Selasa, 20 Agustus 2013

PEKERJA ANAK DAN TAMBANG MANGAN DI KAWASAN TIMOR BARAT, PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Oleh :
Ir. Beny. Ulu Meak, M,Si

Pendahuluan

Pekerja anak adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil. Istilah "pekerja anak" dapat memiliki konotasi pengeksploitasian  anak kecil atas tenaga mereka, dengan gaji yang kecil atau pertimbangan bagi perkembangan kepribadian mereka, keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depan (Wikipedia, 2013). Hal ini oleh pendapat umum  dianggap tidak baik bila seorang anak di bawah umur tertentu, tidak termasuk pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan sekolah. Seorang 'bos' dilarang untuk mempekerjakan anak di bawah umur, namun umum minimumnya tergantung dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Laporan terbaru dari Organisasi Buruh Sedunia (ILO) dalam tahun 2013, menyebutkan sebanyak 10.5 juta anak-anak bekerja sebagai pekerja domestik yang potensial menjurus ke kondisi "perbudakan". ILO menambahkan, hampir tiga perempat dari seluruh jumlah pekerja anak itu adalah anak perempuan, dan 6,5 juta di antaranya berusia antara 5- 14 tahun (Kompas Com, 2013). Secara umum pekerja atau buruh anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya, untuk orang lain atau untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak (Suyanto dan Hariadi, 2000).
Pekerja anak di lokasi tambang kawasan Timor Barat sudah menjadi isu publik, tetapi sampai dengan sekarang belum ada suatu ratifikasi yang dilakukan dengan tindakan pelarangan tegas misalnya penetapan  Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Bupati (Perbub)  atau mencanangkan daerahnya sebagai “zona bebas pekerja anak”. Sementara Indonesia telah meratifikasi secara berturut-turut Konvensi ILO (International Labour Organization) No. 38 mengenai usia minimum untuk bekerja dan Konvensi No. 182 mengenai pelarangan serta tindakan segera untuk menghapus bentuk-bentuk terburuk pekerjaan untuk anak dan salah satunya yaitu dengan ditetapkan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah menentukan bahwa setiap anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang sehingga orang tua dilarang menelantarkan anaknya. Orang tua dapat dikenakan sanksi hukuman kurungan yang cukup berat, termasuk perusahaan, jika mempekerjakan anak di bawah umur.
 
Pekerja Anak di Lokasi Tambang Mangan  di Desa Buk,Kab.TTU 
Kondisi pekerja anak di lokasi tambang Mangan kawasan Timor Barat, sudah semakin memprihatinkan karena keberadaan anak di bawah usia 18 tahun sudah menjadi pemandangan yang lazim, dan hampir di setiap titik lokasi tambang Mangan rakyat maupun tambang perusahaan terdapat anak-anak sebesar 4-5 % dari total jumlah pekerja tambang seluruhnya yang didominasi oleh pekerja anak laki-laki. Meskipun ada beberapa anak yang mengatakan dia ingin bekerja (karena bayarannya yang menarik atau karena anak tersebut tidak suka sekolah), hal tersebut tetap merupakan hal yang tidak diinginkan karena tidak menjamin masa depan anak tersebut. Namun beberapa kelompok penentang pekerja anak  merasa bahwa mempekerjakan anak di bawah umur tertentu merupakan tindakan kekerasan terhadap anak.
Penggunaan anak  sebagai pekerja sekarang ini dianggap oleh negara-negara kaya sebagai pelanggaran hak manusia, dan melarangnya, tetapi negara miskin mungkin masih mengijinkan karena keluarga seringkali bergantung pada pekerjaan anaknya untuk bertahan hidup dan kadangkala merupakan satu-satunya sumber pendapatan keluarga. Pandangan ini mengisyaratkan, bahwa anak merupakan salah satu aset untuk mengatasi masalah ekonomi keluarga. Akibatnya tidak ada lagi pilihan bagi anak, mereka harus bekerja untuk menambah penghasilan keluarga.

Faktor Pemicu Anak Bekerja Di Lokasi Tambang Mangan

Faktor pemicu , mengapa anak terlibat dalam berbagai pekerjaan di lokasi tambang Mangan dapat dikatakan beragam hal ynag mendorongnya sesuai dengan karakteristik kondisi sosial ekonomi (kemiskinan) disamping faktor keterbatasan Sumberdaya Manusia (SDM) dari orang tua ataupun pengaruh budaya setempat.  Hal ini senada dengan laporan penelitian oleh Le Vine (1988) dalam  Irwanto, (1996), menunjukkan bahwa tujuan mempunyai anak pada masyarakat miskin lebih bersifat kuantitatif, artinya semakin banyak anak akan semakin kuat jaminan sosial-ekonomi keluarga. Pandangan ini merupakan salahsatu penyebab utama kenapa anak-anak di bawah umur terpaksa bekerja pada tambang Mangan karena ada anggapan terutama pada keluarga miskin, anak merupakan jaminan hidup keluarga karena tenaganya memberikan sumbangan penghasilan keluarga.
Namun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa masalah kemiskinan bukanlah satu –satunya faktor penyebab timbulnya masalah pekerja anak. Dengan demikian, ada anggapan bahwa permasalahan pekerja anak akan hilang dengan sendirinya apabila permasalahan kemiskinan dapat diatasi, merupakan pandangan yang keliru. Sedangkan pendapat lain menyebutkan kekuatan ekonomi telah mendorong anak-anak masuk ke dalam pekerjaan di lingkungan yang membahayakan merupakan kekuatan yang paling besar dari semuanya, tetapi kebiasaan budaya dan pola sosial yang telah berakar juga turut memainkan peranan penting. Maraknya pekerja anak di lokasi tambang Mangan, kawasan Timor Barat minimal  disebabkan oleh dua aspek yang berpengaruh besar yaitu :  Pertama, meningkatnya angka kemiskinan dengan tuntutan biaya hidup, biaya pendidikan anak, dan lain-lain semakin besar di dalam keluarga telah mendorong orang tua untuk membiarkan anak-anak di bawah usia 18 tahun untuk memberikan kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga keluarga misikin di sekitar lokasi tambang Mangan.; dan Kedua, kurangnya pengawasan terhadap kecenderungan pengusaha tambang Mangan menggunakan tenaga kerja anak. Salah satu alasannya adalah pekerja anak dapat dibayar dengan upah yang lebih rendah dibandingkan dengan orang dewasa.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa anak –anak  dihadapkan bertarung dengan maut untuk mengais rupiah. Resiko tertimbun longsor atau ancaman penyakit tidak lebih penting ketimbang mendapatkan uang untuk membantu orangtua. Misalnya di Kabupaten Kupang, TTS, TTU dan Belu. Anak-anak itu bekerja seperti orang dewasa yaitu;  menggali, mengangkut batu Mangan atau sekedar mengerjakan apa pun pekerjaan kasar yang diperintahkan ‘bos’-nya. Tak berbeda dengan yang dilakukan oleh orang tuanya. anak-anak juga mendapatkan gaji dari hasil jual borongan batu Mangan. Tak heran bila mereka memilih hengkang dari bangku sekolah, dan lebih mementingkan rupiah. Diperkirakan pekerja anak rata-rata memberi sumbangan 10 - 15 %  bagi ekonomi keluarga. Dengan jumlah sebesar itu wajar jika banyak orangtua dengan ekonomi yang terbatas merelakan anaknya mencari tambahan penghasilan. Kenyataan ini menyebabkan anak-anak tersebut semakin terkungkung dalam dunia kerja yang penuh dengan ketidakpastian.
Alasan lain dari perusahan  tambang Mangan  untuk mempekerjakan anak karena pekerja anak mudah direkrut dan tidak sulit dipecat karena sifat bergantung dan tidak berdaya mereka. Selain itu, maraknya pekerja anak di  Timor Barat pada sektortambang Mangan  yang sering luput dari pengawasan pemerintah, menyebabkan banyak temuan tentang upah yang sangat minim, jam kerja yang panjang dan melelahkan, serta tanpa mekanisme perlindungan K3 karena anak dipekerjakan dengan tidak memakaiAPD standar di lokasi tambang Mangan.
Pada keluarga miskin di sekitar lokasi tambang Mangan di Kabupaten TTU, keputusan untuk bekerja sebagian datang dari anak sendiri, tetapi sebagian lain karena keinginan orang tua. Laporan Penelitian oleh Meak, dkk (2013) menemukan bahwa lebih dari separuh orang tua menghendaki anaknya membantu pekerjaan orang tua dengan maksud bekerja sambil sekolah, namun kenyataannya tetap mengakibatkan banyak anak usia sekolah lebih tertarik menekuni pekerjaan daripada sekolahnya. Sedangkan sebagian kecil keluarga lainnya membiarkan anak-anaknya bekerja baik dalam lingkungan keluarga maupun kepada orang lain atau kelompok tambang Mangan yang ada untuk tujuan ekonomi. Dalam situasi krisis belakangan ini kecenderungan keinginan orang tua untuk memperlakukan anak sebagai tenaga kerja produktif menjadi makin kuat karena penghasilan yang diperoleh orang tua tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga.

Dampak Tambang Mangan Terhadap Pekerja Anak

Berbagai bentuk keterlantaran maupun eksploitasi anak dapat berdampak negatif bagi tumbuh kembang mereka. Sekalipun berbagai peraturan telah ditetapkan untuk melindungi anak, pada kenyataannya tidak sedikit perlakuan pengusaha tambang Mangan tanpa mempertimbangkan dampak buruknya pada anak, seperti: praktik eksploitasi, penempatan anak pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan kondisi fisiknya, bahkan berbahaya bagi keselamatan jiwanya. Resiko yang paling mengancam pekerja anak di lokasi tambang Mangan adalah runtuhnya  lubang/gua, yang hampir selalu menyebabkan kematian, walaupun tidak ada laporan yang baru mengenai kecelakaan semacam ini. Selain resiko tersebut, penggalian batu Mangan  juga membutuhkan kegiatan fisik yang cukup berat. Kelelahan dan kesakitan adalah keluhan utama yang diajukan oleh pekerja anak (Meak, dkk , 2013).
Dampak jangka panjang adalah ketidaksiapan anak dalam menghadapi masa depan. Pendidikan yang rendah dan kepribadian yang belum matang akan membuat mereka tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dalam dunia kerja atau lingkungan sosial. Mereka akhirnya berfungsi sebagai pelestari siklus kemiskinan keluarganya. Dengan kata lain, tidak ada mobilitas vertikal yang dialami sang anak dalam perjalanan hidupnya akibatnya pekerja anak akan mengalami gangguan mental dan putus asa, sehingga kebanyakan anak di lokasi tambang mengalami putus sekolah.  Tidak adanya hubungan kerja antara investor penambang dengan pekerja tambang telah memperparah kondisi itu. Akibatnya, para penambang, termasuk buruh anak tidak mendapat jaminan keselamatan kerja, perlindungan saat kerja, asuransi kesehatan dan perlindungan lainnya. Atas hal ini, dapat memberikan petaka yang dihasilkan akibat aktivitas penambangan Mangan di Kawasan Timor Barat -NTT bisa sangat dahsyat. Bahkan pada suatu saat akan mengarah ke genosida (hilangnya ras/suku). Apalagi, sebagian besar pekerja tambang adalah anak-anak berusia sekolah. Kebiasaan menghirup dan menelan partikel partikel logam Mangan sangat berbahaya bagi anak anak.  Gejala keracunan Mangan adalah halusinasi, pelupa (Parkinson) dan kerusakan saraf (kebodohan), emboli paru-paru dan bronkitis, bahkan  ketika terkontaminasi partikel logam  dalam jangka waktu lama, mereka menjadi impoten. 
Sedangkan dalam jangka pendek pekerja anak juga sangat rawan terhadap tindak kekerasan, eksploitasi tenaga dan bahkan stres. Pekerja anak rawan mengalami tindakan-tindakan tersebut, sebab perusahaan pada umumnya mempekerjakan anak tidak berdasarkan segmentasi pekerjaan atas dasar usia. Mereka bekerja di bidang pekerjaan yang layaknya dilakukan pekerja dewasa. Hal  ini memaksa mereka matang sebelum waktunya, baik secara fisik maupun psikis. Walaupun ada alasan bahwa keterlibatan anak dalam dunia kerja karena alasan tradisi atau proses mewariskan keahlian oleh orangtua, namun kenyataannya, ketika ditelusuri lebih lanjut masalah anak-anak yang bekerja erat kaitannya dengan masalah ekonomi keluarga semata. Hal senada disorot  oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO)  di Timor Barat, jumlah pekerja anak pada sejumlah tambang Mangan rakyat cukup tinggi karena diakibatkan oleh krisis keuangan  keluarga yang berkepanjangan. Pendapatan dari orang tua anak yang rendah membuat anak berusaha menghasilkan uang dari aktifitas pertambangan Mangan  telah berdampak pada keselamatan dan moral anak juga akan ikut terganggu. Hal lain yang teridentifikasi adalah bahwa dengan disertakannya anak-anak dalam menambang Mangan maka kesempatan bermain bagi anak semakin kurang dan bahkan tingkat partisipasi sekolah anak juga kian menurun.
Dalam perspektif sosio-psikologis, perusahaan tambang Mangan tidak memperhatikan sama sekali mengenai lingkungan pekerjaan tempat anak-anak dipekerjakan. Lingkungan kerja di lokasi tambang Mangan di tempatkan bukan sebagai lingkungan pendidikan atau media pembelajaran yang layak bagi anak-anak. Lingkungan pekerjaan anak menjadi lingkungan yang tidak representatif untuk menyokong proses pematangan intelektual anak. Lingkungan ini tidak membentuk proses pendewasaan diri anak namun membuat tersumbatnya ruang-ruang positif bagi pengaktualisasian diri anak dan bagi perkembangan jiwanya. Karakteristik lainnya ialah lingkungan pekerjaan anak juga membangun hubungan antara anak-anak dan para pekerja dewasa. Mereka berada dalam poros komunikasi yang timpang. Dari pihak orang dewasa, pekerja anak dipandang oleh mereka sebagai pihak yang inferior (lemah, mudah diatur, senantiasa patuh dan lain sebagainya). Dalam kacamata psikologi anak, orang dewasa dipandang mereka sebagai pihak yang sebaliknya. Orang dewasa diletakkan dalam posisi yang superior (kuat, suka memerintah, wajib dihormati, dapat dijadikan tempat mengadu, dan lain sebagainya), sehingga tanpa disadari banyak resiko dan bahaya lain yang dihadapi yang mengancam masa depan anak  seperti: gangguan fisik (kelelahan dan dehidrasi, luka, cacat fisik, penyakit akibat terpapar zat kimia berbahaya, pertumbuhan lambat akibat terbiasa dengan beban berat, gangguan pada penglihatan, dan pendengaran) maupun gangguan psikis (trauma panjang karena jika terdapat  indikasi tindakan seksual orang dewasa, gaya hidup konsumtif dan kurang kepercayaan diri).


