INTEGRASI LOPO SEBAGAI LUMBUNG PANGAN
(Model Pengelolaan Lumbung Pangan di Desa Dampingan Program PIDRA, Kabupaten Timor Tengah Utara-NTT,Indonesia)
Oleh : Ir. Beny. Ulu Meak
Manager Program PIDRA-Kab.TTU
I. Arti Sebuah Lopo.
Kehidupan bagi sebagian besar orang Timor (atoin meto) atau masyarakat di wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara-Nusa Tenggara Timur rasanya kurang lengkap apabila didepan rumahnya tidak ada sebuah bangunan yang bentuknya seperti nasi tumpeng atau rumah orang eskimo tetapi memiliki empat tiang penyangga itulah bentuk daripada sebuah ”lopo ” (istilah dalam bahasa lokal). Secara historis Lopo memiliki peran dan potensi yang sangat strategis dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat desa termasuk desa-desa dampingan Program Participatory Integrated Development in Rainfed Areas (PIDRA) karena ” Lopo ” biasanya digunakan sebagai tempat penyimpanan bahan pangan keluarga dan tempat pertemuan kerabat/keluarga untuk membahas semua persoalan yang berkaitan dengan adat istiadat setempat. Letak bangunan ”lopo” ini selalu berada di depan rumah (dibangun di pekarangan) dimaksudkan untuk tempat peristirahatan keluarga atau kerabat yang lewat (menerima tamu) juga sebagai bentuk identitas–harga diri bagi keluarga tersebut. Semua permasalahan yang timbul di keluarga atau urusan adat di desa akan terselesaikan dengan baik melalui musyawarah apabila diselesaikan didalam bagunan lopo itu , disamping itu pula masalah kecukupan/ketersediaan pangan bagi kebutuhan konsumsi sebuah keluarga dapat terukur apabila di dalam lopo itu disimpan berbagai jenis bahan pangan.Konstruksi dari bangunan lopo ini pada umumnya, atapnya terbuat dari alang-alang dan tiangnya dari kayu bulat yang kokoh serta di bagian atasnya dibuat ”loteng/panggung” dari papan atau bambu yang di rejam sebelumnya dan di susun rapi sehingga menyerupai lantai di atasnya .Lopo seperti ini hanya berfungsi sebagai perekat sosial bagi kerabat keluarga dimana dari aspek cadangan bahan pangan dapat dijadikan kebutuhan pangan keluarga dalam setahunnya dan persediaan bibit untuk musim tanam berikutnya.
Mengingat dewasa ini masyarakat di desa selalu dihadapkan kepada persoalan tingkat ketahanan pangan (food security) yang tidak dikelola secara baik, maka ”lopo” dapat dijadikan suatu model alternatif pengelolaan lumbung pangan dan dintegrasikan dengan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dampingan Program PIDRA.
Suatu cerita menarik yang sempat dilihat secara langsung oleh Bapak.Ir.Alimin Yahya dari Program PIDRA Nasional ketika melakukan kegiatan supervisi tentang pengelolaan SDA yang dilakukan oleh masyarakat dampingan program PIDRA di desa Jak, beliau begitu terkesima dengan keberadaan sebuah lopo yang dimiliki oleh Keluarga Bapak Marselinus Siki dengan kondisi yang sudah cukup tua, tetapi ketika ditengok kedalam ketersediaan bahan pangan berupa jagung, padi ladang, kacang tanah, shorgum, dan gaplek masih melimpah bahkan jagung kulitnya ada yang masih baru dan ada yang kulitnya sudah kehitaman karena merupakan jagung dari dua tahun yang lalu yang tidak habis dikonsumsi, begitu pula halnya dengan padi ladang yang tersimpan rapi didalam karung hasil panen setahun yang lalu (Succses Story Program PIDRA,2008).
II. Pengelolaan Lumbung Pangan.
Lumbung pangan adalah suatu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa/kota yang bertujuan untuk pengembangan penyediaan cadangan pangan dengan sistim tunda jual, penyimpanan, pendistribusian, pengolahan dan perdagangan yang dikelola secara berkelompok (Anonymous, 2007). Tujuan dari pemberdayaan lumbung pangan adalah meningkatkan upaya penyediaan bahan pangan dan pendapatan bagi keluarga ataupun masyarakat di dalam desa tersebut. Keberadaan lumbung pangan di tingkat desa/kota akhir-akhir ini sudah semakin memudar sebagai akibat dari kemajuan sistim perdagangan dan berkembangnya lembaga logistik (cadangan pangan) formal pemerintah ataupun faktor lain seperti stabilisasi harga pangan yang tidak dapat di atasi.
Dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan keluarga, upaya yang dilakukan antara lain melalui penguatan cadangan pangan masyarakat dalam bentuk kelembagaan lumbung pangan dan sekarang sudah selayaknya lumbung pangan itu harus ada di tingkat keluarga maupun kelompok sebagai suatu strategi untuk mengantisipasi gejolak pangan yang terus berfluktuasi.
III. Integrasi Lopo sebagai Lumbung Pangan keluarga dan keberlanjutan.
Melihat kondisi alam desa-desa dampingan program PIDRA di kabupaten Timor Tengah Utara yang berada pada lahan kering/tadah hujan, topografi yang berbukit dan miring, bebatuan, diperparah lagi dengan curah hujan yang sangat minim semakin membuat petani bekerja lebih keras untuk dapat memperoleh hasil panen dan mempertahankan hidup. Memahami akan kondisi inilah maka program PIDRA dengan konsep ”Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat” dan startegi yang dikembangkan adalah menerapkan inovasi Teknologi Tepat Guna (TTG) seperti olah lubang , olah jalur, teknologi konservasi tanah dan air, kebun menetap maka dari tahun ke tahun ”hasil panen” mengalami peningkatan yang cukup menggembirakan dari segi jumlah, mutu maupun keragamannya dengan demikian maka masalah ketahanan pangan (food security) masyarakat dampingan program PIDRA terutama dari aspek ketersediaan dalam kondisi aman dan yang lebih hebat lagi bahwa semua bahan pangan yang tersimpan di lopo itu dalam keadaan aman dan bebas dari gangguan hama/penyakit. Kondisi tersebut telah memberikan suatu gambaran kepada kita bahwa ”lopo” berperan sebagai fungsi sosial terutama dalam menyediakan cadangan pangan bagi keluarga dan masyarakat di desa. Kita harapkan juga agar lopo ini dapat berperan ganda sebagai fungsi ekonomik maupun fungsi sosial bagi keluarga dan masyarakat dengan mengintegrasikan model pemberdayaan lumbung pangan modern antara lain ; (1). menguatnya permodalan usaha kelompok, (2). meningkatnya posisi tawar (bargaining position) anggota dalam penjualan hasil usaha tani, (3).berkembangnya keterampilan teknis anggota kelompok. (4).terjalinnya hubungan kemitraan dan jaringan usaha kelompok, (5). berkembangnya usaha kelompok menuju skala yang mampu memberikan peningkatan pendapatan yang layak bagi anggotanya dan (6).meningkatnya cadangan pangan minimal sebesar 3 (tiga) bulan kebutuhan konsumsi masyarakat.
Keberadaan lopo ini telah merupakan suatu tradisi-kearifan lokal maka perlu untuk keberlanjutannya harus ada pendampingan dengan mengembangkan sebuah” lopo induk –sebagai lumbung pangan di desa” sedangkan lopo yang ada sekarang tetap dijadikan lumbung pangan keluarga. Persoalannya bagaimana kita dapat melakukan proses pemberdayaan untuk penguatan kelembagaan lumbung pangan,pengembangan usaha kelompok,penguatan cadangan pangan di kelompok,penguatan modal usaha kelompok serta pelatihan teknis (technical buiding) dan pelatihan penguatan kapasitas kelompok (Capacity buiding).
Sebagaian upaya seperti disebutkan di atas ini telah dilakukan oleh program PIDRA selama pendampingan dan Menurut (Khudori, 2006) prinsip yang perlu dikembangkan lagi dalam upaya pemberdayaan lumbung pangan adalah (1).pengelolaan resiko, (2). bursa komoditas dan (3). saling percaya. Sedangkan hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan pengembangan jaringan usaha dan kemitraan.
