Oleh:
Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si
I.
Pengantar
Jender secara etimologis
diartikan sebagai menjadi laki-laki dan perempuan yang dikaitkan dengan isu
perbedaan mengenai relasi, dan peranan laki-laki dan perempuan. Jender
dinyatakan sebagai suatu karakteristik sosial pada tahun 1972 oleh Mary
Wollstonecraft (Ivy dan Barklund, 1995) dalam
Mugniesyah (2007). Kemudian oleh
para ahli jender mendefenisikan jender sebagai suatu bentukan konstruksi sosial
mengenai perbedaan peran, fungsi serta tanggungjawab antara laki-laki dan
perempuan menurut budaya yang berbeda-beda bagaimana laki-laki berprilaku
maskulin dan perempuan berprilaku feminim.
Dalam budaya masyarakat dawan atoin meto Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU),
ungkapan yang terkait dengan sifat-sifat dan hubungan/relasi sosial antara laki-laki atau perempuan direfleksikan pada ungkapan abit
mone dan abit ume. Ungkapan abit mone berarti yang diluar atau
manusia yang layak di luar rumah atau sebutan untuk laki-laki sebagai pencari
nafkah untuk keluarganya. abit ume adalah manusia penjaga rumah pengatur rumah
atau sebutan untuk kaum perempuan yang
dapat mengerjakan berbagai kegiatan domestik dalam rumah. Pada giliran
berikutnya perbedaan biologis dan pola peran ini telah membawa implikasi pada
perbedaan jender secara turun temurun. Salah satu hasil temuan yang terpenting
dari perbedaan jender yang ditemukan dari banyak budaya di seluruh dunia adalah
perempuan tinggal di rumah dan merawat anak-anaknya dan laki-laki meninggalkan
rumah untuk memperoleh makanan (Berry dan Child; dalam Matsumoto,1996).
Status perempuan dianggap sebagai penjaga rumah sebab perempuan dianggap hanya akan
memiliki kekuasaan dalam aktivitas disekitar rumah. meskipun demikian diakui
bahwa itu hanya sementara saja, jika perempuan pada saatnya bersuami akan menjadi milik orang lain dan
akan meninggalkan rumah. Sedangkan
laki-laki dianggap sebagai pemilik rumah karena laki-laki dianggap
penguasa harta warisan, penerus keturunan dan pemilik kehidupan keluarga itu.
Konsep peran produktif baik dalam rumah maupun di masyarakat tidak ada
perbedaan yang terstruktur, meskipun ada peran yang berbeda antara laki-lakai
dan perempuan yakni sama - sama menghasilkan
sesuatu, kerja bersama akan tetapi keputusan pengelolaan
penghasilan rumah tangga seperti misalnya hasil jual sesuatu produk yang bersifat ekonomis perempuan masih cenderung
mengikuti apa kata suami/laki-laki sebab telah menjadi sesuatu yang harus
diakui perempuan akibat konstruksi budaya patriachat.
Tampaknya sistem politik (pengambilan keputusan) dalam keluarga yang patriarchat memberi kontribusi dalam hal
sexist terhadap perempuan yang
dipengaruhi oleh faktor kekuasaan. Hal ini diungkapkan oleh Dzuhayatin (1997) bahwa
konsep kekuasaan pada budaya patriarchat adalah
ekspresi kelaki-lakian dari “sang penentu”, sehingga setiap laki-laki
merefleksikan kekuasaan tersebut kepada individu yang lain, misalnya ayah terhadap anak, suami terhadap istri,
kakak laki-laki terhadap adik, dan yang tertinggi raja terhadap rakyatnya.
II. Distorsi Jender
Ungkapan
budaya dalam masyrakat dawan-TTU yaitu : “Nekaf Mese, Ansao Mese, Lalan Mese” (satu hati, satu Jiwa,
satu tujuan) telah
memperkuat hubungan sosial (Social
Communal) diantara laki-laki dan perempuan dalam konteks kelompok afinitas
yang tidak berdasarkan domisili tetapi lebih memperhatikan kepentingan bersama
untuk tujuan bersama, sehingga memunculkan pengakuan peran produktif bahwa
pembedaan laki-laki dan perempuan bukan merupakan masalah bagi kebanyakan
orang, tetapi pembedaan ini menjadi masalah ketika menghasilkan
ketidaksetaraan, dimana laki-laki memperoleh dan menikmati kedudukan yang lebih
baik dan menguntungkan daripada perempuan. Jadi yang menjadi persoalan bukan
hanya perbedaan laki-laki dan perempuan. Lebih jauh, pembedaan laki-laki dan
perempuan telah menjadi landasan ketidaksetaraan tersebut, karena masyarakat
memandang perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Sering dijumpai juga
ketimpangan jender pada keluarga yang merupakan keturunan bangsawan
(Usif), maka perempuan selalu diberi tanggung jawab
yang sedikit dibandingkan dengan laki-laki.
Peran jender (gender role) oleh
masyarakat diterima sebagai ketentuan
sosial, bahkan diyakini sebagai kodrat. Ketimpangan sosial yang bersumber dari
perbedaan gender itu sangat merugikan posisi perempuan dalam berbagai komunitas
sosialnya. Akibatnya ketidakadilan jender menurut Fakih (2006) seperti: (1)
marginalisasi (proses pemiskinan ekonomi) perempuan;
(2) penempatan perempuan pada subordinansi (anggapan tidak penting) ;
(3) stereotype (pelabelan negatif)
perempuan; (4) kekerasan (violence) terhadap
perempuan; dan (5) beban kerja tidak
proposional (lebih panjang dan banyak/burden) masih dijumpai juga di kalangan
masyarakat TTU.
Status sosial perempuan
pada masa lalu yang dapat mempengaruhi
kebijakan ditingkat lembaga adat yang umumnya didominasi oleh laki-laki adalah
konsep atoin Amaf, yakni laki-laki sebagai pengambil keputusan dalam
keluarga, sekalipun masih anak-anak tetap
saja laki-laki dan harus dihormati. Kelak mereka yang berhak atas belis/uang
air susu ibu dari saudari perempuan dan anak-anak dari saudari perempuannya.
Kalau Atoin Amaf ini menikah, dia
harus keluar dari keluarga inti dan perempuan kawin masuk, namun hak waris kekuasaan
tetap di anak laki-laki. Sebagai Atoin
Amaf, kalau ada yang meninggal, dia berhak duduk bersama bapak dan mama
dalam lingkaran kelompok pembuat keputusan dan sebagai pemegang kekuasaan untuk marga keluarga
itu.
Menurut Tahu (2013) bahwa diskriminasi
sitemik dalam
kehidupan orang Timor telah terjadi sejak kelahiran manusia. Konstruksi
patriarkhat sangat kuat dalam kehidupan secara umum. Ketika seorang ibu melahirkan, sudah ada
simbol-simbol lokal yang diberikan kepada bayi perempuan maupun laki-laki.
Misalnya jika yang lahir adalah perempuan, maka serentak mereka yang berada di dalam ruang bersalin akan
berteriak dengan bahasa lokal: “Apao Ume Nemen” yang
artinya penjaga rumah sudah datang atau, “Apao
Li’ana Nemen “ yang berarti penjaga anak sudah datang. Simbol lain yang sering disebutkan adalah “Amnemat i ateuns” artinya yang datang ini adalah
penenun dan “Ahanat Nemen ” yang berarti tukang masak sudah
datang. Julukan penenun, penjaga anak, penjaga rumah dan tukang masak mengandung makna domestik terhadap ruang lingkup
kehidupan perempuan. Dengan sendirinya membentuk pengakuan dan anggapan peran
perempuan hingga perlakuannya yang kemudian melahirkan diskriminasi
sistemik sehingga menjadikan ranah domestik adalah ruang khusus bagi manusia berjenis kelamin perempuan.
Meskipun perempuan harus terlibat di ranah publik, perempuan tetap harus
bertanggungjawab penuh pada ranah domestik. Sama halnya dengan laki-laki. Ketika bayi laki
laki yang lahir, bayi itu akan disapa dengan
“Ameup Lele “ yang berarti pekerja kebun atau sumber ekonomi keluarga, “Ume Nakaf” yang berarti kepala
rumah tangga, dan “Ana’aplenat” yang berarti pemimpin. Sementara terkait pengakuan laki-laki yang
adalah penerus keturunan disimbolkan saat lahir dengan sebutan “Ahointob” bagi orang dari wilayah Insana; dan “Anaob Honit” bagi orang yang berada di
wilayah Miomaffo. Pemberian simbol juga sangat berdampak pada manifestasi ketidakadilan jender yaitu mempersepsi, memberi nilai serta
memberi tugas atau peran antara laki-laki dan perempuan. Kondisi ini menurut Mugniesyah (2007) bahwa perbedaan jenis kelamin telah mempengaruhi
manusia untuk memberi peresepsi identitas peranan jender atau perbedaan peran
jender. Dampaknya dari anggapan ini terbawa hingga menjadi landasan dalam masyarakat untuk mengkotakan perempuan dan
laki-laki serta perempuan tersubordinansi oleh peranan laki-laki yang dominan.
