Oleh :
Ir.Beny. Ulu Meak, M.Si
PENDAHULUAN
Sebagian besar penduduk di Kabupaten
Timor Tengah Utara (TTU) hidup subsistim sebagai masyarakat desa yang dikategorikan
sebagai peladang-ternak, yang umumnya hanya cukup untuk memenuhi keperluan
fisik-biologik minimal mereka serta keperluan sosial budaya mereka yang amat mendesak saja. Namun warga masyarakat
pedesaan selalu berupaya menyisihkan sebagian pendapatan mereka dari sektor pertanian. Walaupun di wilayah TTU terdapat laut, akan tetapi
sebagian besar warga pedesaan mencari nafkah kehidupan di daratan sebagai
petani lahan kering, khusunya berladang dan beternak. Pada hakekatnya peladang di TTU tidak mengusahakan tanaman pangan musiman diladang saja, akan tetapi juga
bisa memilhara ternak, bertanam tanaman tahunan dan/ atau tanaman umur panjang dan memiliki resiko yaitu
berupa kegagalan panen, hal ini dikarenakan oleh keadaan curah hujan yang tidak
teratur serta tidak menentu yang dibarengi angin kencang serta keadaan
kombinasi unsur-unsur cuaca pada umumnya yang selalu menghantui para peladang
lahan kering.
POLA
BERTANI
Tanah yang akan dijadikan ladang biasanya ada dua macam
yakni tanah hutan dan tanah datar yang berumput.Tanah hutan, penggarapannya
dilakukan dengan menebang pohon-pohon serta membersihkan semak-semak belukar,
lalu membakarnya. Kemudian setelah itu, lalu digarap dengan cangkul maupun
membajaknya. Sebidang tanah ladang biasanya
ditanami secara terus menerus selama dua tahun sampai dengan lima tahun.
Bila sebidang tanah telah dipilih untuk dijadikan ladang, maka pekerjaan
penggarapan biasanya dilakukan oleh satu keluarga-batih, kadang-kadang dibantu
oleh beberapa keluarga-batih yang lain, yang masih mempunyai hubungan
kekerabatan yang dekat. Kemudian bila keluarga-batih yang telah membantu tadi
membutuhkan pertolongan untuk pekerjaan yang serupa, maka ia wajib untuk menolongnya.
Begitu pula halnya pada waktu panen.
Salah
satu kekhasan gaya bertani orang dawan adalah dengan menebang,
membakar dan berpindah secara bertahap/sedikit-sedikit (tradisional), merupakan
suatu sistim peladangan
berotasi secara bertahap yang sering disebut juga sebagai peladangan beringsut (shifting cultivation) dengan
pola tebas-bakar (Slash and burning farmer) dengan memanfaatkan
kesuburan tanah hutan dan potensi lingkungan hutan/belukar yang relatif luas
untuk kelangsungan hidupnya dengan waktu rotasi berladang/berkebun 3 – 5 tahun
untuk kembali pada lokasi kebun yang pertama sedangkan tenggang waktu tersebut
kebun yang lainnya dibiarkan bera begitu saja. Kegiatan tebas–bakar dilakukan
dengan menebang hutan/belukar dan membakarnya secara teratur atau bisanya
disebut ” Kono ” (istilah lokal) . Kegiatan ini dinilai oleh masyarakat
sebagai teknologi sederhana dan murah karena memberikan hasil tanaman yang
cukup baik selama 1-2 kali masa tanam pada lahan yang sama sedangkan berikutnya
mereka sudah melakukan rotasi pada kawasan lahan lain. Hal ini kalau dibiarkan
terus akan memberikan ancaman terhadap kelesetarian lingkungan (Woha, 2001).
Kebun atau ”Lele” (istilah lokal) menurut (Foni, 2003) pada umumnya
dibagi atas 3 jenis yaitu ; lele feu, lele bane dan lele poan. Berdasarkan
pola bertani kebun berpindah dengan tebas-bakar dikatakan bahwa lele feu adalah
lahan tunggu atau lahan pertama yang baru diolah kembali pada musim tanam
tertentu setelah ditinggalkan 3-5 tahun tersebut. Biasanya Lele Feu –lahan
bukaan baru pada tahun pertama apabila lahan tersebut digarap lagi dan pada
tahun kedua disebut dengan Lele Snee selanjutnya akan dilepas dan
ditinggalkan pada tahun ke tiga yang dibiarkan bero sehingga akan tumbuh
tanaman kayu-kayuan dan rumput ilalang dan belukar lainnya sehingga disebut Lele
bane atau lahan yang tidak diolah / ditinggalkan pada tahun ke tiga dan
apabila lahan ini digarap lagi pada tahun ke empat atau kelima disebut sebagai Lele
Feu. Sedangkan lele Poan adalah lahan garapan tetap/kebun tetap
dengan ciri-ciri; luas lahannya kurang lebih 0,20 – 0,30 Ha, pagar kebunnya
permanen yang dibuat dari susunan batu atau pagar hidup, Selanjutnya disebutkan
bahwa petani juga telah biasa melakukan upaya untuk menahan erosi tanah pada
bagian lahan yang cekung dan curam (pada parit/jalur/got/jalur air) dengan
susunan batu/batangan kayu dan disebut sebagai ” bata”. Selanjutnya dari
kegiatan ”bata” ini akan sedikit demi sedikit menahan tanah kikisan air
(sedimentasi) hingga penuh dan hal ini disebut ”Kuni”, pada lokasi ini
biasanya ditanami dengan tanaman pisang, tebu dan nenas.
Pola pencarian nafkah yang utama adalah pertanian- ladang
beringsut dengan sistem tumpangsari dan budidaya lorong.
Kegiatan ladang beringsut merupakan usaha tani input rendah yang umumnya
dilakukan dengan menggunakan teknik pemangkasan semak-semak dan penebangan
beberapa pohon. Kegiatan-kegiatan tersebut melibatkan proses pembakaran
semak-semak yang telah dipangkas. Saelain itu, adapula yang tidak melakukan
kegiatan pembakaran. Petani di Kabupaten TTU hanya membudidayakan tanaman
pangan umur pendek (semusim) dan tanaman tahunan (umur panjang).
Teknik peladangan beringsut oleh petani pedesaan (peasant) di Kabupaten TTU dilakukan secara bergiliran. Misal pada
tahun ke-1, pembukaan ladang pada lahan A, pada tahun ke-2 di ladang B,tahun
ke-3 di ladang C dan seterusnya, tetapi proses ini petani tidak ikut berpindah
tempat tinggalnya hanya tempat ladangnya saja yang berrotasi secara bertahap
atau bergiliran. Kegiatan pembakaran jaringan
tumbuhan dimaksudkan agar terbentuknya abu hasil pembakaran dalam
jumlah yang banyak, yang dapat berfungsi sebagai pupuk bagi tanah sedangkan
unsur hara yang menguap oleh rumput yang terbakar tidak ada artinya
(Ewusie,1990). Pembakaran yang dilakukan tentu saja akan berdampak negatif
terhadap lingkungan apalagi kondisi iklim di Kawasan TTU yang sebagian adalah
beriklim kering. Sesudah kegiatan pembakaran,tanah menjadi terbuka dan erosi
akan lebih cepat terjadi pada saat musim hujan dan mempercepat habisnya tanah
lapisan atas (top soil). Akibat dari
erosi dan pembakaran maka humus dipermukaan setebal 30 cm akan habis dalam
jangka waktu 3-4 tahun.Pertanian dengan ladang
beringsut, di satu pihak merupakan suatu bentuk kearifan ekologis dan adaptasi
ekologis karena secara tidak langsung membantu proses pemulihan kesuburan tanah
dan dilain pihak menyebabkan semakin menipisnya vegetasi dan
semakin luasnya areal lahan kritis atau yang secara ekonomis merupakan
lahan-lahan marginal.
Menurut Ataupah
(2011), sebelum orang Eropa berhubungan dengan oramg Timor, umumnya adalah
petani umbi-umbian yang mensuplai makanan mereka dari bahan makanan yang
diperoleh dari hutan dan talas atau keladi
merupakan makanan utama saat itu. Pengenalan padi dan jagung, dua bahan makanan
biji-bijian bagi orang Timor diyakini belum terlalu lama yakni sekitar tahun
1570-an dari Amerika Tengah yang dibawa oleh bangsa Portugis dan sekitar tahun 1920-an barulah tanaman ubi
kayu menyebar di Timor. Kedatangan Belanda menggantikan Portugis
membawa pula perubahan ekologi yang cukup signifikan karena membawa serta
sejumlah tanaman baru seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, terung, dan tomat
(Fox, 1977).
Kemudian
memasuki tahun 1980-an masyarakat dawan-TTU secara perlahan-lahan mulai
mengembangkan pola pertanian baru, yakni perladangan dengan cara na’fot í (bahasa
lokal = balik tanah) dengan peralatan
tradisional, sepertai suan (Bahasa lokal =
tugal) dan kannu (bahasa lokal =
linggis). Gaya bertani ini juga masih berotasi secara bertahap, dengan
tebas-bakar setelah beberapa kali ditanami. Perbedaannya, yakni bahwa ladang
yang disebutkan terakhir ini, tidak begitu jauh dari permukiman penduduk.
Hubungan antara
petani dengan ladang, baik yang diusahakan maupun yang dibera dapat bersdampak
positif maupun negatif. Dampak positif berupa pemanfaatan ladang untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya/mendapatkan bahan makanan. Jika ingin mendapatkan
hasil yang maksimal maka dia harus membersihkan ladang dan menanami dengan
berbagai macam komoditi seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, padi ladang
dan sorghum yang apabila hasilnya berlimpah maka dapat dipakai sebagai cadangan
makanan dan sebahagian kecil dapat digunakan sebagai bahan makanan/pakan ternak
babi. Tumbuhan lain yang terdapat di dalam ladang seperti gebang, rumput dan
tumbuhan muda dapat dimanfaatkan untuk kayu api, bahan bangunan rumah, bahan
baku pagar dan kandang. Dampak
negatif yang ditimbulkan dalan hubungan relasi ini adalah apabila pemanfaatan
lahan tidak memperhatikan kaedah-kaedah konservasi tanah maka akan menimbulkan
bencana tanah longsor dan banjir. Demikian pula halnya dapat timbul ledakan hama tanaman yang dapat menyerang tanaman di ladang.
POLA BETERNAK
Tanaman Lantana Camara
(Pangkase = Bahasa lokal) sebagai pakan
ternak yang
dibawa masuk bersamaan dengan ternak sapi Bali (Bos Sondaicus) oleh bangsa Belanda
sekitar
tahun 1912 hingga tahun 1919 (Ormeling, 1956), sehingga memberikan predikat
kepada Kabupaten TTU sebagai salah satu daerah “gudang ternak” di pulau Timor.
Dampak yang ditimbulkan dari masuknya sapi Bali
yang memiliki banyak lalat, yakni punahnya populasi kerbau di Timor. Sementara
tanaman Lantana Camara yang
dalam perkembangannya tumbuh sangat lebat dan menutupi sebagian besar lahan di
Kabupaten TTU, memberikan pengaruh dan tempat bersembunyi sapi dan binatang
hutan lainnya dan daunnya yang masih mudah oleh penduduk lokal
dijadikan obat luka baru setelah dikunyah sampai halus.
Upaya
pemerintah Kabupaten TTU sebagai daerah “Gudang Ternak” di Propinsi NTT, untuk
meningkatkan populasi ternak andalan Sapi Bali
menghadapi kendala yang semakin serius karena belakangan ini lalu-lintas
mutasi ternak keluar, terutama bibit pejantan menjadi semakin sulit
dikendalikan; ditambah ancaman penyakit bruccelosis yang sampai dengan
saat ini terus menjadi momok yang menghantui perkembangan populasi ternak sapi,
ketersediaan Hijauan Makanan Ternak (HMT) semakin berkurang dan rusaknya
ketersediaan rumput di padang penggembalaan akibat tekanan dari rumput bunga
putih (suf muti = bahasa lokal) atau Cromalin Odoratha. Kendala lainya adalah, sebagian besar petani
ternak masih bertahan pada pola budidaya ternak yang bersifat tradisional
sebagai akibat dari kurang variatifnya pola pembinaan dan penyuluhan yang
selama ini terkesan masih terpaku pada pola konvensional. Pola budidaya ternak
yang bersifat sub sisten ini mengakibatkan pertambahan populasi ternak berjalan
di tempat, dan terkesan berjalan secara alamiah tanpa rekayasa teknologi
peternakan secara signifikan.
PENUTUP
Berdasarkan uraian singkat pola
pencaharian nafkah oleh masyarakat dawan-TTU, maka dapat dikatakan bahwa pola
adaptasi ekologis yang dimilikinya dan ini
memainkan peranan yang penting dalam keberhasilan melakukan hubungan dengan
fenomena alam, lingkungan sekitar, dan aneka tanaman, ternak
dan manfaat yang diperoleh dari usaha pertanian tersebut. Alasan inilah yang
membenarkan bahwa perlakuan manusia terhadap alam atau lingkungannya tidak lain
adalah suatu proses adaptasi (Goldschmidt, 1986). Namun demikian, adaptasi yang
berlebihan dalam arti penggunaan sumber daya alam secara berlebihan dapat
berakibat maladaptif. Artinya, campur tangan manusia, baik terhadap
lingkungan maupun terhadap ekosistemnya secara tidak terkendalikan, dapat
memberikan gangguan pada keseimbangan ekologi (Bennert,1978).
DAFTAR BACAAN
Ataupah,
H, 2011., Materi Pokok Perkuliahan
Ekologi Manusia, Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan,Program Pasca sarja, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Bennet,
John W., 1978, The Ecological Transition: Cultural Antropolgy and Human
Adaptation, Pergamon Press Inc.USA.
Ewusie, J.Y., 1990. Pengantar Ekologi Tropika.
Institut Teknologi Bandung (ITB) . Bandung
Fox,
James J., 1977 Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia.
Cambridge University Press.London.
Foni,
W.2003.. Budaya Bertani Atoni Pah Meto. Program Pasca Sarjana, Universitas
Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Goldschmidt,
W., 1986. The Sebei. A Study in Adaptation.CBS College Publishing. New
York.
Ormeling,F,J.,1956, The Timor
Problem: A Geograpychal Interpretation of an Underdeveloped island, Jakarta dan
Croningen,:J.B Wolter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar