Oleh:
Ir.Beny.
Ulu Meak, M.Si
Suweg
adalah tanaman anggota marga Amorphophallus
dan masih berkerabat dekat dengan bunga bangkai raksasa (A.titanum) dan
iles-iles (A.muelleri). menurut Yuzammi, (2000), budidaya suweg masih sangat minim dilakukan karena tanaman ini
termasuk tanaman liar (wild type).
Suweg biasanya tumbuh dibawah naungan. Ketika musim kemarau batang dan bunga
suweg tidak nampak di atas tanah. Suweg dapat menghasilkan umbi yang dapat
mencapai ± 5 Kg, dengan ukuran umbi
bisa mencapai diameter 40 cm, bentuknya bundar pipih, diameter tinggi umbi bisa
mencapai 30 cm ( Pinus, 1997).
Suweg dapat
digunakan sebagai bahan lem, agar-agar, tahu, pembungkus kapsul, kosmetik, roti
dan mie seperti yang dikatakan oleh Kasno, dkk.,
(2013) bahwa tepung suweg nantinya dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan
produk makanan seperti mie dan roti.
Suweg
(Amorphophallus
paeoniifolius Dennst. Nicolson) merupakan salah satu komoditas
lokal yang ada di wilayah Kabupaten Belu dan telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber
pangan fungsional pada saat paceklik. Suweg adalah pangan lokal
nonserealia yang bagian umbinya dapat dikonsumsi oleh penduduk dan diolah
menjadi produk tepung. Umbi suweg sangat
jarang digunakan untuk konsumsi langsung karena kandungan kalsium oksalat yang
menyebabkan rasa gatal, menyebabkan rasa gatal dan iritasi jika dikonsumsi sehingga
dilakukan proses penurunan kalsium oksalat dalam umbi suweg dengan cara
dilakukan diblansing dengan uap air suhu 50oC selama 15 menit
kemudian direndam dengan NaCl 10 % selama 6
jam (Sulistyowati dan Nugraheni, 2015).
Di daerah Jawa Amorphophallus di sebut “Suweg” dan di Belu tanaman ini disebut
dengan “ Maek” dan tumbuh secara
sporadis dimana saja seperti di pinggir hutan jati, di bawah rumpun bambu, di
tepi-tepi sungai, di semak belukar dan di tempat-tempat di bawah naungan yang
bervariasi karena untuk mencapai produksi umbi yang tinggi diperlukan naungan
50-60% dengan PH tanah 6 – 7,5 (Jansen et al. 1996). Tanaman ini tumbuh
dari dataran rendah sampai 1000 m di atas permukaan laut (dpl), dengan suhu
antara 25-35℃, sedangkan curah hujannya antara 300-500 mm per bulan selama
periode pertumbuhan.
Misi ke-2 pembangunan daerah dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJMD) Kabupaten Belu Tahun 2016-2021 yaitu meningkatkan pembangunan
dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Misi ini juga diarahkan untuk menitikberatkan
pada isu strategis pembangunan daerah
yaitu peningkatan ekonomi berbasis kerakyatan dan penanggulangan kemiskinan, salah satunya adalah dengan pengembangan
komoditas lokal "Maek" (suweg) dengan 2 (dua)
strategi utama yaitu : (I) meningkatkan
optimalisasi potensi lahan yang belum dimanfaatkan; dan (2) Gong Tani
(Gotong-Royong Pertanian) dan dimulai pada tahun 2017 ini dengan luasan lahan
sebesar 300 Ha dengan fokusnya adalah di Kecamatan Lamaknen Selatan, Lamaknen,
Lasiolat, Nanaet Duabesi, Raimanuk, Raihat, Kecamatan Tasifeto Barat, dan
Kecamatan Tasifeto Timur. Demikian akan secara bertahap ditambah 100 Ha setiap
tahunnya sehingga pada tahun 2021 akan menjadi 700 Ha.
Pada awalnya sekitar tahun 1969 sampai dengan akhir tahun 1975 umbi tanaman “Maek” (suweg) umumnya hanya
dimanfaatkan sebagai pangan alternatif saja terutama pada masa-masa paceklik,
dan setelah ada pengusaha lokal yaitu UD. Gajah Mada Atambua” yang bersedia
menampung umbi kering yang telah diiris-iris (gaplek) pada sekitar tahun 2005 sampai
sekarang dengan harga jual sebesar Rp.20.000,- per Kg. Kondisi ini sudah mulai memberikan
nilai ekonomis karena sudah dilirik oleh pasar luar daerah dan telah merubah
persepsi masyarakat untuk melakukan proses budidaya tanaman maek (suweg) secara lebih baik
lagi.
Proses pengolahan umbi maek (Suweg) menjadi gaplek dilakukan dengan pengeringan
terlebih dahulu. Caranya, umbi yang dicabut dari dalam tanah dibersihkan,
dikupas dan di cuci dengan air bersih. Selanjutnya umbi suweg diiris
tipis-tipis dan dikeringkan secara alamiah dengan sinar matahari selama ± 6
hari selanjutnya dapat dijual di pedagang pengumpul di Atambua. Produk ini
nantinya akan dikirim ke Surabaya untuk proses pembuatan produk turunan lainnya
seperti biskuit berserat tinggi dari tepung suweg dan bahan baku farmasi.
Menurut pengalaman
masyarakat di wilayah Kabupaten Belu, sebagai gambaran populasi tanaman suweg
setiap hektar lahan adalah 15.873 tanaman dengan jarak tanam 70 cm X 90 cm.
Berat umbi per pohon rata – rata 5 kg. Estimasi hitungan secara kasar dengan
tanaman yang mati kurang lebih 10%, maka tanaman yang hidup sebanyak 14.286
tanaman yang dapat menghasilkan umbi. Dari jumlah tersebut, jika dikalikan
dengan 5 kg, maka akan menghasilkan umbi basah sebanyak 71.430 kg/Ha.
Diperkirakan umbi suweg jika dikeringkan untuk dijadikan gaplek kurang lebih 15
%, sehingga dari 1 (satu) hektar dapat menghasilkan gaplek kering sebanyak 10.715 kg/Ha dan jika dikalikan dengan nilai
jual Rp.20.000,-/Kg maka setiap hektarnya akan memperoleh uang sebesar
Rp.214.300.000,- selama kurun waktu 3 (tiga) tahun masa panen. Angka yang cukup
fantastis dan menjanjikan apabila tanaman suweg dapat digalakan di daerah
Kabupaten Belu.
Beberapa
faktor pendorong untuk pengembangan tanaman Maek (Suweg) di Kabupaten Belu adalah:
1)
Tanaman
suweg adalah tanaman yang menghasilkan sumber karbohidrat alternatif selain
serealia, sehingga dapat berfungsi sebagai cadangan bahan pangan dalam kondisi
paceklik, rawan pangan dan bencana alam;
2)
Ditinjau
dari budidayanya, tanaman suweg sangat toleran terhadap kondisi tanah, iklim
dan hama penyakit. Tanaman suweg mudah dibudidayakan walaupun ada naungan di
atasnya.;
3)
Tepung
umbi suweg sebagai pangan fungsional karena memiliki Index Glikemik relatif
rendah;
4)
Adanya
politicall will dari Pemerintah
Daerah dalam pengembangan budidaya, dan sosialisasi manfaat tanaman suweg
melalui para penyuluh di pedesaan selaku ujung tombak dalam memperkenalkan
tanaman tersebut;
5)
Pemerintah
Daerah memberikan kemudahan bagi pelaku usaha dalam pengembangan tanaman suweg,
dari hulu sampai hilir.
DAFTAR
PUSTAKA
Kasno
A., dkk. 2013. Prospek Suweg Sebagai Bahan Pangan Saat Paceklik. http://digilib.litbang.deptan.go.id/repository/index.php/repository/download/7257/7134; diakses pada
tanggal 20 Desember 2013.
Pinus Lingga.
1997. Bertanam Umbi – Umbian. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sulistyowati,
Etty dan Nugraheni, Bekti., 2015, Analisis Makronutrient Umbi Suweg (Amorphopallus
campanulatus Bl.), sebagai Alternatif Makanan Diet Anti Diabetes
Mellitus Tipe 2, Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi, Yayasan Farmasi,
Semarang.
Jansen, P.C.M., C. van der Wilk,
and W.L.A. Hetterscheid. 1996. Amorphophallus Blume ex Decaisne. In Flach,
M. and F. Rumawas (eds.). PROSEA: Plant Resources of South-East Asia No 9.
Plant Yielding Non-seed Carbohydrates. Backhuys Publishers, Leiden.
Yuzammi. 2000. A Taxonomic
Revision of the Terrestrial and Aquatic Aroids (Araceae) in Java. [Thesis].
Sidney: School of Biological ScienceFaculty of Life Science,
University of New South Wales.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar