Oleh
Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si
Pendahuluan
Dalam sejarah raja-raja
di Pulau Timor khusunya Timor
Barat dikenal
adanya sebuah kerajaan di Belu Selatan atau Kabupaten Malaka sekarang yakni kerajaan We Hali yang di dirikan
oleh para migran dari negeri Malaka dan biasa dituturkan dengan istilah “Sina
Mutin Malaka”(Orang Cina Putih dari Malaka) yang datang ke Pulau Timor.
Kedatangan mereka secara bertahap, dengan tempat persinggahan atau pintu masuk dan pendaratan yang berbeda serta dengan
motif yang bervariasi pula. Merujuk pada apa
yang sering dituturkan oleh para Mak’oan atau sastrawan adat yang
tersebar di seluruh wilayah Belu dengan sebutan “Sina Mutin Malaka, Larantuka Baboe” Bila
mereka menyebut nama ini, maka tiap orang terus tahu yang dimaksudkan ialah : leluhur orang Belu berasal dari Malaka, mereka meninggalkan
tanah airnya dan mencari tempat baru untuk dihuninya dengan pelayarannya ke Pulau Timor melalui Larantuka.
Kedatangan leluhur
dari Malaka yang mendarat di Pantai Selatan, Timor Barat dan kemudian mereka menaklukan
dan beradaptasi dengan orang asli Pulau Timor yang disebut sebagai “Melus” dengan waktu yang cukup lama dan
mengalami proses asimilasi dengan kelompok lain yang datang ke wilayah Belu
Selatan selanjutnya mendirikan sebuah kerajaan di Belu Selatan. Tentunya ada
faktor pemicu mengapa mereka pindah dari tempat asalnya dan mencari tempat
tinggal baru. Alasan yang paling urgensi yaitu faktor perdagangan, selain itu
terdapat pula faktor peperangan,wabah penyakit dan gempa bumi di daerah asalnya
sehingga mendorong untuk mencari daerah lain ataupun faktor ketersesatan waktu
dalam pelayaran ke suatu tempat lain dan akhirnya terdampar di pantai Selatan
–Timor Barat.
Struktur
Pemerintahan Kerajaan We Hali
Awal waktu tahun
berdirinya kerajaan We Hali masih belum diketahui secara pasti. Hingga kini
bukti-bukti yang berhasil di temukan seputar sejarah kerajaan We Hali hanya berdasarkan
tutur adat dan catatan-catatan kuno ataupun laporan hasil penelitian dari
beberapa pihak misalnya catatan Antonio Pigafetta yang disadur
oleh Le Roux, menyebutkan bahwa pada tahun 1522 di bagian Selatan Pulau Timor sudah ada
empat kerajaan yaitu: Oibich, Lichsana, Suai, Kabanaza (Usfinit, 2003).
Selanjutnya menurut catatan arsip kuno orang Portugis yang disadur oleh Lumenta
(2011) menyatakan bahwa sejak tahun 1260 telah berdiri Kerajaan We Hali sebagai
satu-satunya kerajaan pribumi yang lolos dari pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu
Budha yang sudah bertebaran di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Kerajaan We Hali
telah mempersatukan berbagai kerajaan kecil di seluruh Pulau Timor dan pulau-pulau sekitarnya.
Kerajaan baru
yang di dirikan oleh para migran dari Malaka dinamakan “We
Hali”. Nama ini diberikan untuk mengenang
kembali leluhur pertama mereka yang telah menanam pohon beringin (Bahasa Tetun : Hali = beringin dan We = air) pada
saat pertama mereka mendarat di wilayah Belu Selatan. Hal ini dimaksudkan
sebagai bukti pemersatu dan persaudaraan.
Pusat kerajaan berada di Laran-Betun
yakni sebuah dataran yang subur di
pinggir sungai Benain. Demikian juga seperti pendapat Fox dan Therik (2002) bahwa lembah Benain yang subur telah
menjadikan Kerajaan We Hali di Belu Selatan sebagai suatu kerajaan yang
independen dengan bentuk kekuasaan yang paradoksal (the power of the powerlessness), apalagi didukung dengan
pelabuhan alam Mota Dikin yang terletak pada muara sungai Benain sebagai tempat
terpenting untuk perdagangan kayu cendana pada saat itu.
Kerajaan We Hali saat
itu diperintah oleh seorang raja agung yang bergelar sebagai “Maromak Oan” (Bahasa Tetun = Anak
Allah atau Titisan Allah). Raja agung ini tidak langsung memerintah tetapi sebagai
lambang/simbol spiritual dan tidak boleh bekerja. Ia hanya makan dan minum lalu
tidur (dalam tutur adat disebut dengan “Ma
Ha Toba, Ma Hemu Toba”). Hal ini menurut Parera (1994); Tifa dan Itta
(2007) serta Bouk (2012) bahwa pandangan orang Belu pada saat itu mengakui rajanya
sebagai sumber kebenaran dan kebijaksanaan yang memiliki kewibawaan tanpa salah
dan memiliki kekuasaan penuh sebagai titisan Allah untuk membimbing dan
mengayomi para rakyatnya (Bahasa Tetun = Renu)
termasuk dalam hal sakral sekalipun karena memiliki rahmat dan kesaktian yang
bersifat supra natural. Maksudnya bahwa raja agung memiliki kekuasaan tunggal
dan kemampuan istimewa untuk mengayomi, melindungi dan membimbing para
rakyatnya dengan sunguh-sungguh untuk mencapai kedamaian dan keamanan dalam
wilayah kekuasaannya.
Sistim pemerintahan
di Kerajaan We Hali didasarkan pada sistim kemurnian hubungan darah dan
keturunan (genealogis) yang diperkuat
dengan pengukuhan teritorial yang dimilikinya. Pada masa itu urusan
pemerintahan dipimpin oleh Liurai dan
dalam pelaksanaannya dijalankan oleh Liurai
We Hali atau lebih terkenal dengan Liurai Fatuaruin yang dibantu oleh
beberapa Loro. Tingkat dibawah Loro
adalah Na’I atau raja kecil yang
merupakan wilayah taklukan. Urutan keturunan ini didasarkan pada hubungan
perkawinan antara para raja, sehingga sampai sekarang membentuk suatu kerangka
struktur sosial adat yang membentuk wilayah kesatuan adat di daerah Belu.
Sebagai pelaksana
pemerintahan di bawah kekuasaan Maromak
Oan terdapat 3 (tiga) “Liurai”
yakni: :
1)
Liurai We Hali dan dikenal
sebagai Liurai Fatuaruin; Di atas pundak Liurai We Hali/Fatuaruin terdapat
2 (dua) jabatan penting yakni: Pertama : sebagai Liurai We Hali yang
berkuasa atas seluruh wilayah Belu,
Biboki, dan Insana (sekarang TTU); dan Kedua : sebagai Liurai Fatuaruin menguasai wilayah Fatuaruin,
Manulea dan Bani-Bani yang merupakan pemasok utama logistik bagi kerajaan.
Liurai Fatuaruin juga bertindak sebagai wakil umum dari sang raja agung “Maromak Oan” yang bertugas untuk
menyelesaikan seluruh urusan pemerintahan, pertahanan-keamanan dan perdagangan
dengan kerajaan lain di luar Pulau Timor atau wilayah sekitarnya.
2)
Liurai Likusaen dan lebih
dikenal sebagai Liurai Suai Kamanasa; menguasai seluruh wilayah Suai dan wilayah
Timor Timur yang lain (sekarang Negara RDTL).
3)
Liurai Sonbai dan lebih dikenal
sebagai Sonbai Besar: menguasai di wilayah Miomaffo (sekarang Kabupaten TTU),
wilayah Amanuban, Molo (sekarang Kabupaten TTS) hingga wilayah Amfoang dan
Amarasi (sekarang Kabupaten Kupang). Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh
Hidayat (1976) bahwa sampai sekarang masyarakat Atoni Meto di wilayah Kabupaten TTU, TTS dan Kupang ; jika hendak
melaksanakan ritual adat seperti kegiatan pertanian selalu memohon keberhasilan
dengan menyebut Liurai Sonbai. Hal yang sama jika melakukan upacara “Takanaf” atau “Natoin”
selalu menyebutkan akan leluhur
mereka yaitu berasal dari “Oe Nunu” atau We Hali. Hal ini menunjukkan bahwa secara
faktual masyarakat mengakui adanya kekuasaan Kerajaan We Hali lewat Liurai
Sonbai di wilayahnya dan sesuai dengan aspek genealogisnya.
Liurai (Bahasa
Tetun: Liu = lebih atau melebihi; dan
Rai = Tanah atau bumi), oleh karena
itu Liurai dapat diartikan sebagai pemangku bumi dan merupakan bangsawan kelas
atas yang memerintah dan berkuasa atas beberapa wilayah dalam hal ini mengurusi
sistim pemerintahan dan mengkoordinasikan para raja dibawahnya yang berstatus
bangsawan kelas menengah atau para “Loro”.
Sedangkan menurut Doko (1981) mengartikan Liurai adalah memrintahkan tanah,
sehingga di dalam tutur adat Liurai sering disebutkan sebagai “ Leo Lema rai, beta lema rai “ artinya Liurai
wajib menaungi seluruh wilayah dan menjelajahi seluruh wilayah yang menjadi
kekuasaannya. Dikisahkan, pada zaman itu, Liurai pertama We Hali adalah seorang wanita yang cantik menawan, disanjung, diberi gelar Hoa Diak Malaka. Ia adalah Liurai feto
(Bahasa Tetun = Wanita) dan kawin dengan Seran Taen Boboto Rui
Makerek yang diberi gelar : ” Sui
Likusaien, Sui We Hali” (Bahasa Tetun: Sui = menanduk).
Di bawah Liurai
terdapat para “Loro”. Sebutan gelar Loro (Bahasa Tetun = matahari) dan
diartikan sebagai bangsawan menengah. Struktur pemerintahan di bawah Liurai We Hali/Fatuaruin
di Belu Selatan terdapat 4 (empat) kerajaan yang bergelar Loro yakni: (1) Loro We Hali-We Wiku;
(2) Loro Hatimuk; (3) Loro Lakekun; dan (4)
Loro Dirma. Ke-empat Loro ini biasa dituturkan sebagai “Mane hat, laen hat, rin besi hat, rin kmurak hat” artinya : empat lelaki, empat wilayah, empat kekuatan pertahanan
- keamanan/pangan, empat kekuatan keping uang/ekonomi. Di Belu Utara
terdapat 3 (tiga) kerajaan yang berstatus Loro yakni: (1) Loro Fehalaran; (2)
Loro Bauho; dan (3) Loro Lasiolat. Fakta menyebutkan bahwa Kerajaan Fehalaran
sejak awal hanya merupakan kerajaan adat dengan kekuasaan tertinggi berada pada
Loro Bauho dan Loro Lasiolat (Buru, 2009). Di bawah Liurai Likusaen terdapat
Loro Likusaen yang pusatnya berada di kerajaan Suai Kamanasa, serta dibawah
Liurai Sonbai terdapat Loro Sonbai yang pusatnya berada di wilayah Mutis-kerajaan
Amanatun. Tugas utama para Loro ini adalah mengkoordinir para raja kecil (Na’I) yang berada di sekitarnya untuk
mengatur upeti (Bahasa Tetun = Fohon)
bagi raja agung serta sebagai kekuatan persediaan pangan atau pertahanan keamanan
wilayah. Menurut laporan penelitian oleh Ninu dkk.(1999) di wilayah bekas
kerajaan Nenometa-Amanatun Utara bahwa Kerajaan Nenometa memiliki kewajiban
yang mutlak untuk menyampaikan upeti
yaitu pemberian persembahan/hadiah sebagai tanda hormat kepada kerajaan induk
Liurai We Hali di Belu Selatan setiap tahunnya lewat Liurai Sonbai.
Di
bawah Loro terdapat para “ Na’I” atau raja kecil yang
memiliki kekuasaan untuk memerintah di beberapa wilayah sekitarnya. Banyaknya
wilayah pemerintahan dari kerajaan We Hali di Pulau Timor pada saat mencapai
masa kejayaannya memiliki 37 Na’I yang
tersebar di Pulau Timor (Parera, 1994).
Di lingkungan Kerajaan/Loro
Fehalaran terdapat beberapa kerajaan kecil diantaranya: Kerajaan Lidak, Jenilu,
Naitimu dan Mandeu berstatus “ Oa natar hat, Oa laluan hat, Basa isin hat, Kaer kadun hat, Taka ulun hat, Sabeo hat”
yang merupakan wilayah mata rantai perdagangan menuju pelabuhan Atapupu dan
Batugede. Ke-empat kerajaan ini mempunyai pemerintahan sendiri namun tunduk
pada kekuasaan Loro Fehalaran. Di lingkungan Kerajaan/ Loro Bauho terdapat
beberapa kerajaan yaitu : Dafala, Takirin, Manleten, dan Umaklaran. Selanjutnya
di wilayah Kerajaan/Loro Lasiolat terdapat kerajaan : Asumanu, Tohe/Maumutin
dan Aiton (Buru, 2009). Kerajaan-kerajaan yang berada di bawah Loro ini diberi
gelar “Na’I” dengan tugas utama yaitu
menjalankan sistim kepemerintahan secara otonom serta memberikan upeti kepada Loro selanjutnya diteruskan
kepada para Liurai.
Di wilayah
kedaulatan Loro Likusaen terdapat kerajaan Suai Kamanasa, Bobonaro, Maubara dan
Lautem. Kemudian untuk wilayah kekuasaan Loro Sonbai terdapat kerajaan:
Maubes-Insana, Biboki, Oenam, Amanuban (Banam), Amanatun (Onam), Molo.
Nenometa.Tafnai, Taebenu, Fatuleu dan Amabi. Hal ini ini disebutkan oleh
Usfinit (2003) bahwa sesuai dengan
catatan dan tutur adat masyarakat Insana dikatakan kerajaan Maubes-Insana leluhurnya adalah dari kerajaan We Wiku, We Hali.
Demikian juga yang disebutkan oleh Jacob dkk (2003) bahwa semua kerajaan yang
berada di bekas kekuasaan Liurai Sonbai leluhurnya merupakan proses
asimilasi penduduk asli dengan pendatang
dari kerajaan We Hali yang datang secara bertahap karena di utus oleh raja di
We Hali untuk memerintah dan membangun kerajaan baru bersama kelompok pendatang
lainnya.
Di lingkungan Loro We
Hali-We Wiku; terdapat beberapa raja kecil yaitu: Rabasa, Umalor-Lawain, Wederok,
Besikama-Lasaen; Loosina. Loro Fatuaruin menguasai : Babotin, Sasita Mean.
Sedangkan kekuasaan Loro Hatimuk; adalah
kerajaan Hatimuk; Kekuasaan Loro Lakekun; terdapat
kerajaan Litamali, Alas; serta di wilayah kekuasaan Loro Dirma ; terdapat raja
kecil yaitu: Kusa, Te’un, Nekin Klau,
Oelaran, Uarau (Umaraun), Malianain, Maubebain, Bauboti, Nauboni (Bouk, 2012).
Struktur
berikutnya adalah “ Dato” yang merupakan perpanjangan tangan dari para Na’I di wilayah kekuasaan masing-masing
raja-raja kecil. Istilah “Dato” ini
menurut para penutur adat hanya berlaku di wilayah kekuasaan kerajaan We Hali
yang ada di Belu. Tugas utama para “Dato”
yaitu: menjalankan perintah Na’I kepada rakyat dan sebaliknya bertindak sebagai
perantara atau mediasi persoalan rakyat yang disampaikan kepada Na’I termasuk sebagai pengumpul upeti dari rakyat.
Fukun
sebagai kepala marga, merupakan lapisan yang berada di bawah Dato dan memiliki tugas untuk melindungi
dan mengatur hubungan sosial masyarakat yang berada dalam marganya (Uma Fukun).
Renu
(rakyat) sebagai lapisan paling bawah dalam strata sosial masyarakat dalam
suatu marga adalah sebagai pembayar atau pemberi upeti kepada raja dan
menjalankan seluruh titah raja, fukun ataupun dato.
Hal yang menarik
dalam sistim pemerintahan tradisonal dari kerajaan We Hali yaitu diperbolehkan
kerajan-kerajaan bawahan dengan status Liurai, Loro dan Na’I diikat dengan
perkawinan oleh putri-putri kerajaan untuk mempererat hubungan tali
persaudaraan. Kerajaan We Hali yang mampu memadukan
politik dagang dan politik perkawinan berhasil memegang kekuasaan di seluruh wilayah Timor dan
sekitarnya dengan didukung oleh para Meo
(panglima perang/prajurit pemberani)
dalam berperang selalu menggunakan hiasan kepala yang disebut noni funan yang merupakan replika dari
perahu kora-kora (Middelkoop, 1963).
Runtuhnya
Pemerintahan Kerajaan We Hali
Dominasi politik
kerajaan We Hali berakhir pada tahun 1642. Pada tahun tersebut pusat kekuasaan
We Hali dihancurkan oleh pasukan Portugis yang dikirimkan oleh seorang pedagang
cendana kaya raya dari Makasar bernama Fransisco Vieira de Vigueirredo,
sehingga dikenal dengan “penyerangan Makasar”. Pasukan Portugis ini dipimpin oleh
Capitan Fransisco Fernandes pada tahun 1641 dengan
kekuatan 90 pasukan disertai 3 (tiga) orang paderi yang dibantu juga oleh orang
Portugis hitam (Topase). Serangan ini
dipicu karena sesuai berita- berita dari mulut ke mulut (folklor)bahwa kerajaan We Hali pada saat itu menjalin persahabatan dengan kerajaan
kembar Gowa-Tallo dan diduga telah menjadi Islam serta terkait dengan
persaingan perdagangan cendana (Nordholt,1971). Akibat serangan tersebut kerajaan
We Hali walaupun tidak runtuh tetapi tidak mampu bangkit kembali sebagai
penguasa di Timor Barat. Hal ini oleh Usfinit (2003) menggambarkan bahwa
runtuhnya sebuah kerajaan pada zaman dahulu umumnya di picu oleh persoalan perebutan
kekuasaan, persoalan batas wilayah maupun persoalan perdagangan hasil bumi yang
tidak adil, sehingga menimbulkan peperangan.
Surutnya kekuasaan
kerajaan We Hali selain akibat serangan pasukan Portugis, diperparah dengan
lepasnya para penguasa lokal (usif) atau Na’I di daerah perbukitan
anak sungai Benain yang semula sebagai pemasok cendana dan ramai-ramai melepaskan diri atau tidak tunduk
lagi terhadap kekuasaan kerajaan We Hali yaitu dengan tidak lagi memberikan upeti berupa kayu cendana. Surutnya kekuasaan dinasti “Maromak
Oan” maka dalam syair adat digambarkan sebagai sebuah pohon besar yang
kehilangan daun dan pohon besar yang bersedih (ai dadoko, ma ai kaekoli) karena kehilangan kekuasaan dan
kewibawaan (Ataupah,1992).
Benda
Peninggalan Kerajaan We Hali
Benda-benda
sakral peninggalan leluhur We Hali seperti: Oe
Mutin atau tongkat komando Pulau Timor yang terbuat dari emas yang
bertuliskan Don Aloese Fernando de We
Hali yang mulai dipakai oleh Liurai We Hali ke-VI yakni Dasin Don Alesu Fernandes, beberapa Surik (pedang) milik para loro/raja, Kabir Morten
(alat-alat unik untuk mengisi sirih – pinang), Kakaluk atau tas berumbai yang terbuat dari uang logam bergambar Ratu
Belanda – bertuliskan Wilhelmina Koningin
der Nederlander, Bolas Kmurak
atau ikat pinggang raja, serta Pelana Kuda milik Liurai Sonbai yang dibawa
pulang setelah bertempur melawan Belanda waktu itu. Barang-barang peninggalan
ini masih disimpan di Tafatik Bot
Builaran (Pusat kerajaan/istana raja) – di We Hali, Belu Selatan atau Belu
Malaka sekarang.
Pelajaran
Yang Dipetik
Faktor yang
menunjang keberhasilan para leluhur membangun kerajaan di Belu Selatan yang
kemudian tumbuh menjadi kerajaan terbesar di Timor Barat tidak terlepas
beberapa hal: Pertama: para pendatang
memiliki peradaban lebih maju dari penduduk asli, sehingga mereka dengan mudah
menaklukkan penduduk asli dan mampu berdaptasi; Kedua: para pendatang menguasai daerah yang strategis di dekat
muara dan sungai Benain yang menjadi pelabuhan terpenting bagi kapal pengangkut
kayu Cendana (Santalum
Album L.) jauh sebelum abad XV
(Widiyatmika, 2000 dalam Seran, 2013);
dan sungai Benain yang daerah hulunya di
pegunungan merupakan pusat penghasil cendana, dijadikan jalur angkutan cendana
dari daerah hulu ke hilir menuju muara sungai Benain yaitu Mota Dikin pada
musim kemarau sekalipun.
Keterkaitannya dengan struktur pemerintahan kerajaan We Hali,
maka masyarakat Belu sekarang mengenal beberapa kelompok/golongan masyarakat
yang terdiri dari: Pertama adalah
kelompok teratas atau kelompok bangsawan (Na’In
Oan) masuk kelompok priyayi; Kedua adalah Fukun- Dato yang
bertindak sebagai kelompok menengah ; dan Ketiga adalah kelompok masyarakat
bawah (Hutun Renu) atau marjinal dan
orang kecil/Wong Cilik; Sampai saat sekarang keterkaitan
antara ketiga kelompok utama tersebut terwujud dalam realisasi program dan
kegiatan pembangunan. Dalam hal ini, kelompok Na’In Oan berperan sebagai koordinator dan mengevaluasi pelaksanaan
pembangunan dan membuat putusan kebijakan; Kelompok Hutun Renu sebagai pelaksana
pembangunan serta Fukun-Dato bertindak
sebagai mediator antara
kedua kelompok tersebut dalam setiap proses pengambilan keputusan (fui mutu lian-fui mutu ibun) secara
adaptasi untuk aspek
pengawasan maupun proses perencanaan pembangunan di wilayah kekuasaan adat masing-masing.
Penutup
Sekarang Kabupaten Malaka
secara resmi telah menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB) sesuai UU Nomor 3 tahun 2013, yang berlaku
sejak 11 Januari 2013 dengan ibukota Betun. Sementara itu Betun juga dijadikan
salah satu wilayah kawasan pengembangan
agropolitan di NTT. Oleh karena itu menjadikan Malaka sebagai
daerah otonomi baru terpisah dari Kabupaten Belu, bukan karena keinginan tetapi
sudah merupakan kebutuhan. Menyikapi kondisi demikian
maka dalam rangka peningkatan dan mutu pelayanan publik, diharapkan agar struktur
dan masa pemerintahan kerajaan We Hali perlu dilakukan penelitian secara
mendalam lagi karena masih menyimpan misteri dan dinamika yang perlu
diungkapkan secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah sebagai
bagian dari pembelajaran untuk generasi yang akan datang.
Daftar
Bacaan
Ataupah,
H. 1992. Ekologi Persebaran Penduduk
dan Pengelompokan Orang.Meto di
Timor Barat. Disertasi,
Universitas Indonesia, Jakarta.
Buru,
Puplius, M, 2009, Fialaran, Hubungan Antara Loro Bauho-Lasiolat, Artikel dalam http://manuamanlakaan.over-blog.com ,
diakses pada tanggal 20 Januari 2013.
Bouk,
Saku, F, 2012, Komunikasi Misi Sosiatas
Verdi Divini Timor, Gita Kasih, Kupang.
Doko,
I. H, 1981, Perjuangan Kemerdekaan
Indonesia di Nusa Tenggara Timur, Balai Pustaka, Jakarta.
Fox,James, J dan Therik,Tom, G. 2002, A Study of Socio-economic Issues Facing Traditional
Indonesian Fishers who Access the MOU Box:
A Report for Environment Australia, J.J Fox, Australia.
Hidayat.
Z. M, 1976, Masyarakat dan Kebudayaan
Suku-Suku Bangsa di Nusa Tenggara Timur, Tarsito, Bandung.
Jacob,
Wadu; Pandie, D; Nua, S.G; Jacob. F; Ninu, J.J.A; dan Neolaka, M., 2003, Sejarah
Pemerintahan Kabupaten Timor Tengah Selatan. Studi tentang Pemerintahan
Kabupaten TTS dari Masa ke Masa., Kerjasama Pemerintah Kabupaten TTS dengan
Lembaga penelitian, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Lumenta,
B, 2011, Sepenggal Sejarah Lahirnya Timor Leste, Artikel dalam http://wesey-wehali.blogspot.com,
diakses pada tanggal 25 Januari 2013.
Middelkoop, P., 1963, Migration of Timorese Groups and the
Question of Atoni Kase Metan, Of Overseas Black Foreigners. E.J.Brill,
Leiden.
Nordholt.
Schulte, H.G.1971, The Political System of Atoni of Timor. The Hague
Martijnus Nijhoff.
Ninu,
Joni. J.A; Thene, J; Djakariah; Taneo. M; dan Rubino. L, 1999, Suatu Tinjauan Sejarah Tentang Upeti di Kerajaan
Nenometa dan Relavansinya dalam Pembangunan, Laporan Penelitian, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Parera,
A.D.M, 1994, Sejarah Pemerintahan
Raja-Raja Timor, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
Seran,
Herman, 2013, Revitalisasi Sektor Sosial Ekonomi di Lembah We Wiku-We Hali, Artikel dalam http://hermanseran.blogspot.com
Diakses pada tanggal 13 Februari 2013.
Tifa,
D dan Itta H., 2007, Jejak Tapak Dari
Masa ke Masa-Belu Pemimpin dan Sejarah, Kerjasama Dengan Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kabupaten Belu, Sesawi, Kupang.
Therik,
Tom, 2004, Wehali, The Female Land
Traditions of a Timorese Ritual Centre, Monographs in Anthropology Series, Universitas
Michigan, Pandanus Book, Australia.
Usfinit,
Un, A.,2003, Maubes-Insana Salah Satu
Masyarakat di Timor Dengan Struktur Adat Yang Unik, Kanisius, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar