Oleh
Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si
Analisis Situasional
Pembangunan Lingkungan Hidup
Peranan Simberdaya Alam (SDA) dan Lingkungan Hidup (LH)
sangat penting dalam pembangunan daerah Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU),
baik sebagai penyedia bahan baku bagi pembangunan ekonomi maupun sebagai
pendukung sistem kehidupan masyarakat. Sesuai dengan fungsinya tersebut,SDA dan
LH perlu dikelola dengan bijaksana agar dapat terjaga dan lestari untuk
generasi saat ini dan di masa yang akan datang sesuai dengan prinsip
pembangunan berkelanjutan (Sustainable
development). Disamping itu karena lonjakan jumlah penduduk di Kabupaten
TTU akan berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan akan SDA untuk bahan baku
industri maupun kebutuhan konsumsi. Peningkatan kebutuhan tersebut dapat
berakibat pada peningkatan pemanfaatan SDA secara berlebihan dan tidak ramah
lingkungan yang pada akhirnya akan menurunkan daya dukung dan daya tampung atau
fungsi dari LH. Kondisi ini sudah mulai dirasakan di Kabupaten TTU, terutama
timbulnya permasalahan pemenuhan akan kebutuhan pangan, energi serta kebutuhan
akan sumberdaya air di berbagai wilayah Kecamatan, adanya perubahan iklim mikro
dan cuaca yang cukup ekstrim maupun terhadap perubahan lingkungan biologis terutama di kawasan perdesaan.
Potret lahan kering Di Kab.TTU- NTT |
Hal yang
mendorong terjadinya berbagai fenomena ini dikarenakan penduduk terus berlomba mencari nafkah dalam
mendukung kehidupan sehari-harinya dengan memanfaatkan berbagai potensi SDA dan
LH yang ada sehingga cenderung bersifat destruktif dan tidak lagi
memperhatikan daya dukung dan daya
tampung dari LH tersebut. Persoalan yang timbul antara lain adanya konversi lahan dan penebangan hutan
secara berlebihan; apalagi ditambah dengan kebiasaan penduduk melaksanakan pola
usaha tani lahan kering secara beringsut dan
sistim tebas bakar (istilah lokal =“Kono”),
maka dapat menyebabkan nilai kesuburan tanah/lahan menjadi berkurang dan pada
gilirannya berpengaruh terhadap produktivitas hasil usaha pertanian yang
relatif akan berkurang juga. Persoalan
lainnya, bahwa pandangan SDA dan LH merupakan
milik bersama (common property
resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open access), sehingga setiap pengguna sumberdaya berkeinginan
untuk memaksimalkan keuntungan sebesar-besarnya yang dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan SDA dan pencemaran
LH serta konflik pemanfaatan ruang
sebagai akibat dari over-eksploitasi dan deplesi terhadap ketersediaan potensi
SDA (Soemarwoto,2001).
Berdasarkan
pada hasil analisa pengujian kualitas
air (air permukaan, air limbah, air laut) dan kualitas udara maupun kualitas
tanah untuk produksi biomassa di Kabupaten TTU pada tahun 2010, dapat dikatakan
bahwa tingkat pencemaran lingkungan
belum memberikan dampak yang signifikan terhadap gangguan kehidupan manusia dan
daya dukung lingkungan karena secara fisik data-data analisis masih berada di
bawah standar baku mutu yang
dipersyaratkan. Namun di sisi lain telah terjadi perubahan kondisi ekologis
secara umum yang telah menyebabkan berkurangnya keanekaragaman hayati; terutama
parameter Indeks Nilai Penting (INP) flora dan fauna, sebagai akibat dalam persaingan usaha di bidang LH (seperti kasus
pertambangan Marmer dan Mangan) maupun perburuan liar dan penebangan hutan
secara tidak syah, telah menyebabkan kondisi kualitas hutan merosot dengan;
berkurangnya keanekaragam flora dan
fauna bahkan potensi untuk punah seperti
: Rusa Timor (Cervus timorensis),
Kakatua (Cacatua sulphurea), Ayam
Hutan Merah (Gallus gallus), Gagak
Hitam (Corvus corone), Merpati (Columba livia), Cendana (Santalum album), Gaharu (Aquilaria malaccensis), Ampupu (Eucalyptus urophylla). Hal ini sesuai
dengan pendapat Manik (2009) bahwa pemanfaatan SDA yang tidak terkontrol akan
menyebabkan terganggunya kualitas LH serta kelangsungan hidup berbagai makhluk
hidup lainnya.
Secara
umum indikator dan parameter
kerusakan SDA dan pencemaran LH harus
terus dikelola dan diawasi agar diketahui tingkat pencemaran dan kerusakannya
sehingga dapat dirumuskan strategi yang tepat untuk mengatasi dan menanggulangi persoalan yang mungkin akan
terjadi di kemudian hari.Pengembangan SDA dan LH difokuskan untuk mendukung
peningkatan ekonomi rakyat dengan fokus wiilayah perlindungan dan pengelolaan
di prioritaskan pada kawasan cagar alam Mutis (2 Ha), kawasan DAS Benenain
(wilayah tengah) = 150,080 Ha, kawasan sentra pertanian/perkebunan rakyat,
kawasan wilayah pesisir = 50 Km dan laut = 900 Km² dan kondisi lingkungan permukiman
padat penduduk untuk tetap menjaga keseimbangan ekologis.
Isu Strategis Pembangunan
Lingkungan Hidup
1) Terbatasnya tatalaksana upaya
perlindungan dan pengelolaan yang
mendukung fungsi pelestarian SDA dan LH di daerah;
Berbagai upaya untuk menanggulangi kerusakan
lingkungan hidup telah dilakukan namun potensi pencemaran dan penurunan
kualitas lingkungan hidup masih terus terjadi sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk setiap tahunnya
maupun pencemaran dari aktivitas usaha kecil (home industry), pembangunan infrastruktur, eksploitasi sumberdaya
mineral Mangan, limbah domestik serta teknologi yang tidak ramah lingkungan
terus berjalan. Di beberapa lokasi, tingkat pencemaran terhadap ekosistem dan
keanekaragaman hayati (kehati) cenderung menurun bahkan teracam punah.
Akibatnya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dalam mendukung
program-program pembangunan menjadi menurun, sehingga diperlukan pengelolaan
lingkungan hidup yang terintegrasi dan
terpadu dari hulu ke hilir dengan pendekatan lintas sektoral (Sugandhy dan
Hakim, 2009). Permasalahan lainnya yang dihadapi dalam penanganan kerusakan
lingkungan adalah terbatasnya produk regulasi daerah dan lemahnya penegakan
hukum lingkungan, rendahnya kapasitas sumber daya manusia masyarakat dan
institusi pengelola LH. Selain itu, ketersediaan sistem data dan informasi juga
masih perlu diperbaiki. Hal ini mempengaruhi ketepatan perencanaan, monitoring
dan evaluasi penanganannya.
2) Perlindungan dan pengelolaan LH dengan tidak memperhatikan ketersediaan fungsi pelestarian (daya dukung dan daya
tampung)
Sampai saat
ini, upaya untuk meningkatkan manfaat SDA dan peningkatan kualitas LH terus
dilakukan. Meskipun demikian, permasalahan pemanfaatan SDA yang belum
memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup masih dihadapi yang
mengakibatkan daya dukung lingkungan menurun dan ketersediaan SDA semakin
menipis. Penurunan kualitas SDA ditunjukkan dengan tingkat eksploitasi hutan
yang semakin mengkhawatirkan akibat terjadinya pembalakan liar (illegal
logging), meluasnya kebakaran hutan dan lahan, penambangan liar, rusaknya
wilayah laut akibat penangkapan ikan yang melanggar dan merusak (illegal and destructive fishing-over fishing).
Selain itu, meningkatnya konversi hutan alam, dan meluasnya alih fungsi lahan
pertanian dan tambak untuk kegiatan ekonomi lainnya juga mempengaruhi tingkat
produksi pangan yang dapat mengancam ketahanan pangan daerah.
3) Adanya
potensi gangguan terhadap kerusakan dan pencemaran Lingkungan Hidup;
Pembangunan
bidang SDA dan LH dilaksanakan untuk dapat mencegah dan mengantisipasi akibat
yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan pembangunan dan pemanfaatan SDA.
Meningkatnya kegiatan usaha pertambangan Mangan telah mengakibatkan potensi
gangguan terhadap pencemaran SDA dan LH terutama pencemaran air telah
terindikasi adanya kandungan Mangan (Mn) pada sumber-sumber mata air di lokasi
pertambangan seperti Mata Air seperti di Desa Sifaniha, Kecamatan Biboki Anleu
(Lokasi Pertambangan Mineral Mangan)
sebesar 0,027 mg/l, walaupun
masih berada di bawah baku mutu yang dipersyaratkan yaitu sebesar 1,00 mg/l ataupun di lokasi
penambangan lainnya.
Potensi
kerusakan LH lebih disebabkan oleh faktor manusia dalam upaya penggunaan SDA
yang berlebihan, sehingga telah, menimbulkan deplesi dan kemerosotan kualitas maupun kuantitas dari daya dukung
SDA itu sendiri seperti : praktek perlandangan berpindah dengan sistim tebas
bakar atau “ kono “ (istilah lokal)
yang masih marak dilakukan oleh masyarakat.
4)
Adanya Ancaman perubahan iklim dan
pemanasan global (global warming)
Kabupaten TTU
sebagai wilayah tropis dengan topografi yang berbukit, dikategorikan
sebagai salah satu wilayah yang rentan terhadap perubahan iklim. Dampak perubahan
iklim sudah menjadi ancaman yang cukup serius bagi lingkungan. Tanda-tanda dari
dampak perubahan iklim di wilayah ini dapat dilihat dari adanya kenaikan
temperatur udara, perubahan curah hujan, dan perubahan cuaca yang ekstrim.
Kondisi ini menyebabkan terjadinya bencana kekeringan, banjir, tanah longsor, angin
taupan dan bencana alam lainnya seperti serangan hama belalang Kumbara (Locusta migratoria) yang pernah terjadi
di sebagian wilayah Kabupaten TTU pada tahun 2006 dan 2008.
5) Pengetahuan dan kesadaran masyarakat yang
masih terbatas terhadap upaya Pelestarian
SDA dan LH
Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan SDA
untuk mendukung pembangunan ekonomi adalah masih belum optimalnya pemanfaatan
SDA untuk pembangunan. Hal ini ditandai
dengan tingginya tingkat eksploitasi sumber daya hutan/lahan dan energi untuk
pembangunan, masih rendahnya pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut dibanding
potensinya, serta masih kurang optimalnya usaha pertanian,perikanan dan
kehutanan dalam mendorong ketahanan pangan dan perekonomian daerah karena
pengetahuan dan kesadaran masyarakat yang masih terbatas.
6)
Degradasi Hutan dan Lahan
Praktek perladangan dengan pola tebas bakar tanpa adanya upaya
konservasi tanah yang sudah berlangsung sejak lama menyebabkan terjadinya
kerusakan sumber daya alam di kabupaten TTU, yang pada
akhirnya menyebabkan degradasi sumber daya alam. Perusakan hutan dalam bentuk
penebangan liar, kebakaran dan
pengembalaan liar di Kabupaten TTU sudah berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Luas lahan kritis
cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya karena upaya rehabilitasi tidak
seimbang dengan laju degradasi hutan dan lahan.
7)
Persampahan
Masalah persampahan merupakan permasalahan lama
yang sampai dengan saat ini belum terselesaikan dengan baik. Salah satu contoh
yang sering kita saksikan adalah permasalahan persampahan di Kota Kefamenanu dari tahun ke tahun belum bisa
diselesaikan, mulai dari sumber sampah dan Tempat Pengelolaan Sementara (TPS) dan Tempat Pengelolaan
Akhir Sampah (TPA). Selama
ini masyarakat masih memandang sampah sebagai barang sisa yang tidak berguna
dan bukan sebagai sumber daya yang perlu dimanfaatkan. Masyarakat dalam mengelola sampah masih
bertumpuh pada pendekatan akhir (end of
pipe), yaitu sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke tempat pemrosesan
akhir sampah. Timbunan sampah dengan volume yang besar di lokasi pembuangan
akhir sampah berpotensi melepaskan gas metan (CH4) yang mudah terbakar dan
dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dan memberikan kontribusi terhadap
pemanasan global.
Paradigma pengolahan sampah yang bertumpuh pada
pendekatan akhir (end
of pipe) sudah saatnya ditinggalkan dan diganti dengan paradigma baru pengolahan
sampah. Paradigma baru pengolahan sampah yang dimaksud adalah sampah sebagai sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi
dan dapat dimanfaatkan, misalnya untuk energi (biogas), kompos,
pupuk atau untuk bahan baku industri. Pengolahan sampah dilakukan dengan
pendekatan yang komprehensip dari hulu sampai hilir dilakukan dengan prinsip
3R yaitu : pengurangan sampah
meliputi Reduce (pembatasan), Reuse (penggunaan kembali) dan Recycle
(pendauran ulang) yang sering disingkat dengan 3R, sedangkan kegiatan penanganan sampah meliputi pengumpulan,
pengagkutan, pengolahan dan pemrosesan akhir. Paradigma baru pengolahan sampah tersebut di atas belum
diterapkan di Kabupaten TTU
sehingga sampai dengan saat ini sampah merupakan masalah yang
belum terselesaikan, apalagi lokasi TPA belum di integrasikan di dalam
RTRW Kabupaten..
Metode 3R ini sebenarnya bisa mengurangi jumlah sampah lebih dari 50%, karena sampah
yang dibuang oleh masyarakat sebagian besar adalah sampah organik, selain itu
manfaat berikutnya adalah masyarakat memperoleh pupuk organik yang apabila
dikelola dalam skala yang cukup besar dapat pula meningkatkan pendapatan
masyarakat melalui penjualan pupuk organik, apalagi sekarang lagi digalakan
pemanfaatan bahan makanan yang menggunakan pupuk organik. Diharapkan kedepan apabila penerapan 3R ini berhasil di Kabupaten
TTU maka permasalahan sampah tidak
akan menjadi masalah lingkungan hidup seperti yang banyak terjadi saat ini.
Penutup
SDA dan LH memiliki peran ganda, yaitu
sebagai modal pembangunan dan sebagai penopang sistem kehidupan. Paradigma umum
yang berkembang saat ini lebih menempatkan SDA dan LH sebagai sumberdaya
ekonomis daripada sumberdaya ekologis. Kondisi tersebut berdampak pada pola
pemanfaatan SDA dan LH yang lebih diarahkan pada kepentingan ekonomi semata dan
kurang mempertimbangkan manfaat dan dampak pengelolaan sumberdaya alam secara
ekologis.
Kebijakan lingkungan hidup sarat dengan
aspek politik karena kuatnya keragaman pemikiran dan pendapat para pemangku
kepentingan yang tata nilainya sering bertolak belakang. Tipologi keputusan
yang dihasilkannya akan selalu diperangkap perdebatan etika, karena umumnya
berkaitan dengan pilihan-pilihan: mana yang harus dikorbankan-mana yang harus
diselamatkan, bagaimana mendistribusikan manfaat secara “adil”, atau bahkan
memperjuangkan nasib kelompok yang tidak akan pernah terwakili dengan baik
(misalnya generasi yang akan datang). Oleh sebab itu kebijakan pengelolaan SDA
dan LH di Kabupaten TTU tidak bisa semata-mata bergerak di area ekologis saja,
tetapi juga harus menjembataninya dengan isu-isu ekonomi maupun sosial-budaya
sebagai pilar dari pembangunan berkelanjutan.
Daftar Bacaan
Manik, Karden, E,S, 2009, Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Djambatan, Jakarta.
Soemarwoto, Otto, 2001, Ekologi,
Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta.
Sugandhy, Aca dan Hakim, Rustam, 2009, Prinsip Dasar Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan,Bumi
Aksara, Jakarta.