IV. Pelajaran yang Dipetik.
· Tingkat Kelompok Lumbung Pangan yang ada di desa perlu melakukan :
1) Penyusunan Rencana Usaha Kelompok (RUK) untuk pengelolaan resiko;
2) Membangun fisik lumbung di desa (1 Kelompok : 1 Lumbung) dengan bursa komoditas unggulan yang disepakti sebagai bahan pangan untuk cadangan pangan kelompok;
3) Mengembangkan usaha ekonomi kelompok;
4) Meningkatkan kapasitas kemampuan manajemen (administrasi pembukuan-keuangan) dan ekonomi;
5) Melakukan monitoring dan evaluasi secara partisipatif untuk megetahui tingkat perkembangan kegiatan pemberdayaan lumbung pangan secara mandiri.
· Lopo di tingkat keluarga dapat dijadikan sebagai lumbung pangan keluarga (cadangan pangan) keluarga sedangkan Lopo induk di kelompok sebagai lumbung pangan di tingkat kelompok dan hubungan anatar lopo keluarga dan lopo induk kelompok bersifat horisontal dan saling melengkapi atau melekat dan tidak terpisah secara sendiri-sendiri. Jadi ini merupakan model BULOG di desa untuk pendistribusian bahan pangan antara desa satu dengan desa yang lainnya yang membutuhkan.
· Bantuan Modal usaha, pelatihan dan pendampingan harus dilakukan secara terpadu, terintegrasi dengan stakeholder yang ada dengan pola satu pintu.
· Catatan kritis bahwa sebelum adanya pendampingan Program PIDRA di desa –desa sasaran sering terjadi gangguan ketahanan pangan tetapi setelah ada pendapamingan Program PIDRA selama tahun 2001 – 2008 di desa –desa dampingan tidak ada gangguan ketahanan pangan karena salah satunya adalah pemberdayaan ”Lopo” sebagai lumbung pangan keluarga.
Daftar Bacaan
Anonymous, 2007. Pedoman Umum Pemberdayaan Lumbung Pangan, Badan Ketahanan Pangan,Departemen Pertanian RI, Jakarta;
Anonymous, 2008. Succses Story Pelaksanaan Program PIDRA Kabupaten Timor Tengah Utara-NTT Edisi II, Sekretariat Program PIDRA TTU, Kefamenanu;
Khudori, 2006. Urgensi Lumbung Pangan, Harian Republika, Edisi Selasa 29 Juli 2006;
(Model Pengelolaan Lumbung Pangan di Desa Dampingan Program PIDRA, Kabupaten Timor Tengah Utara-NTT,Indonesia)
Oleh : Ir. Beny. Ulu Meak
Manager Program PIDRA-Kab.TTU
I. Arti Sebuah Lopo.
Kehidupan bagi sebagian besar orang Timor (atoin meto) atau masyarakat di wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara-Nusa Tenggara Timur rasanya kurang lengkap apabila didepan rumahnya tidak ada sebuah bangunan yang bentuknya seperti nasi tumpeng atau rumah orang eskimo tetapi memiliki empat tiang penyangga itulah bentuk daripada sebuah ”lopo ” (istilah dalam bahasa lokal). Secara historis Lopo memiliki peran dan potensi yang sangat strategis dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat desa termasuk desa-desa dampingan Program Participatory Integrated Development in Rainfed Areas (PIDRA) karena ” Lopo ” biasanya digunakan sebagai tempat penyimpanan bahan pangan keluarga dan tempat pertemuan kerabat/keluarga untuk membahas semua persoalan yang berkaitan dengan adat istiadat setempat. Letak bangunan ”lopo” ini selalu berada di depan rumah (dibangun di pekarangan) dimaksudkan untuk tempat peristirahatan keluarga atau kerabat yang lewat (menerima tamu) juga sebagai bentuk identitas–harga diri bagi keluarga tersebut. Semua permasalahan yang timbul di keluarga atau urusan adat di desa akan terselesaikan dengan baik melalui musyawarah apabila diselesaikan didalam bagunan lopo itu , disamping itu pula masalah kecukupan/ketersediaan pangan bagi kebutuhan konsumsi sebuah keluarga dapat terukur apabila di dalam lopo itu disimpan berbagai jenis bahan pangan.Konstruksi dari bangunan lopo ini pada umumnya, atapnya terbuat dari alang-alang dan tiangnya dari kayu bulat yang kokoh serta di bagian atasnya dibuat ”loteng/panggung” dari papan atau bambu yang di rejam sebelumnya dan di susun rapi sehingga menyerupai lantai di atasnya .Lopo seperti ini hanya berfungsi sebagai perekat sosial bagi kerabat keluarga dimana dari aspek cadangan bahan pangan dapat dijadikan kebutuhan pangan keluarga dalam setahunnya dan persediaan bibit untuk musim tanam berikutnya.
Mengingat dewasa ini masyarakat di desa selalu dihadapkan kepada persoalan tingkat ketahanan pangan (food security) yang tidak dikelola secara baik, maka ”lopo” dapat dijadikan suatu model alternatif pengelolaan lumbung pangan dan dintegrasikan dengan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dampingan Program PIDRA.
Suatu cerita menarik yang sempat dilihat secara langsung oleh Bapak.Ir.Alimin Yahya dari Program PIDRA Nasional ketika melakukan kegiatan supervisi tentang pengelolaan SDA yang dilakukan oleh masyarakat dampingan program PIDRA di desa Jak, beliau begitu terkesima dengan keberadaan sebuah lopo yang dimiliki oleh Keluarga Bapak Marselinus Siki dengan kondisi yang sudah cukup tua, tetapi ketika ditengok kedalam ketersediaan bahan pangan berupa jagung, padi ladang, kacang tanah, shorgum, dan gaplek masih melimpah bahkan jagung kulitnya ada yang masih baru dan ada yang kulitnya sudah kehitaman karena merupakan jagung dari dua tahun yang lalu yang tidak habis dikonsumsi, begitu pula halnya dengan padi ladang yang tersimpan rapi didalam karung hasil panen setahun yang lalu (Succses Story Program PIDRA,2008).
II. Pengelolaan Lumbung Pangan.
Lumbung pangan adalah suatu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa/kota yang bertujuan untuk pengembangan penyediaan cadangan pangan dengan sistim tunda jual, penyimpanan, pendistribusian, pengolahan dan perdagangan yang dikelola secara berkelompok (Anonymous, 2007). Tujuan dari pemberdayaan lumbung pangan adalah meningkatkan upaya penyediaan bahan pangan dan pendapatan bagi keluarga ataupun masyarakat di dalam desa tersebut. Keberadaan lumbung pangan di tingkat desa/kota akhir-akhir ini sudah semakin memudar sebagai akibat dari kemajuan sistim perdagangan dan berkembangnya lembaga logistik (cadangan pangan) formal pemerintah ataupun faktor lain seperti stabilisasi harga pangan yang tidak dapat di atasi.
Dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan keluarga, upaya yang dilakukan antara lain melalui penguatan cadangan pangan masyarakat dalam bentuk kelembagaan lumbung pangan dan sekarang sudah selayaknya lumbung pangan itu harus ada di tingkat keluarga maupun kelompok sebagai suatu strategi untuk mengantisipasi gejolak pangan yang terus berfluktuasi.
III. Integrasi Lopo sebagai Lumbung Pangan keluarga dan keberlanjutan.
Melihat kondisi alam desa-desa dampingan program PIDRA di kabupaten Timor Tengah Utara yang berada pada lahan kering/tadah hujan, topografi yang berbukit dan miring, bebatuan, diperparah lagi dengan curah hujan yang sangat minim semakin membuat petani bekerja lebih keras untuk dapat memperoleh hasil panen dan mempertahankan hidup. Memahami akan kondisi inilah maka program PIDRA dengan konsep ”Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat” dan startegi yang dikembangkan adalah menerapkan inovasi Teknologi Tepat Guna (TTG) seperti olah lubang , olah jalur, teknologi konservasi tanah dan air, kebun menetap maka dari tahun ke tahun ”hasil panen” mengalami peningkatan yang cukup menggembirakan dari segi jumlah, mutu maupun keragamannya dengan demikian maka masalah ketahanan pangan (food security) masyarakat dampingan program PIDRA terutama dari aspek ketersediaan dalam kondisi aman dan yang lebih hebat lagi bahwa semua bahan pangan yang tersimpan di lopo itu dalam keadaan aman dan bebas dari gangguan hama/penyakit. Kondisi tersebut telah memberikan suatu gambaran kepada kita bahwa ”lopo” berperan sebagai fungsi sosial terutama dalam menyediakan cadangan pangan bagi keluarga dan masyarakat di desa. Kita harapkan juga agar lopo ini dapat berperan ganda sebagai fungsi ekonomik maupun fungsi sosial bagi keluarga dan masyarakat dengan mengintegrasikan model pemberdayaan lumbung pangan modern antara lain ; (1). menguatnya permodalan usaha kelompok, (2). meningkatnya posisi tawar (bargaining position) anggota dalam penjualan hasil usaha tani, (3).berkembangnya keterampilan teknis anggota kelompok. (4).terjalinnya hubungan kemitraan dan jaringan usaha kelompok, (5). berkembangnya usaha kelompok menuju skala yang mampu memberikan peningkatan pendapatan yang layak bagi anggotanya dan (6).meningkatnya cadangan pangan minimal sebesar 3 (tiga) bulan kebutuhan konsumsi masyarakat.
Keberadaan lopo ini telah merupakan suatu tradisi-kearifan lokal maka perlu untuk keberlanjutannya harus ada pendampingan dengan mengembangkan sebuah” lopo induk –sebagai lumbung pangan di desa” sedangkan lopo yang ada sekarang tetap dijadikan lumbung pangan keluarga. Persoalannya bagaimana kita dapat melakukan proses pemberdayaan untuk penguatan kelembagaan lumbung pangan,pengembangan usaha kelompok,penguatan cadangan pangan di kelompok,penguatan modal usaha kelompok serta pelatihan teknis (technical buiding) dan pelatihan penguatan kapasitas kelompok (Capacity buiding).
Sebagaian upaya seperti disebutkan di atas ini telah dilakukan oleh program PIDRA selama pendampingan dan Menurut (Khudori, 2006) prinsip yang perlu dikembangkan lagi dalam upaya pemberdayaan lumbung pangan adalah (1).pengelolaan resiko, (2). bursa komoditas dan (3). saling percaya. Sedangkan hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan pengembangan jaringan usaha dan kemitraan.
IV. Pelajaran yang Dipetik.
· Tingkat Kelompok Lumbung Pangan yang ada di desa perlu melakukan :
1) Penyusunan Rencana Usaha Kelompok (RUK) untuk pengelolaan resiko;
2) Membangun fisik lumbung di desa (1 Kelompok : 1 Lumbung) dengan bursa komoditas unggulan yang disepakti sebagai bahan pangan untuk cadangan pangan kelompok;
3) Mengembangkan usaha ekonomi kelompok;
4) Meningkatkan kapasitas kemampuan manajemen (administrasi pembukuan-keuangan) dan ekonomi;
5) Melakukan monitoring dan evaluasi secara partisipatif untuk megetahui tingkat perkembangan kegiatan pemberdayaan lumbung pangan secara mandiri.
· Lopo di tingkat keluarga dapat dijadikan sebagai lumbung pangan keluarga (cadangan pangan) keluarga sedangkan Lopo induk di kelompok sebagai lumbung pangan di tingkat kelompok dan hubungan anatar lopo keluarga dan lopo induk kelompok bersifat horisontal dan saling melengkapi atau melekat dan tidak terpisah secara sendiri-sendiri. Jadi ini merupakan model BULOG di desa untuk pendistribusian bahan pangan antara desa satu dengan desa yang lainnya yang membutuhkan.
· Bantuan Modal usaha, pelatihan dan pendampingan harus dilakukan secara terpadu, terintegrasi dengan stakeholder yang ada dengan pola satu pintu.
· Catatan kritis bahwa sebelum adanya pendampingan Program PIDRA di desa –desa sasaran sering terjadi gangguan ketahanan pangan tetapi setelah ada pendapamingan Program PIDRA selama tahun 2001 – 2008 di desa –desa dampingan tidak ada gangguan ketahanan pangan karena salah satunya adalah pemberdayaan ”Lopo” sebagai lumbung pangan keluarga.
Daftar Bacaan
Anonymous, 2007. Pedoman Umum Pemberdayaan Lumbung Pangan, Badan Ketahanan Pangan,Departemen Pertanian RI, Jakarta;
Anonymous, 2008. Succses Story Pelaksanaan Program PIDRA Kabupaten Timor Tengah Utara-NTT Edisi II, Sekretariat Program PIDRA TTU, Kefamenanu;
Khudori, 2006. Urgensi Lumbung Pangan, Harian Republika, Edisi Selasa 29 Juli 2006;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar