Senin, 04 Maret 2013

IMPLIKASI RENCANA INDUK PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA (P3EI)


( Analisis Kontekstual terhadap pembangunan Pariwisata dan Ketahanan Pangan
di Propinsi Nusa Tenggara Timur)

Oleh
Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si


PENDAHULUAN
Konsep Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (P3EI) yang telah dicanangkan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir Februari 2011, merupakan jawaban akan dinamika perkembangan pembangunan nasional untuk mengurangi angka kemiskinan, penyediaan lapangan pekerjaan lebih banyak lagi dan lebih meningkatkan ekonomi dalam mencapai pemerataan pembangunan dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Konsep rencana induk P3EI tahun 2011-2025 ini, berbeda dengan beberapa dokumen perencanaan induk yang lain seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700); maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang telah ditetapkan dengan  Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010 – 2014, karena dalam rencana induk P3EI ada sasaran yang jelas dan dibuat sesederhana mungkin; lengkap dengan alokasi waktu,kewenangan tanggung jawab,investasi kegunaannya dan hasil yang jelas dengan penetapan koridor ekonomi dan masing-masing koridor tersebut memiliki aktivitas ekonomi utama.Jadi penetapam master plan Rencana Induk P3EI dapat menjadi dokumen komplementer  terhadap RPJPN dan RPJMN untuk menjawab tantangan dan dinamika pembangunan nasional saat ini (Kuncoro,2011).
            Menurut Bappenas (2011) bahwa peran penting Koridor Ekonomi Indonesia (KEI) difokuskan pada 6 (enam) kawasan wilayah  yaitu : (1) Koridor Sumatra: sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional; (2) Koridor Jawa: pendorong industri dan jasa nasional; (3) Koridor Kalimantan: pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional; (4) Koridor Sulawesi dan Maluku Utara: pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan dan perikanan nasional; (5) Koridor Bali Nusa Tenggara: pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional; dan (6) Koridor Papua dan Maluku: pengolahan SDA yang melimpah dan SDM yang sejahtera.
            Berdasarkan pembagian koridor demikian, dapat dikatakan bahwa aktivitas utama dalam master plan P3EI adalah membangun pusat-pusat pertumbuhan di setiap koridor dengan mengembangkan kluster industri dan/atau kawasan ekonomi khusus yang diintegrasikan dengan pengembangan kluster dan kawasan yang berbasis kompotensi SDA menjadi komoditi dan sektor unggulan  daerah.

ARGUMENTASI BERDASARKAN TEORI PEMBANGUNAN

Akselerasi pembangunan nasional dengan master plan P3EI sebenarnya adalah kerangka pembangunan yang mengedepankan kemampuan potensi SDA daerah dalam konteks untuk mendukung pertumbuhan ekonomi daerah dengan mempertimbangkan kemampuan SDM, teknologi, infrastruktur dan investasi sebagai daya saing utama dalam menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi berdasarkan kluster perwilayahan.
Jika konsep ini dihubungkan dengan teori pertumbuhan ekonomi dari Harrod-Domar merupakan teori pertumbuhan yang berdasarkan pada peranan investasi untuk mempengaruhi permintaan agregat komoditi ungulan daerah dan di sisi lain investasi juga mempengaruhi kapasitas produksi nasional dengan menambahkan stok modal yang tersedia. Hal ini sesuai pandangan Harrod yang menyimpulkan agar suatu ekonomi nasional selalu tumbuh dengan kapasitas produksi penuh yang disebutnya sebagai pertumbuhan ekonomi yang mantap (steady-state growth), efek permintaan yang ditimbulkan dari penambahan investasi harus selalu diimbangi oleh efek penawarannya tanpa terkecuali. Tetapi investasi dilakukan oleh pengusaha yang mempunyai pengharapan yang tidak selalu sama dari waktu ke waktu, karena itu keseimbangan ekonomi jangka panjang yang mantap hanya dapat dicapai secara mantap pula apabila aktivitas para pengusaha stabil dan kemungkinan terjadinya hal itu jika nilai potensi SDA juga akan tetap berada dalam keadaan keseimbangan yang secara bertahap akan mendorong ekonomi nasional.
Selanjtnya menurut teori pembangunan-Rostow menjelaskan bahwa modernisasi merupakan proses bertahap, dimana masyarakat akan berkembang dari masyarakat tradisional dan berakhir pada tahap masyarakat dengan konsumsi tinggi. Pada masa tradisional hanya mengalami sedikit perubahan sosial, atau mengalami kemandegan sama sekali. Kemudian berlahan-lahan Negara mengalami perubahan dengan adanya kaum usahawan, perluasan pasar, pembangunan industri. Perubahan ini adalah prakondisi untuk mencapai tahap selanjutnya yaitu tahap lepas landas (Todaro, 1989). Oleh sebab itu secara konektivitas koridor ekonomi Sulawesi-Maluku sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan dan perikanan nasional dan ditopang oleh koridor ekonomi Papua –Maluku sebagai pusat pengelolaan SDA yang melimpah dapat memberikan kontribusi kepada koridor ekonomi Jawa sebagai pusat industri dan jasa nasional disamping itu, koridor Bali Nusa Tenggara: sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional akan mendukung setiap koridor ekonomi lainnya. Oleh karena itu daya dorong ekonomi harus dapat mendorong berkembangnya kawasan komoditas daerah dengan nilai pasar yang tinggi. Jika strategi demikian dapat dioperasionalkan secara optimal, maka akan mungkin sekali pada tahun 2050 Indonesia akan mencapai pembangunan tahap landas (Kuncoro, 2011).  
 Argumentasi konsep P3EI harus memperhatikan aspek gravitasi  dan aktivitas ekonomi yang masih cenderung terkonsentrasi secara geografis pada kawasan Barat Indonesia dengan dukungan kemampuan SDM yang lebih baik dibandingkan dengan kawasan Indonesia lainnya, sehingga telah menyebabkan mayoritas wilayah Indonesia merupakan daerah dengan “periferi” atau jauh dari keramaian pembangunan maka tidak mengherankan jika masih ada 183 daerah Kabupaten/Kota yang tertinggal di Indonesia, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Senada dengan pernyataan ini, oleh Arjana (2011) berpendapat bahwa di KTI seperti Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam mendorong pembangunan ekonomi masih dihadapkan pada keterbatasan kemampuan SDM untuk mengembangkan komoditi unggulan di sektor primer sebagai “prime move” karena masih bersifat sub sistem tanpa memperhitungkan aspek pasar atau nilai komersial sebagai faktor pendorong dalam kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Sehubungan dengan itu, maka proses pelaksanaan pembangunan di Indonesia, perlu didukung oleh SDM yang handal sebagai pelaku-pelaku dalam pembangunan dengan meningkatkan motivasi berprestasi sesuai pandangan teori dari McClelland dengan konsepnya yang terkenal, yaitu need for achievement (n-Ach). Pandangan teori ini, mirip dengan etika protestan yang dikemukakan oleh Max Weber, dimana keinginan dan dorongan untuk berprestasi ini tidak sekedar untuk meraih imbalan material semata tetapi ada kepuasan pribadi tersendiri apabila seseorang berhasil melaksanakan pekerjaannya dengan sempurna. Selanjutnya apabila dalam sebuah masyarakat ada banyak orang memiliki n-Ach yang tinggi dengan cara kerja yang baik, yaitu dengan selalu berpikir dan berusaha untuk menemukan cara-cara baru untuk memperbaiki kualitas kerja yang dicapainya tanpa memngutamakan imbalan materi yang diterimanya, sudah pasti masyarakat tersebut akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam pembangunan (Suwarsono dan Alvin, 2000).
Kesimpulannya bahwa konsep P3EI dilaksanakan dengan tetap memperhatikan beberapa argumentasi dari teori pembangunan terutama untuk dapat membangun kepadatan (density), mengurangi jarak (distance) dan menghilangkan batasan (division) dalam upaya untuk membuat pertumbuhan ekonomi lebih pesat dan bersifat inklusif dengan konektivitas intra dan antar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dari masing-masing daerah sesuai potensi yang dimiliki (one product,one village) .

IMPLIKASI KORIDOR EKONOMI INDONESIA BALI-NUSA TENGGARA TERHADAP PROPINSI NTT

Menurut Bappenas (2011) bahwa koridor ekonomi Bali –Nusa Tenggara  sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional dan diestimasikan dapat meningkatkan PDRB dengan laju pertumbuhan koridor sebesar 7,6 % dibandingkan estimasi base line sebesar 5,6 %. Sektor fokus diarahkan untuk meningkatkan jumlah kunjungan turis maupun pengeluaran parawisita serta memanfaatkan Bali sebagai gerbang untuk mempromosikan kunjungan ke daerah tujuan wisata lain (termasuk Provinsi NTT). Hal lain yang merupakan fokus dari kerangka ekonomi Bali-Nusa Tenggara adalah meningkatkan produktivitas lahan dan mengembangkan kegiatan produksi sampai dengan hilir. Sementara infrastruktur yang dibutuhkan adalah: (1) ekspansi bandara Ngurah Rai atau pembangunan bandara internasional baru di Bali; (2) pengembangan terminal cruise tanah ampo-Benoa; (3) pembangunan jalan trans Bali toll road, akses Sarangan-Tanjung Benoa; dan (4) pembangunan energi pembangkit listrik di Bali.

1.    Implikasi Pembangunan Pariwisata NTT
Pembangunan pariwisata di Provinsi NTT diarahkan untuk berkelanjutan, yaitu  pembangunan yang dapat didukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara etika dan bernilai sosial terhadap masyarakat. Artinya, pembangunan berkelanjutan adalah upaya terpadu dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya secara berkelanjutan. Hal tersebut hanya dapat terlaksana dengan sistem penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance) yang melibatkan partisipasi aktif dan seimbang antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan tidak saja terkait dengan isu-isu lingkungan, tetapi juga isu demokrasi, hak asasi manusia dan isu lain yang lebih luas. Tak dapat dipungkiri, hingga saat ini konsep pembangunan berkelanjutan tersebut dianggap sebagai ‘resep’ pembangunan terbaik, termasuk pembangunan pariwisata dengan prinsip antara lain partisipasi, keikutsertaan para pelaku (stakeholder), kepemilikan lokal, penggunaan sumber daya secara berkelanjutan, mewadahi tujuan-tujuan masyarakat, perhatian terhadap daya dukung, monitoring dan evaluasi, akuntabilitas, pelatihan serta promosi (Bater, 2001)
Propinsi NTT memiliki potensi pariwisata yang langka di dunia, tetapi keajaiban yang dimiliki objek wisata tersebut belum menjadi sebuah daya tarik yang memikat wisatawan untuk terus berkunjung karena pemerintah daerah belum memberi perhatian serius terhadap sektor tersebut sebagai penghasil devisa dan daerah Kabupaten/Kota yang merupakan Daerah Tujuan Wisata (DTW) belum ada grand desaign dalam program pembangunan daerahnya. Beberapa objek wisata yang potensial di Propinsi NTT seperti : (1) Taman Nasional Komodo (TNK) yang dihuni biawak raksasa Komodo (Varanus commodoensis) di Pulau Komodo dan Rinca di Manggarai Barat, Pulau Flores; (2) Danau Tiga Warna di puncak Gunung Kelimutu di Kabupaten Ende; (3) Upacara penangkapan ikan paus secara tradisional oleh nelayan Lamalera di Pulau Lembata; (4) Taman Laut Riung di Kabupaten Nagekeo dan taman laut Kepa di Kabupaten Alor; serta (5) Cagar wisata alam Mutis di pulau Timor (Dinas Kebudayaan dan Parawisata NTT, 2010). Belum lagi ritual keagamaan seperti Prosesi Jumat Agung menjelang Paskah di Kota Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur serta beraneka budaya dan kuburan batu para raja di Pulau Sumba.
Implikasinya dalam koridor ekonomi Indonesia-P3EI Bali-Nusa Tenggara dapat menarik wisatawan yang sudah lama berlibur di Bali dan Lombok seharusnya kita giring masuk ke NTT melalui Labuanbajo di ujung barat Pulau Flores untuk berkunjung ke Pulau Komodo apalagi posisi NTT berbatasan langsung dengan Australia dan Timor Leste dengan pembangunan fasilitas penunjang pariwisata seperti perhotelan dan sarana transportasi serta telekomunikasi, maupun pembangunan infrastruktur pelabuhan laut, pengembangan pelabuhan udara El Tari Kupang serta pelabuhan udara perintis lainnya dan pengembangan jalan trans Flores,Timor dan Sumba. Pengembangan sektor pariwisata ini, dapat memicu pertumbuhan ekonomi masyarakat di sekitar objek wisata seperti menyediakan souvenir untuk kebutuhan para wisatawan dan hasil olahan lain yang bisa dinikmati oleh wisatawan sebagai multiplayer effect. Strategi lain yang terus dilaksanakan adalah promosi parawisata lewat pelaksanaan berbagai kegiatan-kegiatan penting dan event-event parawisata pada obyek wisata unggulan tersebut dan memberikan peluang kepada pihak swasta untuk melakukan investasi yang bersifat pinjam pakai dan pemerintah dapat melakukan monitoring dan evaluasi yang terpadu.
Solusi yang sekiranya paling bijaksana adalah membangun simbiosis mutualisma antara pariwisata dengan budaya dan lingkungan. Artinya, sambil mengembangkan sektor pariwisata, kita juga turut serta melestarikan lingkungan hidup dan budaya kita. Sambil melestarikan kebudayaan kita, kita mengemas pelestarian tersebut dengan berorientasi pada pariwisata. Jika hal itu dapat teruwujud, semaju apapun negara kita, kebudayaan tradisional akan tetap terpelihara dan lingkungan tetap lestari tanpa mengabaikan pengembangan pariwisata (Desky,2001).

2.    Implikasi Pembangunan Ketahanan Pangan

Pembangunan ketahanan pangan adalah penyediaan pangan dalam jumlah yang cukup dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat dengan pola distribusi yang terjamin dan tingkat konsumsi yang memadai.Beberapa tantangan pembangunan ketahanan pangan di propinsi NTT adalah pola bertani yang masih bersfat sub sistim dan keterbatasan SDM dalam penerapan teknologi pertanian serta motivasi berprestasi yang masih terbatas.Disamping faktor alam dengan musim hujan yang pendek dibandingkan dengan musim kemarau.
Pola bertani masyarakat di NTT dilakukan secara tradisional dengan sistim perladangan berotasi yang sering disebut juga sebagai perladangan berpindah (Swilddening) atau peladang tebas- bakar (Slash and burning farmer) dengan memanfaatkan kesuburan tanah hutan dan potensi lingkungan hutan/belukar yang relatif luas untuk kelangsungan hidupnya dengan waktu rotasi berladang/berkebun 3 – 5 tahun untuk kembali pada lokasi kebun yang pertama sedangkan tenggang waktu tersebut kebun yang lainnya dibiarkan bera begitu saja. Kegiatan tebas –bakar dilakukan dengan menebang hutan/belukar dan membakarnya secara teratur atau bisanya disebut ” Kono ” (istilah lokal di Kabupaten TTU). Kegiatan ini dinilai oleh masyarakat sebagai teknologi sederhana dan murah karena memberikan hasil tanaman yang cukup baik selama 1-2 kali masa tanam pada lahan yang sama sedangkan berikutnya mereka sudah melakukan rotasi pada kawasan lahan lain. Hal ini kalau dibiarkan terus akan memberikan ancaman terhadap kelesetarian SDA dan lingkungan hidup (Woha, 2001). Oleh karena itu maka respons petani di NTT harus di siasati untuk dapat beradaptasi dengan perubahan cuaca dan iklim dengan mengembangkan berbagai teknologi yang dapat meningkatkan produksi pertanian lahan kering.
Tinjauan kondisi ini sesuai dengan pendapat Mau (2008) bahwa upaya-upaya pemantapan ketahanan pangan (food security) dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dihadapkan pada berbagai persoalan antara lain adanya pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaannya. Meningkatnya permintaan tersebut sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat dan perubahan pola konsumsi masyarakat. Sementara itu harus diakui bahwa kapasitas produksi pertumbuhannya berjalan sangat lamban karena penurunan kwalitas sumberdaya alam seiring dengan kebiasaan buruk masyarakat dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup.
Mencermati akan koridor ekonomi Indonesia dengan P3EI maka implikasi terhadap pembangunan ketahanan pangan  di Propinsi NTT adalah ; (1) Pemerintah dapat menyusun kebijakan secara komprehensif dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) untuk peningkatan program/kegiatan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup berbasis masyarakat; (2) Meningkatkan upaya untuk mencegah konversi lahan pertanian yang produktif ke non pertanian;  (3) Meningkatkan SDM sebagai pelaku pembangunan ketahanan pangan dengan pengembangan kedaulatan masyarakat terhadap pangan yang berbasis keragaman local lewat kursus/pendidikan dan pelatihan kepada petani pedesaan.

DAFTAR BACAAN

Arjana, Ida Bagus. 2011.Kependudukan, Lingkungan dan Pembangunan. Materi Pokok Perkuliahan Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (IPSAL), Program Pasca Sarjana, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Bater, J., 2001, Planning for Local Level: Sustainable Tourism Development, Canadian Universities Consortium: Urban Environmental Management Project Training & Technology Transfer Program, Canadian International Development Agency (CIDA), Canada.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,2011, Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Tahun 2011-2025, Artikel dalam http://www.bappenas.go.id, diakses pada tanggal 28 Juni 2012.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi NTT,2010, Profil Obyek Wisata NTT, Kupang.
Desky, M.A. 2001. Manajemen Perjalanan Wisata. Adicita Karya Nusa.Yogjakarta.
Kuncoro, M.,2011, Koridor Ekonomi Indonesia, Opini dalam http://www.mudrajad.com, diakses pada tanggal 28 Juni 2011.
Mau,Y.S, 2008, Dampak Pemanasan Global Terhadap Ketersediaan Pangan Dunia,Konteks Nusa Tenggara Timur, Orasi Ilmiah disampaikan pada acara Wisuda Magister, Sarjana dan Ahli Madya Periode Mei 2008, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Suwarsono dan Alvin, Y.S.O. 2000. Perubahan Sosial dan Pembangunan, Cetakan ke-3 (Edisi Revisi). Pustaka LP3S Indonesia, Jakarta.
Todaro, Michael P. 1989. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Terjemahan. Erlangga, Bandung.
Woha. U. P. 2001. Pembangunan Pertanian Lahan Kering di Nusa Tenggara Timur. Dalam Pembangunan Pertanian di wilayah Kering Indonesia, Widya Sari, Salatiga.

SEJARAH MUSIK SULING BAMBU DI TIMOR

Oleh:   Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si Sejarah tentang suling bambu sudah sedemikan lama dan erat kaitannya dengan peradaban manus...