Rabu, 27 Februari 2013

ANALISIS SITUASIONAL DAN ISU STRATEGIS PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP DI KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA-NTT


Oleh
Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si


Analisis Situasional Pembangunan Lingkungan Hidup

Peranan  Simberdaya Alam (SDA) dan Lingkungan Hidup (LH) sangat penting dalam pembangunan daerah Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), baik sebagai penyedia bahan baku bagi pembangunan ekonomi maupun sebagai pendukung sistem kehidupan masyarakat. Sesuai dengan fungsinya tersebut,SDA dan LH perlu dikelola dengan bijaksana agar dapat terjaga dan lestari untuk generasi saat ini dan di masa yang akan datang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (Sustainable development). Disamping itu karena lonjakan jumlah penduduk di Kabupaten TTU akan berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan akan SDA untuk bahan baku industri maupun kebutuhan konsumsi. Peningkatan kebutuhan tersebut dapat berakibat pada peningkatan pemanfaatan SDA secara berlebihan dan tidak ramah lingkungan yang pada akhirnya akan menurunkan daya dukung dan daya tampung atau fungsi dari LH. Kondisi ini sudah mulai dirasakan di Kabupaten TTU, terutama timbulnya permasalahan pemenuhan akan kebutuhan pangan, energi serta kebutuhan akan sumberdaya air di berbagai wilayah Kecamatan, adanya perubahan iklim mikro dan cuaca yang cukup ekstrim maupun terhadap perubahan lingkungan biologis  terutama di kawasan perdesaan.

Potret lahan kering Di Kab.TTU- NTT
Hal yang mendorong terjadinya berbagai fenomena ini dikarenakan  penduduk terus berlomba mencari nafkah dalam mendukung kehidupan sehari-harinya dengan memanfaatkan berbagai potensi SDA dan LH yang ada sehingga cenderung bersifat destruktif dan tidak lagi memperhatikan  daya dukung dan daya tampung dari LH tersebut. Persoalan yang timbul antara lain  adanya konversi lahan dan penebangan hutan secara berlebihan; apalagi ditambah dengan kebiasaan penduduk melaksanakan pola usaha tani lahan kering secara beringsut dan sistim tebas bakar (istilah lokal =“Kono”), maka dapat menyebabkan nilai kesuburan tanah/lahan menjadi berkurang dan pada gilirannya berpengaruh terhadap produktivitas hasil usaha pertanian yang relatif akan berkurang juga. Persoalan lainnya, bahwa pandangan SDA dan LH merupakan  milik bersama (common property resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open access), sehingga setiap pengguna sumberdaya berkeinginan untuk memaksimalkan keuntungan sebesar-besarnya yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan  SDA dan pencemaran LH serta konflik pemanfaatan ruang  sebagai akibat  dari over-eksploitasi dan deplesi terhadap ketersediaan potensi SDA (Soemarwoto,2001).
Berdasarkan pada hasil analisa pengujian  kualitas air (air permukaan, air limbah, air laut) dan kualitas udara maupun kualitas tanah untuk produksi biomassa di Kabupaten TTU pada tahun 2010, dapat dikatakan bahwa tingkat pencemaran  lingkungan belum memberikan dampak yang signifikan terhadap gangguan kehidupan manusia dan daya dukung lingkungan karena secara fisik data-data analisis masih berada di bawah standar baku  mutu yang dipersyaratkan. Namun di sisi lain telah terjadi perubahan kondisi ekologis secara umum yang telah menyebabkan berkurangnya keanekaragaman hayati; terutama parameter Indeks Nilai Penting (INP) flora dan fauna, sebagai akibat dalam  persaingan usaha di bidang LH (seperti kasus pertambangan Marmer dan Mangan) maupun perburuan liar dan penebangan hutan secara tidak syah, telah menyebabkan kondisi kualitas hutan merosot dengan; berkurangnya  keanekaragam flora dan fauna bahkan potensi untuk punah seperti : Rusa Timor (Cervus timorensis), Kakatua (Cacatua sulphurea), Ayam Hutan Merah (Gallus gallus), Gagak Hitam (Corvus corone), Merpati (Columba livia), Cendana (Santalum album), Gaharu (Aquilaria malaccensis), Ampupu (Eucalyptus urophylla). Hal ini sesuai dengan pendapat Manik (2009) bahwa pemanfaatan SDA yang tidak terkontrol akan menyebabkan terganggunya kualitas LH serta kelangsungan hidup berbagai makhluk hidup lainnya.
Secara umum  indikator dan parameter kerusakan  SDA dan pencemaran LH harus terus dikelola dan diawasi agar diketahui tingkat pencemaran dan kerusakannya sehingga dapat dirumuskan strategi yang tepat untuk mengatasi  dan menanggulangi persoalan yang mungkin akan terjadi di kemudian hari.Pengembangan SDA dan LH difokuskan untuk mendukung peningkatan ekonomi rakyat dengan fokus wiilayah perlindungan dan pengelolaan di prioritaskan pada kawasan cagar alam Mutis (2 Ha), kawasan DAS Benenain (wilayah tengah) = 150,080 Ha, kawasan sentra pertanian/perkebunan rakyat, kawasan wilayah pesisir = 50 Km dan laut = 900 Km² dan kondisi lingkungan permukiman padat penduduk untuk tetap menjaga keseimbangan ekologis.

Isu Strategis Pembangunan Lingkungan Hidup

1) Terbatasnya tatalaksana  upaya  perlindungan dan pengelolaan  yang mendukung fungsi pelestarian SDA dan LH di daerah;
Berbagai upaya untuk menanggulangi kerusakan lingkungan hidup telah dilakukan namun potensi pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan hidup masih terus terjadi sebagai akibat  pertambahan jumlah penduduk setiap tahunnya maupun pencemaran dari aktivitas usaha kecil (home industry), pembangunan infrastruktur, eksploitasi sumberdaya mineral Mangan, limbah domestik serta teknologi yang tidak ramah lingkungan terus berjalan. Di beberapa lokasi, tingkat pencemaran terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati (kehati) cenderung menurun bahkan teracam punah. Akibatnya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dalam mendukung program-program pembangunan menjadi menurun, sehingga diperlukan pengelolaan lingkungan hidup yang terintegrasi  dan terpadu dari hulu ke hilir dengan pendekatan lintas sektoral (Sugandhy dan Hakim, 2009). Permasalahan lainnya yang dihadapi dalam penanganan kerusakan lingkungan adalah terbatasnya produk regulasi daerah dan lemahnya penegakan hukum lingkungan, rendahnya kapasitas sumber daya manusia masyarakat dan institusi pengelola LH. Selain itu, ketersediaan sistem data dan informasi juga masih perlu diperbaiki. Hal ini mempengaruhi ketepatan perencanaan, monitoring dan evaluasi penanganannya.

2) Perlindungan dan pengelolaan LH dengan  tidak memperhatikan ketersediaan  fungsi pelestarian (daya dukung dan daya tampung)
Sampai saat ini, upaya untuk meningkatkan manfaat SDA dan peningkatan kualitas LH terus dilakukan. Meskipun demikian, permasalahan pemanfaatan SDA yang belum memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup masih dihadapi yang mengakibatkan daya dukung lingkungan menurun dan ketersediaan SDA semakin menipis. Penurunan kualitas SDA ditunjukkan dengan tingkat eksploitasi hutan yang semakin mengkhawatirkan akibat terjadinya pembalakan liar (illegal logging), meluasnya kebakaran hutan dan lahan, penambangan liar, rusaknya wilayah laut akibat penangkapan ikan yang melanggar dan merusak (illegal  and destructive fishing-over fishing). Selain itu, meningkatnya konversi hutan alam, dan meluasnya alih fungsi lahan pertanian dan tambak untuk kegiatan ekonomi lainnya juga mempengaruhi tingkat produksi pangan yang dapat mengancam ketahanan pangan daerah.

3)    Adanya potensi gangguan terhadap kerusakan dan pencemaran Lingkungan  Hidup;
Pembangunan bidang SDA dan LH dilaksanakan untuk dapat mencegah dan mengantisipasi akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan pembangunan dan pemanfaatan SDA. Meningkatnya kegiatan usaha pertambangan Mangan telah mengakibatkan potensi gangguan terhadap pencemaran SDA dan LH terutama pencemaran air telah terindikasi adanya kandungan Mangan (Mn) pada sumber-sumber mata air di lokasi pertambangan seperti Mata Air seperti di Desa Sifaniha, Kecamatan Biboki Anleu (Lokasi Pertambangan Mineral Mangan)  sebesar  0,027 mg/l, walaupun masih berada di bawah baku mutu yang dipersyaratkan  yaitu sebesar 1,00 mg/l ataupun di lokasi penambangan lainnya.
Potensi kerusakan LH lebih disebabkan oleh faktor manusia dalam upaya penggunaan SDA yang berlebihan, sehingga telah, menimbulkan deplesi dan kemerosotan kualitas maupun kuantitas dari daya dukung SDA itu sendiri seperti : praktek perlandangan berpindah dengan sistim tebas bakar atau “ kono “ (istilah lokal) yang masih marak dilakukan oleh masyarakat.

4)   Adanya Ancaman perubahan iklim dan pemanasan global (global warming)
Kabupaten TTU  sebagai wilayah tropis dengan topografi yang berbukit, dikategorikan sebagai salah satu wilayah yang rentan terhadap perubahan iklim. Dampak perubahan iklim sudah menjadi ancaman yang cukup serius bagi lingkungan. Tanda-tanda dari dampak perubahan iklim di wilayah ini dapat dilihat dari adanya kenaikan temperatur udara, perubahan curah hujan, dan perubahan cuaca yang ekstrim. Kondisi ini menyebabkan terjadinya bencana kekeringan, banjir, tanah longsor, angin taupan dan bencana alam lainnya seperti serangan hama belalang Kumbara (Locusta migratoria) yang pernah terjadi di sebagian wilayah Kabupaten TTU pada tahun 2006 dan 2008.

5)   Pengetahuan dan kesadaran masyarakat yang masih terbatas terhadap upaya Pelestarian   SDA dan LH  
Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan SDA untuk mendukung pembangunan ekonomi adalah masih belum optimalnya pemanfaatan SDA  untuk pembangunan. Hal ini ditandai dengan tingginya tingkat eksploitasi sumber daya hutan/lahan dan energi untuk pembangunan, masih rendahnya pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut dibanding potensinya, serta masih kurang optimalnya usaha pertanian,perikanan dan kehutanan dalam mendorong ketahanan pangan dan perekonomian daerah karena pengetahuan dan kesadaran masyarakat yang masih terbatas.

6)   Degradasi Hutan dan Lahan
Praktek perladangan  dengan pola tebas bakar tanpa adanya upaya konservasi tanah yang sudah berlangsung sejak lama menyebabkan terjadinya kerusakan sumber daya alam di kabupaten TTU,  yang pada akhirnya menyebabkan degradasi sumber daya alam. Perusakan hutan dalam bentuk penebangan liar,  kebakaran dan pengembalaan liar di Kabupaten TTU sudah berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Luas lahan kritis cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya karena upaya rehabilitasi tidak seimbang dengan laju degradasi hutan dan lahan.

7)   Persampahan
Masalah persampahan merupakan permasalahan lama yang sampai dengan saat ini belum terselesaikan dengan baik. Salah satu contoh yang sering kita saksikan adalah permasalahan persampahan di Kota Kefamenanu dari tahun ke tahun belum bisa diselesaikan, mulai dari sumber sampah dan Tempat Pengelolaan Sementara (TPS) dan Tempat Pengelolaan Akhir Sampah (TPA).  Selama ini masyarakat masih memandang sampah sebagai barang sisa yang tidak berguna dan bukan sebagai sumber daya yang perlu dimanfaatkan. Masyarakat dalam mengelola sampah masih bertumpuh pada pendekatan akhir (end of pipe), yaitu sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke tempat pemrosesan akhir sampah. Timbunan sampah dengan volume yang besar di lokasi pembuangan akhir sampah berpotensi melepaskan gas metan (CH4) yang mudah terbakar dan dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dan memberikan kontribusi terhadap pemanasan global.
Paradigma pengolahan sampah yang bertumpuh pada pendekatan akhir  (end of pipe) sudah saatnya ditinggalkan dan diganti dengan paradigma baru pengolahan sampah. Paradigma baru pengolahan sampah  yang dimaksud adalah sampah sebagai sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan, misalnya untuk energi (biogas), kompos, pupuk atau untuk bahan baku industri. Pengolahan sampah dilakukan dengan pendekatan yang komprehensip dari hulu sampai hilir dilakukan dengan prinsip 3R yaitu : pengurangan sampah meliputi Reduce (pembatasan), Reuse (penggunaan kembali) dan Recycle (pendauran ulang) yang sering disingkat dengan 3R, sedangkan kegiatan penanganan sampah meliputi pengumpulan, pengagkutan, pengolahan dan pemrosesan akhir. Paradigma baru pengolahan sampah tersebut di atas belum diterapkan di Kabupaten TTU sehingga sampai dengan saat ini sampah merupakan masalah yang belum terselesaikan, apalagi lokasi TPA belum di integrasikan di dalam RTRW Kabupaten..
Metode 3R ini sebenarnya bisa mengurangi jumlah sampah lebih dari 50%, karena sampah yang dibuang oleh masyarakat sebagian besar adalah sampah organik, selain itu manfaat berikutnya adalah masyarakat memperoleh pupuk organik yang apabila dikelola dalam skala yang cukup besar dapat pula meningkatkan pendapatan masyarakat melalui penjualan pupuk organik, apalagi sekarang lagi digalakan pemanfaatan bahan makanan yang menggunakan pupuk organik.  Diharapkan kedepan apabila penerapan 3R ini berhasil di Kabupaten TTU maka permasalahan sampah tidak akan menjadi masalah lingkungan hidup seperti yang banyak terjadi saat ini.

Penutup

SDA dan LH memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pembangunan dan sebagai penopang sistem kehidupan. Paradigma umum yang berkembang saat ini lebih menempatkan SDA dan LH sebagai sumberdaya ekonomis daripada sumberdaya ekologis. Kondisi tersebut berdampak pada pola pemanfaatan SDA dan LH yang lebih diarahkan pada kepentingan ekonomi semata dan kurang mempertimbangkan manfaat dan dampak pengelolaan sumberdaya alam secara ekologis.
Kebijakan lingkungan hidup sarat dengan aspek politik karena kuatnya keragaman pemikiran dan pendapat para pemangku kepentingan yang tata nilainya sering bertolak belakang. Tipologi keputusan yang dihasilkannya akan selalu diperangkap perdebatan etika, karena umumnya berkaitan dengan pilihan-pilihan: mana yang harus dikorbankan-mana yang harus diselamatkan, bagaimana mendistribusikan manfaat secara “adil”, atau bahkan memperjuangkan nasib kelompok yang tidak akan pernah terwakili dengan baik (misalnya generasi yang akan datang). Oleh sebab itu kebijakan pengelolaan SDA dan LH di Kabupaten TTU tidak bisa semata-mata bergerak di area ekologis saja, tetapi juga harus menjembataninya dengan isu-isu ekonomi maupun sosial-budaya sebagai pilar dari pembangunan berkelanjutan.

Daftar Bacaan

Manik, Karden, E,S, 2009, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Djambatan, Jakarta.
Soemarwoto, Otto, 2001, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta.
Sugandhy, Aca dan Hakim, Rustam, 2009, Prinsip Dasar Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan,Bumi Aksara, Jakarta.

SEJARAH MUSIK SULING BAMBU DI TIMOR

Oleh:   Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si Sejarah tentang suling bambu sudah sedemikan lama dan erat kaitannya dengan peradaban manus...