Daftar Bacaan

Irwanto.  1996, Studies of Chile Labour in Indonesia: 1993-1996.  International Programme on the Elimination of Child Labour (IPEC), ILO, Jakarta
Kompas Com , 2013, Pekerja Anak di Dunia,  Artikel dalam  http://internasional.kompas.com, diakses pada tanggal 03 Maret 2013
Meak, Ulu, B; Tahu, Maria, F; Mangngie, Mira, S; Wisang, H; Naisanu, J; dan Maghi, R, 2013, Dampak Pertambangan Mangan Terhadap Relasi Jender di Kabupaten Timor Tengah Utara Propinsi Nusa Tenggara Timur, Laporan Penelitian, Kerja Sama Dengan Oxfam Indonesia, Jakarta.  
Suyanto, Bagong dan Sri Sanituti Hariadi. 2000, Pekerja Anak: Masalah, Kebijakan dan Upaya Penanganannya. Lutfansah Mediatama,Surabaya.
Wikipedia , 2013,  Pekerja Anak , Artikel dalam  http://id.wikipedia.org, diakses pada tanggal 21 Febuari 2013

Jumat, 14 Juni 2013

MENEROPONG ISU JENDER DAN DAMPAK TAMBANG MANGAN TERHADAP PEREMPUAN DI KAWASAN TIMOR BARAT

Oleh
Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si


Pendahuluan

Usaha tambang Mangan di Kawasan Timor Barat bila di kaji dari aspek kesejahteraan dan perlindungan hak-hak perempuan sebenarnya belum memberikan tingkat signifikansi yang mengarah kepada keadilan jender. Bahkan disinyalir terdapat ketimpangan jender yang memberikan tekanan terhadap posisi tawar perempuan yang lemah terhadap akses, kontrol, partisipasi dan penerimaan manfaat terhadap usaha tambang Mangan yang ada.

Aktivitas Tambang Mangan Di Wilayah Kab.TTU
Sebelum ada usaha pertambangan Mangan, rakyat bebas mencari nafkah di tanah milik sendiri (rakyat berdaulat) atas hak milik tanah untuk usaha subsistim (pertanian dan peternakan), kondisinya berubah drastis setelah ada perusahaan tambang yang masuk di Timor Barat mulai pada tahun 2008 telah menimbulkan hilangnya kekuasaan rakyat atas tanah mereka dan bergeser menjadi buruh tambang. Hubungannya dengan integrasi jender dapat di katakana bahwa pada saat sebelum ada perusahaan tambang budaya jender didasarkan pada kompromi laki-laki dan perempuan berdasarkan kultur lokal untuk mengelolah usaha pertanian rakyat secara otonomi, dan setelah ada perusahaan tambang isu jender mulai bergeser karena kompromi anatara laki-laki dan perempuan lebih didasarkan kepada otoritas perusahaan tambang dan perusahaan lebih melihat jender dari kacamata jenis kelamin (sexis) semata. Persoalannya bahwa sekarang apakah jender mengalami perubahan (keadilan jender) yang  bersifat timbal balik atau bersifat linear sebelum dan sesudah ada pertambangan perusahaan di wilayah Timor Barat. Hal lain yang tidak kala penting bahwa ketika terjadi perbedaan peran dan relasi jender dalam masyarakat sebagai akibat adanya pertambangan Mangan, telah menciptakan suatu proses peminggiran (marginalisasi) dan menghasilkan ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki yang mengakibatkan terganggunya struktur sosial masyarakat, karena sumberdaya penting biasanya lebih dikuasai oleh laki-laki ketimbang perempuan. 

Isu Jender Dalam Usaha Tambang Mangan Di Timor Barat

Gender adalah suatu konstruksi sosial yang bervariasi lintas budaya, berubah sejalan perjalanan waktu dalam suatu kebudayaan tertentu, bersifat relasional, karena feminitas dan maskulinitas memperoleh maknanya dari fakta dimana masyarakat kitalah yang menjadikan mereka berbeda (Wood, 2001 dalam Mugniesyah, 2007).Disamping itu, Fakih (1996) mengartikan konsep gender sebagai sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Berdasarkan definisi tersebut, diketahui bahwa gender tidak bersifat universal dan bersifat dinamis dalam kerangka waktu tertentu. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin merupakan kodrat sedangkan gender bukanlah kodrat.
Beberapa entry  point yang menjadi persoalan jender dalam usaha tambang Mangan di Kawasan Timor Barat dapat dikatakan bahwa: (1) usaha tambang Mangan secara strategis belum mengintegrasikan keadilan jender dan pemberdayaan perempuan dalam perlindungan lingkungan, keadilan sosial dan keberdayaan ekonomi; (2) Peran dan relasi jender dalam pengelolaan usaha tambang Mangan belum secara optimal; perempuan sering kali menerima dampak secara langsung maupun tidak langsung dari usaha tambang Mangan dibandingkan dengan laki-laki; (3) Terdapat perbedaan akses dan kontrol perempuan dan laki-laki terhadap hak atas tanah dalam usaha pertambangan Mangan; (4) Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan masih bersifat “penerimaan bersyarat” dalam usaha tambang Mangan; (5) Perlindungan kesehatan perempuan dan anak-anak, ketersediaan pangan dan air bersih, rasa aman, dalam komunitas lingkungan tambang Mangan masih terbatas; (6) Bisnis pertambangan Mangan belum memberikan dampak kesejahteraan terhadap komunitas sekitarnya bahkan cenderung melemahkan struktur mata pencaharaian yang selama ini di praktekan; (7) Tidak adanya perlindungan khusus bagi perempuan (perlindungan atas hak-hak reproduksi dan tindakan atas kekerasan) dalam usaha pertambangan Mangan.
Potensi pelanggaran yang mungkin terjadi pada usaha dan/atau kegiatan tambang Mangan di kawasan Timor Barat, berkaiatan dengan beberapa aspek sebagai berikut: (a) Diskriminasi jender dalam ketenagakerjan; (b) Kesehatan reproduksi; (c) Keberdayaan dalam kegiatan ekonomi; (d) Kekerasan seksual; (e) Partisipasi dalam pengambilan keputusan; dan (f) Keselamatan pekerja perempuan dan anak.

