kegiatan ini dinilai oleh masyarakat sebagai teknologi sederhana dan murah karena memberikan hasil tanaman yang cukup baik selama 1-2 kali masa tanam pada lahan yang sama sedangkan berikutnya mereka sudah melakukan rotasi pada kawasan lahan lain. Hal ini kalau dibiarkan terus akan memberikan ancaman terhadap kelesetarian SDA dan lingkungan hidup (Woha, 2001). Oleh karena itu maka respons petani di NTT harus di siasati untuk dapat beradaptasi dengan perubahan cuaca dan iklim dengan mengembangkan berbagai teknologi yang dapat meningkatkan produksi pertanian lahan kering.
Mencermati hal ini maka dianjurkan rekomendasi strategi adaptasi perubahan iklim dalam menghadapi dampak ancaman perubahan iklim (kekeringan) di NTT untuk waktu ke depan didasari atas dua skenario iklim yaitu curah hujan yang masih cukup sampai akhir April dan keadaan segera berakhirnya musim hujan pada awal April yaitu : Pertama : Tekologi anjuran pada keadaan curah hujan yang masih cukup sampai akhir April dimungkinkan untuk masih bisa menanam tanaman berumur pendek seperti jenis kacang-kacangan dan sebaiknya jenis kacang hijau dengan pemberian mulsa. Orientasi dari penerapan teknologi pada skenario pertama adalah produksi pangan untuk kebutuhan keluarga; dan Kedua : Tekologi anjuran pada keadaan segera berakhirnya musim hujan (awal April)  lebih ditekankan pada teknologi untuk menciptakan nilai tambah, dan sebaiknya tidak diarahkan untuk penanaman. Alasan utama tidak menanam adalah karena tidak tersedianya lengas tanah yang memadai untuk jangka waktu satu musim produksi. Selain itu, penekanan pada peningkatan nilai tambah karena petani-petani juga memliki tanaman-tanaman keras yang sudah berproduksi dan tidak banyak berpengaruh pada akibat gangguan curah hujan. Tanaman-tanaman keras yang umum dimiliki oleh petani  dan berada pada masa produksi untuk jangka waktu ini antara lain, kelapa, pisang, kemiri dan mente yang nantinya dapat diolah menjadi produk yang bernilai ekonomis. Selain itu, meningkatkan mutu pemeliharaan ternak seperti ayam buras (untuk produksi daging dan telur), kambing, babi dan sapi.yang lebih beroerientasi pada pendapatan (uang cash).


DAFTAR PUSTAKA
Ardhian,D.,2010., Pertanian Ekologis : Jalan Mengatasi Krisis Pangan dan Tantangan Perubahan Iklim, Opini dalam http://www.krkp.org/pertanian-berkelanjutan, diskses tanggal 4 Februari 2011.
Arjana, I G.B, 2010., Kekeringan dan Kekurangan,Artikel dalam Pos Kupang,Kamis tanggal 2 September 2010, Halaman 4.
Diposaptono,S; Budiman dan Agung.F., 2009., Menyiaasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,Buku Ilmiah Populer,Bogor.
Mau,Y.S, 2008., Dampak Pemanasan Global Terhadap Ketersediaan Pangan Dunia, Konteks Nusa Tenggara Timur, Orasi Ilmiah disampaikan pada acara Wisuda Magister, Sarjana dan Ahli Periode Mei 2008, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Soerjani,M, Ahmad.R,dan Munir,R, 1987., Lingkungan Sumberdaya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan,Universitas Indonesia Press,Jakarta.
Subandryo,T, 2011., Mewaspadai Krisis Pangan, Opini dalam http://cetak.kompas.com/read/2011/01/17/04242112/mewaspadai.krisis.pangan, diakses tanggal 4 Februari 2011.
Woha. U. P.2001., Pembangunan Pertanian Lahan Kering di Nusa Tenggara Timur. Dalam Pembangunan Pertanian di wilayah Kering Indonesia, Widya Sari, Salatiga.

SEJARAH MUSIK SULING BAMBU DI TIMOR

Oleh:   Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si Sejarah tentang suling bambu sudah sedemikan lama dan erat kaitannya dengan peradaban manus...