Oleh
Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si
Pendahuluan
Usaha tambang Mangan di Kawasan Timor Barat bila
di kaji dari aspek kesejahteraan dan perlindungan hak-hak perempuan sebenarnya
belum memberikan tingkat signifikansi yang mengarah kepada keadilan jender. Bahkan
disinyalir terdapat ketimpangan jender yang memberikan tekanan terhadap posisi
tawar perempuan yang lemah terhadap akses, kontrol, partisipasi dan penerimaan
manfaat terhadap usaha tambang Mangan yang ada.
Aktivitas Tambang Mangan Di Wilayah Kab.TTU |
Sebelum ada
usaha pertambangan Mangan, rakyat bebas mencari nafkah di tanah milik sendiri (rakyat
berdaulat) atas hak milik tanah untuk usaha subsistim (pertanian dan
peternakan), kondisinya berubah drastis setelah ada perusahaan tambang yang
masuk di Timor Barat mulai pada tahun 2008 telah menimbulkan hilangnya
kekuasaan rakyat atas tanah mereka dan bergeser menjadi buruh tambang.
Hubungannya dengan integrasi jender dapat di katakana bahwa pada saat sebelum
ada perusahaan tambang budaya jender didasarkan pada kompromi laki-laki dan
perempuan berdasarkan kultur lokal untuk mengelolah usaha pertanian rakyat
secara otonomi, dan setelah ada perusahaan tambang isu jender mulai bergeser
karena kompromi anatara laki-laki dan perempuan lebih didasarkan kepada
otoritas perusahaan tambang dan perusahaan lebih melihat jender dari kacamata
jenis kelamin (sexis) semata. Persoalannya bahwa sekarang apakah jender
mengalami perubahan (keadilan jender) yang
bersifat timbal balik atau bersifat linear sebelum dan sesudah ada
pertambangan perusahaan di wilayah Timor Barat. Hal lain yang tidak kala
penting bahwa ketika terjadi
perbedaan peran dan relasi jender dalam masyarakat sebagai akibat adanya
pertambangan Mangan, telah menciptakan suatu proses peminggiran (marginalisasi)
dan menghasilkan ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki yang
mengakibatkan terganggunya struktur sosial masyarakat, karena sumberdaya
penting biasanya lebih dikuasai oleh laki-laki ketimbang perempuan.
Isu Jender Dalam Usaha
Tambang Mangan Di Timor Barat
Gender adalah suatu konstruksi sosial yang
bervariasi lintas budaya, berubah sejalan perjalanan waktu dalam suatu
kebudayaan tertentu, bersifat relasional, karena feminitas dan maskulinitas
memperoleh maknanya dari fakta dimana masyarakat kitalah yang menjadikan mereka
berbeda (Wood, 2001 dalam Mugniesyah, 2007).Disamping itu, Fakih (1996)
mengartikan konsep gender sebagai sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun
perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Berdasarkan definisi
tersebut, diketahui bahwa gender tidak bersifat universal dan bersifat dinamis
dalam kerangka waktu tertentu. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa jenis
kelamin merupakan kodrat sedangkan gender bukanlah kodrat.
Beberapa
entry point yang menjadi persoalan
jender dalam usaha tambang Mangan di Kawasan Timor Barat dapat dikatakan bahwa:
(1) usaha tambang Mangan secara strategis belum mengintegrasikan
keadilan jender dan pemberdayaan perempuan dalam perlindungan lingkungan,
keadilan sosial dan keberdayaan ekonomi; (2) Peran dan relasi jender dalam pengelolaan usaha tambang Mangan
belum secara optimal; perempuan sering kali menerima dampak secara langsung
maupun tidak langsung dari usaha tambang Mangan dibandingkan dengan laki-laki;
(3) Terdapat perbedaan akses dan
kontrol perempuan dan laki-laki terhadap hak atas tanah dalam usaha
pertambangan Mangan; (4) Partisipasi
perempuan dalam pengambilan keputusan masih bersifat “penerimaan bersyarat” dalam
usaha tambang Mangan; (5) Perlindungan
kesehatan perempuan dan anak-anak, ketersediaan pangan dan air bersih, rasa
aman, dalam komunitas lingkungan tambang Mangan masih terbatas; (6) Bisnis pertambangan Mangan belum
memberikan dampak kesejahteraan terhadap komunitas sekitarnya bahkan cenderung
melemahkan struktur mata pencaharaian yang selama ini di praktekan; (7) Tidak adanya perlindungan khusus bagi perempuan
(perlindungan atas hak-hak reproduksi dan tindakan atas kekerasan) dalam usaha
pertambangan Mangan.
Potensi pelanggaran
yang mungkin terjadi pada usaha dan/atau kegiatan tambang Mangan di kawasan
Timor Barat, berkaiatan dengan beberapa aspek sebagai berikut: (a) Diskriminasi
jender dalam ketenagakerjan; (b) Kesehatan reproduksi; (c) Keberdayaan dalam
kegiatan ekonomi; (d) Kekerasan seksual; (e) Partisipasi dalam pengambilan
keputusan; dan (f) Keselamatan pekerja perempuan dan anak.
Dampak Tambang Mangan Terhadap Perempuan Di Timor
Barat
Salah satu konflik dalam dunia tambang yang cukup
serius adalah masalah jender atau ungkapan yang memparelelkan kegiatan
pertambangan sebagai “industri maskulin” yaitu suatu dunia yang memerlukan keberanian,
kerja berat, kerja keras dan dihubungkan dengan pekerjaan laki-laki. Karena
itu, kesan yang diperoleh mengenai seorang penambang adalah seorang laki-laki
tegap, dengan otot kaki dan tangan yang kekar yang diharapkan dengan mudah
dapat menggali. Namun kenyataannya kaum perempuan juga terlibat dalam usaha
pertambangan Mangan di kawasan Timor Barat, akibatnya.memiliki dampak yang
berdimensi gender. Perempuan-perempuan yang menjadi pekerja tambang menjadi
pihak-pihak yang terpinggirkan karena praktek-praktek ketidakadilan, dan
tindakan kekerasan yang terjadi selama aktivitas pertambangan. Faktanya kerap
kali, perempuan dijadikan pihak yang dirugikan. Beban
kerja perempuan meningkat karena perempuan bekerja berdasarkan uang hasil
pertambangan untuk membantu laki-laki dalam memperoleh tambahan pendapatan rumah
tangga dan perempuan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar terhadap rumah
tangga dan penyediaan makanan maupun perawatan anak melalui cara tradisional; kasus hampir di setiap lokasi tambang
Mangan di kawasan Timor Barat menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja perempuan
hampir seimbang dengan tenaga kerja laki-laki, dimana untuk penggalian tambang
dilakukan oleh laki-laki dan kaum perempuan dapat melakukan penyortiran atau pengangkutan.
Bahkan terdapat kesempatan ibu-ibu juga melakukan kegiatan domestik dengan membawa balita
dan anak di lokasi tambang, termasuk
aktivitas masak, makam, minum dan merawat anak.
Aktivitas usaha tambang Mangan yang melibatkan
kaum perempuan dari tahap penggalian, penyortiran, pencucian, pengepakan, pengangkutan
hingga pemasaran sangat berpotensi terjadinya bias jender semisal dalam budaya
patriarkis, peran perempuan terpinggirkan. Kontrol terhadap sumberdaya alam
yang menopang kehidupan perempuan sebagian besar masih jauh dari jangkauan perempuan
seperti hak milik atas tanah biasanya lebih dikuasai oleh laki-laki serta perempuan
menanggung tekanan fisik sekaligus mental akibat pertambangan, terutama bila
terjadi penggusuran tanah untuk aktivitas tambang Mangan.
Peralihan tenaga kerja dan mata pencaharian
dari kegiatan bertani ke kegiatan penambang telah membuat kondisi ketahanan
pangan rumah tangga dan masyarakat sangat terpuruk. Hal ini mengakibatkan
pendapatan ekonomi yang tadinya mulai meningkat akhirnya harus kembali ke
kondisi sebelumnya oleh karena aset yang diperoleh saat menambang harus dijual
kembali untuk membeli kebutuhan pangan rumah tangga; karena masyarakat belum
memiliki konsep untuk pengembangan usaha produktif dari uang hasil tambang
terutama perempuan tidak dapat mengelolah ekonomi rumah tangganya secara baik,
meskipun mereka mengetahui kalau persediaan deposit Mangan pada suatu waktu
akan habis;
Pengeluhan terhadap kondisi kesehatan
dengan rasa sakit yang berbeda terutama kaum perempuan dari sebelum menjadi
penambang, namun tidak ada kegiatan jaminan kesehatan bagi masyarakat dan
perusahaan kurang memperhatikan alat pelindung diri dalam sistim Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3) penambang sehingga telah menyebabkan permpuan meninggal
ataupun cacat fisik.
Pelajaran Yang Dipetik
Jika tambang Mangan
ingin berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan yang responsif jender:
1) Memahami dampak tambang bagi lingkungan dan bagi perempuan maupun laki-laki;terutama perbedaan akses dan kontrol perempuan terhadap hak atas tanah;
2) Memastikan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan
tanpa tekanan tentang pembukaan tambang – setelah mendapat pemahaman yang
menyeluruh tentang tambang dan dampaknya. “The rights to say No or Yes”; pengambilan keputusan harus didahului
pemahaman tentang tambang dan konsekuensinya dan harus bisa memutuskan tanpa
tekanan;
3) Memastikan perlindungan perempuan dan anak di komunitas
lingkungan tambang Mangan; dengan terselenggranya pendidikan anak dalam
komunitas lingkungan tambang dan mencegah anak melakukan pekerjaan dalam
tambang atau pekerjaan lain di lingkungan tambang yang membahayakan tumbuh
kembangnya anak;
4) Memastikan kedaulatan pangan dan ketersediaan air
bersih masyaraat di komunitas pertambangan dan tidak mengalami gangguan terhadap pekerja
tambang;
5) Memastikan tidak terjadi konflik antara masyarakat
setempat dan masyarakat pendatang yang bekerja di tambang – pemenuhan rasa aman
bagi perempuan dan anak;
6) Memastikan tidak adanya eksploitasi perempuan dan anak
perempuan yang diakibatkan oleh adanya tambang Mangan;
7) Dalam setiap tahap pertambangan (Pra penambangan, Penambangan
dan Pasca Penambangan) harus mendudukkan perempuan sebagai agen pelaku dan
pemanfaat dengan mendudukan keadilan jender pada posisi yang strategis.
Daftar Bacaan
Fakih, Mansour. 1996. Analisis
Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Mugniesyah, Siti Sugiah, 2007. Gender, Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan
dalam Ekologi Manusia. Editor Soeryo Adiwibowo. Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar