Jumat, 27 Maret 2009

INTEGRASI LOPO SEBAGAI LUMBUNG PANGAN

















INTEGRASI LOPO SEBAGAI LUMBUNG PANGAN
(Model Pengelolaan Lumbung Pangan di Desa Dampingan Program PIDRA, Kabupaten Timor Tengah Utara-NTT,Indonesia)
Oleh : Ir. Beny. Ulu Meak
Manager Program PIDRA-Kab.TTU

I. Arti Sebuah Lopo.

Kehidupan bagi sebagian besar orang Timor (atoin meto) atau masyarakat di wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara-Nusa Tenggara Timur rasanya kurang lengkap apabila didepan rumahnya tidak ada sebuah bangunan yang bentuknya seperti nasi tumpeng atau rumah orang eskimo tetapi memiliki empat tiang penyangga itulah bentuk daripada sebuah ”lopo ” (istilah dalam bahasa lokal). Secara historis Lopo memiliki peran dan potensi yang sangat strategis dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat desa termasuk desa-desa dampingan Program Participatory Integrated Development in Rainfed Areas (PIDRA) karena ” Lopo ” biasanya digunakan sebagai tempat penyimpanan bahan pangan keluarga dan tempat pertemuan kerabat/keluarga untuk membahas semua persoalan yang berkaitan dengan adat istiadat setempat. Letak bangunan ”lopo” ini selalu berada di depan rumah (dibangun di pekarangan) dimaksudkan untuk tempat peristirahatan keluarga atau kerabat yang lewat (menerima tamu) juga sebagai bentuk identitas–harga diri bagi keluarga tersebut. Semua permasalahan yang timbul di keluarga atau urusan adat di desa akan terselesaikan dengan baik melalui musyawarah apabila diselesaikan didalam bagunan lopo itu , disamping itu pula masalah kecukupan/ketersediaan pangan bagi kebutuhan konsumsi sebuah keluarga dapat terukur apabila di dalam lopo itu disimpan berbagai jenis bahan pangan.Konstruksi dari bangunan lopo ini pada umumnya, atapnya terbuat dari alang-alang dan tiangnya dari kayu bulat yang kokoh serta di bagian atasnya dibuat ”loteng/panggung” dari papan atau bambu yang di rejam sebelumnya dan di susun rapi sehingga menyerupai lantai di atasnya .Lopo seperti ini hanya berfungsi sebagai perekat sosial bagi kerabat keluarga dimana dari aspek cadangan bahan pangan dapat dijadikan kebutuhan pangan keluarga dalam setahunnya dan persediaan bibit untuk musim tanam berikutnya.
Mengingat dewasa ini masyarakat di desa selalu dihadapkan kepada persoalan tingkat ketahanan pangan (food security) yang tidak dikelola secara baik, maka ”lopo” dapat dijadikan suatu model alternatif pengelolaan lumbung pangan dan dintegrasikan dengan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dampingan Program PIDRA.

Suatu cerita menarik yang sempat dilihat secara langsung oleh Bapak.Ir.Alimin Yahya dari Program PIDRA Nasional ketika melakukan kegiatan supervisi tentang pengelolaan SDA yang dilakukan oleh masyarakat dampingan program PIDRA di desa Jak, beliau begitu terkesima dengan keberadaan sebuah lopo yang dimiliki oleh Keluarga Bapak Marselinus Siki dengan kondisi yang sudah cukup tua, tetapi ketika ditengok kedalam ketersediaan bahan pangan berupa jagung, padi ladang, kacang tanah, shorgum, dan gaplek masih melimpah bahkan jagung kulitnya ada yang masih baru dan ada yang kulitnya sudah kehitaman karena merupakan jagung dari dua tahun yang lalu yang tidak habis dikonsumsi, begitu pula halnya dengan padi ladang yang tersimpan rapi didalam karung hasil panen setahun yang lalu (Succses Story Program PIDRA,2008).

II. Pengelolaan Lumbung Pangan.

Lumbung pangan adalah suatu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa/kota yang bertujuan untuk pengembangan penyediaan cadangan pangan dengan sistim tunda jual, penyimpanan, pendistribusian, pengolahan dan perdagangan yang dikelola secara berkelompok (Anonymous, 2007). Tujuan dari pemberdayaan lumbung pangan adalah meningkatkan upaya penyediaan bahan pangan dan pendapatan bagi keluarga ataupun masyarakat di dalam desa tersebut. Keberadaan lumbung pangan di tingkat desa/kota akhir-akhir ini sudah semakin memudar sebagai akibat dari kemajuan sistim perdagangan dan berkembangnya lembaga logistik (cadangan pangan) formal pemerintah ataupun faktor lain seperti stabilisasi harga pangan yang tidak dapat di atasi.
Dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan keluarga, upaya yang dilakukan antara lain melalui penguatan cadangan pangan masyarakat dalam bentuk kelembagaan lumbung pangan dan sekarang sudah selayaknya lumbung pangan itu harus ada di tingkat keluarga maupun kelompok sebagai suatu strategi untuk mengantisipasi gejolak pangan yang terus berfluktuasi.

III. Integrasi Lopo sebagai Lumbung Pangan keluarga dan keberlanjutan.
Melihat kondisi alam desa-desa dampingan program PIDRA di kabupaten Timor Tengah Utara yang berada pada lahan kering/tadah hujan, topografi yang berbukit dan miring, bebatuan, diperparah lagi dengan curah hujan yang sangat minim semakin membuat petani bekerja lebih keras untuk dapat memperoleh hasil panen dan mempertahankan hidup. Memahami akan kondisi inilah maka program PIDRA dengan konsep ”Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat” dan startegi yang dikembangkan adalah menerapkan inovasi Teknologi Tepat Guna (TTG) seperti olah lubang , olah jalur, teknologi konservasi tanah dan air, kebun menetap maka dari tahun ke tahun ”hasil panen” mengalami peningkatan yang cukup menggembirakan dari segi jumlah, mutu maupun keragamannya dengan demikian maka masalah ketahanan pangan (food security) masyarakat dampingan program PIDRA terutama dari aspek ketersediaan dalam kondisi aman dan yang lebih hebat lagi bahwa semua bahan pangan yang tersimpan di lopo itu dalam keadaan aman dan bebas dari gangguan hama/penyakit. Kondisi tersebut telah memberikan suatu gambaran kepada kita bahwa ”lopo” berperan sebagai fungsi sosial terutama dalam menyediakan cadangan pangan bagi keluarga dan masyarakat di desa. Kita harapkan juga agar lopo ini dapat berperan ganda sebagai fungsi ekonomik maupun fungsi sosial bagi keluarga dan masyarakat dengan mengintegrasikan model pemberdayaan lumbung pangan modern antara lain ; (1). menguatnya permodalan usaha kelompok, (2). meningkatnya posisi tawar (bargaining position) anggota dalam penjualan hasil usaha tani, (3).berkembangnya keterampilan teknis anggota kelompok. (4).terjalinnya hubungan kemitraan dan jaringan usaha kelompok, (5). berkembangnya usaha kelompok menuju skala yang mampu memberikan peningkatan pendapatan yang layak bagi anggotanya dan (6).meningkatnya cadangan pangan minimal sebesar 3 (tiga) bulan kebutuhan konsumsi masyarakat.
Keberadaan lopo ini telah merupakan suatu tradisi-kearifan lokal maka perlu untuk keberlanjutannya harus ada pendampingan dengan mengembangkan sebuah” lopo induk –sebagai lumbung pangan di desa” sedangkan lopo yang ada sekarang tetap dijadikan lumbung pangan keluarga. Persoalannya bagaimana kita dapat melakukan proses pemberdayaan untuk penguatan kelembagaan lumbung pangan,pengembangan usaha kelompok,penguatan cadangan pangan di kelompok,penguatan modal usaha kelompok serta pelatihan teknis (technical buiding) dan pelatihan penguatan kapasitas kelompok (Capacity buiding).
Sebagaian upaya seperti disebutkan di atas ini telah dilakukan oleh program PIDRA selama pendampingan dan Menurut (Khudori, 2006) prinsip yang perlu dikembangkan lagi dalam upaya pemberdayaan lumbung pangan adalah (1).pengelolaan resiko, (2). bursa komoditas dan (3). saling percaya. Sedangkan hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan pengembangan jaringan usaha dan kemitraan.

IV. Pelajaran yang Dipetik.

· Tingkat Kelompok Lumbung Pangan yang ada di desa perlu melakukan :
1) Penyusunan Rencana Usaha Kelompok (RUK) untuk pengelolaan resiko;
2) Membangun fisik lumbung di desa (1 Kelompok : 1 Lumbung) dengan bursa komoditas unggulan yang disepakti sebagai bahan pangan untuk cadangan pangan kelompok;
3) Mengembangkan usaha ekonomi kelompok;
4) Meningkatkan kapasitas kemampuan manajemen (administrasi pembukuan-keuangan) dan ekonomi;
5) Melakukan monitoring dan evaluasi secara partisipatif untuk megetahui tingkat perkembangan kegiatan pemberdayaan lumbung pangan secara mandiri.
· Lopo di tingkat keluarga dapat dijadikan sebagai lumbung pangan keluarga (cadangan pangan) keluarga sedangkan Lopo induk di kelompok sebagai lumbung pangan di tingkat kelompok dan hubungan anatar lopo keluarga dan lopo induk kelompok bersifat horisontal dan saling melengkapi atau melekat dan tidak terpisah secara sendiri-sendiri. Jadi ini merupakan model BULOG di desa untuk pendistribusian bahan pangan antara desa satu dengan desa yang lainnya yang membutuhkan.
· Bantuan Modal usaha, pelatihan dan pendampingan harus dilakukan secara terpadu, terintegrasi dengan stakeholder yang ada dengan pola satu pintu.
· Catatan kritis bahwa sebelum adanya pendampingan Program PIDRA di desa –desa sasaran sering terjadi gangguan ketahanan pangan tetapi setelah ada pendapamingan Program PIDRA selama tahun 2001 – 2008 di desa –desa dampingan tidak ada gangguan ketahanan pangan karena salah satunya adalah pemberdayaan ”Lopo” sebagai lumbung pangan keluarga.

Daftar Bacaan

Anonymous, 2007. Pedoman Umum Pemberdayaan Lumbung Pangan, Badan Ketahanan Pangan,Departemen Pertanian RI, Jakarta;
Anonymous, 2008. Succses Story Pelaksanaan Program PIDRA Kabupaten Timor Tengah Utara-NTT Edisi II, Sekretariat Program PIDRA TTU, Kefamenanu;
Khudori, 2006. Urgensi Lumbung Pangan, Harian Republika, Edisi Selasa 29 Juli 2006;

Rabu, 25 Maret 2009

KEANEKARAGAMAN MAKANAN DAN BUDAYA

(PIKIRAN,IDE DAN GAGASAN)

Oleh :
Ir. Beny. Ulu Meak


I. PENDAHULUAN

Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan latar belakang etnis, suku dan tata kehidupan sosial yang berbeda satu dengan yang lain. Hal ini telah memberikan suatu formulasi struktur sosial masyarakat yang turut mempengaruhi menu makanan maupun pola makan. Banyak sekali penemuan para ahli sosialog dan ahli gizi menyatakan bahwa faktor budaya sangat berperan terhadap proses terjadinya kebiasaan makan dan bentuk makanan itu sendiri, sehingga tidak jarang menimbulkan berbagai masalah gizi apabila faktor makanan itu tidak diperhatikan secara baik oleh kita yang mengkonsumsinya.
Kecendrungan lain yang muncul dari suatu budaya terhadap makanan sangat tergantung dari potensi alamnya atau faktor pertanian yang dominan. Sebagai contoh : bahwa orang Jawa makanan pokoknya akan berbeda dengan orang Timor atau pendek kata bahwa setiap suku-etnis yang ada pasti mempunyai makanan pokoknya tersediri. Keragaman dan keunikan budaya yang dimiliki oleh suatu entitas masyarakat tertentu merupakan wujud dari gagasan, rasa, tindakan dan karya sangat menjiwai aktivitas keseharian baik itu dalam tatanan sosial, teknis maupun ekonomi telah turut membentuk karakter fisik makanan (menu,pola dan bahan dasar).

II. POLA BUDAYA TERHADAP MAKANAN

Kebudayaan adalah seluruh sistim gagasan dan ras, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar (Koentjaraningrat,1990). Selanjutnya dikatakan juga bahwa wujud dari budaya atau kebudayaan dapat berupa benda-benda fisik, sistim tingkah laku dan tindakan yang terpola/sistim sosial, sistim gagasan atau adat-istiadat serta kepribadian atau nilai-nilai budaya. Berdasarkan atas batasan demikian maka dapat dikatakan bahwa makanan atau kebiasaan makan merupakan suatu produk budaya yang berhubungan dengan sistim tingkah laku dan tindakan yang terpola (sistim sosial) dari suatu komonitas masyarakat tertentu. Sedangkan makanan yang merupakan produk pangan sangat tergantung dari faktor pertanian di daerah tersebut dan merupakan produk dari budaya juga. Dengan demikian pengaruh budaya terhadap pangan atau makanan sangat tergantung kepada sistim sosial kemasyarakatan dan merupakan hak asasi yang paling dasar, maka pangan/makanan harus berada di dalam kendali kebudayaan itu sendiri.
Beberapa pengaruh budaya terhadap pangan/makanan adalah :
  • Adanya bermacam jenis menu makanan dari setiap komunitas – etnis masyarakat dalam mengolah suatu jenis hidangan makanan karena perbedaan bahan dasar/adonan dalam proses pembuatan; contoh : orang Jawa ada jenis menu makanan berasal dari kedele, orang Timor jenis menu makanan lebih banyak berasal dari jagung dan orang Ambon jenis menu makanan berasal dari sagu.
  • Adanya perbedaan pola makan/konsumsi/makanan pokok dari setiap suku-etnis ; Contoh : orang Timor pola makan lebih kepada jagung, orang Jawa pola makan lebih kepada beras.
  • Adanya perbedaan cita - rasa, aroma, warna dan bentuk fisik makanan dari setiap suku-etnis; Contoh : makanan orang Padang cita - rasanya pedis, orang Jawa makananya manis dan orang Timor makanannya selalu yang asin.
  • Adanya bermacam jenis nama dari makanan tersebut atau makanan khas berbeda untuk setiap daerah; Contoh : Soto Makasar berasal dari daerah Makasar- Sulawesi Selatan, Jagung ”Bose” dari daerah Timor-Nusa Tenggara Timur.

III. SISTIM BUDAYA TERHADAP MAKANAN

Berbagai sistim budaya memberikan peranan dan nilai yang berbeda-beda terhadap makanan, misalnya bahan-bahan makanan tertentu oleh suatu budaya masyarakat dapat dianggap tabu atau bersifat pantangan untuk dikonsumsi karena alasasan sakral tertentu atau sistim budaya yang terkait di dalamnya. Disamping itu ada jenis makanan tertentu yang di nilai dari segi ekonomi maupun sosial sangat tinggi eksistensinya tetapi karena mempunyai peranan yang penting dalam hidangan makanan pada sesuatu perayaan yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat tertentu maka hidangan makanan itu tidak diperbolehkan untuk dikonsumsinya bagi golongan masyarakat tersebut.
Anggapan lain yang muncul dari sistim budaya seperti dalam mengkonsumsi hidangan makanan di dalam keluarga, biasanya sang ayah sebagai kepala keluarga akan diprioritaskan mengkonsumsi lebih banyak dan pada bagian-bagian makanan yang mengandung nilai cita rasa tinggi. Sedangkan anggota keluarga lainnya seperti sang ibu dan anak-anak mengkonsumsi pada bagian-bagian hidangan makanan yang secara cita-rasa maupun fisiknya rendah. Sebagai contoh pada sistim budaya masyarakat di Timor yaitu : apabila dihidangkan makanan daging ayam, maka sang ayah akan mendapat bagian paha atau dada sedangkan sang ibu dan anak-anak akan mendapat bagian sayap atau lainnya. Hal ini menurut (Suhardjo, 1996) dapat menimbulkan distribusi konsumsi pangan yang tidak baik atau maldistribution diantara keluarga apalagi pengetahuan gizi belum dipahami oleh keluarga.
Kasus lain yang berhubungan dengan sistim budaya adalah sering terjadi juga pada masyarakat di perkotaan yang mempunyai gaya hidup budaya dengan tingkat kesibukan yang tinggi karena alasan pekerjaan. Contohnya; pada ibu-ibu di daerah perkotaan yang kurang dan tidak sering menyusui bayinya dengan Air Susu Ibu (ASI) setelah melahirkan tetapi hanya diberikan formula susu bayi instant. Padahal kita tahu bahwa ASI sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik bayi. Selanjutnya gaya hidup mereka yang berasal dari golongan ekonomi atas (masyarakat elite kota) ,dalam hal makanan sering mengkonsumsi makanan yang berasal dari produk luar negeri atau makanan instant lainnya karena soal “gengsi” . Sedangkan makanan lokal kita hanya dikonsumsi oleh mereka yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah karena ada anggapan bahwa makanan dari luar negeri kaya akan nilai gizi protein dan makanan instant lebih praktis untuk dikonsumsi sedangkan makanan lokal kita nilai gizinya lebih kepada karbohidrat. Sehubungan dengan soal gengsi maka ada kebiasaan masyarakat di Timor jika ada kunjungan tamu ke rumahnya maka tamu tersebut selalu di hidangkan dengan makanan yang berasal dari beras walaupun kesehariannya mereka selalu mengkonsumsi jagung, ubi kayu/singkong dan makanan lokal lainnya sehingga beras atau nasi telah dianggap sebagai suatu citra bahan makanan yang mempunyai nilai “prestise” yang tinggi. Citra beras/nasi dibangun sebegitu kuatnya oleh masyarakat di Timor sehingga kondisi ini telah mempengaruhi sendi-sendi sosial budaya sedangkan pandangan mereka terhadap pangan di luar beras di tempatkan sebagai simbol lapisan masyarakat paling rendah.

IV. MASALAH BUDAYA DAN MAKANAN TERHADAP GIZI

Mencermati akan adanya budaya, kebiasaan dan sistim sosial masyarakat terhadap makanan seperti pola makan, tabu atau pantangan, gaya hidup, gengsi dalam mengkonsumsi jenis bahan makanan tertentu, ataupun prestise dari bahan makanan tersebut yang sering terjadi di kalangan masyarakat apabila keadaan tersebut berlangsung lama dan mereka juga belum memahami secara baik tentang pentingnya faktor gizi dalam mengkonsumsi makanan maka tidak mungkin dapat berakibat timbulnya masalah gizi atau gizi salah (Malnutrition). Lebih lanjut dijelaskan oleh Suhardjo, 1996 bahwa jika kalangan masyarakat yang terkena danpak dari sistim sosial atau budaya makan itu berasal dari golongan individu –individu yang termasuk rawan gizi seperti ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan anak-anak balita serta orang lanjut usia maka kondisi ini akan lebih rentant terhadap timbulnya masalah gizi kurang.
Gizi salah (Malnutrition) dapat didefenisikan sebagai keadaan sakit atau penyakit yang disebabkan oleh kekurangan relative atau mutlak dan kelebihan satu atau lebih zat-zat makanan esensial yang berguna dalam tubuh manusia. Menurut bentuknya, gizi salah diklasifikasikan oleh (Barba dkk, 1991) sebagai berikut :
1. Gizi kurang (undernutrition), kondisi ini sebagai akibat dari konsumsi makanan yang tidak memadai jumlahnya pada kurun waktu cukup lama. Contoh : Kekurangan Energi Protein (KEP) dapat menyebabkan penyakit marasmus dan kwashiorkor.
2. Gizi lebih (Overnutrition), keadaan ini diakibatkan oleh konsumsi makanan yang berlebihan untuk jangka waktu yang cukup lama. Contoh : kegemukan;
3. Kurang Gizi spesifik (Specific Deficiency): keadaan ini disebabkan oleh kekurangan relative atau mutlak pada zat-zat makanan tertentu. Contohnya : kekurangan vitamin A yang dapat menyebabkan penyakit xeropthalmia dan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) yang dapat menyebabkan penyakit gondok;
4. Gizi tak seimbang (inbalance): Kondisi yang merupakan akibat dari tidak seimbangnya jumlah antara zat-zat makanan esensial, dengan atau tanpa kekurangan zat makanan tertentu. Contoh ; gangguan keseimbangan tubuh,sering loyo dll.


V. ALTERNATIF MENGATASI MASALAH BUDAYA DAN MAKANAN

Masalah budaya dan makanan kita ketahui dapat menyebabkan masalah gizi yang berdampak pada kesehatan tubuh manusia, sehingga perlu secara cermat untuk memberdayakan masyarakat lokal dengan kearifan dan kecerdasan lokal (local wisdom and local genius) disamping terus melaksanakan penyuluhan gizi sebagai alternative mengatasi masalah budaya dan makanan.
Pendekatan yang paling utama adalah melalui perbaikan struktur sosial masyarakat tentang pandangan mereka terhadap bahan makanan walaupun lokal tetapi kaya akan nilai gizi. Langkah-langkah yang ditempuh seperti al ; (1).Perbaikan gizi keluarga dengan melakukan lomba menyiapkan hidangan makanan non beras (kasus budaya Timor),(2). Perbaikan budaya masyarakat dengan pengaruhsutamaan gender (PUG) terutama di tingkat keluarga, (3). Memperluas areal pertanian dengan menanam berbagai komoditi yang mempunyai nilai gizi tinggi sebagai bahan pangan/makanan seperti kedelai (kasus budaya Jawa), (4).Pemberian makanan tambahan yang bernilai gizi bagi anak-anak balita dan orang lanjut usia, (5).Penyuluhan gizi terpadu dan konsultasi gizi bagi masyarakat disamping (6).Melakukan pengkajian/penelitian dan riset untuk melihat pengaruh budaya terhadap makanan itu sendiri dengan berbagai implikasi yang terkait di dalamnya.

VI. PENUTUP

Berdasarkan gambaran naratif (pikiran,ide,gagasan) sebagai tersebut di atas maka dapat direpresentasikan bahwa ; persoalan budaya dan makanan menjadi suatu fenomena masyarakat yang cukup kompleks, maka sebagai upaya strategis yang ditempuh harus memperhatikan secara cermat tentang faktor budaya yang ada dalam komunitas etnis-masyarakat akan pentingnya makanan dan gizi bagi tubuh manusia. Upaya yang bersifat preventif dan promotif perlu dilakukan secara sadar oleh masyarakat itu sendiri dengan dukungan tenaga penyuluh gizi sehingga muncul prilaku manusia yang bermartabat serta paham akan pentingnya gizi dan makanan.
Saran konkrit yang perlu digagas ke depannya adalah ; perlu dilakukan upaya perbaikan prilaku-budaya dan makanan lewat pelayanan gizi dan kesehatan. Peran serta masyarakat dengan mengorganisir kader gizi masyarakat serta adanya dukungan lintas sektor untuk mengadvokasi masyarakat tentang budaya yang bias dan tidak memperhatikan faktor gizi dalam karakter fisik makanan (menu,pola dan bahan dasar). Sedangkan pelajaran yang dapat dipetik dari beragam jenis kuliner makanan akan menjadi daya tarik tersediri dalam pesona budaya itu sebagai ciri khas masyarakat-etnis tertentu atau sebagai obyek wisata kuliner yang dapat dijual kepada pihak luar atau bangsa lain dalam industri pariwisata yang berprospek ekonomik.

DAFTAR BACAAN :

1) Koentjaraningrat, 1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
2) Suhardjo, 1996. Perencanaan Pangan dan Gizi, Bumi Aksara, Jakarta.
3) Barba, Corazon V.C, dkk. 1991.Nutrition Intervention Programs. RTP-FNP-UPLB, Philippines.

SEJARAH MUSIK SULING BAMBU DI TIMOR

Oleh:   Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si Sejarah tentang suling bambu sudah sedemikan lama dan erat kaitannya dengan peradaban manus...