Kamis, 20 Maret 2014

ANALISIS DEGRADASI LINGKUNGAN HIDUP PADA EKOSISTIM PADANG RUMPUT DI PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR


Oleh
Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si

I.          PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Selama dekade terakhir ini  Sumberdaya Alam (SDA) dan lingkungan hidup  di Propinsi Nusa Tenggara Timur  (NTT) terus mengalami degradasi (penurunan baik secara kuantitas maupun kualitas). Degradasi lingkungan hidup  yang terjadi disebabkan oleh ulah manusia yang tidak dan/atau kurang bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan hidup  yang dengan sengaja mengekploitasi SDA dengan semena-mena. Berdasarkan beberapa laporan penelitian terjadinya degradasi lingkungan hidup  berbanding terbalik dengan semakin meningkatnya kebutuhan akibat pertambahan penduduk yang semakin besar. Oleh karenanya untuk mengeliminasi degradasi lingkungan hidup, perlu dibangun dan ditumbuhkan kesadaran dan kepedulian dari unsur pemerintah, masyarakat dan dunia usaha  agar dapat berperan serta dalam penanggulangan masalah degradasi lingkungan sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing.
            Secara geografis Propinsi NTT merupakan daerah yang memiliki potensi ekosistem padang rumput yang cukup luas yaitu sekitar 1.881.210 ha (Nullik dan Bamualim, 1988). Namun potensi ini setiap tahunnya terus mengalami degradasi sebagai akibat dari pemanfaatan ekosistem padang rumput menjadi lahan penggembalaan ternak ataupun alih fungsi lahan untuk kegiatan pertanian lahan kering maupun kegiatan pembangunan lainnya, sehingga ekosistem padang rumput ini sangat rentant dan berpengaruh terhadap variabel lingkungan baik ditinjau dari aspek geofisik-kimia, biologi, sosial ekonomi dan budaya maupun aspek kesehatan masyarakat.
            Ekosistem padang rumput (grasslands) yang ada di propinsi NTT memiliki keunnikan tersendiri dari daerah lainnya yang ada di Indonesia maupun di dunia karena ekosistem padang rumput ini terbentuk pada kondisi iklim kering dengan topografi yang berbukit dan bergelombang. Gambaran ini menunjukan bahwa pada ekosistem padang rumput memiliki juga struktur ekosistem yang berbeda jika ditinjau dari komponen pembentuk ekosistem tersebut dari aspek biotik (heterotrof, autotrof), abiotik dan decomposer (pengurai). Dalam susunan ekosistem demikian dapat pula membentuk pola aliran energi dan siklus materi yang dapat mennyokong rantai makanan dalam kehidupan berbagai organisme yang ada di dalam ekositem tersebut sebagai habitanya. Jika ekosistem padang rumput di Propinsi NTT dikelolah secara baik maka, tidak mungkin akan memberikan dampak terhadap pembangunan terutama sektor peternakan karena ekosistem padang rumput ini dapat dikembangkan untuk kawasan penggembalaan, apalagi Propinsi NTT diharapkan menjadi daerah gudang ternak sebagai penyedia pangan sumber daging utama untuk mendukung program  “ NTT sebagai Propinsi Ternak”.

