Oleh:
Ir.Beny. Ulu Meak, M.Si
I.
PENDAHULUAN
Secara umum, iklim wilayah Nusa Tenggara
Timur (NTT) termasuk ke dalam kategori
iklim semi-arid, dengan periode hujan yang hanya berlangsung 3-4 bulan dan
periode kering 8-9 bulan. Kondisi iklim demikian mendeterminasi pola pertanian
tradisional NTT yang hanya mengusahakan tanaman semusim dan ditanam dalam periode musim
hujan.
Dalam
konteks iklim, kata arid digunakan untuk menyatakan keadaan yang merujuk
kepada suatu kontinum nisbah (ratio) rerata presipitasi tahunan
(meliputi curah hujan, embun, dan salju) terhadap evapotranspirasi potensial
tahunan (meliputi penguapan dari badan perairan terbuka dan penguapan dari
mahluk hidup). Kata bahasa Indonesia yang digunakan secara teknis sebagai
padanan kata arid adalah ringkai sehingga semi-arid menjadi
semi-ringkai (Mudita, 2010).
II.
CUACA
DAN IKLIM YANG BERPENGARUH
Pada dasarnya cuaca dan iklim merupakan
faktor keselamatan, penunjang dan pembatas sumberdaya alam dan lingkungan telah
memberikan pandangan kepada manusia untuk melakukan berbagai aktivitas di
berbagai bidang kegiatan seperti bidang pertanian, infrastruktur dan bangunan
maupun pola hidup atau budaya masyarakat yang saling berbeda. Secara eko-klimat
sebagian besar wilayah NTT memiliki karakteristik sebagai daerah dengan
kategori iklim semi-ringkai (semi- arid) dengan
rata-rata curah hujan tahunan berkisar 1500-3000 mm per tahun dan terjadi dalam
waktu yang singkat (3-4 bulan) dan fenomena ini menggambarkan bahwa sistim
pertanian di NTT lebih didominasi oleh pola pertanian lahan kering Mudita
(1999) dalam (Mau, 2008).
Menurut
Soerjani dkk,(1987) bahwa cuaca adalah keadaan udara dan gejala-gejala
yang ada di dalamnya pada suatu saat tertentu. Sedangkan iklim adalah ciri atau
sifat yang dimiliki oleh suatu udara di suatu tempat atau wilayah berdasarkan
nilai rata-rata dari unsur cuaca yang terjadi selama kurun waktu yang panjang.
Unsur-unsur cuaca di suatu tempat dapat berupa suhu (T), tekanan (P), angin
(W), kelembaban (H), awan (c), hujan (R), dan kabut (V).
Cuaca dan iklim di NTT tidak terlepas
dari pengelolaan berbagai jenis sumberdaya alam maupun produksi pangan,
sehingga konsekuensinya jika terjadi perubahan cuaca maka iklim juga
berfluktuasi akibatnya produksi pangan juga selalu berfluktuasi bahkan ketika
terjadi bencana kekeringan maka dapat terjadi krisis pangan seperti terjadi
pada tahun 2008. Kekhawatiran akan dampak perubahan suhu (unsur cuaca) pada
dasawarsa terakhir ini telah melahirkan isu menarik tentang adanya pemanasan
global (global warming) sebagai
indikasi manusia ikut bertindak sebagai faktor pengubah iklim karena pemanasan
global disinyalir disebabkan oleh Gas
Efek Rumah Kaca (GERK), penebangan dan pembakaran hutan dan penggunaan bahan
bakar fosil (bbf) yang berlebihan. Hal ini jika ditelaah dari aspek
klimatologis dikatakan bahwa NTT sangat rentan terhadap kekeringan dan
ketersediaan pangan yang dijelaskan oleh Arjana, (2010) bahwa beberapa faktor
geografis yang menyebabkan fenomena kekeringan di NTT adalah : (1). Letak
astronomis NTT yang berada pada 80 – 120 LS dan 1180 – 1250 BT dimana berada di luar zona doldrums atau palung equatorial yang berdampak pada kekurangan
curah hujan; (2).Letak geografis NTT yang berada pada bagian tenggara, berimplikasi
kurangnya curah hujan karena angin musim membawa hujan dari arah barat dan
makin ke timur menyebabkan kandungan uap air makin rendah; (3). Faktor
topografis, dengan
ketinggian tempat dan kondisi pegunungan yang berada pada ± 2000 meter dpl yang
bertumbukan dengan awan cumulus dan
awan cummulonimbus dapat mengakselerasi presipitasi, sehingga
kawasan pulau Flores lebih basa dari pulau Timor; (4). Faktor lahan dengan
kondisi tanah yang bersifat menyerap air yang tinggi (poroseus) karena tanah didominasi oleh struktur tanah berbatuan
gamping; (5). Faktor vegetasi, karena penutupan vegetasi yang kurang maka tidak
dapat mempertahankan tingkat kelembaban; (6). Pengaruh perubahan iklim global
karena naiknya suhu akibat gas efek rumah kaca, pembukaan lahan dan penggunaan
bahan bakar fosil (bbf) yang berlebihan; (7).Pengaruh iklim regional, karena
letaknya dekat dengan kawasan pasifik yang selalu menyebabkan fenomena el nino ; dan (8). Faktor penduduk,
dengan praktek ladang berpindah dan tidak ramah lingkungan.
III.
DAMPAK
POTENSI BENCANA
Dampak dari kondisi cuaca dan iklim semi
rinkai (semi-arid) di NTT dengan
fenomena pemanasan global akan memberikan potensi bencana yang akan terjadi
antara lain : kekeringan, banjir/tanah longsor. populasi hama pertanian, gagal
tanam dan gagal panen yang akan bermuara pada tingkat ketersediaan pangan yang
semakin berfluktuasi karena produksi pertanian akan cenderung menurun jika tidak
dikelola secara baik dan terfokus. Hal ini sesuai dengan pendapat dari
Murdiyanto (2000) dan FAO (2006) dalam (Mau,2008) bahwa secara umum
dampak perubahan iklim akibat pemanasan global di beberapa wilayah regional
akan mengalami penurunan produksi pertanian yang signifikan bahkan kekurangan
pangan dan kelaparan, tetapi produksi di suatu wilayah akan di isi oleh
peningkatan produksi di wilayah lain.
Lebih lanjut Mau (2008) menjelaskan
bahwa dampak potensi bencana dengan posisi NTT yang berada pada daerah semi -arid sebagaimana daerah-daerah
lain yang di sekitar katulistiwa sebagai akibat dampak pemanasan global adalah
: (1). Kekeringan baik dari aspek perluasan wilayah dan lamanya kekeringan;
(2). Meningkatnya curah hujan dari perubahan cuaca dalam waktu yang singkat
yang menyebabkan daerah ini rentan terhadap banjir/tanah longsor dan erosi;
(3). Meningkatnya curah hujan dan kekeringan dalam waktu singkat akan
menyebabkan produktivitas pertanian menurun; (4). Fluktuasi cuaca dan iklim
akan menyebabkan pergeseran musim tanam dan waktu tanam yang tidak menentu dan
pada gilirannya timbul gagal tanam dan gagal panen; dan (5). Perubahan suhu
yang tinggi pada kisaran tertentu akan mempersingkat siklus hidup hama dan
konsekuensinya akan timbul peningkatan populasi hama dalam waktu singkat,
contoh : kasus hama belalang kumbara di TTU pada tahun 2008 dan di Sumba Barat.
pada tahun 2006.
IV.RESPONS
MASYARAKAT DENGAN POLA PELADANG
Menurut Naylor,dkk (2006) dalam (Diposaptono,2009) mengatakan
bahwa perubahan iklim menyebabkan perubahan pola curah hujan. Perubahan itu
ditandai dengan terlambatnya awal musim hujan, sedangkan akhir musim hujan terjadi lebih cepat. Disisi lain
walaupun musim hujan itu berlangsung lebih singkat namun memiliki intensitas
curah hujan yang lebih tinggi dan dengan semakin pendeknya periode musim hujan
maka periode musim kemarau bertambah lebih panjang. Hal ini terjadi terutama di
daerah yang terletak di bagian selatan katulistiwa seperti NTT. Faktanya bahwa dalam tahun 2010 (pada bulan Maret – Oktober)
sebenarnya wilayah NTT berada pada musim kemarau, tetapi berubah menjadi pendek
dan hujan turun lebih awal sebagai akibat dari fenomena la nina yang dipicu oleh pengaruh perbedaan tekanan udara yang ada
di daerah asia pasifik (pusat tekanan udara tinggi) yang bergerak menuju pusat
tekanan udara rendah di wilayah Australia sehingga menyebabkan NTT memasuki
musim hujan lebih cepat. Namun karena perubahan iklim ini tidak disadari oleh
masyarakat akibat kurangnya sosialisasi dari pemerintah disamping karena tidak
adanya pemahaman yang baik oleh masyarakat tentang fenomena la nina ini maka respon kegiatan bertani dengan pola
perladangan berpindah tidak sempat dilaksanakan oleh para petani di NTT (kasus wilayah Timor Barat).
Pola bertani masyarakat di NTT dilakukan secara
tradisional dengan sistim perladangan berotasi yang sering disebut juga sebagai
perladangan berpindah (Swilddening) atau
peladang tebas-bakar (Slash and burning
farmer) dengan memanfaatkan kesuburan tanah hutan dan potensi lingkungan
hutan/belukar yang relatif luas untuk kelangsungan hidupnya dengan waktu rotasi
berladang/berkebun 3 – 5 tahun untuk kembali pada lokasi kebun yang pertama
sedangkan tenggang waktu tersebut kebun yang lainnya dibiarkan bera begitu
saja. Kegiatan tebas –bakar dilakukan dengan menebang hutan/belukar dan
membakarnya secara teratur atau bisanya disebut ” Kono ” (istilah lokal di Kabupaten TTU). Kegiatan ini dinilai
oleh masyarakat sebagai teknologi sederhana dan murah karena memberikan hasil
tanaman yang cukup baik selama 1-2 kali masa tanam pada lahan yang sama
sedangkan berikutnya mereka sudah melakukan rotasi pada kawasan lahan lain. Hal
ini kalau dibiarkan terus akan memberikan ancaman terhadap kelesetarian SDA dan lingkungan hidup (Woha, 2001). Oleh karena itu maka respons petani di NTT harus di
siasati untuk dapat beradaptasi dengan perubahan cuaca dan iklim dengan
mengembangkan berbagai teknologi yang dapat meningkatkan produksi pertanian
lahan kering.
Mencermati hal ini maka dianjurkan rekomendasi
strategi adaptasi
perubahan iklim dalam menghadapi dampak ancaman perubahan iklim (kekeringan) di
NTT untuk waktu ke depan didasari atas dua skenario iklim yaitu curah hujan
yang masih cukup sampai akhir April dan keadaan segera berakhirnya musim hujan pada awal April yaitu : Pertama : Tekologi anjuran pada keadaan curah hujan yang masih cukup sampai akhir
April
dimungkinkan untuk masih bisa menanam tanaman berumur pendek seperti
jenis kacang-kacangan dan sebaiknya jenis kacang hijau dengan pemberian mulsa. Orientasi dari penerapan
teknologi pada skenario pertama adalah produksi pangan untuk kebutuhan
keluarga; dan Kedua : Tekologi anjuran pada keadaan segera berakhirnya musim hujan (awal
April) lebih ditekankan pada teknologi
untuk menciptakan nilai tambah, dan sebaiknya tidak diarahkan untuk penanaman.
Alasan utama tidak menanam adalah karena tidak tersedianya lengas tanah yang
memadai untuk jangka waktu satu musim produksi. Selain itu, penekanan pada
peningkatan nilai tambah karena petani-petani juga memliki tanaman-tanaman
keras yang sudah berproduksi dan tidak banyak berpengaruh pada akibat gangguan
curah hujan. Tanaman-tanaman keras yang umum dimiliki oleh petani dan berada pada masa produksi untuk jangka
waktu ini antara lain, kelapa, pisang, kemiri dan mente yang nantinya dapat
diolah menjadi produk yang bernilai ekonomis. Selain itu, meningkatkan mutu
pemeliharaan ternak seperti ayam buras (untuk produksi daging dan telur),
kambing, babi dan sapi.yang lebih beroerientasi pada pendapatan (uang cash).
DAFTAR
PUSTAKA
Ardhian,D.,2010.,
Pertanian
Ekologis : Jalan Mengatasi Krisis Pangan dan Tantangan Perubahan Iklim, Opini dalam http://www.krkp.org/pertanian-berkelanjutan, diskses
tanggal 4 Februari 2011.
Arjana,
I G.B, 2010., Kekeringan dan Kekurangan,Artikel
dalam Pos Kupang,Kamis tanggal 2 September 2010, Halaman 4.
Diposaptono,S;
Budiman dan Agung.F., 2009., Menyiaasati
Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,Buku Ilmiah
Populer,Bogor.
Mau,Y.S,
2008., Dampak Pemanasan Global Terhadap Ketersediaan Pangan Dunia, Konteks Nusa
Tenggara Timur, Orasi Ilmiah disampaikan
pada acara Wisuda Magister, Sarjana dan Ahli Periode Mei 2008, Universitas Nusa
Cendana, Kupang.
Soerjani,M,
Ahmad.R,dan Munir,R, 1987., Lingkungan
Sumberdaya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan,Universitas Indonesia
Press,Jakarta.
Subandryo,T,
2011., Mewaspadai Krisis Pangan, Opini
dalam http://cetak.kompas.com/read/2011/01/17/04242112/mewaspadai.krisis.pangan, diakses
tanggal 4 Februari 2011.
Woha. U. P.2001., Pembangunan Pertanian Lahan
Kering di Nusa Tenggara Timur. Dalam Pembangunan Pertanian di wilayah Kering Indonesia, Widya Sari, Salatiga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar