Oleh:
Ir.Beny
Ulu Meak, M.Si
Pendahuluan
Perbudakan adalah keadaan di mana orang
menguasai atau memiliki orang lain. Sebagian ahli sejarah mengatakan perbudakan
mulai timbul sesudah orang mulai hidup menetap dan pengembangan pertanian-peternakan,
sekitar sepuluh-ribu tahun yang lalu. Awalnya, para budak terdiri dari penjahat
atau orang-orang yang tidak bisa membayar hutang. Ketika terjadi peperangan, kaum
yang kalah juga diperlakukan sebagai budak oleh kaum yang menang. Perbudakan adalah sebuah
kondisi di saat terjadi pengontrolan terhadap seseorang (disebut budak)
oleh orang lain. Perbudakan biasanya terjadi untuk memenuhi keperluan akan buruh atau tenaga
kerja oleh orang lain dengan perlakuan yang sangat eksploitatif dan tidak
mempertimbangkan hak asasi manusia. Para budak adalah golongan manusia yang
dimiliki oleh seorang tuan, bekerja tanpa upah dan tidak mempunyai kebebasan
pribadi. Jika dilihat
dari status sosial, pada umumnya orang-orang budak berada pada lapisan paling
bawah dari komunitas masyarakat. Tidak jarang mereka diperlakukan seperti
binatang yang dapat diperjualbelikan, mereka harus taat dan menurut kepada
kemauan pemiliknya atau majikannya dan nasib mereka tergantung kepada
pemiliknya jika tidak disenangi suatu
waktu dapat dijual lagi kepada pihak lain yang membutuhkannya.
Menjadi budak berarti dipaksa untuk bekerja dan tidak
mempunyai hak berpendapat untuk memilih bekerja dimana, dengan siapa dan
bagaimana bahkan hak hidup dikuasai juga oleh tuannya (Nuryahman,2008). Kebanyakan orang kuno berpendapat bahwa perbudakan
merupakan keadaan alam yang wajar, yang dapat terjadi terhadap siapapun dan
kapanpun. Berbagai cara dapat ditempuh seperti menaklukan suku lain lalu
menjadikan mereka sebagai budak, atau membeli dari para pedagang budak lokal.
Aktivitas
Perdagangan Budak di Belu
Awalnya, perbudakan di Belu hanya
terjadi antar golongan yang berkuasa atas individu
dan individu yang dikuasai. Penguasaan atas individu bisa terjadi secara
sederhana. Misalnya, tidak mampu membayar utang sampai waktu yang ditentukan,
atau satu suku merampok suku lain yang lebih lemah dan memperbudak masyarakat
yang dirampok. Hal ini dikatakan juga oleh Parera (1994) bahwa pada mulanya
budak itu adalah tawanan perang atau yang diculik berdasarkan keadaan
permusuhan antar suku. Namun dengan
adanya dorongan perdagangan budak dari pihak Belanda dan Portugis pada waktu
itu, maka sebagai wilayah taklukan sehingga para golongan bangsawan atau
raja-raja di Belu ikut melaksanakan aktivitas perdagangan budak tersebut bahkan
melakukan kesepakatan perjanjian (Korte
Verklaring). Hal ini dijelaskan oleh Anwar (2004) bahwa Belanda dan
Portugis dikenal aktif melaksanakan perdagangan budak yang ramai dari Timor
sampai abad 19. Setelah didirikan kota Batavia (1619) oleh kompeni Belanda,
karena keadaan genting dan membutuhkan tenaga kerja maka pada abad 17 dalam
jumlah kecil di inpor juga budak-budak dari pulau Timor (Poesponegoro dan
Notosusanto, 2008). Hal ini dibuktikan dengan catatan dari sumber VOC tahun 1765 menjelaskan bahwa terdapat aktivitas perdagangan budak-budak belian dan perdagangan terbuka yang menjual beli budak diTimor dan menurut Tung Hsi Kau, seorang pedagang Cina tahun 1618 sudah mulai ramai dilakukan komoditas
perdagangan di Timor yaitu: Cendana, Lilin, Madu dan Budak. Perdagangan budak oleh Belanda meningkat
lagi pada tahun 1621 yang dipicu dengan berdirinya perusahaan perdagangan
Belanda di India Barat yaitu West Indische Compagnie (WIC). Pada tahun 1667 setelah Belanda menguasai
Makasar, maka aktivitas perdagangan budak ditingkatkan lagi karena kebutuhan
tenaga kerja.
Zaman Portugis dan Belanda pulau Timor cukup dikenal sebagai gudang budak-budak. Hal mana oleh Prof P.J.Veth dalam tulisannya “Het
Eiland Timor” menyatakan
bahwa residen Van Este di Kupang tahun 1789 memiliki ribuan budak - hamba sahaya.
Di Pulau Timor, yang pada abad ke-18
telah dikuasai Portugis, terdapat sejumlah pelabuhan dengan komoditas budak.
Salah satunya Atapupu. Tidak ada data akurat mengenai jumlah budak dari Atapupu
dan destinasi mereka, namun almarhum Rosihan Anwar pernah menemukan keluarga
keturunan Nusa Tenggara di Afrika Selatan. Jumlah
mereka cukup banyak dan turun-temurun menyatu dengan masyarakat Makassar yang
datang bersama Syech Yusuf (Harian Republika, 2003).
Sementara di Belanda, tenaga kerja budak dan usaha
perbudakan baru dilarang pada tanggal 1 Juli 1863. Belanda tercatat sebagai
salah satu negara Eropa terakhir yang membebaskan para budaknya. Perdagangan
budak belian ini sempat menjadi komoditi sampai pada tahun 1892 (pada daerah
Jenilu-Atapupu) dan pada akhirnya di awal abad 20-an Pemerintah Belanda
mengeluarkan Pax Nederlandica
sehingga perdagangan budak dihapus dan diawasi secara ketat.
Lahirnya Nama Kota Atambua dan Atapupu
Perdagangan budak secara historiagrafi
di Pulau Timor dan sekitarnya memiliki hubungan yang erat dengan nama kota
Atambua dan Atapupu sekarang di Kabupaten Belu. Orang Belu kebanyakan sudah
mengenal “budak” dengan sebutan “Ata” atau
“klason” (bahasa Tetun) yang merupakan golongan hamba sahaya. Mereka yang
masuk dalam golongan ini biasanya merupakan tawanan perang yang dijadikan budak
untuk melayani kebutuhan masyarakat golongan dasi/dato atau Na’I (sebutan
golongan bangsawan di Belu) bahkan renu (rakyat
jelata) lainnya. Hal ini diceritakan dari
mulut ke mulut (folklor)
bahwa, raja-raja di Belu saat itu setiap melakukan
suatu kunjungan maka di dalam rombongan raja selalu disertakan juga hamba
sahayanya–budak (Ata) sebagai
pembantu atau pelayan. Bahkan para dasi/dato
maupun renu ada juga yang membeli
para budak untuk dipekerjakan di kebun/ladang dan sebagai gembala ternak. Oleh
karena itu, maka di kalangan masyarakat Belu dikenal hamba sahaya/budak
belian/perdagangan budak (atan sosa = bahasa Tetun).
Pada masa pemerintahan kerajaan adat Fehalaran, wilayah Atapupu dan
Atambua termasuk dalam struktur pemerintahan adat yang dikenal dengan sebutan
Dasi Sanuluk, Aluk Sanulu. Peranan Kota Atapupu (Jenilu) sebagai pasar hamba sahaya pada saat itu. Sedangkan Kota Atambua berperanan
sebagai tempat penampungan sementara para budak selanjutnya dibawa ke Atapupu. Secara etimologis arti
nama Kota Atambua berasal
dari kata Ata (hamba sahaya/budak)
dan Buan (Suanggi), maka diartikan berasal dari nama
sebuah tempat berkumpul orang-orang untuk melakukan aktifitas perdagangan budak
atau penampungan para budak. Kemungkinan yang dijadikan budak saat itu adalah
orang-orang yang dianggap memiliki ilmu sihir (suanggi), sehingga ditangkap dan
dijadikan budak oleh para bangsawan. Selanjutnya menjadi nama “Atambua”, yang berarti “Tempat budak atau hamba dan suanggi”.
Masih menurut cerita rakyat bahwa budak-budak yang telah dibeli dibawa ke
pantai utara, saat ini dikenal dengan nama pelabuhan Atapupu yang berjarak 48
kilometer dari Kota Atambua. Nama “Atapupu”
berasal dari kata “ata” untuk budak dan “pupu”
(berkumpul) atau juga berasal dari kata “futu”
(diikat), sehingga berarti “tempat budak
berkumpul atau budak diikat”, sambil menunggu kapal untuk di bawa keluar
Pulau Timor.
Daftar Bacaan
Anwar,
Rosihan, 2004, Sejarah Kecil “Petite
Histoire” Indonesia, Buku Kompas, Jakarta.
Harian Republika, 2003, Akhir Perbudakan di Hindia
Belanda, Artikel dalam http://koran.republika.co.id/koran
, Diakses pada tanggal 13 Januari 2014.
Nuryahman,S,S,
2008, Perdagangan Budak Di Nusa Tenggara
Timur Sampai Abad Pada Ke-19, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Bali, NTB dan NTT, Denpasar.
Parera,
A.D.M, 1994, Sejarah Pemerintahan
Raja-Raja Timor, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta.
Poesponegoro,
M. D dan Notosusanto, N, 2008, Sejarah
Nasional Indonesi III, Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar