Minggu, 27 November 2011

PARTISIPASI MASYARAKAT LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP


Oleh
Beny. Ulu Meak

1.    Pendahuluan
Peranan Sumberdaya Alam (SDA) dan Lingkungan Hidup (LH) sangat penting dalam pembangunan nasional maupun pembangunan di daerah, baik sebagai penyedia bahan baku bagi pembangunan ekonomi maupun sebagai pendukung sistem kehidupan sosial, namun hal yang harus dipahami bahwa SDA dan LH mempunyai keterbatasan dan dapat mengalami penurunan dalam hal kualitas maupun kuantitasnya. Penurunan kualitas dan kuantitas ini dapat menyebabkan kondisi SDA dan lingkungan hidup kurang atau tidak dapat berfungsi lagi untuk mendukung kehidupan makhluk hidup yang ada di dalamnya termasuk manusia.Oleh karena itu sesuai dengan fungsinya tersebut,maka SDA dan lingkungan hidup perlu dikelola dengan bijaksana agar pembangunan serta keberlangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya dapat terjaga dan lestari saat ini dan di masa yang akan datang, dimana salah satunya adalah dengan pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaannya.
Masalah lingkungan yang sering timbul tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor sosial dan politik. Tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa distribusi kekuasaan yang tidak merata menjadi penyebab ketimpangan akses terhadap lingkungan antara pengusaha dan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan di satu pihak dengan masyarakat yang dikuasai dipihak lain. Lebih lanjut ketimpangan ini sering menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan tanpa rumusan resolusi konflik yang jelas. Dari sinilah pendekatan baru harus disertakan, yaitu partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan pengelolaan SDA dan  LH.Hal inilah yang menjadi alasan penting berkaitan dengan partisipasi masyarakat lokal ini yaitu untuk menghasilkan masukan dan persepsi yang berguna dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan yang berkaitan dengan lingkungan.Upaya pelibatan masyarakat lokal dapat dijadikan sarana memahami budaya masyarakat yang tinggal di wilayah yang akan dieksploitasi, mendiskripsikan hubungan antara masyarakat dengan SDA dan LH yang dieksploitasi, antara masyarakat dengan masyarakat dan pada akhirnya untuk mencari solusi kemungkinan pengembangan masyarakat lokal (community development).

2.    Pengertian Partisipasi Masyarakat
Steni (2009) menyatakan bahwa secara etimologis partisipasi berasal dari kata  “participation” (bahasa Inggris) yang artinya pengambilan bagian. Sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan “participatie” yang artinya penyertaan.Bahasa Indonesia kemudian menerjemahkan partisipasi sebagai perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan.Dengan demikian ada dua hal pokok dalam partisipasi yakni mengambil bagian dan penyertaan atau berperan serta.Menurut Hikmat (2008), banyak definisi yang dikemukakan para ahli tentang partisipasi. Namun secara harafiah, partisipasi berarti "turut berperan serta dalam suatu kegiatan”, “keikutsertaan atau peran serta dalam suatu kegiatan”, “peran serta aktif atauproaktif dalam suatu kegiatan”. Partisipasi dapat didefinisikan secara luas sebagai  bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat secara aktif dan sukarela, baik karena alasan-alasan dari dalam dirinya (intrinsik) maupun dari luar dirinya (ekstrinsik) dalam keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan.Sedangkanmenurut Hoofsteede (1971) yang disetir oleh Khairuddin (2000),participation berarti ”The taking part in one or more phases of the process” atau mengambil bagian dalam suatu tahap atau lebih dari suatu proses, dalam hal ini proses pembangunan. Lebih lanjut Abe (2005)mengemukakan, melibatkan masyarakat secara langsung akan membawa dampak penting, yaitu : terhindar dari peluang terjadinya manipulasi.memperjelas apa yang sebenarnya dikehendaki oleh masyarakat,ada nilai tambah pada legitimasi rumusan perencanaan karena semakin banyak jumlah mereka yang terlibat akan semakin baik.
Partisipasi dapat dijelaskan dalam ; apa (what) jenis partisipasi yang dilakukan, siapa (who) yang melakukan partisipasi itu dan  bagaimana (how) partisipasi itu berlangsung (Cohem dan Uphoff,1977) dan  partisispasi itu hendaknya tidak dimaksimalkan atau digunakan dimana-mana dengan tingkat yang serupa, tetapi sebaiknya partisipasi itu dioptimalkan dengan menyesuaikan kondisi dimana partisipasi itu dilaksanakan (Esman dan Uphoff, 1984).
Partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok yaitu kelompok masyarakat yang terkena kebijakan dengan kelompok pengambil keputusan. Canter (1977) dalam Luwihono (2007) mendefinisikan partisipasi  masyarakat sebagai proses komunikasi dua arah yang terus menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat atas suatu proses dimana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan sedang dianalisa oleh badan yang bertanggungjawab. Secara sederhana ia mendefinisikan sebagai feed forward information (komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan feedback information (komunikasi dari masyarakat ke pemerintah atas kebijakan itu).Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa partisipasi masyarakat sebenarnya merupakan instrumen hubungan timbal balik dalam memberikan informasi yang berkaitan dengan lingkungan. Hubungan timbal balik antara pemerintah dan pengusaha dengan masyarakat dapat dijadikan instrumen untuk mewujudkan keselarasan hubungan sosial antara dua kelompok beda kepentingan dalam upaya pengelolaan SDA dan  lingkungan hidup.Tujuan lebih lanjut adalah untuk mempersempit kesenjangan akses terhadap lingkungan antara dua kelompok masyarakat yang terjadi selama ini. Ada harapan dibalik pendekatan partisipatif tersebut yaitu supaya ada kebijakan yang “lebih baik”, yaitu kebijakan yang lebih memberikan manfaat pada masyarakat berupa diperolehnya kesejahteraan.

3.Mengapa Harus Partisipatif Dalam Pengelolaan SDA dan Lingkungan Hidup?

Pembangunan pada dasarnya harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya, untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang lebih serba baik, secara material maupun spritual (Todaro, 1989), Oleh karenanya untuk mencapai keberhasilan pembangunan tersebut maka banyak aspek yang harus diperhatikan, diantaranya adalah keterlibatan masyarakat di dalam pembangunan. Asumsi para pakar yang berpendapat bahwa semakin tinggi kepedulian atau partisipasi masyarakat pada proses-proses pengelolaan SDA dan LH akan memberikan output yang lebih optimal.Semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan, maka semakin tinggi pula tingkat keberhasilan yang akan dicapai. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan faktor utama dalam menentukan keberhasilan pembangunan.Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dan pengelolaan SDA dan LH merupakan dua terminologi yang tidak dapat dipisahkan.Pandangan ini secara rasional dapat diterima, karena secara ideal tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, oleh karena itu sangatlah pantas masyarakat terlibat di dalam pengelolaan SDA dan LH.
Alasan lain oleh Korten dalam Supriatna (2000) mengatakan bahwa pembangunan yang berorientasi pada pembangunan manusia, dalam pelaksanaannya sangat mensyaratkan keterlibatan langsung pada masyarakat penerima program pembangunan, maka hasil pembangunan ini akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dengan adanya kesesuaian ini maka hasil pembangunan akan memberikan manfaat yang optimal bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah adanya partisipasi masyarakat penerima program. Begitu juga menurut Conyers, (1991) dalam Slamet (1994), yang mengatakan terdapat tiga alasan utama mengapa partisipasi masyarakat menjadi sangat penting dalam pembangunan, yaitu: (1) partisipasi merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal;(2) masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut; dan (3) adanya anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat sendiri.
Berdasarkan pada konsep di atas, maka dapat dikemukakan bahwa sintesa perlunya partisipasi dalam pengelolaan SDA dan LH yaitu : (1) adanya penguatan rasa tanggungjawab oleh masyarakat lokal; (2) menjamin efeisiensi keberhasilan pembangunan; dan (3) secara teknis  partisipasi masyarakat dapat membantu proses pelaksanaan program pengelolaan SDA dan LH.

4.Pembangunan Partisipasi dalam Pengelolaan SDA dan Lingkungan Hidup
Dalam praktek eksploitasi SDA,seringkali pengusaha yang didukung dengan kebijakan pemerintah menghindar dari pendekatan partisipatif dengan melibatkan masyarakat lokal. Pendekatan partisipatif dianggap akan memakan waktu yang lama dalam proses-proses perencanaan dan analisis yang akhirnya berdampak pada terhambatnya kebijakan atau proyek. Bagi kalangan pengusaha, pelibatan masyarakat lokal dipandang hanya akan menambah beban biaya dan memperpanjang operasional proyek yang bisa mendatangkan kerugian atas investasinya. Padahal apabila dipahami dengan baik pendekatan partisipatif ini akan mengurangi potensi timbulnya konflik lingkungan yang justru dapat menekan biaya sosial yang mungkin timbul. Dengan melibatkan masyarakat yang tinggal di wilayah yang akan terkena kebijakan, proyek atau program, dimungkinkan antara lain merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima dan dapat membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian suatu program yang terkait dengan eksploitasi lingkungan. Dengan melibatkan masyarakat lokal yang akan terkena dampak kegiatan, para pengambil keputusan dapat menangkap pandangan, kebutuhan dan pengharapan dari masyarakat lokal tersebut dan menuangkannya dalam konsep yang dapat membantu pengambil keputusan untuk menentukan prioritas, kepentingan dan arah yang positif dalam berbagai faktor (Luwihono, 2007).
Menurut pendapat Sastropoetro (1988) ada 5 (lima) unsur penting yang menentukan gagalnya dan/atau berhasilnya partisipasi, yaitu :
1.         Komunikasi yang menumbuhkan pengertian yang efektif atau berhasil
2.    Perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku yang diakibatkan oleh pengertian yang menumbuhkan kesadaran
3.         Kesadaran yang didasarkan pada perhitungan dan pertimbangan
4.    Enthousiasme yang menumbuhkan spontanitas, yaitu kesediaan melakukansesuatu yang tumbuh dari dalam lubuk hati sendiri tanpa dipaksa orang lain
5.         Adanya rasa tanggungjawab terhadap kepentingan bersama.

5. Tingkatan Keterlibatan Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Menurut Chapin dan Goldhamer dalam Slamet (1994) mengatakan bahwa skala pengukuran peran serta masyarakat dapat dilihat dari beberapa indikator seperti: (1)  Frekuensi kehadiran anggota kelompok dalam pertemuan; (2) Keaktifan anggota kelompok dalam berdiskusi; (3) Keterlibatan anggota dalam kegiatan fisik dan (4) Kesediaan memberi iuran rutin atau sumbangan berbentuk uang yang telah ditetapkan. Selanjutnya oleh Luwihono (2007) menyatakan bahwa  pelibatan masyarakat lokaldalam pengelolaan lingkungan hidup,seharusnya sudah dilakukan lebih awal yaitu dalam tahapan perencanaan, sehingga masyarakat dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan sejak dini. Apabila proses pelibatan masyarakat benar-benar untuk tujuan mencapai hasil yang optimal tidak hanya bagi pemrakarsa/investor tetapi juga bagi masyarakat, maka partisipasi hendaklah bukan dipandang sebagai kegiatan formalitas yang sekedar untuk memperoleh legitimasi publik.Selanjutnya dikatakan juga bahwa untuk mengatasi hambatan dalam pendekatan partisipatif, penguatan pengetahuan masyarakat lokal tentang lingkungan, pengelolaan dan bahayanya menjadi prioritas utama yang harus diperhatikan oleh Pemerintah.Upaya penguatan pengetahuan masyarakat lokal ini akan memperkuat posisi masyarakat dalam berkomunikasi dengan pihak pemrakarsa proyek. Dampak lebih lanjut adalah terjadinya proses komunikasi yang lancar antara kelompok berbeda kepentingan tersebut.
Kemudian oleh Sastropoetro (1988) menjelaskan bahwa faktor  yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat, yaitu :
1. Pendidikan, kemampuan membaca dan menulis, kemiskinan, pendidikansosial dan percaya pada diri sendiri;
2.   Faktor lain adalah penginterpretasian yang dangkal terhadap agama;
3. Kecenderungan untuk menyalahartikan motivasi, tujuan dan kepentinganorganisasi penduduk yang biasanya mengarah kepada timbulnya persepsiyang salah terhadap keinginan dan motivasi serta organisasi penduduk;
4.   Kesediannya kesempatan kerja yang lebih baik di luar pedesaan;
5.   Tidak terdapatnya kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai programpembangunan.
Berdasarkan pada asumsi yang dikemukan di atas maka secara umum dapat dikatakan bahwa  keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup dipengaruhi oleh faktor : keadaan ekonomi, tingkat pendidikan dan kebutuhan lapangan pekerjaan.

Daftar Pustaka
Abe, A,2002,Perencanaan Daerah Partisipatif, Pondok Edukasi,Solo
Cohem, J.M dan Uphoff, Norman,T., 1977, Rural Development Participation, Cornell University Press, New York.
Esman, Milton J., dan  Uphoff ,Norman, T.. 1984. Organisasi Daerah: Mediator dalam Pembangunan Pedesaan.Cornell University Press, Ithaca.
Hikmat,H,2008.,Konsep Pemberdayaan Partisipasi dan Kelembagaan dalam Pembangunan,Makalah,Yayasan Agribisnis/Pusat Pengembangan Masyarakat Agrikarya (PPMA) dalam http://suniscome.50webs.com/pdf,  Diakses tanggal 25 September 2010.
Khairuddin,2000.,Pembangunan Masyarakat, Tinjauan Aspek Sosiologi,Ekonomi dan Perencanaan,Liberty, Yogjakarta.
Luwihono,S,2007.,Optimalisasi Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup-Upaya Mewujudkan Keseimbangan Akses Terhadap Lingkungan,Makalah,Pusat Penelitian Politik Lokal, Lembaga Percik, Salatiga
Sastropoetro.S.1998..Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin Dalam Pembangunan Nasional. Bandung.Penerbit Alumni
Slamet. Y,1994.,Pembangunan Masyarakat Berwawasan Peran Serta.Sebelas Maret University Press,Surakarta.
Steni. B, 2009.,Desentralisasi, Koordinasi Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Pasca Otonomi Daerah, Makalah  dalam http://www.huma.or.id, Diakses 2 Oktober 2010.
Todaro, Michael P.,1989.Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Edisi-Terjemahan.Erlangga, Bandung.

Minggu, 16 Januari 2011

DESA MANDIRI LINGKUNGAN (DML)

( Sebuah Inisiatip Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup Berbasis Masyarakat)


Oleh :

Beny. Ulu Meak

Mahasiswa Pasca Sarjana,Program Studi Ilmu Pengelolaan SDA dan Lingkungan (IPSAL)
Universitas Nusa Cendana -Kupang


Dewasa ini isu pengelolaan Sumberdaya Alam (SDA) dan lingkungan hidup menjadi sesuatu yang penting untuk ditelaah karena proses pembangunan tidak dapat dipisahkan dari kerusakan lingkungan hidup. Sebenarnya korelasi antara pembangunan dan lingkungan hidup sangat sederharna untuk di telaah manakala di dalam proses pembangunan itu tidak terdapat ekstrasi/eksploitasi SDA dan lingkungan hidup secara berlebihan (over-exploitation),tidak ramah lingkungan dan kurang memperhatikan aspek keberlanjutan (suistanable). Oleh karena itu demi keberhasilan usaha pelestarian SDA dan lingkungan hidup, masyarakat lokal perlu mempunyai keberdayaan dan kemandirian agar mampu berperan aktif melalui mekanisme manajemen partisipatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Supriatna (2000) bahwa konsep pembangunan yang menitikberatkan pada pembangunan sosial dan lingkungan bertujuan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dengan strategi pembangunan berkelanjutan yang bercirikan pada pelayanan sosial dan orientasi manusia melalui partisipasi masyarakat dalam pembangunan.Partisipasi merupakan perwujudan dari berubahnya paradigma mengenai peran masyarakat dalam pembangunan. Masyarakat bukanlah sekedar penerima manfaat (beneficiaries) atau objek belaka, melainkan agen pembangunan (subjek) yang mempunyai porsi yang penting.

Mengacu kepada Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (pasal 2) ,dikatakan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan atas beberapa asas diantaranya adalah asas partisipatif dan selanjutnya pada (pasal 3) dinyatakan bahwa salah satu tujuan dari pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia.Arahan ini mengharuskan agar di dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, masyarakat dapat memperoleh kedaulatan atas lingkungan itu sendiri dengan memberikan wewenang (authority) dan kekuasaan (power) lepada masyarakat. Dimana masyarakat lokal harus dapat berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang dimulai dari sejak proses perencanaan,pelaksanaan, pengawasan serta evaluasi suatu program pengelolaan lingkungan hidup dengan tetap memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan sebuah masyarakat tersebut.

Oleh karena itu ,upaya pendekatan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup yang kolaboratif dan partisipatif merupakan alternatif untuk menjawab tantangan degradasi SDA dan lingkungan. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa masyarakat lokal memiliki kepentingan dan keterkaitan dengan SDA dan lingkungan di sekitarnya sehingga penting dilibatkan dalam pengelolaan tersebut. Di samping itu, masyarakat lokal akan mau memberikan komitmen jangka panjang dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup apabila ada kepastian akses manfaat dan akses kepada proses pengambilan kebijakan dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup. Salah satu model yang sekarang diinisiatif untuk dikembangkan oleh berbagai pihak yang menekankan pelibatan dan pemberdayaan masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup adalah model “ Desa Mandiri Lingkungan”.

Desa Mandiri Lingkungan (DML) adalah sebuah pendekatan model pengelolaan SDA dan lingkungan hidup yang memberi peluang kepada masyarakat lokal untuk terlibat secara aktif dalam upaya perlindingan dan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup. Model ini juga memberi peluang kepada masyarakat untuk mendapat akses yang aman untuk pemanfaatan kawasan SDA dan lingkungan hidup sehingga dapat menjamin komitmen jangka panjang mereka untuk mendukung pembangunan berkelanjutan (keseimbangan ekonomi,lingkungan dan social). Model dari akses pemanfaatan ini bisa berbeda dari satu kawasan ke kawasan lain tergantung pada kesepakatan dengan pihak yang berwenang dalam pengelolaan kawasan itu dan karaketristik dasar dari masyarakat lokal maupun fungsi kawasan ekologi yang ada. Dalam mengembangkan model Desa Mandiri Lingkungan (DML) , menekankan prinsip "PAKKAR" yaitu:
(1). Partisipasif : melibatkan seluruh elemen masyarakat terutama bagi kelompok marginal sebagai pelaku kegiatan ; (2). Adaptif ; menggunakan pendekatan dan metode yang sesuai dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat/kearifan lokal ; (3). Kolaboratif :masyarakat lokal bekerja sama dengan pihak luar untuk menentukan prioritas dan pihak luar bertanggungjawab langsung terhadap proses pelaksanaan; (4). Koordinatif: Masyarakat lokal melakukan hubungan konsultatif dengan pihak luar (stakeholder) untuk memperoleh informasi dan pengembangan berbagai teknologi spesifik lokal.;dan (5) Analiasa unit dan perencanaan secara berjenjang:analisa lingkungan dan keberadaan SDA dengan pengelolaan yang perlu dilakukan pada berbagai tingkatan yang saling berhubungan yaitu mulai dari kebun petani,sub kawasan dan kawasan di lingkungan desa; serta (6). Ramah lingkungan: pelaksanaan kegiatan disesuaikan dengan fungsi kawasan itu dan tidak menggunakan input luar yang tinggi.

Selanjutnya rambu-rambu dalam pengembangan Desa Mandiri Lingkungan adalah:
• Tidak mengubah fungsi kawasan ekologi yang ada;
• Tidak memberikan hak kepemilikan terhadap lahan;
• Diberikan hak pemanfaatan kawasan;
• Terintegrasi dengan program pembangunan daerah setempat;
• Adanya komitmen para pihak terkait;
• Masyarakat dilibatkan dalam pengelolaan kawasan;
• Masyarakat mendapatkan manfaat, baik langsung maupun tidak langsung.

Lebih lanjut Carter (1996) mengemukakan bahwa konsep pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan berbasis masyarakat memiliki beberapa aspek positif yaitu; (1) mampu mendorong timbulnya pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan; (2) mampu merefleksikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik; (3) mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada; (4) mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomis maupun teknis; (5) responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal; (6) mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen; serta (7) masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan.

Dengan demikan dikatakan bahwa model Desa Mandiri Lingkungan mengasumsikan bahwa, (1) Masyarakat dapat mengidentifikasi kebutuhan atau masalahnya sendiri dan dapat melaksanakannya sesuai kemampuan-potensi yang ada ; (2) Masyarakat memiliki pengalaman melaksanakan kegiatan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup secara swadaya; (3) Pembangunan bukan hanya tugas dan tanggungjawab pemerintah tetapi juga tugas dan tanggung jawab masyarakat.Jika model DML dihubungkan dengan pendekatan pembangunan pedesaan yang berwawasan lingkungan untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam upaya kemandirian untuk melestarikan lingkunga hidup di pedesaan (Adisasmita,2006).

Daftar Bacaan

-------------------.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kementrian Sekretariat Negara, Indonesia, Jakarta.
Adisamita,R.,2006.,Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan,Graha Ilmu,Yogyakarta.

Carter, J.A. 1996. Introductory Couse on Integrated Coastal Zone Management (Training Manual). Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatra Utara, Medan dan Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia, Jakarta; Dalhousie University, Environmental Studies Centres Development in Indonesia Project.

Supriatna. T, 2000, Strategi Pembangunan dan Kemiskinan,Rineka Cipta, Jakarta.

SEJARAH MUSIK SULING BAMBU DI TIMOR

Oleh:   Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si Sejarah tentang suling bambu sudah sedemikan lama dan erat kaitannya dengan peradaban manus...