III.
Peran Jender dalam Bertani
Secara
umum, pembagian peran gender dalam masyarakat dikelompokkan menjadi peran reproduktif, produktif dan politik (pengambil keputusan) dalam masyarakat. Peran perempuan dalam kegiatan bertani
sangat penting, namun perempuan
sering dianggap sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap penyediaan pangan
bagi keluarganya. Ketika sumberdaya pangan terbatas, perempuan harus berpikir
keras bagaimana memperoleh makanan untuk mencukupi kebutuhan konsumsi
keluarganya. Sering ditemui perempuan harus mencari bahan makanan dari tanaman
yang tumbuh liar disekitar rumah dan ladangnya.
Dengan budaya patriarkat yang masih dianut di
wilayah TTU
membuat akses perempuan terhadap pangan terbatas. Ketika kebutuhan pangan dalam
keluarga tidak tercukupi, maka perempuan adalah orang terakhir yang mengakses
makanan setelah suami dan anak-anaknya. Dari sisi peran produktif, sejatinya
perempuan berperan cukup besar dalam kegiatan pertanian, mulai dari pengolahan
tanah, penanaman sampai panen dan pasca
panen. Namun perempuan yang bekerja sebagai petani tidak dianggap berprofesi
sebagai petani, tetapi hanya dianggap sebagai anggota keluarga (isteri petani) saja. Akibatnya, akses perempuan
untuk mendapatkan penyuluhan teknologi, kredit usaha tani ataupun peningkatan
kemampuan dan keterampilan pertanian lainnya relatif masih rendah. Pada gilirannya peran perempuan di sisi politik atau sebagai
pengambil keputusan dalam
kegiatan bertani
masih sangat terbatas.
Pada Tahapan pembersihan lahan, didominasi oleh laki-laki akan tetapi pada
jenis pekerjaan pembersihan gulma, perempuan
dan laki-laki berperan sama. Hal ini tidak termasuk pekerjaan perempuan yakni
sambil terlibat dalam pembersihan gulma perempuan juga menyiapkan makanan (peran ganda). Khusus persiapan benih
secara umum masih didominasi oleh perempuan. Kalaupun ada laki-laki yang
berperan itu hanya peran pelengkap. Pemilihan benih 100% dilakukan oleh kaum perempuan. Jenis pekerjaan ini sudah menjadi prinsip
yang dianut oleh masyarakat Timor bahwa jika perempuan yang menyediakan benih
akan mendatangkan hasil yang lebih memuaskan. Adapun alasan mengapa perempuan
yang harus bertanggungjawab untuk pemilihan
benih karena diyakini bahwa kaum laki-laki adalah pemboros dan tangan “kotor”
sehingga tidak dipercaya untuk
menyediakan benih, sementara perempuan diyakini “tangan dingin/subur” dan penyediaan benih ibarat persiapan memiliki anak. Jadi
perempuan yang lebih bertanggung jawab mengatur diri dan menjaga dirinya agar
berhasil. Pada saat kegiatan penanaman, pemupukan
dan panen, perempuan dan
laki-laki melakukannya secara bersama
(Tahu, 2013).
Daftar Bacaan
Dzuhayatin, S.R. 1997, Agama
dan Budaya Perempuan: Mempertanyakan Posisi perempuan dalam Islam; dalam
Abdullah, I (ed); Sangkan Paran Gender; Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Fakih,
Mansour, 2006, Analisis Gender dan
Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogjakarta.
Matsumoto, D.,1996, Culture and psychology. Padific Grove: Brooks/Cole Publishing Company.
Mugniesyah,
Siti Sugiah, 2007. Gender, Lingkungan dan
Pembangunan Berkelanjutan dalam Ekologi Manusia. Editor Soeryo
Adiwibowo. Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.
Tahu, Maria, F, 2013, Gender
dalam Pemasaran Sosial untuk Penggunaan Benih Jagung Unggul di Propinsi Nusa
Tenggara Timur, Laporan Kajian, Proyek AIPD (Australia Indonesia Patrnesip Developmment) dengan
mitranya YMTM (Yayasan Mitra Tani Mandiri) Kefamenanu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar