Kamis, 13 Februari 2014

MENCERMATI NAMA KOTA ATAMBUA DAN ATAPUPU (TINJAUAN PERDAGANGAN BUDAK PADA ABAD 16 – 19 DI BELU)



Oleh:
Ir.Beny Ulu Meak, M.Si

Pendahuluan
Perbudakan adalah keadaan di mana orang menguasai atau memiliki orang lain. Sebagian ahli sejarah mengatakan perbudakan mulai timbul sesudah orang mulai hidup menetap dan pengembangan pertanian-peternakan, sekitar sepuluh-ribu tahun yang lalu. Awalnya, para budak terdiri dari penjahat atau orang-orang yang tidak bisa membayar hutang. Ketika terjadi peperangan, kaum yang kalah juga diperlakukan sebagai budak oleh kaum yang menang. Perbudakan adalah sebuah kondisi di saat terjadi pengontrolan terhadap seseorang (disebut budak) oleh orang lain. Perbudakan biasanya terjadi untuk memenuhi keperluan akan buruh atau tenaga kerja oleh orang lain dengan perlakuan yang sangat eksploitatif dan tidak mempertimbangkan hak asasi manusia. Para budak adalah golongan manusia yang dimiliki oleh seorang tuan, bekerja tanpa upah dan tidak mempunyai kebebasan pribadi. Jika dilihat dari status sosial, pada umumnya orang-orang budak berada pada lapisan paling bawah dari komunitas masyarakat. Tidak jarang mereka diperlakukan seperti binatang yang dapat diperjualbelikan, mereka harus taat dan menurut kepada kemauan pemiliknya atau majikannya dan nasib mereka tergantung kepada pemiliknya jika tidak disenangi  suatu waktu dapat dijual lagi kepada pihak lain yang membutuhkannya. 
Menjadi budak berarti dipaksa untuk bekerja dan tidak mempunyai hak berpendapat untuk memilih bekerja dimana, dengan siapa dan bagaimana bahkan hak hidup dikuasai juga oleh tuannya (Nuryahman,2008). Kebanyakan orang kuno berpendapat bahwa perbudakan merupakan keadaan alam yang wajar, yang dapat terjadi terhadap siapapun dan kapanpun. Berbagai cara dapat ditempuh seperti menaklukan suku lain lalu menjadikan mereka sebagai budak, atau membeli dari para pedagang budak lokal.

Aktivitas Perdagangan Budak di Belu

Awalnya, perbudakan di Belu hanya terjadi antar golongan yang berkuasa atas individu dan individu yang dikuasai. Penguasaan atas individu bisa terjadi secara sederhana. Misalnya, tidak mampu membayar utang sampai waktu yang ditentukan, atau satu suku merampok suku lain yang lebih lemah dan memperbudak masyarakat yang dirampok. Hal ini dikatakan juga oleh Parera (1994) bahwa pada mulanya budak itu adalah tawanan perang atau yang diculik berdasarkan keadaan permusuhan antar suku.  Namun dengan adanya dorongan perdagangan budak dari pihak Belanda dan Portugis pada waktu itu, maka sebagai wilayah taklukan sehingga para golongan bangsawan atau raja-raja di Belu ikut melaksanakan aktivitas perdagangan budak tersebut bahkan melakukan kesepakatan perjanjian (Korte Verklaring). Hal ini dijelaskan oleh Anwar (2004) bahwa Belanda dan Portugis dikenal aktif melaksanakan perdagangan budak yang ramai dari Timor sampai abad 19. Setelah didirikan kota Batavia (1619) oleh kompeni Belanda, karena keadaan genting dan membutuhkan tenaga kerja maka pada abad 17 dalam jumlah kecil di inpor juga budak-budak dari pulau Timor (Poesponegoro dan Notosusanto, 2008). Hal ini dibuktikan dengan catatan dari sumber VOC tahun 1765 menjelaskan bahwa terdapat aktivitas perdagangan budak-budak belian  dan perdagangan terbuka yang menjual beli budak diTimor dan menurut Tung Hsi Kau, seorang pedagang Cina tahun 1618 sudah mulai ramai dilakukan komoditas perdagangan di Timor yaitu: Cendana, Lilin, Madu dan Budak. Perdagangan budak oleh Belanda meningkat lagi pada tahun 1621 yang dipicu dengan berdirinya perusahaan perdagangan Belanda di India Barat yaitu West Indische Compagnie (WIC).  Pada tahun 1667 setelah Belanda menguasai Makasar, maka aktivitas perdagangan budak ditingkatkan lagi karena kebutuhan tenaga kerja.
Zaman Portugis dan Belanda pulau Timor cukup dikenal sebagai gudang budak-budak. Hal mana oleh Prof P.J.Veth dalam tulisannya Het Eiland Timor menyatakan bahwa residen Van Este di Kupang tahun 1789 memiliki ribuan budak - hamba sahaya.
Di Pulau Timor, yang pada abad ke-18 telah dikuasai Portugis, terdapat sejumlah pelabuhan dengan komoditas budak. Salah satunya Atapupu. Tidak ada data akurat mengenai jumlah budak dari Atapupu dan destinasi mereka, namun almarhum Rosihan Anwar pernah menemukan keluarga keturunan Nusa Tenggara di Afrika Selatan. Jumlah mereka cukup banyak dan turun-temurun menyatu dengan masyarakat Makassar yang datang bersama Syech Yusuf (Harian Republika, 2003).
Sementara di Belanda, tenaga kerja budak dan usaha perbudakan baru dilarang pada tanggal 1 Juli 1863. Belanda tercatat sebagai salah satu negara Eropa terakhir yang membebaskan para budaknya. Perdagangan budak belian ini sempat menjadi komoditi sampai pada tahun 1892 (pada daerah Jenilu-Atapupu) dan pada akhirnya di awal abad 20-an Pemerintah Belanda mengeluarkan Pax Nederlandica sehingga perdagangan budak dihapus dan diawasi secara ketat.

Lahirnya Nama  Kota Atambua dan Atapupu

Perdagangan budak secara historiagrafi di Pulau Timor dan sekitarnya memiliki hubungan yang erat dengan nama kota Atambua dan Atapupu sekarang di Kabupaten Belu. Orang Belu kebanyakan sudah mengenal “budak” dengan sebutan “Ata” atau “klason” (bahasa Tetun) yang merupakan golongan hamba sahaya. Mereka yang masuk dalam golongan ini biasanya merupakan tawanan perang yang dijadikan budak untuk melayani kebutuhan masyarakat golongan dasi/dato atau Na’I (sebutan golongan bangsawan di Belu) bahkan renu (rakyat jelata) lainnya. Hal ini diceritakan dari mulut ke mulut (folklor) bahwa, raja-raja di Belu saat itu setiap melakukan suatu kunjungan maka di dalam rombongan raja selalu disertakan juga hamba sahayanya–budak (Ata) sebagai pembantu atau pelayan. Bahkan para dasi/dato maupun renu ada juga yang membeli para budak untuk dipekerjakan di kebun/ladang dan sebagai gembala ternak. Oleh karena itu, maka di kalangan masyarakat Belu dikenal hamba sahaya/budak belian/perdagangan budak  (atan sosa = bahasa Tetun).
Pada masa pemerintahan  kerajaan adat Fehalaran, wilayah Atapupu dan Atambua termasuk dalam struktur pemerintahan adat yang dikenal dengan sebutan Dasi Sanuluk, Aluk Sanulu. Peranan Kota Atapupu (Jenilu) sebagai pasar hamba sahaya pada saat itu. Sedangkan Kota Atambua berperanan sebagai tempat penampungan sementara para budak selanjutnya dibawa ke Atapupu. Secara etimologis arti nama Kota Atambua berasal dari kata Ata (hamba sahaya/budak) dan Buan (Suanggi), maka diartikan berasal dari nama sebuah tempat berkumpul orang-orang untuk melakukan aktifitas perdagangan budak atau penampungan para budak. Kemungkinan yang dijadikan budak saat itu adalah orang-orang yang dianggap memiliki ilmu sihir (suanggi), sehingga ditangkap dan dijadikan budak oleh para bangsawan. Selanjutnya menjadi nama “Atambua”, yang berarti “Tempat budak atau hamba dan suanggi”. Masih menurut cerita rakyat bahwa budak-budak yang telah dibeli dibawa ke pantai utara, saat ini dikenal dengan nama pelabuhan Atapupu yang berjarak 48 kilometer dari Kota Atambua. Nama “Atapupu”  berasal dari kata “ata” untuk budak dan “pupu” (berkumpul) atau juga berasal dari kata “futu” (diikat), sehingga berarti “tempat budak berkumpul atau budak diikat”, sambil menunggu kapal untuk di bawa keluar Pulau Timor.


Daftar Bacaan

Anwar, Rosihan, 2004, Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia, Buku Kompas, Jakarta.
Harian  Republika, 2003, Akhir Perbudakan di Hindia Belanda, Artikel dalam http://koran.republika.co.id/koran , Diakses pada tanggal 13 Januari 2014.
Nuryahman,S,S, 2008, Perdagangan Budak Di Nusa Tenggara Timur Sampai Abad Pada Ke-19, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali, NTB dan NTT, Denpasar.
Parera, A.D.M, 1994, Sejarah Pemerintahan Raja-Raja  Timor, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Poesponegoro, M. D dan Notosusanto, N, 2008, Sejarah Nasional Indonesi III, Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Tidak ada komentar:

SEJARAH MUSIK SULING BAMBU DI TIMOR

Oleh:   Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si Sejarah tentang suling bambu sudah sedemikan lama dan erat kaitannya dengan peradaban manus...