Dampak Tambang Mangan Terhadap Perempuan Di Timor Barat

Salah satu konflik dalam dunia tambang yang cukup serius adalah masalah jender atau ungkapan yang memparelelkan kegiatan pertambangan sebagai “industri maskulin”  yaitu suatu dunia yang memerlukan keberanian, kerja berat, kerja keras dan dihubungkan dengan pekerjaan laki-laki. Karena itu, kesan yang diperoleh mengenai seorang penambang adalah seorang laki-laki tegap, dengan otot kaki dan tangan yang kekar yang diharapkan dengan mudah dapat menggali. Namun kenyataannya kaum perempuan juga terlibat dalam usaha pertambangan Mangan di kawasan Timor Barat, akibatnya.memiliki dampak yang berdimensi gender. Perempuan-perempuan yang menjadi pekerja tambang menjadi pihak-pihak yang terpinggirkan karena praktek-praktek ketidakadilan, dan tindakan kekerasan yang terjadi selama aktivitas pertambangan. Faktanya kerap kali, perempuan dijadikan pihak yang dirugikan. Beban kerja perempuan meningkat karena perempuan bekerja berdasarkan uang hasil pertambangan  untuk membantu laki-laki  dalam memperoleh tambahan pendapatan rumah tangga dan perempuan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar terhadap rumah tangga dan penyediaan makanan maupun perawatan anak melalui cara tradisional; kasus hampir di setiap lokasi tambang Mangan di kawasan Timor Barat menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja perempuan hampir seimbang dengan tenaga kerja laki-laki, dimana untuk penggalian tambang dilakukan oleh laki-laki dan kaum perempuan dapat melakukan penyortiran atau pengangkutan. Bahkan terdapat kesempatan  ibu-ibu juga  melakukan kegiatan domestik dengan membawa balita dan anak  di lokasi tambang, termasuk aktivitas masak, makam, minum dan merawat anak.
 Aktivitas usaha tambang Mangan yang melibatkan kaum perempuan dari tahap penggalian, penyortiran, pencucian, pengepakan, pengangkutan hingga pemasaran sangat berpotensi terjadinya bias jender semisal dalam budaya patriarkis, peran perempuan terpinggirkan. Kontrol terhadap sumberdaya alam yang menopang kehidupan perempuan sebagian besar masih jauh dari jangkauan perempuan seperti hak milik atas tanah biasanya lebih dikuasai oleh laki-laki serta perempuan menanggung tekanan fisik sekaligus mental akibat pertambangan, terutama bila terjadi penggusuran tanah untuk aktivitas tambang Mangan.
Peralihan tenaga kerja dan mata pencaharian dari kegiatan bertani ke kegiatan penambang telah membuat kondisi ketahanan pangan rumah tangga dan masyarakat sangat terpuruk. Hal ini mengakibatkan pendapatan ekonomi yang tadinya mulai meningkat akhirnya harus kembali ke kondisi sebelumnya oleh karena aset yang diperoleh saat menambang harus dijual kembali untuk membeli kebutuhan pangan rumah tangga; karena masyarakat belum memiliki konsep untuk pengembangan usaha produktif dari uang hasil tambang terutama perempuan tidak dapat mengelolah ekonomi rumah tangganya secara baik, meskipun mereka mengetahui kalau persediaan deposit Mangan pada suatu waktu akan habis;
Pengeluhan terhadap kondisi kesehatan dengan rasa sakit yang berbeda terutama kaum perempuan dari sebelum menjadi penambang, namun tidak ada kegiatan jaminan kesehatan bagi masyarakat dan perusahaan kurang memperhatikan alat pelindung diri dalam sistim Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) penambang sehingga telah menyebabkan permpuan meninggal ataupun cacat fisik.

Pelajaran Yang Dipetik

Jika tambang Mangan ingin berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan yang responsif jender:
1)    Memahami dampak tambang bagi lingkungan dan  bagi perempuan maupun  laki-laki;terutama perbedaan akses dan  kontrol perempuan terhadap hak atas tanah;
2)    Memastikan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan tanpa tekanan tentang pembukaan tambang – setelah mendapat pemahaman yang menyeluruh tentang tambang dan  dampaknya. “The rights to say No or Yes”; pengambilan keputusan harus didahului pemahaman tentang tambang dan konsekuensinya dan harus bisa memutuskan tanpa tekanan;
3)   Memastikan perlindungan perempuan dan anak di komunitas lingkungan tambang Mangan; dengan terselenggranya pendidikan anak dalam komunitas lingkungan tambang dan mencegah anak melakukan pekerjaan dalam tambang atau pekerjaan lain di lingkungan tambang yang membahayakan tumbuh kembangnya anak;
4)       Memastikan kedaulatan pangan dan ketersediaan air bersih masyaraat di komunitas pertambangan dan  tidak mengalami gangguan terhadap pekerja tambang;
5)      Memastikan tidak terjadi konflik antara masyarakat setempat dan masyarakat pendatang yang bekerja di tambang – pemenuhan rasa aman bagi perempuan dan anak;
6)     Memastikan tidak adanya eksploitasi perempuan dan anak perempuan yang diakibatkan oleh adanya tambang Mangan;
7)    Dalam setiap tahap pertambangan (Pra penambangan, Penambangan dan Pasca Penambangan) harus mendudukkan perempuan sebagai agen pelaku dan pemanfaat dengan mendudukan keadilan jender pada posisi yang strategis.

Daftar Bacaan

Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.


Mugniesyah, Siti Sugiah, 2007. Gender, Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan dalam Ekologi Manusia. Editor Soeryo Adiwibowo. Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.

Senin, 04 Maret 2013

IMPLIKASI RENCANA INDUK PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA (P3EI)


( Analisis Kontekstual terhadap pembangunan Pariwisata dan Ketahanan Pangan
di Propinsi Nusa Tenggara Timur)

Oleh
Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si


PENDAHULUAN
Konsep Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (P3EI) yang telah dicanangkan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir Februari 2011, merupakan jawaban akan dinamika perkembangan pembangunan nasional untuk mengurangi angka kemiskinan, penyediaan lapangan pekerjaan lebih banyak lagi dan lebih meningkatkan ekonomi dalam mencapai pemerataan pembangunan dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Konsep rencana induk P3EI tahun 2011-2025 ini, berbeda dengan beberapa dokumen perencanaan induk yang lain seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700); maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang telah ditetapkan dengan  Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010 – 2014, karena dalam rencana induk P3EI ada sasaran yang jelas dan dibuat sesederhana mungkin; lengkap dengan alokasi waktu,kewenangan tanggung jawab,investasi kegunaannya dan hasil yang jelas dengan penetapan koridor ekonomi dan masing-masing koridor tersebut memiliki aktivitas ekonomi utama.Jadi penetapam master plan Rencana Induk P3EI dapat menjadi dokumen komplementer  terhadap RPJPN dan RPJMN untuk menjawab tantangan dan dinamika pembangunan nasional saat ini (Kuncoro,2011).
            Menurut Bappenas (2011) bahwa peran penting Koridor Ekonomi Indonesia (KEI) difokuskan pada 6 (enam) kawasan wilayah  yaitu : (1) Koridor Sumatra: sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional; (2) Koridor Jawa: pendorong industri dan jasa nasional; (3) Koridor Kalimantan: pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional; (4) Koridor Sulawesi dan Maluku Utara: pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan dan perikanan nasional; (5) Koridor Bali Nusa Tenggara: pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional; dan (6) Koridor Papua dan Maluku: pengolahan SDA yang melimpah dan SDM yang sejahtera.
            Berdasarkan pembagian koridor demikian, dapat dikatakan bahwa aktivitas utama dalam master plan P3EI adalah membangun pusat-pusat pertumbuhan di setiap koridor dengan mengembangkan kluster industri dan/atau kawasan ekonomi khusus yang diintegrasikan dengan pengembangan kluster dan kawasan yang berbasis kompotensi SDA menjadi komoditi dan sektor unggulan  daerah.

ARGUMENTASI BERDASARKAN TEORI PEMBANGUNAN

Akselerasi pembangunan nasional dengan master plan P3EI sebenarnya adalah kerangka pembangunan yang mengedepankan kemampuan potensi SDA daerah dalam konteks untuk mendukung pertumbuhan ekonomi daerah dengan mempertimbangkan kemampuan SDM, teknologi, infrastruktur dan investasi sebagai daya saing utama dalam menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi berdasarkan kluster perwilayahan.
Jika konsep ini dihubungkan dengan teori pertumbuhan ekonomi dari Harrod-Domar merupakan teori pertumbuhan yang berdasarkan pada peranan investasi untuk mempengaruhi permintaan agregat komoditi ungulan daerah dan di sisi lain investasi juga mempengaruhi kapasitas produksi nasional dengan menambahkan stok modal yang tersedia. Hal ini sesuai pandangan Harrod yang menyimpulkan agar suatu ekonomi nasional selalu tumbuh dengan kapasitas produksi penuh yang disebutnya sebagai pertumbuhan ekonomi yang mantap (steady-state growth), efek permintaan yang ditimbulkan dari penambahan investasi harus selalu diimbangi oleh efek penawarannya tanpa terkecuali. Tetapi investasi dilakukan oleh pengusaha yang mempunyai pengharapan yang tidak selalu sama dari waktu ke waktu, karena itu keseimbangan ekonomi jangka panjang yang mantap hanya dapat dicapai secara mantap pula apabila aktivitas para pengusaha stabil dan kemungkinan terjadinya hal itu jika nilai potensi SDA juga akan tetap berada dalam keadaan keseimbangan yang secara bertahap akan mendorong ekonomi nasional.
Selanjtnya menurut teori pembangunan-Rostow menjelaskan bahwa modernisasi merupakan proses bertahap, dimana masyarakat akan berkembang dari masyarakat tradisional dan berakhir pada tahap masyarakat dengan konsumsi tinggi. Pada masa tradisional hanya mengalami sedikit perubahan sosial, atau mengalami kemandegan sama sekali. Kemudian berlahan-lahan Negara mengalami perubahan dengan adanya kaum usahawan, perluasan pasar, pembangunan industri. Perubahan ini adalah prakondisi untuk mencapai tahap selanjutnya yaitu tahap lepas landas (Todaro, 1989). Oleh sebab itu secara konektivitas koridor ekonomi Sulawesi-Maluku sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan dan perikanan nasional dan ditopang oleh koridor ekonomi Papua –Maluku sebagai pusat pengelolaan SDA yang melimpah dapat memberikan kontribusi kepada koridor ekonomi Jawa sebagai pusat industri dan jasa nasional disamping itu, koridor Bali Nusa Tenggara: sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional akan mendukung setiap koridor ekonomi lainnya. Oleh karena itu daya dorong ekonomi harus dapat mendorong berkembangnya kawasan komoditas daerah dengan nilai pasar yang tinggi. Jika strategi demikian dapat dioperasionalkan secara optimal, maka akan mungkin sekali pada tahun 2050 Indonesia akan mencapai pembangunan tahap landas (Kuncoro, 2011).  
 Argumentasi konsep P3EI harus memperhatikan aspek gravitasi  dan aktivitas ekonomi yang masih cenderung terkonsentrasi secara geografis pada kawasan Barat Indonesia dengan dukungan kemampuan SDM yang lebih baik dibandingkan dengan kawasan Indonesia lainnya, sehingga telah menyebabkan mayoritas wilayah Indonesia merupakan daerah dengan “periferi” atau jauh dari keramaian pembangunan maka tidak mengherankan jika masih ada 183 daerah Kabupaten/Kota yang tertinggal di Indonesia, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Senada dengan pernyataan ini, oleh Arjana (2011) berpendapat bahwa di KTI seperti Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam mendorong pembangunan ekonomi masih dihadapkan pada keterbatasan kemampuan SDM untuk mengembangkan komoditi unggulan di sektor primer sebagai “prime move” karena masih bersifat sub sistem tanpa memperhitungkan aspek pasar atau nilai komersial sebagai faktor pendorong dalam kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Sehubungan dengan itu, maka proses pelaksanaan pembangunan di Indonesia, perlu didukung oleh SDM yang handal sebagai pelaku-pelaku dalam pembangunan dengan meningkatkan motivasi berprestasi sesuai pandangan teori dari McClelland dengan konsepnya yang terkenal, yaitu need for achievement (n-Ach). Pandangan teori ini, mirip dengan etika protestan yang dikemukakan oleh Max Weber, dimana keinginan dan dorongan untuk berprestasi ini tidak sekedar untuk meraih imbalan material semata tetapi ada kepuasan pribadi tersendiri apabila seseorang berhasil melaksanakan pekerjaannya dengan sempurna. Selanjutnya apabila dalam sebuah masyarakat ada banyak orang memiliki n-Ach yang tinggi dengan cara kerja yang baik, yaitu dengan selalu berpikir dan berusaha untuk menemukan cara-cara baru untuk memperbaiki kualitas kerja yang dicapainya tanpa memngutamakan imbalan materi yang diterimanya, sudah pasti masyarakat tersebut akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam pembangunan (Suwarsono dan Alvin, 2000).
Kesimpulannya bahwa konsep P3EI dilaksanakan dengan tetap memperhatikan beberapa argumentasi dari teori pembangunan terutama untuk dapat membangun kepadatan (density), mengurangi jarak (distance) dan menghilangkan batasan (division) dalam upaya untuk membuat pertumbuhan ekonomi lebih pesat dan bersifat inklusif dengan konektivitas intra dan antar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dari masing-masing daerah sesuai potensi yang dimiliki (one product,one village) .

IMPLIKASI KORIDOR EKONOMI INDONESIA BALI-NUSA TENGGARA TERHADAP PROPINSI NTT

Menurut Bappenas (2011) bahwa koridor ekonomi Bali –Nusa Tenggara  sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional dan diestimasikan dapat meningkatkan PDRB dengan laju pertumbuhan koridor sebesar 7,6 % dibandingkan estimasi base line sebesar 5,6 %. Sektor fokus diarahkan untuk meningkatkan jumlah kunjungan turis maupun pengeluaran parawisita serta memanfaatkan Bali sebagai gerbang untuk mempromosikan kunjungan ke daerah tujuan wisata lain (termasuk Provinsi NTT). Hal lain yang merupakan fokus dari kerangka ekonomi Bali-Nusa Tenggara adalah meningkatkan produktivitas lahan dan mengembangkan kegiatan produksi sampai dengan hilir. Sementara infrastruktur yang dibutuhkan adalah: (1) ekspansi bandara Ngurah Rai atau pembangunan bandara internasional baru di Bali; (2) pengembangan terminal cruise tanah ampo-Benoa; (3) pembangunan jalan trans Bali toll road, akses Sarangan-Tanjung Benoa; dan (4) pembangunan energi pembangkit listrik di Bali.

1.    Implikasi Pembangunan Pariwisata NTT
Pembangunan pariwisata di Provinsi NTT diarahkan untuk berkelanjutan, yaitu  pembangunan yang dapat didukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara etika dan bernilai sosial terhadap masyarakat. Artinya, pembangunan berkelanjutan adalah upaya terpadu dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya secara berkelanjutan. Hal tersebut hanya dapat terlaksana dengan sistem penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance) yang melibatkan partisipasi aktif dan seimbang antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan tidak saja terkait dengan isu-isu lingkungan, tetapi juga isu demokrasi, hak asasi manusia dan isu lain yang lebih luas. Tak dapat dipungkiri, hingga saat ini konsep pembangunan berkelanjutan tersebut dianggap sebagai ‘resep’ pembangunan terbaik, termasuk pembangunan pariwisata dengan prinsip antara lain partisipasi, keikutsertaan para pelaku (stakeholder), kepemilikan lokal, penggunaan sumber daya secara berkelanjutan, mewadahi tujuan-tujuan masyarakat, perhatian terhadap daya dukung, monitoring dan evaluasi, akuntabilitas, pelatihan serta promosi (Bater, 2001)
Propinsi NTT memiliki potensi pariwisata yang langka di dunia, tetapi keajaiban yang dimiliki objek wisata tersebut belum menjadi sebuah daya tarik yang memikat wisatawan untuk terus berkunjung karena pemerintah daerah belum memberi perhatian serius terhadap sektor tersebut sebagai penghasil devisa dan daerah Kabupaten/Kota yang merupakan Daerah Tujuan Wisata (DTW) belum ada grand desaign dalam program pembangunan daerahnya. Beberapa objek wisata yang potensial di Propinsi NTT seperti : (1) Taman Nasional Komodo (TNK) yang dihuni biawak raksasa Komodo (Varanus commodoensis) di Pulau Komodo dan Rinca di Manggarai Barat, Pulau Flores; (2) Danau Tiga Warna di puncak Gunung Kelimutu di Kabupaten Ende; (3) Upacara penangkapan ikan paus secara tradisional oleh nelayan Lamalera di Pulau Lembata; (4) Taman Laut Riung di Kabupaten Nagekeo dan taman laut Kepa di Kabupaten Alor; serta (5) Cagar wisata alam Mutis di pulau Timor (Dinas Kebudayaan dan Parawisata NTT, 2010). Belum lagi ritual keagamaan seperti Prosesi Jumat Agung menjelang Paskah di Kota Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur serta beraneka budaya dan kuburan batu para raja di Pulau Sumba.
Implikasinya dalam koridor ekonomi Indonesia-P3EI Bali-Nusa Tenggara dapat menarik wisatawan yang sudah lama berlibur di Bali dan Lombok seharusnya kita giring masuk ke NTT melalui Labuanbajo di ujung barat Pulau Flores untuk berkunjung ke Pulau Komodo apalagi posisi NTT berbatasan langsung dengan Australia dan Timor Leste dengan pembangunan fasilitas penunjang pariwisata seperti perhotelan dan sarana transportasi serta telekomunikasi, maupun pembangunan infrastruktur pelabuhan laut, pengembangan pelabuhan udara El Tari Kupang serta pelabuhan udara perintis lainnya dan pengembangan jalan trans Flores,Timor dan Sumba. Pengembangan sektor pariwisata ini, dapat memicu pertumbuhan ekonomi masyarakat di sekitar objek wisata seperti menyediakan souvenir untuk kebutuhan para wisatawan dan hasil olahan lain yang bisa dinikmati oleh wisatawan sebagai multiplayer effect. Strategi lain yang terus dilaksanakan adalah promosi parawisata lewat pelaksanaan berbagai kegiatan-kegiatan penting dan event-event parawisata pada obyek wisata unggulan tersebut dan memberikan peluang kepada pihak swasta untuk melakukan investasi yang bersifat pinjam pakai dan pemerintah dapat melakukan monitoring dan evaluasi yang terpadu.
Solusi yang sekiranya paling bijaksana adalah membangun simbiosis mutualisma antara pariwisata dengan budaya dan lingkungan. Artinya, sambil mengembangkan sektor pariwisata, kita juga turut serta melestarikan lingkungan hidup dan budaya kita. Sambil melestarikan kebudayaan kita, kita mengemas pelestarian tersebut dengan berorientasi pada pariwisata. Jika hal itu dapat teruwujud, semaju apapun negara kita, kebudayaan tradisional akan tetap terpelihara dan lingkungan tetap lestari tanpa mengabaikan pengembangan pariwisata (Desky,2001).

2.    Implikasi Pembangunan Ketahanan Pangan

Pembangunan ketahanan pangan adalah penyediaan pangan dalam jumlah yang cukup dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat dengan pola distribusi yang terjamin dan tingkat konsumsi yang memadai.Beberapa tantangan pembangunan ketahanan pangan di propinsi NTT adalah pola bertani yang masih bersfat sub sistim dan keterbatasan SDM dalam penerapan teknologi pertanian serta motivasi berprestasi yang masih terbatas.Disamping faktor alam dengan musim hujan yang pendek dibandingkan dengan musim kemarau.
Pola bertani masyarakat di NTT dilakukan secara tradisional dengan sistim perladangan berotasi yang sering disebut juga sebagai perladangan berpindah (Swilddening) atau peladang tebas- bakar (Slash and burning farmer) dengan memanfaatkan kesuburan tanah hutan dan potensi lingkungan hutan/belukar yang relatif luas untuk kelangsungan hidupnya dengan waktu rotasi berladang/berkebun 3 – 5 tahun untuk kembali pada lokasi kebun yang pertama sedangkan tenggang waktu tersebut kebun yang lainnya dibiarkan bera begitu saja. Kegiatan tebas –bakar dilakukan dengan menebang hutan/belukar dan membakarnya secara teratur atau bisanya disebut ” Kono ” (istilah lokal di Kabupaten TTU). Kegiatan ini dinilai oleh masyarakat sebagai teknologi sederhana dan murah karena memberikan hasil tanaman yang cukup baik selama 1-2 kali masa tanam pada lahan yang sama sedangkan berikutnya mereka sudah melakukan rotasi pada kawasan lahan lain. Hal ini kalau dibiarkan terus akan memberikan ancaman terhadap kelesetarian SDA dan lingkungan hidup (Woha, 2001). Oleh karena itu maka respons petani di NTT harus di siasati untuk dapat beradaptasi dengan perubahan cuaca dan iklim dengan mengembangkan berbagai teknologi yang dapat meningkatkan produksi pertanian lahan kering.
Tinjauan kondisi ini sesuai dengan pendapat Mau (2008) bahwa upaya-upaya pemantapan ketahanan pangan (food security) dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dihadapkan pada berbagai persoalan antara lain adanya pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaannya. Meningkatnya permintaan tersebut sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat dan perubahan pola konsumsi masyarakat. Sementara itu harus diakui bahwa kapasitas produksi pertumbuhannya berjalan sangat lamban karena penurunan kwalitas sumberdaya alam seiring dengan kebiasaan buruk masyarakat dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup.
Mencermati akan koridor ekonomi Indonesia dengan P3EI maka implikasi terhadap pembangunan ketahanan pangan  di Propinsi NTT adalah ; (1) Pemerintah dapat menyusun kebijakan secara komprehensif dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) untuk peningkatan program/kegiatan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup berbasis masyarakat; (2) Meningkatkan upaya untuk mencegah konversi lahan pertanian yang produktif ke non pertanian;  (3) Meningkatkan SDM sebagai pelaku pembangunan ketahanan pangan dengan pengembangan kedaulatan masyarakat terhadap pangan yang berbasis keragaman local lewat kursus/pendidikan dan pelatihan kepada petani pedesaan.

DAFTAR BACAAN

Arjana, Ida Bagus. 2011.Kependudukan, Lingkungan dan Pembangunan. Materi Pokok Perkuliahan Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (IPSAL), Program Pasca Sarjana, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Bater, J., 2001, Planning for Local Level: Sustainable Tourism Development, Canadian Universities Consortium: Urban Environmental Management Project Training & Technology Transfer Program, Canadian International Development Agency (CIDA), Canada.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,2011, Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Tahun 2011-2025, Artikel dalam http://www.bappenas.go.id, diakses pada tanggal 28 Juni 2012.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi NTT,2010, Profil Obyek Wisata NTT, Kupang.
Desky, M.A. 2001. Manajemen Perjalanan Wisata. Adicita Karya Nusa.Yogjakarta.
Kuncoro, M.,2011, Koridor Ekonomi Indonesia, Opini dalam http://www.mudrajad.com, diakses pada tanggal 28 Juni 2011.
Mau,Y.S, 2008, Dampak Pemanasan Global Terhadap Ketersediaan Pangan Dunia,Konteks Nusa Tenggara Timur, Orasi Ilmiah disampaikan pada acara Wisuda Magister, Sarjana dan Ahli Madya Periode Mei 2008, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Suwarsono dan Alvin, Y.S.O. 2000. Perubahan Sosial dan Pembangunan, Cetakan ke-3 (Edisi Revisi). Pustaka LP3S Indonesia, Jakarta.
Todaro, Michael P. 1989. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Terjemahan. Erlangga, Bandung.
Woha. U. P. 2001. Pembangunan Pertanian Lahan Kering di Nusa Tenggara Timur. Dalam Pembangunan Pertanian di wilayah Kering Indonesia, Widya Sari, Salatiga.

Rabu, 27 Februari 2013

ANALISIS SITUASIONAL DAN ISU STRATEGIS PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP DI KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA-NTT


Oleh
Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si


Analisis Situasional Pembangunan Lingkungan Hidup

Peranan  Simberdaya Alam (SDA) dan Lingkungan Hidup (LH) sangat penting dalam pembangunan daerah Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), baik sebagai penyedia bahan baku bagi pembangunan ekonomi maupun sebagai pendukung sistem kehidupan masyarakat. Sesuai dengan fungsinya tersebut,SDA dan LH perlu dikelola dengan bijaksana agar dapat terjaga dan lestari untuk generasi saat ini dan di masa yang akan datang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (Sustainable development). Disamping itu karena lonjakan jumlah penduduk di Kabupaten TTU akan berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan akan SDA untuk bahan baku industri maupun kebutuhan konsumsi. Peningkatan kebutuhan tersebut dapat berakibat pada peningkatan pemanfaatan SDA secara berlebihan dan tidak ramah lingkungan yang pada akhirnya akan menurunkan daya dukung dan daya tampung atau fungsi dari LH. Kondisi ini sudah mulai dirasakan di Kabupaten TTU, terutama timbulnya permasalahan pemenuhan akan kebutuhan pangan, energi serta kebutuhan akan sumberdaya air di berbagai wilayah Kecamatan, adanya perubahan iklim mikro dan cuaca yang cukup ekstrim maupun terhadap perubahan lingkungan biologis  terutama di kawasan perdesaan.

Potret lahan kering Di Kab.TTU- NTT
Hal yang mendorong terjadinya berbagai fenomena ini dikarenakan  penduduk terus berlomba mencari nafkah dalam mendukung kehidupan sehari-harinya dengan memanfaatkan berbagai potensi SDA dan LH yang ada sehingga cenderung bersifat destruktif dan tidak lagi memperhatikan  daya dukung dan daya tampung dari LH tersebut. Persoalan yang timbul antara lain  adanya konversi lahan dan penebangan hutan secara berlebihan; apalagi ditambah dengan kebiasaan penduduk melaksanakan pola usaha tani lahan kering secara beringsut dan sistim tebas bakar (istilah lokal =“Kono”), maka dapat menyebabkan nilai kesuburan tanah/lahan menjadi berkurang dan pada gilirannya berpengaruh terhadap produktivitas hasil usaha pertanian yang relatif akan berkurang juga. Persoalan lainnya, bahwa pandangan SDA dan LH merupakan  milik bersama (common property resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open access), sehingga setiap pengguna sumberdaya berkeinginan untuk memaksimalkan keuntungan sebesar-besarnya yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan  SDA dan pencemaran LH serta konflik pemanfaatan ruang  sebagai akibat  dari over-eksploitasi dan deplesi terhadap ketersediaan potensi SDA (Soemarwoto,2001).
Berdasarkan pada hasil analisa pengujian  kualitas air (air permukaan, air limbah, air laut) dan kualitas udara maupun kualitas tanah untuk produksi biomassa di Kabupaten TTU pada tahun 2010, dapat dikatakan bahwa tingkat pencemaran  lingkungan belum memberikan dampak yang signifikan terhadap gangguan kehidupan manusia dan daya dukung lingkungan karena secara fisik data-data analisis masih berada di bawah standar baku  mutu yang dipersyaratkan. Namun di sisi lain telah terjadi perubahan kondisi ekologis secara umum yang telah menyebabkan berkurangnya keanekaragaman hayati; terutama parameter Indeks Nilai Penting (INP) flora dan fauna, sebagai akibat dalam  persaingan usaha di bidang LH (seperti kasus pertambangan Marmer dan Mangan) maupun perburuan liar dan penebangan hutan secara tidak syah, telah menyebabkan kondisi kualitas hutan merosot dengan; berkurangnya  keanekaragam flora dan fauna bahkan potensi untuk punah seperti : Rusa Timor (Cervus timorensis), Kakatua (Cacatua sulphurea), Ayam Hutan Merah (Gallus gallus), Gagak Hitam (Corvus corone), Merpati (Columba livia), Cendana (Santalum album), Gaharu (Aquilaria malaccensis), Ampupu (Eucalyptus urophylla). Hal ini sesuai dengan pendapat Manik (2009) bahwa pemanfaatan SDA yang tidak terkontrol akan menyebabkan terganggunya kualitas LH serta kelangsungan hidup berbagai makhluk hidup lainnya.
Secara umum  indikator dan parameter kerusakan  SDA dan pencemaran LH harus terus dikelola dan diawasi agar diketahui tingkat pencemaran dan kerusakannya sehingga dapat dirumuskan strategi yang tepat untuk mengatasi  dan menanggulangi persoalan yang mungkin akan terjadi di kemudian hari.Pengembangan SDA dan LH difokuskan untuk mendukung peningkatan ekonomi rakyat dengan fokus wiilayah perlindungan dan pengelolaan di prioritaskan pada kawasan cagar alam Mutis (2 Ha), kawasan DAS Benenain (wilayah tengah) = 150,080 Ha, kawasan sentra pertanian/perkebunan rakyat, kawasan wilayah pesisir = 50 Km dan laut = 900 Km² dan kondisi lingkungan permukiman padat penduduk untuk tetap menjaga keseimbangan ekologis.

Isu Strategis Pembangunan Lingkungan Hidup

1) Terbatasnya tatalaksana  upaya  perlindungan dan pengelolaan  yang mendukung fungsi pelestarian SDA dan LH di daerah;
Berbagai upaya untuk menanggulangi kerusakan lingkungan hidup telah dilakukan namun potensi pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan hidup masih terus terjadi sebagai akibat  pertambahan jumlah penduduk setiap tahunnya maupun pencemaran dari aktivitas usaha kecil (home industry), pembangunan infrastruktur, eksploitasi sumberdaya mineral Mangan, limbah domestik serta teknologi yang tidak ramah lingkungan terus berjalan. Di beberapa lokasi, tingkat pencemaran terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati (kehati) cenderung menurun bahkan teracam punah. Akibatnya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dalam mendukung program-program pembangunan menjadi menurun, sehingga diperlukan pengelolaan lingkungan hidup yang terintegrasi  dan terpadu dari hulu ke hilir dengan pendekatan lintas sektoral (Sugandhy dan Hakim, 2009). Permasalahan lainnya yang dihadapi dalam penanganan kerusakan lingkungan adalah terbatasnya produk regulasi daerah dan lemahnya penegakan hukum lingkungan, rendahnya kapasitas sumber daya manusia masyarakat dan institusi pengelola LH. Selain itu, ketersediaan sistem data dan informasi juga masih perlu diperbaiki. Hal ini mempengaruhi ketepatan perencanaan, monitoring dan evaluasi penanganannya.

2) Perlindungan dan pengelolaan LH dengan  tidak memperhatikan ketersediaan  fungsi pelestarian (daya dukung dan daya tampung)
Sampai saat ini, upaya untuk meningkatkan manfaat SDA dan peningkatan kualitas LH terus dilakukan. Meskipun demikian, permasalahan pemanfaatan SDA yang belum memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup masih dihadapi yang mengakibatkan daya dukung lingkungan menurun dan ketersediaan SDA semakin menipis. Penurunan kualitas SDA ditunjukkan dengan tingkat eksploitasi hutan yang semakin mengkhawatirkan akibat terjadinya pembalakan liar (illegal logging), meluasnya kebakaran hutan dan lahan, penambangan liar, rusaknya wilayah laut akibat penangkapan ikan yang melanggar dan merusak (illegal  and destructive fishing-over fishing). Selain itu, meningkatnya konversi hutan alam, dan meluasnya alih fungsi lahan pertanian dan tambak untuk kegiatan ekonomi lainnya juga mempengaruhi tingkat produksi pangan yang dapat mengancam ketahanan pangan daerah.

3)    Adanya potensi gangguan terhadap kerusakan dan pencemaran Lingkungan  Hidup;
Pembangunan bidang SDA dan LH dilaksanakan untuk dapat mencegah dan mengantisipasi akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan pembangunan dan pemanfaatan SDA. Meningkatnya kegiatan usaha pertambangan Mangan telah mengakibatkan potensi gangguan terhadap pencemaran SDA dan LH terutama pencemaran air telah terindikasi adanya kandungan Mangan (Mn) pada sumber-sumber mata air di lokasi pertambangan seperti Mata Air seperti di Desa Sifaniha, Kecamatan Biboki Anleu (Lokasi Pertambangan Mineral Mangan)  sebesar  0,027 mg/l, walaupun masih berada di bawah baku mutu yang dipersyaratkan  yaitu sebesar 1,00 mg/l ataupun di lokasi penambangan lainnya.
Potensi kerusakan LH lebih disebabkan oleh faktor manusia dalam upaya penggunaan SDA yang berlebihan, sehingga telah, menimbulkan deplesi dan kemerosotan kualitas maupun kuantitas dari daya dukung SDA itu sendiri seperti : praktek perlandangan berpindah dengan sistim tebas bakar atau “ kono “ (istilah lokal) yang masih marak dilakukan oleh masyarakat.

4)   Adanya Ancaman perubahan iklim dan pemanasan global (global warming)
Kabupaten TTU  sebagai wilayah tropis dengan topografi yang berbukit, dikategorikan sebagai salah satu wilayah yang rentan terhadap perubahan iklim. Dampak perubahan iklim sudah menjadi ancaman yang cukup serius bagi lingkungan. Tanda-tanda dari dampak perubahan iklim di wilayah ini dapat dilihat dari adanya kenaikan temperatur udara, perubahan curah hujan, dan perubahan cuaca yang ekstrim. Kondisi ini menyebabkan terjadinya bencana kekeringan, banjir, tanah longsor, angin taupan dan bencana alam lainnya seperti serangan hama belalang Kumbara (Locusta migratoria) yang pernah terjadi di sebagian wilayah Kabupaten TTU pada tahun 2006 dan 2008.

5)   Pengetahuan dan kesadaran masyarakat yang masih terbatas terhadap upaya Pelestarian   SDA dan LH  
Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan SDA untuk mendukung pembangunan ekonomi adalah masih belum optimalnya pemanfaatan SDA  untuk pembangunan. Hal ini ditandai dengan tingginya tingkat eksploitasi sumber daya hutan/lahan dan energi untuk pembangunan, masih rendahnya pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut dibanding potensinya, serta masih kurang optimalnya usaha pertanian,perikanan dan kehutanan dalam mendorong ketahanan pangan dan perekonomian daerah karena pengetahuan dan kesadaran masyarakat yang masih terbatas.

6)   Degradasi Hutan dan Lahan
Praktek perladangan  dengan pola tebas bakar tanpa adanya upaya konservasi tanah yang sudah berlangsung sejak lama menyebabkan terjadinya kerusakan sumber daya alam di kabupaten TTU,  yang pada akhirnya menyebabkan degradasi sumber daya alam. Perusakan hutan dalam bentuk penebangan liar,  kebakaran dan pengembalaan liar di Kabupaten TTU sudah berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Luas lahan kritis cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya karena upaya rehabilitasi tidak seimbang dengan laju degradasi hutan dan lahan.

7)   Persampahan
Masalah persampahan merupakan permasalahan lama yang sampai dengan saat ini belum terselesaikan dengan baik. Salah satu contoh yang sering kita saksikan adalah permasalahan persampahan di Kota Kefamenanu dari tahun ke tahun belum bisa diselesaikan, mulai dari sumber sampah dan Tempat Pengelolaan Sementara (TPS) dan Tempat Pengelolaan Akhir Sampah (TPA).  Selama ini masyarakat masih memandang sampah sebagai barang sisa yang tidak berguna dan bukan sebagai sumber daya yang perlu dimanfaatkan. Masyarakat dalam mengelola sampah masih bertumpuh pada pendekatan akhir (end of pipe), yaitu sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke tempat pemrosesan akhir sampah. Timbunan sampah dengan volume yang besar di lokasi pembuangan akhir sampah berpotensi melepaskan gas metan (CH4) yang mudah terbakar dan dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dan memberikan kontribusi terhadap pemanasan global.
Paradigma pengolahan sampah yang bertumpuh pada pendekatan akhir  (end of pipe) sudah saatnya ditinggalkan dan diganti dengan paradigma baru pengolahan sampah. Paradigma baru pengolahan sampah  yang dimaksud adalah sampah sebagai sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan, misalnya untuk energi (biogas), kompos, pupuk atau untuk bahan baku industri. Pengolahan sampah dilakukan dengan pendekatan yang komprehensip dari hulu sampai hilir dilakukan dengan prinsip 3R yaitu : pengurangan sampah meliputi Reduce (pembatasan), Reuse (penggunaan kembali) dan Recycle (pendauran ulang) yang sering disingkat dengan 3R, sedangkan kegiatan penanganan sampah meliputi pengumpulan, pengagkutan, pengolahan dan pemrosesan akhir. Paradigma baru pengolahan sampah tersebut di atas belum diterapkan di Kabupaten TTU sehingga sampai dengan saat ini sampah merupakan masalah yang belum terselesaikan, apalagi lokasi TPA belum di integrasikan di dalam RTRW Kabupaten..
Metode 3R ini sebenarnya bisa mengurangi jumlah sampah lebih dari 50%, karena sampah yang dibuang oleh masyarakat sebagian besar adalah sampah organik, selain itu manfaat berikutnya adalah masyarakat memperoleh pupuk organik yang apabila dikelola dalam skala yang cukup besar dapat pula meningkatkan pendapatan masyarakat melalui penjualan pupuk organik, apalagi sekarang lagi digalakan pemanfaatan bahan makanan yang menggunakan pupuk organik.  Diharapkan kedepan apabila penerapan 3R ini berhasil di Kabupaten TTU maka permasalahan sampah tidak akan menjadi masalah lingkungan hidup seperti yang banyak terjadi saat ini.

Penutup

SDA dan LH memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pembangunan dan sebagai penopang sistem kehidupan. Paradigma umum yang berkembang saat ini lebih menempatkan SDA dan LH sebagai sumberdaya ekonomis daripada sumberdaya ekologis. Kondisi tersebut berdampak pada pola pemanfaatan SDA dan LH yang lebih diarahkan pada kepentingan ekonomi semata dan kurang mempertimbangkan manfaat dan dampak pengelolaan sumberdaya alam secara ekologis.
Kebijakan lingkungan hidup sarat dengan aspek politik karena kuatnya keragaman pemikiran dan pendapat para pemangku kepentingan yang tata nilainya sering bertolak belakang. Tipologi keputusan yang dihasilkannya akan selalu diperangkap perdebatan etika, karena umumnya berkaitan dengan pilihan-pilihan: mana yang harus dikorbankan-mana yang harus diselamatkan, bagaimana mendistribusikan manfaat secara “adil”, atau bahkan memperjuangkan nasib kelompok yang tidak akan pernah terwakili dengan baik (misalnya generasi yang akan datang). Oleh sebab itu kebijakan pengelolaan SDA dan LH di Kabupaten TTU tidak bisa semata-mata bergerak di area ekologis saja, tetapi juga harus menjembataninya dengan isu-isu ekonomi maupun sosial-budaya sebagai pilar dari pembangunan berkelanjutan.

Daftar Bacaan

Manik, Karden, E,S, 2009, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Djambatan, Jakarta.
Soemarwoto, Otto, 2001, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta.
Sugandhy, Aca dan Hakim, Rustam, 2009, Prinsip Dasar Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan,Bumi Aksara, Jakarta.

SEJARAH MUSIK SULING BAMBU DI TIMOR

Oleh:   Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si Sejarah tentang suling bambu sudah sedemikan lama dan erat kaitannya dengan peradaban manus...