OLeh :
Beny. Ulu .M
I. PENDAHULUAN
Pembangunan merupakan upaya sadar dan terencana dalam rangka
mengelola dan memanfaatkan berbagai sumberdaya (sumberdaya alam, sumberdaya
manusia, dan sumberdaya buatan) guna meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
Pembangunan tersebut dari masa ke masa terus berlanjut, selalu mengalami
perkembangan dan berkesinambungan serta selalu ditingkatkan pelaksanaannya
seiring dengan meningkatnya kebutuhan dan
jumlah penduduk. Proses pembangunan itu, di lain pihak dapat mengundang resiko
pencemaran dan kerusakan yang disebabkan oleh tekanan kebutuhan pembangunan
terhadap Sumberdaya Alam (SDA) dan Lingkungan Hidup (LH), tekanan yang semakin
besar tersebut dapat mengganggu, merusak
struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan manusia
dan makluk hidup lainya.
Krisis dan isue kerusakan lingkungan
hidup menjadi sesuatu yang utama untuk
diperbincangkan karena kondisi faktual menggambarkan bahwa secara umum dari
waktu ke waktu kualitas dan kuantitas lingkungan hidup cenderung mengalami
penurunan sebagai akibat dari proses pembangunan yang tidak memperhatikan kelestarian
dari lingkungan hidup itu sendiri. Sadar
atau tidak sadar, manusia secara perlahan menerapkan budaya konsumerisme yang
tinggi mulai membuat wajah lingkungan hidup dengan kerusakan di mana-mana.
Apakah kita masih ingin hidup pada kondisi lingkungan hidup yang mulai rusak
seperti ini ? Pertanyaan besar bagi kita semua sebagai penghuni planet bumi ini
(Meak, 2010).
Masalah lingkungan yang dihadapi saat
ini pada dasarnya adalah masalah ekologi manusia. Masalah itu timbul karena
sikap manusia yang hanya mementingkan kebutuhan manusia tanpa memperhatikan
kelestarian dari sumberdaya alam (SDA) dan daya dukung lingkungan yang ada
sehingga menyebabkan SDA dan LH kurang sesuai lagi untuk mendukung kehidupan
manusia. Jika hal ini tidak segera
diatasi pada akhirnya berdampak kepada terganggunya kesejahteraan manusia.
II.
IDENTIFIKASI PERMASALAHAN
Identifikasi
masalah yang memiliki potensi mengancam degradasi SDA dan LH di Kabupaten TTU yang di bedakan dari faktor penyebabnya yaitu : (1) Ancaman akibat factor manusia
(gangguan antropogenik) menyebabkan degradasi beberapa SDA diantaranya kerusakan SDA lahan dan
hutan (termasuk pengurangan habitat hutan mangrove). Kerusakan SDA
tanah dan
penurunan kesuburan tanah, peluang terjadinya pencemaran terhadap SDA Air dan Udara dan (2)
Ancaman akibat faktor alam berupa gangguan fisik yang dapat terjadi kapan saja antara lain: angin topan, gelombang laut. gempa bumi, banjir/tanah
longsor dan kekeringan.
Hasil identifikasi diketemukan bahwa
akar permasalahan yang dapat menyebabkan degradasi SDA dan LH di Kabupaten TTU-NTT
antara lain :
1) Adanya pertumbuhan dan pertambahan jumlah
penduduk: Dengan
bertambahnya jumlah penduduk akan membawa tekanan terhadap ketersediaan SDA dan
lingkungan hidup karena SDA dan lingkungan bersifat tetap dan jika dapat
diperbaharui juga laju pertambahannya dalam waktu yang cukup panjang sedangkan
jumlah penduduk akan melampaui daya dukung lingkungan itu (Mitchel, dkk,2007).
2) Ego
sektoral :Pendekatan
pembangunan SDA dan LH di Kabupaten TTU
masih menggunakan pendekatan sektoral, sehingga proses pembangunan itu masih
terkesan tidak mulus karena implikasi kewenangan mengelolah LH
di daerah belum mampu dilaksanakan dengan baik. Ego sektoral masih
sering nampak dalam pelaksanaan pegelolaan lingkungan, perencanaan
pembangunan dan sering terjadi over laping antara sektor yang satu dengan sektor yang lain atau tidak sinergis
dan tidak tertampungnya biaya maupun manfaat lingkungan dalam mekanisme pasar (Salim,
2010).
3) Anggaran
pemulihan ekologi yang sangat terbatas: Program dan kegiatan pemulihan ekologi mesti didukung dengan dana yang
memadai apabila mengharapkan keberhasilan dengan baik. Walaupun semua orang
mengakui bahwa LH merupakan
bidang yang penting dan sangat diperlukan, namun pada kenyataan PAD masih
terlalu rendah yang di alokasikan untuk program pengelolaan LH. Lebih dari itu, kalaupun ada semua
dilaksanakan dalam semangat project oriented karena pembangunan LH
dianggap sebagai veriabel minor akibat political
will, political action dan political
commitment yang masih rendah dari pengambil keputusan maupun stakeholder lainnya.
4) Keterbatasan
Sumber Daya Manusia (SDM): Harus diakui bahwa dalam pengelolaan SDA dan LH di Kabupaten TTU kapasitas dan kapabilitas
masyarakat belum memadai termasuk
SDM aparat pemerintah juga banyak yang belum memahami secara baik
tentang arti penting LH itu.
5) Etika, moral dan mental yang masih rendah: SDA yang ada seharusnya digunakan dalam pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat secara holistik. Namun demikian tindakan
eksploitasi terhadap SDA dan LH hanya menguntungkan sebagian masyarakat terutama masyarakat kelas
menengah dan masyarakat elit. Aspek SDA
dan LH yang seharusnya
dipertimbangkan untuk di lestarikan dan di lindungi tetapi kenyataannya banyak di
abaikan. Fakta menunjukan bahwa
tidak terjadi keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial dan ekologi. Masalah LH masih belum mendapatkan porsi yang semestinya untuk diperhatikan
secara ekologi akibat faktor etika dan moral yang masih rendah dalam
pengelolaan LH di Kabupaten TTU.
6) Lemahnya
penegakan hukum dan HAM : Lemahnya penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) belum mencapai pemenuhan, perlindungan dan
penghormatan terhadap hak-hak rakyat atas keadilan karena terbatasnya
produk hukum daerah (berupa PERDA).
Bahwa banyak produk hukum yang ada tidak secara konsekuen di jalankan dan lebih parah lagi bahwa banyak produk
hukum masih menguntungkan pihak pemodal ketimbang masyarakat umum. Banyak pelaku kejahatan terhadap lingkungan hidup
dibiarkan begitu tanpa dijamah dengan proses hukum. Apalagi orang itu memiliki
jabatan dan modal. kemudian melakukan kompromi untuk bagaimana sama-sama mendapatkan
keuntungan (Kolusi dan Nepotisme).
7) Penerapan
teknologi yang tidak
ramah lingkungan: Penerapan
teknologi tidak ramah lingkungan dapat
terjadi untuk mengharapkan hasil yang instan,
cepat dapat dinikmati. Mungkin dari aspek ekonomi menguntungkan tetapi mengabaikan dampak lingkungan yang
ditimbulkan. Penggunaan bahan pupuk anorganik dan
pestisida dalam jumlah yang berlebihan, akan dapat menyebabkan pencemaran
lingkungan. Perlu dicatat bahwa sebetulnya di tiap-tiap daerah terdapat
kearifan lokal yang sering sudah menggunakan teknologi yang ramah lingkungan
secara turun temurun, namun belum didayagunakan lagi secara
optimal untuk kegiatan pengelolaan LH.
8) Isu Otonomi Daerah; Sikap mementingkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan menyebabkan konsep pengelolaan SDA dan LH
akan menjadi terabaikan dalam pembangunan daerah.
9) Kondisi sosial politik masyarakat yang lemah : Di dalam pengelolaan SDA dan LH masyarakat masih bergerak secara sendiri‑sendiri. Selama ini, masyarakat masih
dipandang sebagai obyek dari pada sebagai subyek pembangunan. Hal ini
mengakibatkan masyarakat menjadi pasif terhadap perkembangan di sekitarnya dan lemah dalam merumuskan agenda‑agenda
bersama karena bargaining position
masyarakat yang lemah.
10) Strategi mitigasi dan adaptasi dari ancaman
faktor alam belum secara efektif: Ancaman faktor alam memang merupakan suatu
totalitas gejala alam yang tidak dapat diprediksi kejadiannya, namun strategi
adaptasi dan mitigasi perlu dipertimbangkan dalam proses pembangunan daerah
secara baik.
III. STRATEGI MENGATASI MASALAH SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI
KABUPATEN TTU
3.1. Akibat
Gangguan Antropogenik (faktor
manusia).
Dalam pelaksanaan pembangunan di
Kabupaten TTU khususnya bidang SDA dan LH diarahkan sesuai dengan prinsip
otonomi daerah yaitu bahwa masyarakat di daerah harus mendapatkan manfaat yang
nyata dari keberdadaan SDA dan LH. Hal ini akan berhasil apabila tanggungjwab
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat dilaksanakan secara
kolaboratif dan terintegrasi oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) baik itu Pemerintah, Lembaga
Swadaya Masyarakat/LSM, pihak swasta dan masyarakat.Sehubungan dengan hal
tersebut maka upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Kabupaten
TTU perlu diimplementasikan dalam setiap tahapan pembangunan yang berorientasi
kepada kepentingan publik. Hal ini sesuai dengan pendapat Islami, (2003) bahwa
setiap kebijakan pemerintah (public
policy) harus selalu berorientasi kepada kepentingan publik.
Secara keseluruhan, terdapat beberapa strategi dasar sebagai upaya
pencegahan degradasi SDA dan LH akibat
gangguan antropogenik di Kabupaten
TTU yaitu :
1. Penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL), yang pada dasarnya merupakan proses dan prosedur
untuk menprediksi dampak ekologis dan sosial dari suatu proyek pembangunan
sehingga selanjutnya keputusan tentang alternatif proyek dan lokasi serta
pilihan disain proyek dapat dibuat sesuai kmaidah pengelolaan lingkungan serta dapat
meminimalkan berbagai dampak negatif dan mengoptimalkan berbagai dampak positif
yang akan terjadi.
2. Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS), untuk
memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan
suatu wilayah dan /atau kebijakan, rencana, dan/atau program (KRP).
3. Analisis Risiko
Lingkungan, merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengkaji tingkat risiko
lingkungan dari suatu usaha dan/atau kegiatan pengelolaan lingkungan.
4. Penyusunan Rencana Detail
Tata Ruang Wilayah (RDTRW); seperti untuk kawasan wilayah pesisir dan pantai, kawasan
permukiman padat penduduk ataupun kawasan strategis lainnya.
5.
Penegakan hukum
lingkungan secara tegas; dan
6.
Penyiapan anggaran
pemulihan ekologis yang memadai.
3.1.1 Upaya Pengendalian Degradasi SDA
dan LH
1) Pengendalian
kualitas SDA dan lingkungan hidup berupa : Reklamasi pantai dengan penanaman
mangrove, penanaman kembali hutan yang telah rusak
dengan penghijauan
(reboisasi),revegetasi dan reforestasi,penebangan hutan dengan pola tebang
pilih,mengurangi pola ladang berpindah-tebas bakar,peninjuan kembali usaha
pertambangan Marmer dan Mangan,penetapan kawasan lindung/cagar alam dan
pengembangan forum kelembagaan lingkungan hidup (formal/non formal).
2) Pengendalian
sumber penyebab gangguan antropogenik
diantaranya dengan pengaturan tata ruang dan pemukiman, perlindungan terhadap
sumberdaya air, penetapan kawasan pertanian berkelanjutan dan pengendalian
terhadap kendaraan bermotor yang memiliki tingkat pencemaran tinggi.
3.1.2 Upaya Pengelolaan SDA dan LH
1. Pengelolaan LH
berbasis masyarakat; merupakan suatu sistem pengelolaan SDA dan LH di suatu
tempat dan masyarakat lokal di tempat tersebut terlibat secara aktif dalam proses
pengelolaan SDA yang terkandung di dalamnya. Strategi pengembangan masyarakat
dapat dilakukan melalui dua pendekatan yatu, yang bersifat struktural dan
non-struktural. Contoh praktis dengan pendekatan pengembangan model Desa Mandiri Lingkungan (DML).
2. Pengelolaan
SDA dan LH secara terpadu; merupakan proses formulasi dan
implementasi kebijakan dan kegiatan yang menyangkut pengelolaan SDA dan LH,
sumberdaya buatan dan sumberdaya manusia dalam suatu sistim secara utuh dengan
mempertimbangkan aspek-aspek ekologi, sosial dan ekonomi untuk mencapai tujuan
yang diinginkan serta dimulai dari proses perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi maupun pemanfaatannya dengan melibatkan
seluruh stakeholder (bersifat lintas
wilayah, lintas sektoral dan lintas disiplin ilmu) dalam sustu pola koordinasi
manjemen yang baik.
3. Pengelolaan
SDA dan LH secara berkelanjutan; merupakan usaha secara sadar dengan cara mengeksploitasi SDA, tetapi tidak
merusak SDA lainnya sehingga dalam penggunaannya harus memperhatikan
pemeliharaan dan perbaikan kualitas dari SDA tersebut (asas keseimbangan).
Adanya peningkatan perkembangan kemajuan di bidang produksi tidak perlu
mengorbankan lingkungan yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan.
3.2. Akibat FaktorAlamiah
Tantangan
dalam upaya mengatasi permasalahan SDA dan LH akibat faktor alam di Kabupaten
TTU adalah membuat perencanaan pembangunan menjadi ”tangguh terhadap bencana
alam” seperti dampak adanya bencana alam terhadap ekonomi dan pembangunan
manusia harus dievaluasi secara seksama dan dipetakan untuk mengenal secara
dini gejala dan tindakan terhadap bencana alam tersebut. Kemudian strategi
adaptasi harus diintegrasikan ke dalam berbagai rencana dan anggaran
pembangunan daerah.
Menurut Lapan (2009) bahwa
mitigasi secara etimologi artinya pengurangan. Mitigasi merupakan serangkaian upaya yang dilakukan
untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktural melalui pembuatan bangunan
fisik, maupun non struktural melalui pendidikan, pelatihan dan lainnya. Sedangkan Adaptation
atau adaptasi artinya penyesuaian diri terhadap ancaman bencana alam. Kedua
istilah ini menjadi penting karena menyangkut strategi menghadapi
perubahan alam. Melalui mitigasi, usaha yang dapat dilakukan adalah
mengurangi dampak ancaman dari sumbernya
dan pada saat bersamaan, dapat dilakukan persiapan diri untuk
beradaptasi dengan perubahan yang ada.
3.2.1 Strategi
Mitigasi
Strategi
mitigasi bencana alam (angin topan,
kekeringan berkepanjangan, banjir dan tanah longsor) dapat dilakukan
langkah-langkah teknis sebagai berikut : (1) Pemetaan zona rawan bencana; (2) Sosialisasi/penyuluhan dan
pelatihan/simulasi menghadapi bencana; (3) Pemantauan secara terus menerus
pada lokasi-lokasi pemantau yang ada; (4)
Peringatan dini dengan memberikan informasi status bencana (awas, atau siaga);
(5) Pembuatan struktur bangunan fisik untuk menahan bencana yang sesuai; (6)
Pemasangan tanda-tanda peringatan berupa jalur-jalur merah yang akan terjadi
bencana; (7) Penyiapan alat-alat keselamatan kepada penduduk yang bermukim di
sekitar kawasan rawan bencana ; dan (8) Evakuasi penduduk dan penanganan korban
bencana bila terjadi bencana.
3.2.2 Strategi
Adaptasi
Adaptasi
bencana kekeringan dilakukan dengan ; pembuatan hujan buatan, melarang atau
menghentikan penebangan hutan, menanam tanaman bahan pangan pokok alternatif
yang tahan terhadap kekeringan dan menanam pepohonan di lereng gunung. untuk
mencegah terjadinya kekeringan maupun bencana banjir/tanah longsor di suatu
wilayah, Sedangkan adaptasi bencana angin topan dapat berupa relokasi pemukiman
ataupun intervensi fisik bantuan material.
3.2.3 Strategi
Migrasi
Strategi migrasi dapat dilakukan
jika dampak yang terjadi oleh bencana tersebut sudah tidak dapat difungsikan
lagi sebagai lokasi pemukiman penduduk, maka keputusannya agar penduduk di
lokasi itu harus dipindahkan ke tempat lain yang baru dan aman dari ancaman
bencana alam tersebut.
IV. PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
1) Pembangunan daerah harus memperhatikan isu degradasi SDA dan LH sebagai suatu landasan untuk pembangunan berkelanjutan;
2) Budayakan bahwa ; membangun tetapi tidak dengan merusak lingkungan, memanfaatkan SDA dan LH dengan memlihara dan menjaga LH dengan berpartisipasi;
3) Pengelolaan LH perlu political will, political action dan political commitment dari seluruh pemangku kepentingan.
1) Pembangunan daerah harus memperhatikan isu degradasi SDA dan LH sebagai suatu landasan untuk pembangunan berkelanjutan;
2) Budayakan bahwa ; membangun tetapi tidak dengan merusak lingkungan, memanfaatkan SDA dan LH dengan memlihara dan menjaga LH dengan berpartisipasi;
3) Pengelolaan LH perlu political will, political action dan political commitment dari seluruh pemangku kepentingan.
4.2.Saran
dan Rekomendasi
1) Jangka pendek ; Masyarakat harus tetap menjaga
kelestarian fungsi LH dalam pemanfaatan berbagai SDA untuk memnuhi kebutuhan
hidupnya dan/atau pembangunan dengan
selalu memperhatikan dampak yang timbul
dari penggunaan SDA tersebut terhadap lingkungan sekitar agar tidak terjadi
pencemaran atau kerusakan LH. Pemerintah dapat berperan sebagai fasilitator, mediator
dan regulator dalam pengelolaan LH. Sedangkan upaya antisipasi adanya ancaman
bencana pemerintah bersama stakeholder harus
melakukan sistim peringatan dini dan pernyiapan perencanaan pembangunan dengan penyiapan anggaran yang memadai setiap
tahunnya.
2) Jangka menengah ; upaya perlindungan dan pengelolaan LH
dan pengelolaan bencana senantiasa memperhatikan peningkatan kapasitas dan
kapabilitas SDM aparatur maupun masyarakat dengan kegiatan pelatihan, kursus,
simulasi, advokasi maupun sosialisasi serta penyuluhan secara terkoordinasi dan
terpadu.
3) Jangka panjang ; isu perlindungan maupun pengelolaan
SDA dan LH dan penanggulangan bencana perlu dimasukan dalam kurikulum satuan
pendidikan sebagai muatan lokalita yang dimulai dari jenjang pendidikan SD, SLTP,
SLTA sampai Perguruan Tinggi. Upaya pengaturan pertumbuhan jumlah penduduk tetap
dilakukan dengan program Keluarga Berencana (KB). Upaya menggairahkan iklim
investasi di daerah harus dibarengi dengan transparansi dan gagasan isu good corporate social responsibility
harus dituangkan hitam di atas putih dalam kerangka ijin investasinya dengan
sanksi siap untuk dicabut dan siap dituntut pertanggungjawabannya secara hukum
sekaligus merupakan satu paket kontrak sosial yang di desiminasikan kepada
seluruh pemangku kepentingan dan komisi pengawas investasi daerah di bidang SDA
dan LH.
Daftar Pustaka
Islami. M.I, 2003, Prinsip-Prinsip
Perumusan Kebijakan Negara,Bumi
Aksara, Jakarta.
Lapan, 2009, Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim,Makalah dalam http://indosmarin.com, Diakses tanggal 25 Nopember 2010.
Mitchell,
B. B. Setiawan dan Dwita Hadi Rahmi.2007.,Pengelolaan
Sumberdaya dan Lingkungan.Gadjah Mada University Press Cetakan ke-3,
Yogyakarta.
Meak. U.B.,2010., Kontroversi
Seputar Lingkungan Hidup, Opini dalam Tabloid Mingguan Biinmaffo, No.159
Thn.IX, Minggu I – II Juni 2010,Kefamenanu.
Salim,Emil.,2010., Ratusan
Bangsa Merusak Satu Bumi,Buku Kompas, Jakarta.