Oleh
Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si
I.
PENDAHULUAN
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai
salah satu provinsi kepulauan yang berada pada wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), secara astronomis terletak di antara 80
– 120 Lintang Selatan dan 1180 – 1250 Bujur
Timur , dan memiliki gugusan pulau
sebanyak 1.192 pulau (42 pulau dihuni dan 1.150 pulau tidak dihuni). Tiga pulau terbesar yang
terdapat di Provinsi NTT adalah Pulau Flores, Sumba dan Timor. Provinsi NTT memiliki luas wilayah secara keseluruhan ± 247.349,90 km2,
dimana ± 48.718,10 km2 adalah luas daratan
dan ± 200.000 km2 merupakan luas
wilayah laut (BPS NTT, 2010). Keseluruhan luas wilayah tersebut, tentunya memiliki
ketersediaan Sumberdaya Alam (SDA) yang sangat banyak, baik yang terdapat pada wilayah
lautnya maupun di wilayah daratan. Jumlah penduduk sebanyak
4,165 juta jiwa, dengan ± 75 % penduduk bermata pencaharian sebagai petani .
Pembangunan
yang dilaksanakan sebagai wujud pengelolaan SDA dalam kerangka pengembangan
pertanian yang tersedia di daerah ini, tentunya
dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya untuk kebutuhan masyarakat.Tujuannya untuk mengurangi disparitas atau ketimpangan pembangunan
antar daerah dan antar sub daerah serta antar warga masyarakat, memberdayakan
masyarakat dan mengentaskan kemiskinan, menciptakan atau menambah lapangan
kerja, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat daerah, serta
mempertahankan atau menjaga kelestarian sumberdaya alam agar bermanfaat bagi
generasi sekarang dan generasi di masa yang akan datang. Dengan demikian pendekatan pembangunan dapat diartikan sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar
rakyat dengan lebih baik (Soemarwoto, 2001).
Proses pelaksanaan pembangunan pedesaan dan pertanian di Provinsi NTT, perlu didukung oleh sumberdaya manusia yang
handal sebagai pelaku-pelaku dalam pembangunan. Dengan meningkatkan
motivasi berprestasi dan komitmen yang
kuat dari para pelaku pembangunan ini, pengelolaan sektor
pertanian yang merupakan sektor andalan dalam mendukung pendapatan domestik dapat diwujudkan secara optimal.
Implikasi teori motivasi berprestasi dari McClelland tiba pada konsepnya yang terkenal, yaitu need for achievement (n-Ach). Pandangan
teori ini, mirip dengan etika protestan yang dikemukakan oleh Max Weber, dimana
keinginan dan dorongan untuk berprestasi ini tidak sekedar untuk meraih imbalan
material semata. Ada kepuasan pribadi tersendiri apabila seseorang berhasil
melaksanakan pekerjaannya dengan sempurna. Selanjutnya apabila dalam sebuah masyarakat ada banyak
orang yang memiliki n-Ach yang
tinggi, sudah
pasti masyarakat tersebut akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi
dalam pembangunan (Arjana, 2011).
Persoalan pembangunan pedesaan dan
pertanian di provinsi NTT diidentifikasi bertumpu pada 3 (tiga) komponen utama
yaitu: (1) optimalisasi sumberdaya alam masih terbatas karena produktivitas
hasil pertanian sangat tergantung pada alam/cuaca, waktu
usaha dibatasi oleh musim, lahan kering lebih luas (±
92 %)
dari lahan basah/sawah (± 8 %), skala
usaha belum ekonomis dengan rata-rata pemanfaatan lahan < 1 ha/KK
tani dan kawasan produksi berada pada kawasan lahan dengan kemiringan 8 – 40 %;
(2) kemampuan pengembangan teknologi yang masih bersifat parsial sebab hanya
mengandalkan teknologi tradisional, adopsi inovasi teknologi hanya tergantung
pada pihak luar/para penyuluh, penerimaan
inovasi masih tergolong lama dan ragu-ragu serta pengaruh budaya setempat
sangat kuat bahkan sering bertentangan dengan inovasi teknologi tersebut; dan
(3) Menurut Blegur (2005) bahwa kemampuan sumberdaya manusia-petani masih lemah
dengan karakteristik ketersediaan tenaga kerja sangat besar (75
%) berpendidikan
formal rendah (tidak sekolah + tidak tamat SD + tamat SD sebanyak 72%), memiliki keahlian/keterampilan (skill) yang rendah, belum memiliki kemampuan analisis usaha yang baik, puas dengan hasil kerja yang ada, dan memiliki waktu senggang setelah panen 5 – 6
bulan menganggur.
II. TEORI MOTIVASI BERPRESTASI-McCLELLAND
2.1.Argumentasi
Teori Motivasi Berprestasi dari McClelland
Teori Motivasi berprestasi dicetuskan pertama kali oleh David Clarence McClelland (1917-1998)
yang mendapat gelar doktor dalam
psikologi di Universitas Yale pada 1941, dan menjadi profesor di
Universitas Wesleyan. McClelland dikenal untuk karyanya pada pencapaian
motivasi, khusunya mempelopori motivasi kerja berpikir, mengembangkan
pencapaian kerja berbasis teori dan model motivasi. Dewasa ini ide dari pandangan McClelland, telah diadopsi secara luas di berbagai
organisasi dan negara yang menurut beberapa pakar perubahan sosial dan
pembangunan sangat berkaitan erat dengan pandangan Frederick Herzberg tentang
teori dua faktor yaitu higiene dan motivator. Teori McClelland ini oleh Suwarsono dan Alvin (2000) digolonglan dalam
pendekatan teori modernisasi klasik dalam konteks perubahan sosial dan
pembangunan.
Pada tahun 1961, McClelland melakukan penelitian terhadap proses
modernisasi negara-negara dunia ketiga terhadap tiga strata masyarakat yaitu
kaum wiraswastawan domestik, para politikus dan kaum
masyarakat lokal yang dipublikasikan dengan judul ”Business Drive and National Achievement”. Ia menyatakan bahwa motivasi berprestasi atau juga sering disebut
sebagai kebutuhan berprestasi adalah keinginan yang
kuat untuk mencapai prestasi gemilang bagi para wiraswastawan melalui cara
kerja yang baik,
yaitu dengan selalu berpikir dan berusaha untuk menemukan cara-cara baru untuk
memperbaiki kualitas kerja yang dicapainya. Penelitan yang dibuat oleh
McClalland menemukan bahwa suatu negara yang
memiliki kebutuhan berprestasi yang lebih tinggi akan
mempunyai kesempatan untuk lebih mencapai kemajuan. Hal tersebut diketahui pula
dari penelitian yang dilakukan di antar negara dimana negara
yang memiliki derajat yang lebih tinggi kebutuhan berprestasinya, akan memiliki derajat yang lebih tinggi pula pada pembangunan ekonominya (Suwarsono dan Alvin,
2000).
Menurut Arjana (2011) bahwa faktor yang
mendorong untuk berhasil mencapai kemakmuran adalah: the need for Achievement (n-Ach) sebagai dorongan untuk
berprestasi. Selanjutnya jika n-Ach tinggi
yang dicirikan oleh rasa optimis, berani
mengubah nasib, tidak cepat menyerah dan berprestasi bukan sekedar butuh
imbalan material, tetapi hasil kerja yang dianggap baik. Apabila dalam
komunitas masyarakat pedesaan terdapat n-Ach yang tinggi, akan menghasilkan
pertumbuhan
ekonomi yang tinggi karena n-Ach tidak
diwariskan, tetapi seperti virus yang
mempunyai sifat menyebar dan dapat
dimiliki oleh kelompok masyarakat serta dapat memotivasi jiwa kewirausahaan.
Argumentasi
teori motivasi berprestasi dari McClelland menyatakan bahwa: keinginan untuk
mencapai prestasi dengan berpikir dan selalu berusaha untuk mencari cara-cara
baru dalam mencapai kualitas kerja untuk memperoleh laba atau keuntungan
(Todaro, 1989; Suwarsona dan Alvin, 2001). Selanjutnya oleh Gibson, et al (1997) menyatakan bahwa teori
motivasi berprestasi dari McClelland menfokuskan pada 3 (tiga) kebutuhan yaitu kebutuhan akan
prestasi (achievement), kebutuhan akan kekuasaan (power),
dan kebutuhan akan hubungan (afiliasi). Model motivasi ini dapat dijelaskan sebagai berikut
:
1) Kebutuhan akan prestasi (n-ACH) : Kebutuhan akan prestasi merupakan dorongan untuk
mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar, bergulat untuk
sukses. Kebutuhan ini pada hirarki Maslow terletak antara kebutuhan akan
penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Ciri-ciri inidividu yang
menunjukkan orientasi tinggi antara lain bersedia menerima resiko yang relatif
tinggi, keinginan untuk mendapatkan umpan balik tentang hasil kerja mereka,
keinginan mendapatkan tanggung jawab pemecahan masalah. n-ACH adalah motivasi untuk
berprestasi, karena itu karyawan akan berusaha mencapai prestasi tertingginya,
pencapaian tujuan tersebut bersifat realistis tetapi menantang, dan menghasilkan kemajuan dalam pekerjaan.
Karyawan perlu mendapat umpan balik dari lingkungannya sebagai bentuk pengakuan
terhadap prestasinya tersebut.
2) Kebutuhan akan kekuasaan (n-POW) : Kebutuhan akan kekuasaan adalah
kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara dimana
orang-orang itu tanpa dipaksa tidak akan berperilaku demikian, atau suatu bentuk ekspresi dari individu untuk
mengendalikan dan mempengaruhi orang lain. Kebutuhan ini pada teori Maslow
terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri.
McClelland menyatakan bahwa kebutuhan akan kekuasaan sangat berhubungan dengan
kebutuhan untuk mencapai suatu posisi kepemimpinan. n-pow adalah motivasi terhadap
kekuasaan. Karyawan memiliki motivasi untuk berpengaruh terhadap lingkungannya,
memiliki karakter kuat untuk memimpin dan memiliki ide-ide untuk menang. Ada
juga motivasi untuk peningkatan status dan prestise pribadi.
3) Kebutuhan untuk berafiliasi atau bersahabat (n-AFFIL) : Kebutuhan akan afiliasi adalah hasrat untuk berhubungan antar
pribadi yang ramah dan akrab. Individu merefleksikan keinginan untuk mempunyai
hubungan yang erat, kooperatif dan penuh sikap persahabatan dengan pihak lain.
Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi umumnya berhasil dalam
pekerjaan yang memerlukan interaksi sosial yang tinggi.
Kemudian Etzioni dan Etzioni (1964) berpendapat bahwa sintesa dari teori
motivasi berprestasi dari McClelland mengasumsikan bahwa kebanyakan orang
memiliki kombinasi karakteristik tersebut, akibatnya akan mempengaruhi perilaku
masyarakat dalam bekerja atau memperoleh keuntungan. Karakteristik dan sikap motivasi prestasi ala McClelland yaitu: (a).
Pencapaian adalah lebih penting daripada materi; (b). Mencapai tujuan atau
tugas memberikan kepuasan pribadi yang lebih besar daripada menerima pujian
atau pengakuan; dan (c). Umpan balik sangat penting, karena merupakan ukuran
sukses (umpan balik yang diandalkan, kuantitatif dan faktual). Sedangkan Arjana
(2011) mengatakan bahwa dorongan untuk berprestasi (the need for achievement/ n-ACH) mempunyai ciri-ciri yaitu: optimis, berani mengubah nasib dan tidak cepat menyerah pada keadaan.
2.2.Kelemahan
Teori Motivasi Berprestasi dari
McClelland
Menurut Suwarsono dan Alvin (2000) dan
Todaro (2000),
kelemahan dari teori motivasi dari McClelland adalah:
1) Teori
ini tidak memberikan penjelasan bagaimana cara seseorang atau orang-orang di
suatu negara
memiliki kebutuhan untuk berprestasi yang tinggi. Kita semua juga mungkin dapat
mempunyai anggapan justru kebutuhan untuk berprestasi itu bukanlah merupakan
prasyarat dari kemajuan, tetapi juga merupakan hasil dari
kemajuan suatu masyarakat atau negara. Hal
tersebut didasarkan pada kenyataan di masyarakat yang masih subsisten, dijumpai
kenyataan mereka tidak mempunyai kebutuhan untuk berprestasi.
2) Teori
ini tidak memperhatikan kesulitan-kesulitan yang seringkali dihadapai oleh
masyarakat/negara
yang meskipun sudah memiliki kebutuhan berprestasi yang tinggi,
tetapi tidak maju karena hambatan-hambatan struktural yang sering membelit
mereka. Hambatan-hambatan stuktural tersebut sering kita lihat misalnya pada
hambatan geografis, topografis bahkan idiologis. Orang-orang dengan kondisi
stuktural yang ekstim tersebut sering kali tidak berdaya untuk berubah menjadi
maju,
padahal mereka sudah memiliki keinginan yang tinggi untuk berprestasi dan
melakukan banyak hal untuk menopang kemajuan.
3) Teori
ini tidak merumuskan bagaimana cara mengukur motivasi berprestasi, karena di
dalam setiap individu, kelompok dan komunitas masyarakat mempunyai
dorongan motif yang berbeda-beda.
2.3.
Kelebihan Teori
Motivasi Berprestasi dari McClelland
Teori motivasi berprestasi dari
McClelland untuk memperkuat dan membangkitkan kesadaran masyarakat tentang
kemajuan pembangunan ekonomi pedesaan, dapat memberikan
kesadaran pada pengambil kebijakan negara untuk
membuat kebijakan agar para pribadi, kelompok dan
masyarakat di negara
tersebut didorong untuk memiliki keinginan yang tinggi untuk berprestasi demi
tercapainya kemajuan suatu negara.
Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara misalnya
melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan untuk membangkitkan motivasi
berprestasi. Hal ini dikemukan oleh Hasibuan (1990) dan Mangkunegara
(2005) bahwa motivasi terbentuk dari
sikap seseorang dalam menghadapi situasi kerja,
dan merupakan suatu bentuk rangsangan dari
luar. Motivasi dapat berupa benda atau bukan benda yang
menimbulkan dorongan pada orang untuk memiliki, menikmati,
menguasai atau mencapai apa yang menjadi tujuan itu.
Tujuan-tujuan
yang mendasari motivasi ditentukan sendiri oleh individu yang melakukannya,
individu dianggap tergerak untuk mencapai tujuan karena motivasi intrinsik (keinginan beraktivitas atau meraih pencapaian tertentu
semata-mata demi kesenangan atau kepuasan dari melakukan aktivitas tersebut),
atau karena motivasi ekstrinsik, yakni keinginan untuk mengejar suatu tujuan yang
diakibatkan oleh imbalan-imbalan eksternal (Wade dan Tavris, 2007).
III. IMPLIKASI PENDEKATAN TEORI McCLELLAND DALAM BIDANG PEMBANGUNAN PEDESAAN DAN PERTANIAN DI PROPINSI NTT
3.1. Implikasi
dalam Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian
Sistem pertanian yang diterapkan
masyarakat di NTT umumnya masih bersifat subsisten
dan dilakukan secara tradisional sesuai dengan karakteristik lokal masyarakat
setempat, alat dan bahan yang digunakan dalam usaha taninya pun sangat
sederhana. Kondisi ini disebabkan karena pemahaman petani yang tingkat
pendidikannya sangat rendah (lebih di dominasi tamat SD dan tidak
tamat SD)
sehingga mereka masih mewariskan pola bercocok tanam yang ditinggalkan dari
leluhurnya. Salah satu contoh petani di Kabupaten Alor yang pada umumnya masih
mempercayai adanya tahun tikus dan bukan tahun tikus atau tahun ganjil dan
tahun genap. Jika dianggap
tahun tikus atau tahun ganjil maka petani tidak akan menyiapkan lahan untuk
bercocok tanam pada musim penghujan, sedangkan jika
dianggap tidak tahun tikus atau tahun genap maka petani akan menyiapkan
lahannya untuk bercocok tanam pada musim penghujan secara tradisional dan
menggunakan alat pertanian yang sederhana.
Berdasarkan ilustrasi ini maka menurut
Irianto Gatot,(2009) diperlukan pola, strategi dan pedekatan peningkatan
kesejahteraan petani dengan pendekatan berbasis teknologi (technological base), berbasis akses sumberdaya (resources access base) dan didukung
basis politik pemasaran (marketing
political base) yang proporsional. Di sisi lain Suryana (2006) menyatakan
bahwa diperlukan sebuah inovasi atau kemampuan untuk menerapkan kreativitas
dalam rangka memecahkan masalah dan menemukan peluang. Petani NTT tentu
mempunyai naluri yang kuat untuk dapat meningkatkan produksi usaha pertaniannya. Oleh karena itu
perlu dilakukan suatu pendekatan melalui penyuluhan atau demonstrasi teknologi
pertanian di lahan dengan model sekolah lapangan
oleh Penyuluh Pertanian dan stakeholder
lainnya,
sehingga dapat merubah sikap dan perilaku petani agar petani mau dan mampu
mengadopsi inovasi teknologi pertanian.
Sejalan dengan teori Mcclelland,
sebenarnya bahwa dalam diri petani di NTT memiliki kemauan untuk berprestasi
dan mau menguasai keterampilan dalam bidang pertanian (n-ACH), sebagai contoh adanya adopsi sistem persawahan secara
terasering di Kabupaten Manggarai, pemanfaatan teknologi tepat guna di bidang
pertanian antara lain pembuatan pupuk
Bokashi, dan pemanfaatan kotoran sapi untuk biogas seperti yang sudah berhasil diuji coba oleh (Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTT di Desa Wolomasi, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende ataupun praktek
olah lubang, olah jalur dan sistim wana tani di Kabupaten TTU yang dimobilisasi
oleh Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM) dan program PIDRA (Participatory
Integrated Development in Rainfed Areas).
Jika dilihat dari budaya petani NTT maka
mereka memiliki rasa untuk menerima orang lain dalam hubungan kemanusian (n-AFFIL), hal ini dapat
dilihat dengan terbentuknya kelompok-kelompok tani.
Jika petani punya kesadaran dan kemauan yang kuat dalam berusaha tani dengan
mengadopsi teknologi pertanian dan menerapkan di lahan pertaniannya, maka hal
ini dapat menjadi sebuah kekuatan ekonomi bagi masyarakat tani di NTT (n-POW).
3.2. Implikasi
dalam Pengelolaan Sumberdaya Pertanian Lahan Kering
Pola bertani masyarakat di NTT dalam
pengelolaan sumberdaya pertanian lahan kering, dilakukan secara tradisional dengan sistim perladangan
berotasi yang sering disebut juga sebagai perladangan berpindah (Swilddening) atau peladang tebas-bakar (Slash and burning farmer) dengan
memanfaatkan kesuburan tanah hutan dan potensi lingkungan hutan/belukar yang
relatif luas untuk kelangsungan hidupnya.Waktu rotasi
berladang/berkebun 3 – 5 tahun untuk kembali pada lokasi kebun yang pertama, sedangkan dalam tenggang waktu tersebut kebun yang lainnya dibiarkan bera begitu saja.
Kegiatan tebas–bakar dilakukan dengan menebang hutan/belukar dan membakarnya
secara teratur atau biasanya disebut ”
Kono ” (istilah lokal di Kabupaten TTU). Kegiatan ini dinilai oleh masyarakat sebagai teknologi sederhana dan
murah karena memberikan hasil tanaman yang cukup baik selama 1-2 kali masa
tanam pada lahan yang sama, sedangkan masa tanam berikutnya mereka sudah melakukan rotasi pada
kawasan lahan lain. Hal ini kalau dibiarkan terus akan memberikan ancaman
terhadap kelesetarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup (Woha, 2001).
Gambaran
kondisi ini, jika dihubungkan dengan teori motivasi berprestasi dari McClelland
menunjukkan bahwa keinginan untuk berprestasi dalam pengelolaan sumberdaya
lahan kering cenderung bersifat statis dan masyarakat kurang berani untuk
mengubah nasib. Dampaknya pada produktivitas hasil dari sumberdaya lahan kering di
Propinsi NTT adalah belum tercukupinya kebutuhan akan
pangan bagi masyarakat. Hal lain karena dorongan untuk berprestasi secara
eksternal dari lembaga penyuluhan belum optimal sehingga masyarakat masih
ragu-ragu dalam mengubah pola bertani tersebut. Slamet (2000) berpendapat bahwa untuk menumbuhkan
dan membina kemandiriannya, petani perlu diarahkan agar dengan kekuatan dan
kemampuannya berupaya untuk bekerja sama dalam mencapai segala yang dibutuhkan
dan diinginkan.
Implikasi dari teori motivasi
berprsetasi dari McClelland adalah
kemandirian, yang
tidak diartikan
sebagai anti
terhadap kerja sama atau menolak saling keterkaitan dan ketergantungan. Sebaliknya,
kemandirian justru
menekankan perlunya kerja sama disertai tumbuh dan berkembangnya: aspirasi,
kreativitas, keberanian menghadapi resiko (n-POW)
dan prakarsa seseorang bertindak atas dasar kekuatan sendiri dalam kebersamaan (n-AFFIL). Aspirasi adalah dinamika
untuk mencapai sesuatu dengan kerja keras atau ulet (n-ACH). Kreativitas adalah kecepatan menemukan pemecahan baru
terhadap masalah-masalah yang dihadapinya. Berani menghadapi resiko adalah ciri
petani yang rasional dengan ditandai oleh sifat inovatif yang senantiasa
mencari peluang untuk meningkatkan kehidupannya dan memiliki kemampuan
mengantisipasi masa depannya. Adapun prakarsa untuk bertindak adalah inisiatif
untuk memulai suatu kegiatan ke arah tercapainya tujuan.
3.3. Implikasi
dalam Bidang Pembangunan Ekonomi Pedesaan
Pembangunan ekonomi pedesaan ditentukan
oleh faktor inovatif dari masyarakat lokal untuk
berkreasi mencari cara-cara baru dalam meningkatkan usahanya. Ekonomi pedesaan di NTT didominasi oleh bidang pertanian,
peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan. Pemerintah (n-POW) melalui upaya antara lain berupa:
pembentukan kelompok tani, KUAT
(Kelompok Usaha Agribisnis Terpadu), PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis
Perdesaan), LKMA (Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis), UMKM (Usaha Mikro Kecil
Menengah) telah memotivasi masyarakat pedesaan untuk berprestasi (n-ACH) meningkatkan perekonomiannya guna
pengentasan kemiskinan. Selain itu, Pemerintah Daerah Provinsi NTT dengan program Desa Mandiri `Anggur
Merah` (Anggaran Menuju Masyarakat Sejahtera) yang digulirkan dalam tahun 2011, diyakini
akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat di pedesaan sehingga jiwa kewirausahaan (entrepreneurship)
masyarakat desa dapat terbentuk.
Sebagai
contoh, produk perkebunan (kemiri, kopi, kacang mente dan kakao) di Kabupaten
Belu dari tahun ke tahun semakin meningkat, demikian pula jumlah industri hasil
pertanian dan kehutanan serta industri aneka (NTT Dalam Angkam2010). Lahan-lahan
perkebunan baru telah dikembangkan dengan memanfaatkan lahan tidur. Juga munculnya industri skala rumah tangga (home industries)
yang diprakarsai oleh ibu-ibu rumah tangga, bekerja dalam kelompok-kelompok
usaha untuk pengolahan hasil pertanian
seperti pembuatan kripik pisang, emping jagung, minyak kelapa murni (virgin coconut oil) yang dapat
meningkatkan ekonomi rumah tangga, sekaligus berimplikasi pada peningkatan ekonomi
desa
(n-AFFIL).
3.4. Implikasi
dalam Bidang Pembangunan Sosial Pedesaan
Pembangunan
sosial pedesaan akan berjalan seiring dengan pembangunan ekonominya.
Indikatornya adalah tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat. Makin baik
pembangunan ekonomi suatu desa, makin baik pula kepedulian masyarakat desa
tersebut terhadap pendidikan dan kesehatan. Masyarakat termotivasi untuk
terlibat dan berprestasi dalam pendidikan (n-ACH),
misalnya yang terjadi di Kabupaten Belu ,masyarakat
yang tamat pendidikan lanjutan atas, akademi dan sarjana semakin meningkat dari
waktu ke waktu, karena
ada motivasi yang besar untuk meningkatkan taraf pendidikan
masyarakat.
Di bidang kesehatan, penyuluh kesehatan dan tenaga
paramedis berperan penting dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat desa.
Dalam upaya pengendalian pertumbuhan penduduk, yang salah satunya melalui
program keluarga berencana, bidan desa dapat menjadi motivator bagi pasangan
usia subur (PUS) untuk merencanakan jumlah anak dalam suatu keluarga. Paradigma
banyak anak banyak rejeki mulai
berubah menjadi paradigma keluarga sejahtera yang membatasi
jumlah anak dalam satu keluarga. Program KB dapat diterima dengan baik (n-AFFIL) oleh masyarakat di Kabupaten
Belu, ditandai dengan meningkatnya persentase akseptor KB terhadap PUS.Pengendalian angka kelahiran
berpengaruh signifikan terhadap pembangunan sosial karena secara tidak langsung antara lain akan
menurunkan tingkat pengangguran, kemiskinan, kriminalitas, kepadatan penduduk,
serta tekanan terhadap lingkungan hidup.
IV. PENUTUP
4.1.Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan tentang pendekatan teori motivasi berprestasi dari McClelland dengan
implikasinya terhadap pembangunan pedesaan dan pertanian di Provinsi Nusa
Tenggara Timur ini dapat disimpulkan bahwa:
1) Ada hubungan yang
signifikan antara teori motivasi berprestasi dari McClelland dengan pembangunan
pedesaan dan pertanian dalam konsep peningkatan sumberdaya manusia sebagai human capital dan social capital di Propinsi NTT;
2) Teori motivasi
berprestasi dari McClelland dapat diimplikasikan untuk peningkatan kinerja pembangunan pedesaan dan pertanian di Propinsi NTT; dengan pola komunikasi yang diterapkan adalah komunikasi dua arah
serta penerapan contoh di lapangan oleh para penyuluh dan pendamping yang ditempatkan di desa-desa.
Hal ini akan memicu peningkatan kapasitas modal manusia dan sosial dalam
pembangunan pedesaan dan pertanian di Propinsi NTT.
4,2,Saran
1) Pemerintah daerah
melalui aparat desanya lebih giat lagi memberikan motivasi kepada masyarakat
desa agar mereka mau terlibat aktif dalam pembangunan ekonomi dan pedesaan.
2) Penyuluhan
pertanian tidak hanya terbatas diperuntukkan bagi petani dan keluarganya,
tetapi juga bagi masyarakat pertanian yang lain;
Demikian juga dengan penyuluhan bidang lainnya, agar
lebih banyak dilakukan contoh-contoh di lapangan supaya masyarakat dapat
melihat langsung bukti nyata. Dengan demikian masyarakat desa termotivasi untuk
mengadopsi teknologi baru yang dapat meningkatkan perekonomian desa.
3) Pemerintah daerah
menyiapkan pasar untuk produk-produk pertanian, perkebunan, perikanan,
peternakan, kehutanan dan hasil industri lainnya, sehingga hasil usaha
masyarakat ini dapat terjamin keberlangsungannya sebagai pemicu berprestasi
DAFTAR
PUSTAKA
Arjana,
Ida Bagus.
2011. Materi Perkuliahan Kependudukan, Lingkungan
dan Pembangunan. Program Studi Ilmu Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan (IPSAL), Program Pasca Sarjana, Universitas Nusa
Cendana, Kupang.
Badan
Pusat Statistik. 2010. Nusa Tenggara Timur Dalam Angka. BPS Prop. NTT, Kupang
Blegur,
Maxi.
2005. Pengalaman dan Tantangan Pemberdayaan Masyarakat di
Bidang Pertanian, Peran Energi, Rekomendasi
Strategi untuk Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di Nusa Tenggara Timur. Kupang.
Etzioni, Amitai
dan Etzioni,
Eva.
1964. Social Change.
Basic Book, New York
Hasibuan, M. 1990. Manajemen
Sumberdaya Manusia. Haji Mas Agung, Jakarta.
Irianto, Gatot. 2009. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan
Air. Papas Sinanti, Jakarta
Mangkunegara, A. P.
2006. Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia. Refika
Aditama, Bandung.
Slamet
M. 2000. Memantapkan Posisi dan Meningkatkan Peran Penyuluhan Pembangunan dalam
Pembangunan. Makalah, disampaikan pada
Seminar Nasional Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Menuju Terwujudnya Masyarakat
Madani. 25-26 September 2000, Bogor.
Soemarwoto,
O.
2001. Ekologi, Lingkungan Hidup
dan Pembangunan. Djambatan,
Jakarta.
Suwarsono
dan Alvin, Y.S.O.
2000. Perubahan Sosial
dan Pembangunan, Cetakan ke-3
(Edisi Revisi). Pustaka
LP3S Indonesia, Jakarta.
Todaro,
Michael P. 1989. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Terjemahan. Erlangga,
Bandung.
Woha.
U. P. 2001.
Pembangunan
Pertanian Lahan Kering di Nusa Tenggara Timur, dalam Pembangunan
Pertanian di Wilayah
Kering
Indonesia. Widya
Sari, Salatiga.
Wade, Carol dan Tavris, Carol. 2007,
Psikologi: Jilid 2. Erlangga,
Jakarta.