1.2.   Pengertian Ekosistem Padang Rumput

Makhluk hidup dengan lingkungan merupakan satu kesatuan fungsional yang tidak dapat dipisahkan.Hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya disebut ekosistem. Ekosistem tersusun dari komponen biotik (berbagai makhluk hidup) dan komponen abiotik seperti iklim, tanah, air, udara, nutrien dan energi. Ekosistem merupakan tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh, menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan.Sebuah ekosistem adalah level paling kompleks dari sebuah organisasi alam (Soemarwoto,2008). Dalam suatu ekosistem, hubungan antar komponen berlangsung sangat erat dan saling memengaruhi dengan tingkatan trofik komponen biotik yaitu ada organisme yang berperan sebagai produsen, konsumen primer, konsumen sekunder, konsumen tersier, konsumen puncak, dan pengurai. Oleh karena itu gangguan atau kerusakan pada salah satu komponen dapat menyebabkan kerusakan seluruh ekosistem. Manusia merupakan komponen ekosistem yang dapat berpotensi sebagai penyelamat dan sekaligus sebagai perusak ekosistem tersebut (Odum.1971).
Holmes (1980) dalam Gregorius (2011) mendefenisikan padang rumput alam sebagai salah satu komunitas tumbuh-tumbuhan yang didominasi oleh jenis rumput perennial dengan atau tanpa leguminosa, belukar yang jarang dan atau tanpa pepohonan. Jadi ekosistem padang rumput adalah tanah yang datar dan luas yang tidak ditumbuhi pohon-pohon berkayu besar tetapi didominasi oleh tumbuhan terna dan rumput.

1.3.   Struktur Ekosistem Padang Rumput (grasslands)

Terbentuknya padang rumput (grasslands) secara alami lebih banyak disebabkan oleh faktor cuaca tepatnya oleh rendahnya tingkat curah hujan, yakni hanya sekitar 30 mm/ tahun. Curah hujan yang rendah menyulitkan tumbuhan untuk menyerap air. Akibatnya, hanya jenis tumbuhan rumput yang dapat bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungan alam yang kering. Pada habitat darat dikenal istilah Bioma yaitu daerah habitat yang meliputi skala yang luas atau bisa juga diartikan kumpulan species (terutama tumbuhan) yang mendiami tempat tertentu di bumi yang dicirikan oleh vegetasi tertentu yang dominan dan langsung terlihat jelas di tempat tersebut. Oleh karena itu biasanya bioma diberi nama berdasarkan tumbuhan yang dominan di daerah tersebut salah satunya adalah padang rumput. Sebuah padang rumput merupakan lapangan yang dipenuhi oleh rumput dan tanaman tak berkayu. Dipotong untuk jerami atau dimakan oleh ternak, domba, kambing, sapi dan kerbau. Bioma terbagi menjadi beberapa jenis, ditentukan oleh iklim, letak geografis, curah hujan dan intensitas cahaya mataharinya. Pada bioma padang rumput ini terdapat cukup curah hujan, tetapi tidak cukup untuk menumbuhkan hutan. Tumbuhan dominannya adalah rumput, sedangkan pohon dan semak terdapat di sepanjang sungai di daerah tersebut.
Padang rumput terdiri atas steppa (padang rumput pendek), prairie (padang rumput tinggi), padang rumput tropis dan padang rumput abadi. Steppa merupakan suatu wilayah yang ditumbuhi rumput-rumputan pendek (< 1 m) dengan diselangi oleh pepohonan. Istilah steppa digunakan untuk menyebutkan padang rumput di Eurasia. Prairie adalah wilayah padang rumput tinggi (≤ 3,5 M) yang luas  dan tanpa pohon. Adapun padang rumput tinggi di Kansas Amerika Utara bagain tengah dinamakan prairie yang didominasi oleh jenis padang rumput Indian Grasses. Di Argentina disebut pampas dan di Hongaria disebut puszta, di Rusia dikenal Steppe dan di Afrika Selatan disebut Veldt. Wilayah persebaran padang rumput di daerah tropis terdapat di Afrika, Amerika Selatan, dan Australia Utara. Adapun di daerah iklim sedang terdapat di bagian barat Amerika Utara, Argentina, Australia, dan Eropa terutama Rusia Selatan dan Siberia. Padang Rumput Hulunber,Tiongkok  dekat republik Mongglia, merupakan padang rumput terindah di dunia. Sedangkan Di India terdapat padang rumput  yang dijadikan Taman Nasional karena merupakan habitat dari 100 harimau, 2.000 badak cula satu, 1.800 banteng liar seperti  Taman Nasional Kaziranga adalah kerajaan padang rumput India. Sedangkan padang rumput abadi adalah salah satu faktor lingkungan yang melarang pertumbuhan tanaman berkayu, hal ini cukup jelas alasannya karena situasi ekstrem-lah yang membantu daratan itu hanya bisa ditumbuhi oleh rumput. Contoh padang rumput abadi antara lain; (1) Padang rumput Alpen tumbuh di dataran tinggi dan dijaga oleh kondisi iklim ekstrim / keras; (2) Padang rumput pantai dijaga oleh semburan garam; (3) Padang rumput gurun terjadi karena kelembaban rendah; (4) Prairie dijaga oleh tahapan kemarau sedang dan dapat mengalami kebakaran liar; dan (5) Padang rumput basah adalah wilayah semi-tanah atau basah yang dihujani sepanjang tahun.
Lingkungan fisik Ekosistem padang rumput meliputi (1). Flora:  tumbuhan yang mampu beradaptasi dengan daerah dengan porositas dan drainase kurang baik adalah rumput, meskipun ada pula tumbuhan lain yang hidup selain rumput, tetapi karena mereka merupakan vegetasi yang dominan maka disebut padang rumput; dan (2). Fauna:  jenis hewan yang  dapat beradaptasi dengan lingkungan tersebut sebagai habitatnya seperti : bison dan kuda liar (mustang) di Amerika; gajah dan jerapah di Afrika; domba dan kanguru di Australia. Karnivora: singa, srigala, anjing liar dan ular; Herbivora Tikus, dan berbagai jenis serangga  (Ridwana,2008).
Perbedaan yang cukup antara stepa dengan sabana adalah : pada bioma sabana merupakan padang rumput yang diselingi oleh kumpulan pepohonan besar, sedangkan pada bioma stepa merupakan padang rumput yang tidak di selingi oleh kumpulan-kumpulan pepohonan, kalaupun ada hanya sedikit saja pepohonan yang ada.
Suatu ekosistem padang rumput berdasarkan susunan dan fungsinya tersusun dari beberapa komponen sebagai berikut :
a. Komponen autotrof; Secara etimologi autotrof  berasal dari kata Auto yang berarti “sendiri”, dan trophikos yang berarti “menyediakan makan” pengertian dari Autotrof adalah organisme yang mampu menyediakan/mensintesis makanan sendiri yang berupa bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan energi seperti matahari dan kimia. Komponen autotrof berfungsi sebagai produsen, contohnya :tumbuh-tumbuhan hijau.
b.   Komponen heterotrof; heterotrof berasal dari kata Heteros yang berarti “ berbeda”, dan trophikos yang berarti “makanan”. Pengertian dari Heterotrof merupakan organisme yang memanfaatkan bahan-bahan organik sebagai makanannya dan bahan tersebut disediakan oleh organisme lain dan yang tergolong heterotrof adalah manusia, hewan, jamur, dan mikroba.
c.  Bahan tak hidup (abiotik); bahan tak hidup yaitu komponen fisik dan kimia yang terdiri dari tanah, air, udara, sinar matahari. Bahan tak hidup merupakan medium atau substrat tempat berlangsungnya kehidupan, atau lingkungan tempat hidup.
d. Pengurai (dekomposer); pengertian dari pengurai adalah organisme heterotrof yang menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme mati (bahan organik kompleks). Organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen. Termasuk pengurai ini adalah bakteri dan jamur.

II.      ANALISIS DEGRADASI EKOSISTEM PADANG RUMPUT DI NTT

2.1.       Degradasi Ekosistem Padang Rumput

Menurut Oldeman (1992) bahwa degradasi ekosistem  adalah suatu proses dimana terjadi penurunan kapasitas lingkungan (kualitas maupun kuntitas) pada ekosistem tersebut dalam memberikan hasil (produc) baik saat ini maupun masa mendatang. Ekosistem padang rumput mengalami degradasi, yaitu penurunan baik secara kuantitas maupun kualitas lebih disebabkan oleh: (1) faktor ulah manusia (human destructions) yang tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan hidup yang dengan sengaja mengekploitasi SDA dengan semena-mena; dan (2) faktor alamiah (natural disasters) seperti angin taupan, kebakaran, letusan gunung berapi dan lain sebagainya yang menyebabkan ancaman terhadap degradasi lingkungan hidup.
Degradasi lingkungan adalah penurunan baik secara kualitas maupun kuantitas kondisi lingkungan, baik yang berupa kondisi sumberdaya tanah, air, udara, flora, fauna, dan sumber daya alam lainya beserta mahluk hidup lain yang berada di dalamnya. Proses degradasi ini merupakan suatu perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik,kimia, dan/atau hayati linkungan hidup yang melampaui dari kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, sehingga lingkungan hidup tidak dapat memberikan daya dukungya secara optimal terhadap kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya yang berada dalam kesatuan ekosistem sebagai habitatnya (Soetedjo,2011).
Aktivitas suatu komponen ekosistem selalu memberi pengaruh pada komponen ekosistem yang lain. Manusia adalah salah satu komponen yang penting. Sebagai komponen yang dinamis, manusia dalam menjalankan aktivitasnya seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan, dan dengan demikian, mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan. Selama hubungan timbal-balik antar komponen ekosistem dalam keadaan seimbang, selama itu pula ekosistem berada dalam kondisi stabil. Sebaliknya, bila hubungan timbal-balik antar komponen-komponen lingkungan mengalami gangguan, maka terjadilah gangguan ekologis. Gangguan ini pada dasarnya adalah gangguan pada arus materi, energi dan informasi antar komponen ekosistem yang tidak seimbang (Odum, 1971)

2.2. Karakteristik Ekositem  Padang Rumput di Propinsi NTT

Wilayah Propinsi  NTT, beriklim kering yang dipengaruhi oleh angin musim. Periode musim kemarau lebih panjang, yaitu 7 bulan (Mei sampai dengan Nopember) sedangkan musim hujan hanya 5 bulan (Desember sampai dengan April). Suhu udara rata-rata 27,60 °C, suhu maksimum rata-rata 290 °C, dan suhu minimum rata-rata 26,10 °C. Dari uraian singkat tentang keadaan daerah NTT ini dapat di ambil kesimpulan bahwa hampir semua wilayah di  NTT terdapat kawasan padang rumput  yang luas.
Menurut Nullik dan Bamualim (1998) bahwa luas padang rumput NTT adalah 1.881.210 ha dengan perincian kawasan Timor Barat = 705.040 ha; Kawasan Flores = 406.170 ha ; dan kawasan Sumba = 770.600 ha. Menurut data hasil rekalkulasi tutupan lahan darat Indonesia berdasarkan citra Landsat tahun 2002 (Dephut, 2002) disetir oleh Riwu Kaho (2005) menunjukan bahwa luas padang rumput NTT  sebesar 793.1 ribu ha.  Padang rumput di NTT sering digunakan untuk padang penggembalaan yang bersifat temporer dengan jangka  waktu satu tahun atau kurang dengan tujuan untuk menyediakan hijauan makanan ternak pada saat kritis. Ciri-ciri ekosistem padang rumput di NTT adalah: Curah hujan antara 25 - 50 cm/ tahun, di beberapa daerah padang rumput curah hujannya dapat mencapai 100 cm/tahun. Curah hujan yang relatif rendah turun secara tidak teratur.Turunnya hujan yang tidak teratur tersebut menyebabkan porositas dan drainase kurang baik sehingga tumbuh-tumbuhan sukar mengambil air. Ekosistem padang rumput di NTT termasuk tipe iklim kering dengan pola stepa padang rumput pendek.

2.3. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap degradasi lingkungan pada ekosistem padang rumput di Propinsi NTT
Faktor-faktor  yang berpengaruh terhadap degradasi ekositem padang rumput di NTT antara lain:

(1)   Kebakaran liar padang rumput; kelestarian ekositem padang rumput akan sangat mencemaskan karena adanya ancaman utama terhadap kelestariannya  yaitu: penggunaan api dalam manajemen padang rumput secara tradisional dan secara tidak terkontrol menyebabkan padang rumput ang ada terancam menjadi padang marjinal dan akan memicu timbulnya pergeseran susunan botani dan tanahnya akan gundul dalam jangka waktu yang lebih lama dan mungkin terjadi pengikisan.
(2)  Aktivitas alih fungsi lahan; Menurut Utomo dkk (1992) dalam Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik, sebagai contoh bahwa alih fungsi lahan di kawasan Timor Barat lebih diarahkan untuk penambangan Mangan. 
(3) Tekanan penggembalaan yang berlebihan; kondisi ini telah menyebabkan perubahan struktur tanah menjadi padat dan menghambat proses infiltrasi air ke dalam tanah sehingga menurut  Riwu Kaho (1996)  yang disetir oleh Gregorius (2011) melaporkan bahwa, kesuburan kimia tanah padang rumput di Timor Barat umumnya rendah sampai dengan kadar nitrogen (0,5-0,56%), walaupun acapkali nilai kapasitas tukar kation tanahnya cukup tinggi (62,55-75,74 me/100gr), sedangkan derajat keasaman tanahnya netral sampai agak alkalin (6,8-7,5).
(4) Tekanan gulma: seperti gulma lantana camaramimosa spp,Chromolaena odorata yang telah menginvasi padang rumput di NTT. Di banyak tempat gulma ini membentuk suatu asosiasi vegetasi tersendiri yang menekan habis jenis rumput dan herba pakan hijauan lainnya (Riwu Kaho, 2005).
(5) Padang rumput milik masyarakat (communal grazing areas ) seperti di Sumba; dapat menimbulkan persoalan lain yaitu kecemburuan sosial dan perubahan persepsi masyarakat adalah kepemilikan padang rumput yang dikuasai oleh suku tertentu saja  dapat berimplikasi terhadap konflik sosial dalam masyarakat.

2.4. Hubungan degradasi ekosistem padang rumput dengan variabel lingkungan di   Propinsi NTT

Hubungan degradasi ekosistem padang rumput dengan variabel lingkungan di Propinsi NTT antara lain:
1)   Aspek geofisik-kimia :
  • Berdampak pada terjadinya erosi dan perubahan aliran air, perubahan morfologi lahan, berkurangnya ketersediaan air tanah; terjadinya perubahan iklim mikro, infiltrasi air permukaan dan pertumbuhan rumput terganggu, munculnya berbagai penyakit terhadap manusia dan biota darat; 
  • Faktor penyebabnya antara lain alih fungsi lahan untuk  usaha pertanian lahan kering, penambangan Mangan (kasus di kawasan Timor Barat), pembakaran padang rumput yang tidak terkontrol, dan terkonsentrasinya aktivitas penggembalaan ternak secara berlebihan
  • Masalah; terganggunya infiltrasi air, berkurangnya volume dan debit air, berkurangnya luas padang penggembalaan (rumput sebagai pakan ternak), struktur tanah rusak serta dapat menyebabkan perubahan iklim mikro.
2)   Aspek biologi :
  • Berdampak pada terjadinya migrasi fauna, punahnya flora asli dan terjadinya ledakan hama; 
  • Faktor penyebabnya alih fungsi lahan untuk usaha tani lahan kering, usaha tambang mangan dan pembakaran rumput yang tidak terkontrol.
  • Masalah: terganggunya mata rantai ekosistim padang rumput dan Ideks Nilai Penting (INP) flora –fauna menurun. 
3)   Aspek sosial ekonomi dan budaya:
  • Berdampak terjadinya kemiskinan, perubahan sikap dan persepsi masyarakat, potensi konflik serta kerawanan sosial;
  • Faktor penyebabnya tekanan pengembalaan ternak, kepemilikan lahan oleh suku tertentu, alaih fungsi lahan serta pembangkaran padang rumput yang tidak terkontrol.
  • Masalah: Berkurangnya pendapatan petani-peternak, adanya proses social disosiatif (muncul monflik) dan hubungan social masyarakat akan terganggu.   
4)   Aspek kesehatan masyarakat:
  •  Berdampak pada terjadinya perubahan angka kesakitan dan pola penyakit pada masyarakat.
  • Faktor penyebabnya pembakaran padang rumput yang tidak terkontrol, alaih fungsi lahan untuk usaha tambang Mangan (kasus Timor Barat) dan tekanan penggembalaan.
  • Masalah berbagai penyakit pada manusia (ISPA, Malaria, Disentri, Kudis/eksim dll)      

III.  UPAYA DAN STRATEGI PENGELOLAAN EKOSISTEM PADANG RUMPUT DI PROPINSI NTT

3.1. Perbaikan struktur tanah dan tata guna lahan pada ekosistem padang rumput
         Berdasarkan berbagai laporan penelitian dan studi bahwa selama  20 tahun terakhir ini terjadi penyusutan luas padang rumput di Propinsi NTT, karena dikonversi untuk penggunaan lain seperti usaha pertanian lahan kering, penambangan Mangan dan kegiatan lainnya. Disamping itu akibat adanya tekanan penggembalaan yang berlebihan telah menyebabkan struktur tanah berubah menjadi padat sehingga telah menghambat infiltrasi air yang akhirnya menyebabkan struktur ekosistem padang rumput dapat terganggu. Persoalan ini perlu diatasi dengan strategi  memperbaiki struktur tanah dan tata guna lahan padang rumput dengan melakukan upaya introduksi tanaman leguminosa untuk mengembalikan kesuburan tanah seperti jenis rumput Brachiaria brizantha, B. decumbens, B. ruziniensis dan Paspalum dilatatum adalah jenis rumput dengan produksi bahan kering yang tinggi 50-70 ton bk/ha/tahun, tahan kering dan tahan penggembalaan berat (Riwu Kaho,2007). Hal yang lain adalah dengan pengaturan tataguna lahan dengan merumuskan secara tegas lokasi pergiliran penggembalaan ternak,terutama pada waktu periode bulan Mei-Juni dan pengaturan tata ruang untuk aktivitas usaha pertanian lahan kering maupun usaha penambangan Mangan.

3.2. Pengelolaan pembakaran padang rumput
            Berdasarkan beberapa laporan penelitian  menganjurkan pengelolaan pembakaran untuk keperluan usaha pertanian lahan kering dilakukan agak lambat di musim kering dengan penerapan teknik membakar headfiring, backfiring, dan pembakaran berkeliling dengan memantauarah angin, jam membakar, temperatur, dan  kelembaban yang  disesuiakan dengan kondisi fisik  padang rumput sehingga intensitas dan kecepatan merambat dari api tidak membahayakan dan mudah dikontrol.

3.3. Pengembangan kapasitas masyarakat
Kesadaran sebagian besar warga masyarakat yang rendah terhadap pentingnya pelestarian lingkungan hidup untuk ekosistem padang rumput  merupakan satu hal yang menyebabkan ketidakpedulian masyarakat atas degradasi lingkungan yang semakin intensif. Rendahnya kesadaran masyarakat ini disebabkan mereka tidak memiliki pengetahuan tentang lingkungan hidup yang memadai. Oleh karena itu, kini sudah saatnya pengetahuan tentang lingkungan hidup dikembangkan sedemikian rupa dan menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah umum mulai dari tingkat SD dan pelatihan penguatan kapasitas masyarakat akan pentingnya pengelolaan ekosistem padang rumput. Hal ini dipandang penting, karena kurangnya pengetahuan masyarakat atas fungsi dan manfaat lingkungan hidup telah menyebabkan pula rendahnya disiplin masyarakat dalam memperlakukan lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah lingkungan hidup.


IV.   PENUTUP

Di Propinsi NTT padang rumput sering digunakan untuk padang penggembalaan yang bersifat temporer dengan jangka  waktu satu tahun atau kurang dengan tujuan untuk menyediakan hijauan makanan ternak pada saat kritis. Namun  ekosistem padang rumput ini memiliki curah hujan yang relatif rendah dan turun secara tidak teratur.Turunnya hujan yang tidak teratur tersebut menyebabkan porositas dan drainase kurang baik sehingga tumbuh-tumbuhan sukar mengambil air, sehingga ekosistem padang rumput di NTT termasuk tipe iklim kering dengan pola stepa padang rumput pendek.
Upaya menghindari terjadinya degradasi akibat alih fungsi lahan pertanian, maka perlu perhatikan hal-hal sebagai berikut : harus adanya sosialisasi kepada masyarakat setempat sebelum terjadinya peralihan fungsi lahan dari ekosistem padang rumput. Dalam konteks efisiensi produktivitas ekosistem padang rumput perlu perbaikan kualitas HMT padangan yang dilaksakana secara simultan beberapa usaha sekaligus, yaitu penerapan prinsip-prinsip range management, seperti pengendalian vevegtasi, pengedalian kesuburana tanah dan pengendalian tenak. Perhatian khusus patut diberikan pada upaya pengelolaan kebakaran dan pengintegrasian sistem padang penggembalaan dengan cabang usaha tani lainnya (sistem agroforestri). Perlu dirumuskan kebijakan perlindungan dan pengeloaan sumberdaya ekosistem padang rumput berupa kebijakan, Peraturan Daerah (Perda) ataupun Peraturan Bupati (Perbub) dalam mewujudkan produktivitas ternak di Propinsi NTT sebagai gudang ternak.


DAFTAR PUSTAKA

Gregorius,T,2011, Pengaruh Pembakaran Terhadap produktivitas Padang Rumput, Artikel, dalam http://husbandryanimalthomndsgregoriuss.blogspot.com Diakses pada tanggal 29 September 2011.
Lestari,T. 2009, Dampak Konversi Lahan Pertanian Bagi Taraf Hidup Petani, Makalah Kolokium Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor.
Nullik, J, dan A. Bamualim,. 1998. Pakan Ruminansia Besar di Nusa Tenggara. BPTP, Naibonat dan EIVSP AusAID, Kupang.
Odum.E.P., 1971, Fundamentals of  Ecology,W.B.Samders Company,Philadelphia.
Oldeman, L.R. 1992, The Global Extent of Soil Degradation. In Greenland, D.J. and Szobolcs, I. (Ed).Soil Resilience and Sustainable Land Use. CAB International.
Riwu Kaho, L. M. 2005. Api Dalam Ekosistem Savana: Kemungkina Pengelolaanya Melalui Pengaturan Waktu Membakar (Studi Pada Savana Eucalyptus Timor Barat). Disertasi pada PPs UGM, Bidang Ilmu Kehutanan, Yogjakarta.
Riwu Kaho, L.M,2007, Prospek Pengembangan Padang Penggembalaan dan Kebun HMT di Propinsi NTT, Makalah, disampaikan pada Seminar Pertemuan Perluasan Areal dan PenampinganTingkat Propinsi NTT, Dinas Peternakan NTT pada tanggal 28 Juli 2007, Kupang.
Ridwana, Riki,2008.,Padang Rumput, Artikel dalam http://iki-padangrumput.blogspot.com, diakses pada tanggal 29 September 2011
Soemarwoto,O. 2008. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan.Djambatan. Jakarta.
Soetedjo,I.N.P, 2011, Prinsip-prinsip Degradasi dan Pencemaran Lingkungan, Materi Pokok Perkuliahan, Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pasca Sarjana, Universitas Nusa Cendana, Kupang. 

Tidak ada komentar:

SEJARAH MUSIK SULING BAMBU DI TIMOR

Oleh:   Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si Sejarah tentang suling bambu sudah sedemikan lama dan erat kaitannya dengan peradaban manus...