Kamis, 21 Mei 2015

BUDAYA JENDER MASYARAKAT DAWAN “ATOIN METO” KABUPATEN TTU-NTT


Oleh: 
Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si

I.     Pengantar
Jender secara etimologis diartikan sebagai menjadi laki-laki dan perempuan yang dikaitkan dengan isu perbedaan mengenai relasi, dan peranan laki-laki dan perempuan. Jender dinyatakan sebagai suatu karakteristik sosial pada tahun 1972 oleh Mary Wollstonecraft (Ivy dan Barklund, 1995) dalam Mugniesyah (2007). Kemudian oleh para ahli jender mendefenisikan jender sebagai suatu bentukan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran, fungsi serta tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan menurut budaya yang berbeda-beda bagaimana laki-laki berprilaku maskulin dan perempuan berprilaku feminim.  
Dalam budaya masyarakat  dawan atoin meto  Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), ungkapan yang terkait dengan sifat-sifat dan hubungan/relasi sosial antara laki-laki atau perempuan direfleksikan pada ungkapan  abit mone dan abit ume. Ungkapan abit mone berarti yang diluar atau manusia yang layak di luar rumah atau sebutan untuk laki-laki sebagai pencari nafkah untuk keluarganya. abit ume  adalah manusia penjaga rumah pengatur rumah atau sebutan  untuk kaum perempuan yang dapat mengerjakan berbagai kegiatan domestik dalam rumah.  Pada giliran berikutnya perbedaan biologis dan pola peran ini telah membawa implikasi pada perbedaan jender secara turun temurun. Salah satu hasil temuan yang terpenting dari perbedaan jender yang ditemukan dari banyak budaya di seluruh dunia adalah perempuan tinggal di rumah dan merawat anak-anaknya dan laki-laki meninggalkan rumah untuk memperoleh makanan (Berry dan Child; dalam Matsumoto,1996).
Status perempuan dianggap sebagai penjaga rumah sebab perempuan dianggap hanya akan memiliki kekuasaan dalam aktivitas disekitar rumah. meskipun demikian diakui bahwa itu hanya sementara saja, jika perempuan  pada saatnya  bersuami akan menjadi milik orang lain dan akan meninggalkan rumah. Sedangkan  laki-laki dianggap sebagai pemilik rumah karena laki-laki dianggap penguasa harta warisan, penerus keturunan dan pemilik kehidupan keluarga itu. Konsep peran produktif baik dalam rumah maupun di masyarakat tidak ada perbedaan yang terstruktur, meskipun ada peran yang berbeda antara laki-lakai dan perempuan yakni sama - sama menghasilkan sesuatu,  kerja bersama akan tetapi keputusan pengelolaan penghasilan rumah tangga  seperti misalnya hasil jual sesuatu produk yang  bersifat ekonomis perempuan masih cenderung mengikuti apa kata suami/laki-laki sebab telah menjadi sesuatu yang harus diakui perempuan akibat konstruksi budaya patriachat. Tampaknya sistem politik (pengambilan keputusan) dalam keluarga yang patriarchat memberi kontribusi dalam hal sexist terhadap perempuan yang dipengaruhi oleh faktor kekuasaan. Hal ini diungkapkan oleh Dzuhayatin (1997) bahwa konsep kekuasaan pada budaya patriarchat adalah ekspresi kelaki-lakian dari “sang penentu”, sehingga setiap laki-laki merefleksikan kekuasaan tersebut kepada individu yang lain, misalnya  ayah terhadap anak, suami terhadap istri, kakak laki-laki terhadap adik, dan yang tertinggi raja terhadap rakyatnya.

II.      Distorsi Jender
Ungkapan budaya  dalam masyrakat dawan-TTU yaitu : “Nekaf Mese, Ansao Mese, Lalan Mese” (satu hati, satu Jiwa, satu tujuan) telah memperkuat hubungan sosial (Social Communal) diantara laki-laki dan perempuan dalam konteks kelompok afinitas yang tidak berdasarkan domisili tetapi lebih memperhatikan kepentingan bersama untuk tujuan bersama, sehingga memunculkan pengakuan peran produktif bahwa pembedaan laki-laki dan perempuan bukan merupakan masalah bagi kebanyakan orang, tetapi pembedaan ini menjadi masalah ketika menghasilkan ketidaksetaraan, dimana laki-laki memperoleh dan menikmati kedudukan yang lebih baik dan menguntungkan daripada perempuan. Jadi yang menjadi persoalan bukan hanya perbedaan laki-laki dan perempuan. Lebih jauh, pembedaan laki-laki dan perempuan telah menjadi landasan ketidaksetaraan tersebut, karena masyarakat memandang perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Sering dijumpai juga ketimpangan jender pada keluarga yang merupakan keturunan bangsawan (Usif),  maka perempuan selalu diberi tanggung jawab yang sedikit dibandingkan dengan laki-laki.
Peran jender (gender role) oleh masyarakat  diterima sebagai ketentuan sosial, bahkan diyakini sebagai kodrat. Ketimpangan sosial yang bersumber dari perbedaan gender itu sangat merugikan posisi perempuan dalam berbagai komunitas sosialnya. Akibatnya ketidakadilan jender  menurut Fakih (2006)  seperti: (1) marginalisasi (proses pemiskinan ekonomi) perempuan;  (2) penempatan perempuan pada subordinansi (anggapan tidak penting) ; (3) stereotype (pelabelan negatif) perempuan;  (4) kekerasan (violence) terhadap perempuan; dan  (5) beban kerja tidak proposional (lebih panjang dan banyak/burden) masih dijumpai juga di kalangan masyarakat TTU.
Status sosial perempuan pada masa lalu yang dapat  mempengaruhi kebijakan ditingkat lembaga adat yang umumnya didominasi oleh laki-laki adalah konsep atoin Amaf, yakni laki-laki sebagai pengambil keputusan dalam keluarga, sekalipun  masih anak-anak  tetap saja laki-laki dan harus dihormati. Kelak mereka yang berhak atas belis/uang air susu ibu dari saudari perempuan dan anak-anak dari saudari perempuannya. Kalau Atoin Amaf ini menikah, dia harus keluar dari keluarga inti dan perempuan kawin masuk, namun hak waris kekuasaan tetap di anak laki-laki. Sebagai Atoin Amaf, kalau ada yang meninggal, dia berhak duduk bersama bapak dan mama dalam lingkaran kelompok pembuat keputusan dan sebagai pemegang kekuasaan untuk marga keluarga itu.
Menurut Tahu (2013) bahwa diskriminasi sitemik dalam kehidupan orang Timor telah terjadi sejak kelahiran manusia. Konstruksi patriarkhat sangat kuat dalam kehidupan secara umum.  Ketika seorang ibu melahirkan, sudah ada simbol-simbol lokal yang diberikan kepada bayi perempuan maupun laki-laki. Misalnya jika yang lahir adalah perempuan, maka serentak  mereka yang berada di dalam ruang bersalin akan berteriak dengan bahasa lokal: “Apao Ume Nemen” yang artinya penjaga rumah  sudah datang  atau, “Apao Li’ana Nemen “ yang berarti penjaga anak sudah datang. Simbol  lain yang sering disebutkan adalah  Amnemat  i ateuns” artinya yang datang ini adalah penenun dan “Ahanat Nemen ” yang berarti tukang masak sudah datang. Julukan penenun, penjaga anak, penjaga rumah dan tukang masak mengandung makna domestik terhadap ruang lingkup kehidupan perempuan. Dengan sendirinya membentuk pengakuan dan anggapan peran perempuan hingga perlakuannya yang kemudian melahirkan diskriminasi sistemik sehingga menjadikan ranah domestik adalah ruang khusus bagi manusia berjenis kelamin perempuan. Meskipun  perempuan harus terlibat di ranah publik, perempuan tetap harus bertanggungjawab penuh pada ranah domestik. Sama halnya dengan laki-laki. Ketika bayi laki laki yang lahir, bayi itu akan disapa dengan  Ameup Lele yang berarti pekerja kebun atau sumber ekonomi keluarga, Ume Nakaf yang berarti kepala rumah tangga, dan “Ana’aplenat yang berarti pemimpin. Sementara terkait pengakuan laki-laki yang adalah penerus keturunan disimbolkan saat lahir dengan sebutan Ahointob bagi orang dari wilayah Insana; dan Anaob Honit bagi orang yang berada di wilayah Miomaffo. Pemberian simbol juga sangat berdampak pada manifestasi  ketidakadilan jender yaitu mempersepsi, memberi nilai serta memberi tugas atau peran antara laki-laki dan perempuan. Kondisi ini menurut Mugniesyah (2007) bahwa perbedaan jenis kelamin telah mempengaruhi manusia untuk memberi peresepsi identitas peranan jender atau perbedaan peran jender. Dampaknya dari anggapan ini  terbawa hingga menjadi landasan dalam masyarakat untuk mengkotakan perempuan dan laki-laki serta perempuan tersubordinansi oleh peranan laki-laki yang dominan.

III.   Peran Jender dalam Bertani

Secara umum, pembagian peran gender dalam masyarakat dikelompokkan menjadi  peran reproduktif, produktif  dan politik (pengambil keputusan) dalam masyarakat. Peran perempuan dalam kegiatan bertani sangat penting, namun perempuan sering dianggap sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap penyediaan pangan bagi keluarganya. Ketika sumberdaya pangan terbatas, perempuan harus berpikir keras bagaimana memperoleh makanan untuk mencukupi kebutuhan konsumsi keluarganya. Sering ditemui perempuan harus mencari bahan makanan dari tanaman yang tumbuh liar disekitar rumah dan ladangnya.
Dengan  budaya patriarkat yang masih dianut di wilayah TTU membuat akses perempuan terhadap pangan terbatas. Ketika kebutuhan pangan dalam keluarga tidak tercukupi, maka perempuan adalah orang terakhir yang mengakses makanan setelah suami dan anak-anaknya. Dari sisi peran produktif, sejatinya perempuan berperan cukup besar dalam kegiatan pertanian, mulai dari pengolahan tanah, penanaman sampai panen dan pasca panen. Namun perempuan yang bekerja sebagai petani tidak dianggap berprofesi sebagai petani, tetapi hanya dianggap sebagai anggota keluarga (isteri petani) saja. Akibatnya, akses perempuan untuk mendapatkan penyuluhan teknologi, kredit usaha tani ataupun peningkatan kemampuan dan keterampilan pertanian lainnya relatif masih rendah. Pada gilirannya  peran perempuan di sisi politik atau sebagai pengambil keputusan dalam kegiatan bertani masih sangat terbatas.
Pada Tahapan pembersihan lahan,  didominasi oleh laki-laki akan tetapi pada jenis pekerjaan pembersihan gulma, perempuan dan laki-laki berperan sama. Hal ini tidak termasuk pekerjaan perempuan yakni sambil terlibat dalam pembersihan gulma perempuan juga menyiapkan makanan (peran ganda). Khusus persiapan benih secara umum masih didominasi oleh perempuan. Kalaupun ada laki-laki yang berperan itu hanya peran pelengkap. Pemilihan benih 100% dilakukan oleh kaum perempuan.  Jenis pekerjaan ini sudah menjadi prinsip yang dianut oleh masyarakat Timor bahwa jika perempuan yang menyediakan benih akan mendatangkan hasil yang lebih memuaskan. Adapun alasan mengapa perempuan yang harus bertanggungjawab untuk pemilihan benih karena diyakini bahwa kaum laki-laki adalah pemboros dan tangan “kotor”  sehingga  tidak dipercaya untuk menyediakan benih, sementara  perempuan diyakini tangan dingin/subur” dan penyediaan benih ibarat persiapan memiliki anak. Jadi perempuan yang lebih bertanggung jawab mengatur diri dan menjaga dirinya agar berhasil. Pada saat kegiatan penanaman, pemupukan  dan  panen, perempuan dan laki-laki melakukannya secara bersama (Tahu, 2013).

Daftar Bacaan

Dzuhayatin, S.R. 1997,  Agama dan Budaya Perempuan: Mempertanyakan Posisi perempuan dalam Islam; dalam Abdullah, I (ed); Sangkan Paran Gender; Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Fakih, Mansour, 2006, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogjakarta.

Matsumoto, D.,1996,  Culture and psychology. Padific Grove: Brooks/Cole Publishing Company.

Mugniesyah, Siti Sugiah, 2007. Gender, Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan dalam Ekologi Manusia. Editor Soeryo Adiwibowo. Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.
Tahu, Maria, F, 2013,  Gender dalam Pemasaran Sosial untuk Penggunaan Benih Jagung Unggul di Propinsi Nusa Tenggara Timur, Laporan Kajian, Proyek AIPD (Australia Indonesia Patrnesip Developmment) dengan mitranya YMTM (Yayasan Mitra Tani Mandiri) Kefamenanu.

Minggu, 03 Mei 2015

POLA PENCARIAN NAFKAH DI LAHAN KERING BAGI MASYARAKAT “DAWAN” -TIMOR TENGAH UTARA



Oleh :
Ir.Beny. Ulu Meak, M.Si


PENDAHULUAN

Sebagian besar penduduk di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) hidup subsistim  sebagai masyarakat desa yang dikategorikan sebagai peladang-ternak, yang umumnya hanya cukup untuk memenuhi keperluan fisik-biologik minimal mereka serta keperluan sosial budaya mereka yang amat mendesak saja. Namun warga masyarakat pedesaan selalu berupaya menyisihkan sebagian pendapatan mereka dari sektor pertanian. Walaupun di wilayah TTU terdapat laut, akan tetapi sebagian besar warga pedesaan mencari nafkah kehidupan di daratan sebagai petani lahan kering, khusunya berladang dan beternak. Pada hakekatnya peladang di TTU tidak mengusahakan tanaman pangan musiman diladang saja, akan tetapi juga bisa memilhara ternak, bertanam tanaman tahunan dan/ atau tanaman umur panjang dan memiliki resiko yaitu berupa kegagalan panen, hal ini dikarenakan oleh keadaan curah hujan yang tidak teratur serta tidak menentu yang dibarengi angin kencang serta keadaan kombinasi unsur-unsur cuaca pada umumnya yang selalu menghantui para peladang lahan kering.

POLA BERTANI

Tanah yang akan dijadikan ladang biasanya ada dua macam yakni tanah hutan dan tanah datar yang berumput.Tanah hutan, penggarapannya dilakukan dengan menebang pohon-pohon serta membersihkan semak-semak belukar, lalu membakarnya. Kemudian setelah itu, lalu digarap dengan cangkul maupun membajaknya. Sebidang tanah ladang biasanya  ditanami secara terus menerus selama dua tahun sampai dengan lima tahun. Bila sebidang tanah telah dipilih untuk dijadikan ladang, maka pekerjaan penggarapan biasanya dilakukan oleh satu keluarga-batih, kadang-kadang dibantu oleh beberapa keluarga-batih yang lain, yang masih mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat. Kemudian bila keluarga-batih yang telah membantu tadi membutuhkan pertolongan untuk pekerjaan yang serupa, maka ia wajib untuk menolongnya. Begitu pula halnya pada waktu panen.
Salah satu kekhasan gaya bertani orang dawan adalah dengan menebang, membakar dan berpindah secara bertahap/sedikit-sedikit (tradisional), merupakan suatu sistim peladangan berotasi secara bertahap yang sering disebut juga sebagai peladangan beringsut (shifting cultivation) dengan pola tebas-bakar (Slash and burning farmer) dengan memanfaatkan kesuburan tanah hutan dan potensi lingkungan hutan/belukar yang relatif luas untuk kelangsungan hidupnya dengan waktu rotasi berladang/berkebun 3 – 5 tahun untuk kembali pada lokasi kebun yang pertama sedangkan tenggang waktu tersebut kebun yang lainnya dibiarkan bera begitu saja. Kegiatan tebas–bakar dilakukan dengan menebang hutan/belukar dan membakarnya secara teratur atau bisanya disebut ” Kono ” (istilah lokal) . Kegiatan ini dinilai oleh masyarakat sebagai teknologi sederhana dan murah karena memberikan hasil tanaman yang cukup baik selama 1-2 kali masa tanam pada lahan yang sama sedangkan berikutnya mereka sudah melakukan rotasi pada kawasan lahan lain. Hal ini kalau dibiarkan terus akan memberikan ancaman terhadap kelesetarian lingkungan (Woha, 2001). Kebun atau ”Lele” (istilah lokal) menurut (Foni, 2003) pada umumnya dibagi atas 3 jenis yaitu ; lele feu, lele bane dan lele poan. Berdasarkan pola bertani kebun berpindah dengan tebas-bakar dikatakan bahwa lele feu adalah lahan tunggu atau lahan pertama yang baru diolah kembali pada musim tanam tertentu setelah ditinggalkan 3-5 tahun tersebut. Biasanya Lele Feu –lahan bukaan baru pada tahun pertama apabila lahan tersebut digarap lagi dan pada tahun kedua disebut dengan Lele Snee selanjutnya akan dilepas dan ditinggalkan pada tahun ke tiga yang dibiarkan bero sehingga akan tumbuh tanaman kayu-kayuan dan rumput ilalang dan belukar lainnya sehingga disebut Lele bane atau lahan yang tidak diolah / ditinggalkan pada tahun ke tiga dan apabila lahan ini digarap lagi pada tahun ke empat atau kelima disebut sebagai Lele Feu. Sedangkan lele Poan adalah lahan garapan tetap/kebun tetap dengan ciri-ciri; luas lahannya kurang lebih 0,20 – 0,30 Ha, pagar kebunnya permanen yang dibuat dari susunan batu atau pagar hidup, Selanjutnya disebutkan bahwa petani juga telah biasa melakukan upaya untuk menahan erosi tanah pada bagian lahan yang cekung dan curam (pada parit/jalur/got/jalur air) dengan susunan batu/batangan kayu dan disebut sebagai ” bata”. Selanjutnya dari kegiatan ”bata” ini akan sedikit demi sedikit menahan tanah kikisan air (sedimentasi) hingga penuh dan hal ini disebut ”Kuni”, pada lokasi ini biasanya ditanami dengan tanaman pisang, tebu dan nenas.
Pola pencarian nafkah yang utama adalah pertanian- ladang beringsut  dengan  sistem tumpangsari dan budidaya lorong. Kegiatan ladang beringsut merupakan usaha tani input rendah yang umumnya dilakukan dengan menggunakan teknik pemangkasan semak-semak dan penebangan beberapa pohon. Kegiatan-kegiatan tersebut melibatkan proses pembakaran semak-semak yang telah dipangkas. Saelain itu, adapula yang tidak melakukan kegiatan pembakaran. Petani di Kabupaten TTU hanya membudidayakan tanaman pangan umur pendek (semusim)  dan  tanaman tahunan (umur panjang).
Teknik peladangan beringsut  oleh petani pedesaan (peasant) di Kabupaten TTU dilakukan secara bergiliran. Misal pada tahun ke-1, pembukaan ladang pada lahan A, pada tahun ke-2 di ladang B,tahun ke-3 di ladang C dan seterusnya, tetapi proses ini petani tidak ikut berpindah tempat tinggalnya hanya tempat ladangnya saja yang berrotasi secara bertahap atau bergiliran. Kegiatan pembakaran  jaringan tumbuhan  dimaksudkan agar  terbentuknya abu hasil pembakaran dalam jumlah yang banyak, yang dapat berfungsi sebagai pupuk bagi tanah sedangkan unsur hara yang menguap oleh rumput yang terbakar tidak ada artinya (Ewusie,1990). Pembakaran yang dilakukan tentu saja akan berdampak negatif terhadap lingkungan apalagi kondisi iklim di Kawasan TTU yang sebagian adalah beriklim kering. Sesudah kegiatan pembakaran,tanah menjadi terbuka dan erosi akan lebih cepat terjadi pada saat musim hujan dan mempercepat habisnya tanah lapisan atas (top soil). Akibat dari erosi dan pembakaran maka humus dipermukaan setebal 30 cm akan habis dalam jangka waktu 3-4 tahun.Pertanian dengan ladang beringsut, di satu pihak merupakan suatu bentuk kearifan ekologis dan adaptasi ekologis karena secara tidak langsung membantu proses pemulihan kesuburan tanah dan dilain pihak  menyebabkan semakin menipisnya vegetasi dan semakin luasnya areal lahan kritis atau yang secara ekonomis merupakan lahan-lahan marginal.
Menurut Ataupah (2011), sebelum orang Eropa berhubungan dengan oramg Timor, umumnya adalah petani umbi-umbian yang mensuplai makanan mereka dari bahan makanan yang diperoleh dari hutan dan talas atau keladi merupakan makanan utama saat itu. Pengenalan padi dan jagung, dua bahan makanan biji-bijian bagi orang Timor diyakini belum terlalu lama yakni sekitar tahun 1570-an dari Amerika Tengah yang dibawa oleh bangsa Portugis dan sekitar tahun 1920-an barulah tanaman ubi kayu menyebar di Timor. Kedatangan Belanda menggantikan Portugis membawa pula perubahan ekologi yang cukup signifikan karena membawa serta sejumlah tanaman baru seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, terung, dan tomat (Fox, 1977).
Kemudian memasuki tahun 1980-an masyarakat dawan-TTU secara perlahan-lahan mulai mengembangkan pola pertanian baru, yakni perladangan dengan cara na’fot í (bahasa lokal = balik tanah) dengan peralatan tradisional, sepertai suan (Bahasa lokal = tugal) dan kannu (bahasa lokal = linggis). Gaya bertani ini juga masih berotasi secara bertahap, dengan tebas-bakar setelah beberapa kali ditanami. Perbedaannya, yakni bahwa ladang yang disebutkan terakhir ini, tidak begitu jauh dari permukiman penduduk.
Hubungan antara petani dengan ladang, baik yang diusahakan maupun yang dibera dapat bersdampak positif maupun negatif. Dampak positif berupa pemanfaatan ladang untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya/mendapatkan bahan makanan. Jika ingin mendapatkan hasil yang maksimal maka dia harus membersihkan ladang dan menanami dengan berbagai macam komoditi seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, padi ladang dan sorghum yang apabila hasilnya berlimpah maka dapat dipakai sebagai cadangan makanan dan sebahagian kecil dapat digunakan sebagai bahan makanan/pakan ternak babi. Tumbuhan lain yang terdapat di dalam ladang seperti gebang, rumput dan tumbuhan muda dapat dimanfaatkan untuk kayu api, bahan bangunan rumah, bahan baku pagar dan kandang. Dampak negatif yang ditimbulkan dalan hubungan relasi ini adalah apabila pemanfaatan lahan tidak memperhatikan kaedah-kaedah konservasi tanah maka akan menimbulkan bencana tanah longsor dan banjir. Demikian pula halnya dapat timbul ledakan hama tanaman yang dapat menyerang tanaman di ladang.


POLA BETERNAK

Tanaman Lantana Camara (Pangkase = Bahasa lokal) sebagai pakan ternak yang dibawa masuk bersamaan dengan ternak sapi Bali (Bos Sondaicus) oleh bangsa Belanda sekitar tahun 1912 hingga tahun 1919  (Ormeling, 1956),  sehingga memberikan predikat kepada Kabupaten TTU sebagai salah satu daerah “gudang ternak” di pulau Timor. Dampak yang ditimbulkan dari masuknya sapi Bali yang memiliki banyak lalat, yakni punahnya populasi kerbau di Timor. Sementara tanaman Lantana Camara yang dalam perkembangannya tumbuh sangat lebat dan menutupi sebagian besar lahan di Kabupaten TTU, memberikan pengaruh dan tempat bersembunyi sapi dan binatang hutan lainnya dan daunnya yang masih mudah oleh penduduk lokal dijadikan obat luka baru setelah dikunyah sampai halus.
Upaya pemerintah Kabupaten TTU sebagai daerah “Gudang Ternak” di Propinsi NTT, untuk meningkatkan populasi ternak andalan Sapi Bali  menghadapi kendala yang semakin serius karena belakangan ini lalu-lintas mutasi ternak keluar, terutama bibit pejantan menjadi semakin sulit dikendalikan; ditambah ancaman penyakit bruccelosis yang sampai dengan saat ini terus menjadi momok yang menghantui perkembangan populasi ternak sapi, ketersediaan Hijauan Makanan Ternak (HMT) semakin berkurang dan rusaknya ketersediaan rumput di padang penggembalaan akibat tekanan dari rumput bunga putih (suf muti = bahasa lokal) atau Cromalin Odoratha. Kendala lainya adalah, sebagian besar petani ternak masih bertahan pada pola budidaya ternak yang bersifat tradisional sebagai akibat dari kurang variatifnya pola pembinaan dan penyuluhan yang selama ini terkesan masih terpaku pada pola konvensional. Pola budidaya ternak yang bersifat sub sisten ini mengakibatkan pertambahan populasi ternak berjalan di tempat, dan terkesan berjalan secara alamiah tanpa rekayasa teknologi peternakan secara signifikan.

PENUTUP

            Berdasarkan uraian singkat pola pencaharian nafkah oleh masyarakat dawan-TTU, maka dapat dikatakan bahwa pola adaptasi ekologis yang dimilikinya dan ini memainkan peranan yang penting dalam keberhasilan melakukan hubungan dengan fenomena alam, lingkungan sekitar, dan aneka tanaman, ternak dan manfaat yang diperoleh dari usaha pertanian tersebut. Alasan inilah yang membenarkan bahwa perlakuan manusia terhadap alam atau lingkungannya tidak lain adalah suatu proses adaptasi (Goldschmidt, 1986). Namun demikian, adaptasi yang berlebihan dalam arti penggunaan sumber daya alam secara berlebihan dapat berakibat maladaptif. Artinya, campur tangan manusia, baik terhadap lingkungan maupun terhadap ekosistemnya secara tidak terkendalikan, dapat memberikan gangguan pada keseimbangan ekologi (Bennert,1978).


DAFTAR BACAAN

Ataupah, H, 2011., Materi Pokok Perkuliahan Ekologi Manusia, Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan,Program Pasca sarja, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Bennet, John W., 1978, The Ecological Transition: Cultural Antropolgy and Human Adaptation, Pergamon Press Inc.USA.
Ewusie, J.Y., 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Institut Teknologi Bandung (ITB) . Bandung
Fox, James J., 1977 Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia. Cambridge University Press.London.
Foni, W.2003.. Budaya Bertani Atoni Pah Meto. Program Pasca Sarjana, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Goldschmidt, W., 1986. The Sebei. A Study in Adaptation.CBS College Publishing. New York.
Ormeling,F,J.,1956, The Timor Problem: A Geograpychal Interpretation of an Underdeveloped island, Jakarta dan Croningen,:J.B Wolter

SEJARAH MUSIK SULING BAMBU DI TIMOR

Oleh:   Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si Sejarah tentang suling bambu sudah sedemikan lama dan erat kaitannya dengan peradaban manus...