Kamis, 13 Februari 2014

MENCERMATI NAMA KOTA ATAMBUA DAN ATAPUPU (TINJAUAN PERDAGANGAN BUDAK PADA ABAD 16 – 19 DI BELU)



Oleh:
Ir.Beny Ulu Meak, M.Si

Pendahuluan
Perbudakan adalah keadaan di mana orang menguasai atau memiliki orang lain. Sebagian ahli sejarah mengatakan perbudakan mulai timbul sesudah orang mulai hidup menetap dan pengembangan pertanian-peternakan, sekitar sepuluh-ribu tahun yang lalu. Awalnya, para budak terdiri dari penjahat atau orang-orang yang tidak bisa membayar hutang. Ketika terjadi peperangan, kaum yang kalah juga diperlakukan sebagai budak oleh kaum yang menang. Perbudakan adalah sebuah kondisi di saat terjadi pengontrolan terhadap seseorang (disebut budak) oleh orang lain. Perbudakan biasanya terjadi untuk memenuhi keperluan akan buruh atau tenaga kerja oleh orang lain dengan perlakuan yang sangat eksploitatif dan tidak mempertimbangkan hak asasi manusia. Para budak adalah golongan manusia yang dimiliki oleh seorang tuan, bekerja tanpa upah dan tidak mempunyai kebebasan pribadi. Jika dilihat dari status sosial, pada umumnya orang-orang budak berada pada lapisan paling bawah dari komunitas masyarakat. Tidak jarang mereka diperlakukan seperti binatang yang dapat diperjualbelikan, mereka harus taat dan menurut kepada kemauan pemiliknya atau majikannya dan nasib mereka tergantung kepada pemiliknya jika tidak disenangi  suatu waktu dapat dijual lagi kepada pihak lain yang membutuhkannya. 
Menjadi budak berarti dipaksa untuk bekerja dan tidak mempunyai hak berpendapat untuk memilih bekerja dimana, dengan siapa dan bagaimana bahkan hak hidup dikuasai juga oleh tuannya (Nuryahman,2008). Kebanyakan orang kuno berpendapat bahwa perbudakan merupakan keadaan alam yang wajar, yang dapat terjadi terhadap siapapun dan kapanpun. Berbagai cara dapat ditempuh seperti menaklukan suku lain lalu menjadikan mereka sebagai budak, atau membeli dari para pedagang budak lokal.

Aktivitas Perdagangan Budak di Belu

Awalnya, perbudakan di Belu hanya terjadi antar golongan yang berkuasa atas individu dan individu yang dikuasai. Penguasaan atas individu bisa terjadi secara sederhana. Misalnya, tidak mampu membayar utang sampai waktu yang ditentukan, atau satu suku merampok suku lain yang lebih lemah dan memperbudak masyarakat yang dirampok. Hal ini dikatakan juga oleh Parera (1994) bahwa pada mulanya budak itu adalah tawanan perang atau yang diculik berdasarkan keadaan permusuhan antar suku.  Namun dengan adanya dorongan perdagangan budak dari pihak Belanda dan Portugis pada waktu itu, maka sebagai wilayah taklukan sehingga para golongan bangsawan atau raja-raja di Belu ikut melaksanakan aktivitas perdagangan budak tersebut bahkan melakukan kesepakatan perjanjian (Korte Verklaring). Hal ini dijelaskan oleh Anwar (2004) bahwa Belanda dan Portugis dikenal aktif melaksanakan perdagangan budak yang ramai dari Timor sampai abad 19. Setelah didirikan kota Batavia (1619) oleh kompeni Belanda, karena keadaan genting dan membutuhkan tenaga kerja maka pada abad 17 dalam jumlah kecil di inpor juga budak-budak dari pulau Timor (Poesponegoro dan Notosusanto, 2008). Hal ini dibuktikan dengan catatan dari sumber VOC tahun 1765 menjelaskan bahwa terdapat aktivitas perdagangan budak-budak belian  dan perdagangan terbuka yang menjual beli budak diTimor dan menurut Tung Hsi Kau, seorang pedagang Cina tahun 1618 sudah mulai ramai dilakukan komoditas perdagangan di Timor yaitu: Cendana, Lilin, Madu dan Budak. Perdagangan budak oleh Belanda meningkat lagi pada tahun 1621 yang dipicu dengan berdirinya perusahaan perdagangan Belanda di India Barat yaitu West Indische Compagnie (WIC).  Pada tahun 1667 setelah Belanda menguasai Makasar, maka aktivitas perdagangan budak ditingkatkan lagi karena kebutuhan tenaga kerja.
Zaman Portugis dan Belanda pulau Timor cukup dikenal sebagai gudang budak-budak. Hal mana oleh Prof P.J.Veth dalam tulisannya Het Eiland Timor menyatakan bahwa residen Van Este di Kupang tahun 1789 memiliki ribuan budak - hamba sahaya.
Di Pulau Timor, yang pada abad ke-18 telah dikuasai Portugis, terdapat sejumlah pelabuhan dengan komoditas budak. Salah satunya Atapupu. Tidak ada data akurat mengenai jumlah budak dari Atapupu dan destinasi mereka, namun almarhum Rosihan Anwar pernah menemukan keluarga keturunan Nusa Tenggara di Afrika Selatan. Jumlah mereka cukup banyak dan turun-temurun menyatu dengan masyarakat Makassar yang datang bersama Syech Yusuf (Harian Republika, 2003).
Sementara di Belanda, tenaga kerja budak dan usaha perbudakan baru dilarang pada tanggal 1 Juli 1863. Belanda tercatat sebagai salah satu negara Eropa terakhir yang membebaskan para budaknya. Perdagangan budak belian ini sempat menjadi komoditi sampai pada tahun 1892 (pada daerah Jenilu-Atapupu) dan pada akhirnya di awal abad 20-an Pemerintah Belanda mengeluarkan Pax Nederlandica sehingga perdagangan budak dihapus dan diawasi secara ketat.

Lahirnya Nama  Kota Atambua dan Atapupu

Perdagangan budak secara historiagrafi di Pulau Timor dan sekitarnya memiliki hubungan yang erat dengan nama kota Atambua dan Atapupu sekarang di Kabupaten Belu. Orang Belu kebanyakan sudah mengenal “budak” dengan sebutan “Ata” atau “klason” (bahasa Tetun) yang merupakan golongan hamba sahaya. Mereka yang masuk dalam golongan ini biasanya merupakan tawanan perang yang dijadikan budak untuk melayani kebutuhan masyarakat golongan dasi/dato atau Na’I (sebutan golongan bangsawan di Belu) bahkan renu (rakyat jelata) lainnya. Hal ini diceritakan dari mulut ke mulut (folklor) bahwa, raja-raja di Belu saat itu setiap melakukan suatu kunjungan maka di dalam rombongan raja selalu disertakan juga hamba sahayanya–budak (Ata) sebagai pembantu atau pelayan. Bahkan para dasi/dato maupun renu ada juga yang membeli para budak untuk dipekerjakan di kebun/ladang dan sebagai gembala ternak. Oleh karena itu, maka di kalangan masyarakat Belu dikenal hamba sahaya/budak belian/perdagangan budak  (atan sosa = bahasa Tetun).
Pada masa pemerintahan  kerajaan adat Fehalaran, wilayah Atapupu dan Atambua termasuk dalam struktur pemerintahan adat yang dikenal dengan sebutan Dasi Sanuluk, Aluk Sanulu. Peranan Kota Atapupu (Jenilu) sebagai pasar hamba sahaya pada saat itu. Sedangkan Kota Atambua berperanan sebagai tempat penampungan sementara para budak selanjutnya dibawa ke Atapupu. Secara etimologis arti nama Kota Atambua berasal dari kata Ata (hamba sahaya/budak) dan Buan (Suanggi), maka diartikan berasal dari nama sebuah tempat berkumpul orang-orang untuk melakukan aktifitas perdagangan budak atau penampungan para budak. Kemungkinan yang dijadikan budak saat itu adalah orang-orang yang dianggap memiliki ilmu sihir (suanggi), sehingga ditangkap dan dijadikan budak oleh para bangsawan. Selanjutnya menjadi nama “Atambua”, yang berarti “Tempat budak atau hamba dan suanggi”. Masih menurut cerita rakyat bahwa budak-budak yang telah dibeli dibawa ke pantai utara, saat ini dikenal dengan nama pelabuhan Atapupu yang berjarak 48 kilometer dari Kota Atambua. Nama “Atapupu”  berasal dari kata “ata” untuk budak dan “pupu” (berkumpul) atau juga berasal dari kata “futu” (diikat), sehingga berarti “tempat budak berkumpul atau budak diikat”, sambil menunggu kapal untuk di bawa keluar Pulau Timor.


Daftar Bacaan

Anwar, Rosihan, 2004, Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia, Buku Kompas, Jakarta.
Harian  Republika, 2003, Akhir Perbudakan di Hindia Belanda, Artikel dalam http://koran.republika.co.id/koran , Diakses pada tanggal 13 Januari 2014.
Nuryahman,S,S, 2008, Perdagangan Budak Di Nusa Tenggara Timur Sampai Abad Pada Ke-19, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali, NTB dan NTT, Denpasar.
Parera, A.D.M, 1994, Sejarah Pemerintahan Raja-Raja  Timor, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Poesponegoro, M. D dan Notosusanto, N, 2008, Sejarah Nasional Indonesi III, Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Minggu, 09 Februari 2014

MENELUSURI STRUKTUR PEMERINTAHAN TRADISIONAL KERAJAAN WE HALI DI KABUPATEN MALAKA-TIMOR BARAT


Oleh
Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si


Pendahuluan
Dalam sejarah raja-raja di Pulau Timor  khusunya Timor Barat dikenal adanya sebuah kerajaan di Belu Selatan atau Kabupaten Malaka sekarang yakni kerajaan We Hali yang di dirikan oleh para migran dari negeri Malaka dan biasa dituturkan dengan istilah “Sina Mutin Malaka”(Orang Cina Putih dari Malaka) yang datang ke Pulau Timor. Kedatangan mereka secara bertahap, dengan tempat persinggahan atau pintu masuk dan pendaratan yang berbeda serta dengan motif yang bervariasi pula. Merujuk pada apa yang sering dituturkan oleh para Mak’oan atau sastrawan adat yang tersebar di seluruh wilayah Belu dengan sebutan “Sina Mutin Malaka, Larantuka Baboe” Bila mereka menyebut nama ini, maka tiap orang terus tahu yang dimaksudkan ialah : leluhur orang Belu berasal dari Malaka, mereka meninggalkan tanah airnya dan mencari tempat baru untuk dihuninya dengan pelayarannya ke Pulau Timor melalui Larantuka.
Kedatangan leluhur dari Malaka yang mendarat di Pantai Selatan, Timor Barat dan kemudian mereka menaklukan dan beradaptasi dengan orang asli Pulau Timor yang disebut sebagai “Melus” dengan waktu yang cukup lama dan mengalami proses asimilasi dengan kelompok lain yang datang ke wilayah Belu Selatan selanjutnya mendirikan sebuah kerajaan di Belu Selatan. Tentunya ada faktor pemicu mengapa mereka pindah dari tempat asalnya dan mencari tempat tinggal baru. Alasan yang paling urgensi yaitu faktor perdagangan, selain itu terdapat pula faktor peperangan,wabah penyakit dan gempa bumi di daerah asalnya sehingga mendorong untuk mencari daerah lain ataupun faktor ketersesatan waktu dalam pelayaran ke suatu tempat lain dan akhirnya terdampar di pantai Selatan –Timor Barat.

Struktur Pemerintahan Kerajaan We Hali

Awal waktu tahun berdirinya kerajaan We Hali masih belum diketahui secara pasti. Hingga kini bukti-bukti yang berhasil di temukan seputar sejarah kerajaan We Hali hanya berdasarkan tutur adat dan catatan-catatan kuno ataupun laporan hasil penelitian dari beberapa pihak misalnya catatan Antonio Pigafetta yang disadur oleh Le Roux, menyebutkan bahwa pada tahun 1522 di bagian Selatan Pulau Timor sudah ada empat kerajaan yaitu: Oibich, Lichsana, Suai, Kabanaza (Usfinit, 2003). Selanjutnya menurut catatan arsip kuno orang Portugis yang disadur oleh Lumenta (2011) menyatakan bahwa sejak tahun 1260 telah berdiri Kerajaan We Hali sebagai satu-satunya kerajaan pribumi yang lolos dari pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu Budha yang sudah bertebaran di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Kerajaan We Hali telah mempersatukan berbagai kerajaan kecil di seluruh  Pulau Timor dan pulau-pulau sekitarnya.
Kerajaan baru yang di dirikan oleh para migran dari Malaka dinamakan We Hali. Nama ini diberikan untuk mengenang kembali leluhur pertama mereka yang telah menanam pohon beringin (Bahasa Tetun : Hali = beringin dan We = air) pada saat pertama mereka mendarat di wilayah Belu Selatan. Hal ini dimaksudkan sebagai bukti pemersatu dan  persaudaraan. Pusat kerajaan berada di Laran-Betun  yakni sebuah dataran  yang subur di pinggir sungai Benain. Demikian juga seperti pendapat  Fox dan Therik  (2002) bahwa lembah Benain yang subur telah menjadikan Kerajaan We Hali di Belu Selatan sebagai suatu kerajaan yang independen dengan bentuk kekuasaan yang paradoksal (the power of the powerlessness), apalagi didukung dengan pelabuhan alam Mota Dikin yang terletak pada muara sungai Benain sebagai tempat terpenting untuk perdagangan kayu cendana pada saat itu.
Kerajaan We Hali saat itu diperintah oleh seorang raja agung yang bergelar sebagai “Maromak Oan” (Bahasa Tetun = Anak Allah atau Titisan Allah). Raja agung ini tidak langsung memerintah tetapi sebagai lambang/simbol spiritual dan tidak boleh bekerja. Ia hanya makan dan minum lalu tidur (dalam tutur adat disebut dengan “Ma Ha Toba, Ma Hemu Toba”). Hal ini menurut Parera (1994); Tifa dan Itta (2007) serta Bouk (2012) bahwa pandangan orang Belu pada saat itu mengakui rajanya sebagai sumber kebenaran dan kebijaksanaan yang memiliki kewibawaan tanpa salah dan memiliki kekuasaan penuh sebagai titisan Allah untuk membimbing dan mengayomi para rakyatnya (Bahasa Tetun = Renu) termasuk dalam hal sakral sekalipun karena memiliki rahmat dan kesaktian yang bersifat supra natural. Maksudnya bahwa raja agung memiliki kekuasaan tunggal dan kemampuan istimewa untuk mengayomi, melindungi dan membimbing para rakyatnya dengan sunguh-sungguh untuk mencapai kedamaian dan keamanan dalam wilayah kekuasaannya.
Sistim pemerintahan di Kerajaan We Hali didasarkan pada sistim kemurnian hubungan darah dan keturunan (genealogis) yang diperkuat dengan pengukuhan teritorial yang dimilikinya. Pada masa itu urusan pemerintahan dipimpin oleh Liurai dan dalam pelaksanaannya dijalankan oleh Liurai We Hali atau lebih terkenal dengan Liurai Fatuaruin yang dibantu oleh beberapa Loro. Tingkat dibawah Loro adalah Na’I atau raja kecil yang merupakan wilayah taklukan. Urutan keturunan ini didasarkan pada hubungan perkawinan antara para raja, sehingga sampai sekarang membentuk suatu kerangka struktur sosial adat yang membentuk wilayah kesatuan adat di daerah Belu. 
Sebagai pelaksana pemerintahan di bawah kekuasaan Maromak Oan terdapat 3 (tiga) “Liurai” yakni: :
1)   Liurai We Hali dan dikenal sebagai Liurai Fatuaruin; Di atas pundak Liurai We Hali/Fatuaruin terdapat 2  (dua) jabatan penting yakni: Pertama : sebagai Liurai We Hali yang berkuasa atas seluruh wilayah Belu,  Biboki, dan Insana (sekarang TTU); dan Kedua : sebagai Liurai Fatuaruin menguasai wilayah Fatuaruin, Manulea dan Bani-Bani yang merupakan pemasok utama logistik bagi kerajaan. Liurai Fatuaruin juga bertindak sebagai wakil umum dari sang raja agung “Maromak Oan” yang bertugas untuk menyelesaikan seluruh urusan pemerintahan, pertahanan-keamanan dan perdagangan dengan kerajaan lain di luar Pulau Timor atau wilayah sekitarnya.
2)   Liurai Likusaen dan lebih dikenal sebagai Liurai Suai Kamanasa; menguasai seluruh wilayah Suai dan wilayah Timor Timur yang lain (sekarang Negara RDTL).
3)   Liurai Sonbai dan lebih dikenal sebagai Sonbai Besar: menguasai di wilayah Miomaffo (sekarang Kabupaten TTU), wilayah Amanuban, Molo (sekarang Kabupaten TTS) hingga wilayah Amfoang dan Amarasi (sekarang Kabupaten Kupang). Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Hidayat (1976) bahwa sampai sekarang masyarakat Atoni Meto di wilayah Kabupaten TTU, TTS dan Kupang ; jika hendak melaksanakan ritual adat seperti kegiatan pertanian selalu memohon keberhasilan dengan menyebut Liurai Sonbai. Hal yang sama  jika melakukan upacara “Takanaf”  atau  “Natoin”  selalu menyebutkan akan leluhur mereka yaitu berasal dari “Oe Nunu”  atau We Hali. Hal ini menunjukkan bahwa secara faktual masyarakat mengakui adanya kekuasaan Kerajaan We Hali lewat Liurai Sonbai di wilayahnya dan sesuai dengan aspek genealogisnya.    
Liurai (Bahasa Tetun: Liu = lebih atau melebihi; dan Rai = Tanah atau bumi), oleh karena itu Liurai dapat diartikan sebagai pemangku bumi dan merupakan bangsawan kelas atas yang memerintah dan berkuasa atas beberapa wilayah dalam hal ini mengurusi sistim pemerintahan dan mengkoordinasikan para raja dibawahnya yang berstatus bangsawan kelas menengah atau para “Loro”. Sedangkan menurut Doko (1981) mengartikan Liurai adalah memrintahkan tanah, sehingga di dalam tutur adat Liurai sering disebutkan sebagai “ Leo Lema rai, beta lema rai “ artinya Liurai wajib menaungi seluruh wilayah dan menjelajahi seluruh wilayah yang menjadi kekuasaannya.  Dikisahkan, pada zaman itu, Liurai pertama We Hali adalah seorang wanita yang cantik menawan, disanjung, diberi gelar Hoa Diak Malaka. Ia adalah Liurai feto (Bahasa Tetun  = Wanita)  dan kawin dengan Seran Taen Boboto Rui Makerek yang diberi gelar : ” Sui Likusaien, Sui We Hali” (Bahasa Tetun: Sui = menanduk).  
Di bawah Liurai terdapat para “Loro”. Sebutan gelar Loro (Bahasa Tetun = matahari) dan diartikan sebagai bangsawan menengah. Struktur pemerintahan di bawah Liurai We Hali/Fatuaruin di Belu Selatan terdapat 4 (empat) kerajaan  yang bergelar Loro yakni: (1) Loro We Hali-We Wiku; (2) Loro  Hatimuk; (3) Loro Lakekun; dan (4) Loro Dirma. Ke-empat Loro ini biasa dituturkan sebagai “Mane hat, laen hat, rin besi hat, rin kmurak hat” artinya : empat lelaki, empat wilayah, empat kekuatan pertahanan - keamanan/pangan, empat kekuatan keping uang/ekonomi. Di Belu Utara terdapat 3 (tiga) kerajaan yang berstatus Loro yakni: (1) Loro Fehalaran; (2) Loro Bauho; dan (3) Loro Lasiolat. Fakta menyebutkan bahwa Kerajaan Fehalaran sejak awal hanya merupakan kerajaan adat dengan kekuasaan tertinggi berada pada Loro Bauho dan Loro Lasiolat (Buru, 2009). Di bawah Liurai Likusaen terdapat Loro Likusaen yang pusatnya berada di kerajaan Suai Kamanasa, serta dibawah Liurai Sonbai terdapat Loro Sonbai yang pusatnya berada di wilayah Mutis-kerajaan Amanatun. Tugas utama para Loro ini adalah mengkoordinir para raja kecil (Na’I) yang berada di sekitarnya untuk mengatur upeti (Bahasa Tetun = Fohon) bagi raja agung serta sebagai kekuatan persediaan pangan atau pertahanan keamanan wilayah. Menurut laporan penelitian oleh Ninu dkk.(1999) di wilayah bekas kerajaan Nenometa-Amanatun Utara bahwa Kerajaan Nenometa memiliki kewajiban yang mutlak untuk menyampaikan upeti yaitu pemberian persembahan/hadiah sebagai tanda hormat kepada kerajaan induk Liurai We Hali di Belu Selatan setiap tahunnya lewat Liurai Sonbai. 
            Di bawah Loro terdapat para “ Na’I” atau raja kecil yang memiliki kekuasaan untuk memerintah di beberapa wilayah sekitarnya. Banyaknya wilayah pemerintahan dari kerajaan We Hali di Pulau Timor pada saat mencapai masa kejayaannya memiliki 37 Na’I yang tersebar di Pulau Timor (Parera, 1994).
Di lingkungan Kerajaan/Loro Fehalaran terdapat beberapa kerajaan kecil diantaranya: Kerajaan Lidak, Jenilu, Naitimu dan Mandeu  berstatus “ Oa natar hat, Oa laluan hat, Basa isin hat, Kaer kadun hat, Taka ulun hat, Sabeo hat” yang merupakan wilayah mata rantai perdagangan menuju pelabuhan Atapupu dan Batugede. Ke-empat kerajaan ini mempunyai pemerintahan sendiri namun tunduk pada kekuasaan Loro Fehalaran. Di lingkungan Kerajaan/ Loro Bauho terdapat beberapa kerajaan yaitu : Dafala, Takirin, Manleten, dan Umaklaran. Selanjutnya di wilayah Kerajaan/Loro Lasiolat terdapat kerajaan : Asumanu, Tohe/Maumutin dan Aiton (Buru, 2009). Kerajaan-kerajaan yang berada di bawah Loro ini diberi gelar “Na’I” dengan tugas utama yaitu menjalankan sistim kepemerintahan secara otonom serta memberikan upeti kepada Loro selanjutnya diteruskan kepada para Liurai.
Di wilayah kedaulatan Loro Likusaen terdapat kerajaan Suai Kamanasa, Bobonaro, Maubara dan Lautem. Kemudian untuk wilayah kekuasaan Loro Sonbai terdapat kerajaan: Maubes-Insana, Biboki, Oenam, Amanuban (Banam), Amanatun (Onam), Molo. Nenometa.Tafnai, Taebenu, Fatuleu dan Amabi. Hal ini ini disebutkan oleh Usfinit (2003) bahwa  sesuai dengan catatan dan tutur adat masyarakat Insana dikatakan kerajaan Maubes-Insana  leluhurnya adalah dari kerajaan We Wiku, We Hali. Demikian juga yang disebutkan oleh Jacob dkk (2003) bahwa semua kerajaan yang berada di bekas kekuasaan Liurai Sonbai leluhurnya merupakan proses asimilasi  penduduk asli dengan pendatang dari kerajaan We Hali yang datang secara bertahap karena di utus oleh raja di We Hali untuk memerintah dan membangun kerajaan baru bersama kelompok pendatang lainnya. 
Di lingkungan Loro We Hali-We Wiku; terdapat beberapa raja kecil yaitu: Rabasa, Umalor-Lawain, Wederok, Besikama-Lasaen; Loosina. Loro Fatuaruin menguasai : Babotin, Sasita Mean. Sedangkan kekuasaan Loro  Hatimuk; adalah kerajaan Hatimuk; Kekuasaan Loro Lakekun; terdapat kerajaan Litamali, Alas; serta di wilayah kekuasaan Loro Dirma ; terdapat raja kecil yaitu:  Kusa, Te’un, Nekin Klau, Oelaran, Uarau (Umaraun), Malianain, Maubebain, Bauboti, Nauboni (Bouk, 2012).
            Struktur berikutnya adalah “ Dato” yang merupakan perpanjangan tangan dari para Na’I di wilayah kekuasaan masing-masing raja-raja kecil. Istilah “Dato” ini menurut para penutur adat hanya berlaku di wilayah kekuasaan kerajaan We Hali yang ada di Belu. Tugas utama para “Dato” yaitu: menjalankan perintah Na’I  kepada rakyat dan sebaliknya bertindak sebagai perantara atau mediasi persoalan rakyat yang disampaikan kepada Na’I termasuk sebagai pengumpul upeti dari rakyat.     
Fukun sebagai kepala marga, merupakan lapisan yang berada di bawah Dato dan memiliki tugas untuk melindungi dan mengatur hubungan sosial masyarakat yang berada dalam marganya (Uma Fukun).
Renu (rakyat) sebagai lapisan paling bawah dalam strata sosial masyarakat dalam suatu marga adalah sebagai pembayar atau pemberi upeti kepada raja dan menjalankan seluruh titah raja, fukun ataupun dato.
Hal yang menarik dalam sistim pemerintahan tradisonal dari kerajaan We Hali yaitu diperbolehkan kerajan-kerajaan bawahan dengan status Liurai, Loro dan Na’I diikat dengan perkawinan oleh putri-putri kerajaan untuk mempererat hubungan tali persaudaraan. Kerajaan We Hali yang mampu memadukan politik dagang dan politik perkawinan berhasil  memegang kekuasaan di seluruh wilayah Timor  dan sekitarnya dengan didukung oleh para Meo (panglima perang/prajurit pemberani) dalam berperang selalu menggunakan hiasan kepala yang disebut noni funan yang merupakan replika dari perahu kora-kora (Middelkoop, 1963).

Runtuhnya Pemerintahan Kerajaan We Hali
Dominasi politik kerajaan We Hali berakhir pada tahun 1642. Pada tahun tersebut pusat kekuasaan We Hali dihancurkan oleh pasukan Portugis yang dikirimkan oleh seorang pedagang cendana kaya raya dari Makasar bernama Fransisco Vieira de Vigueirredo, sehingga dikenal dengan “penyerangan Makasar”. Pasukan Portugis ini dipimpin oleh Capitan Fransisco Fernandes  pada tahun 1641 dengan kekuatan 90 pasukan disertai 3 (tiga) orang paderi yang dibantu juga oleh orang Portugis hitam (Topase). Serangan ini dipicu karena sesuai berita- berita dari mulut ke mulut (folklor)bahwa kerajaan We Hali pada saat itu menjalin persahabatan dengan kerajaan kembar Gowa-Tallo dan diduga telah menjadi Islam serta terkait dengan persaingan perdagangan cendana (Nordholt,1971). Akibat serangan tersebut kerajaan We Hali walaupun tidak runtuh tetapi tidak mampu bangkit kembali sebagai penguasa di Timor Barat. Hal ini oleh Usfinit (2003) menggambarkan bahwa runtuhnya sebuah kerajaan pada zaman dahulu umumnya di picu oleh persoalan perebutan kekuasaan, persoalan batas wilayah maupun persoalan perdagangan hasil bumi yang tidak adil, sehingga menimbulkan peperangan.
Surutnya kekuasaan kerajaan We Hali selain akibat serangan pasukan Portugis, diperparah dengan lepasnya para penguasa lokal (usif) atau Na’I di daerah perbukitan anak sungai Benain yang semula sebagai pemasok cendana dan  ramai-ramai melepaskan diri atau tidak tunduk lagi terhadap kekuasaan kerajaan We Hali yaitu dengan tidak lagi memberikan upeti berupa kayu cendana. Surutnya kekuasaan  dinasti “Maromak Oan”  maka dalam syair adat digambarkan sebagai sebuah pohon besar yang kehilangan daun dan pohon besar yang bersedih (ai dadoko, ma ai kaekoli) karena kehilangan kekuasaan dan kewibawaan (Ataupah,1992).

Benda Peninggalan Kerajaan We Hali
Benda-benda sakral peninggalan leluhur We Hali seperti: Oe Mutin atau tongkat komando Pulau Timor yang terbuat dari emas yang bertuliskan Don Aloese Fernando de We Hali yang mulai dipakai oleh Liurai We Hali ke-VI yakni Dasin Don Alesu Fernandes, beberapa Surik (pedang) milik para loro/raja,  Kabir Morten (alat-alat unik untuk mengisi sirih – pinang), Kakaluk atau tas berumbai yang terbuat dari uang logam bergambar Ratu Belanda – bertuliskan Wilhelmina Koningin der Nederlander, Bolas Kmurak atau ikat pinggang raja, serta Pelana Kuda milik Liurai Sonbai yang dibawa pulang setelah bertempur melawan Belanda waktu itu. Barang-barang peninggalan ini masih disimpan di Tafatik Bot Builaran (Pusat kerajaan/istana raja) – di We Hali, Belu Selatan atau Belu Malaka sekarang.

Pelajaran Yang Dipetik
Faktor yang menunjang keberhasilan para leluhur membangun kerajaan di Belu Selatan yang kemudian tumbuh menjadi kerajaan terbesar di Timor Barat tidak terlepas beberapa hal: Pertama: para pendatang memiliki peradaban lebih maju dari penduduk asli, sehingga mereka dengan mudah menaklukkan penduduk asli dan mampu berdaptasi; Kedua: para pendatang menguasai daerah yang strategis di dekat muara dan sungai Benain yang menjadi pelabuhan terpenting bagi kapal pengangkut kayu Cendana (Santalum Album L.)  jauh sebelum abad XV (Widiyatmika, 2000 dalam Seran, 2013); dan  sungai Benain yang daerah hulunya di pegunungan merupakan pusat penghasil cendana, dijadikan jalur angkutan cendana dari daerah hulu ke hilir menuju muara sungai Benain yaitu Mota Dikin pada musim kemarau sekalipun.
Keterkaitannya dengan struktur pemerintahan kerajaan We Hali, maka masyarakat Belu sekarang mengenal beberapa kelompok/golongan masyarakat yang terdiri dari: Pertama adalah kelompok teratas atau kelompok bangsawan (Na’In Oan) masuk kelompok priyayi; Kedua adalah Fukun- Dato yang bertindak sebagai kelompok menengah ; dan Ketiga adalah kelompok masyarakat bawah (Hutun Renu) atau marjinal dan orang kecil/Wong Cilik; Sampai saat sekarang keterkaitan antara ketiga kelompok utama tersebut terwujud dalam realisasi program dan kegiatan pembangunan. Dalam hal ini, kelompok Na’In Oan  berperan sebagai koordinator dan mengevaluasi pelaksanaan pembangunan dan membuat putusan kebijakan; Kelompok Hutun Renu sebagai  pelaksana pembangunan serta Fukun-Dato bertindak sebagai mediator antara kedua kelompok tersebut dalam setiap proses pengambilan keputusan (fui mutu lian-fui mutu ibun) secara adaptasi untuk aspek pengawasan maupun proses perencanaan pembangunan di wilayah kekuasaan adat masing-masing.

Penutup
Sekarang Kabupaten Malaka secara resmi telah menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB)  sesuai UU Nomor 3 tahun 2013, yang berlaku sejak 11 Januari 2013 dengan ibukota Betun. Sementara itu Betun juga dijadikan salah satu wilayah kawasan pengembangan  agropolitan di NTT. Oleh karena itu menjadikan Malaka sebagai daerah otonomi baru terpisah dari Kabupaten Belu, bukan karena keinginan tetapi sudah merupakan kebutuhan. Menyikapi kondisi demikian maka dalam rangka peningkatan dan mutu pelayanan publik, diharapkan agar struktur dan masa pemerintahan kerajaan We Hali perlu dilakukan penelitian secara mendalam lagi karena masih menyimpan misteri dan dinamika yang perlu diungkapkan secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah sebagai bagian dari pembelajaran untuk generasi yang akan datang.  

Daftar Bacaan
Ataupah, H. 1992. Ekologi Persebaran Penduduk dan Pengelompokan Orang.Meto di Timor Barat. Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Buru, Puplius, M, 2009, Fialaran, Hubungan Antara Loro Bauho-Lasiolat, Artikel dalam http://manuamanlakaan.over-blog.com , diakses pada tanggal 20 Januari 2013.
Bouk, Saku, F, 2012, Komunikasi Misi Sosiatas Verdi Divini Timor, Gita Kasih, Kupang.
Doko, I. H, 1981, Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Nusa Tenggara Timur, Balai Pustaka, Jakarta.
Fox,James, J dan Therik,Tom, G. 2002, A Study of Socio-economic Issues Facing Traditional Indonesian Fishers who Access the MOU Box: A Report for Environment Australia, J.J Fox, Australia.
Hidayat. Z. M, 1976, Masyarakat dan Kebudayaan Suku-Suku Bangsa di Nusa Tenggara Timur, Tarsito, Bandung.
Jacob, Wadu; Pandie, D; Nua, S.G; Jacob. F; Ninu, J.J.A; dan Neolaka, M., 2003, Sejarah Pemerintahan Kabupaten Timor Tengah Selatan. Studi tentang Pemerintahan Kabupaten TTS dari Masa ke Masa., Kerjasama Pemerintah Kabupaten TTS dengan Lembaga penelitian, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Lumenta, B, 2011, Sepenggal Sejarah Lahirnya Timor Leste, Artikel dalam http://wesey-wehali.blogspot.com, diakses pada tanggal 25 Januari 2013.
Middelkoop, P., 1963, Migration of Timorese Groups and the Question of Atoni Kase Metan, Of Overseas Black Foreigners. E.J.Brill, Leiden.
Nordholt. Schulte, H.G.1971, The Political System of Atoni of Timor. The Hague Martijnus Nijhoff.
Ninu, Joni. J.A; Thene, J; Djakariah; Taneo. M; dan Rubino. L, 1999, Suatu Tinjauan Sejarah Tentang Upeti di Kerajaan Nenometa dan Relavansinya dalam Pembangunan, Laporan Penelitian, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Parera, A.D.M, 1994, Sejarah Pemerintahan Raja-Raja  Timor, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Seran, Herman, 2013, Revitalisasi Sektor Sosial Ekonomi di Lembah We Wiku-We Hali, Artikel dalam  http://hermanseran.blogspot.com Diakses pada tanggal 13 Februari 2013.
Tifa, D dan Itta H., 2007, Jejak Tapak Dari Masa ke Masa-Belu Pemimpin dan Sejarah, Kerjasama Dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Belu, Sesawi, Kupang.
Therik, Tom, 2004, Wehali, The Female Land Traditions of a Timorese Ritual Centre, Monographs in Anthropology Series, Universitas Michigan, Pandanus Book, Australia.
Usfinit, Un, A.,2003, Maubes-Insana Salah Satu Masyarakat di Timor Dengan Struktur Adat Yang Unik, Kanisius, Yogyakarta.

SEJARAH MUSIK SULING BAMBU DI TIMOR

Oleh:   Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si Sejarah tentang suling bambu sudah sedemikan lama dan erat kaitannya dengan peradaban manus...