Oleh :
Ir. Beny. Ulu Meak, M,Si
Pendahuluan
Ir. Beny. Ulu Meak, M,Si
Pendahuluan
Pekerja anak adalah sebuah istilah untuk
mempekerjakan anak kecil. Istilah "pekerja
anak" dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka, dengan
gaji yang kecil atau pertimbangan bagi perkembangan kepribadian mereka,
keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depan (Wikipedia, 2013). Hal ini oleh
pendapat umum dianggap tidak baik bila
seorang anak di bawah umur
tertentu, tidak termasuk pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan sekolah. Seorang 'bos' dilarang untuk mempekerjakan anak di bawah
umur, namun umum minimumnya tergantung dari peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Laporan terbaru dari Organisasi Buruh Sedunia (ILO) dalam tahun 2013,
menyebutkan sebanyak 10.5 juta anak-anak bekerja sebagai pekerja domestik yang
potensial menjurus ke kondisi "perbudakan". ILO menambahkan, hampir
tiga perempat dari seluruh jumlah pekerja anak itu adalah anak perempuan, dan
6,5 juta di antaranya berusia antara 5- 14 tahun (Kompas Com, 2013). Secara umum pekerja
atau buruh anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang
tuanya, untuk orang lain atau untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah
besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak (Suyanto dan Hariadi, 2000).
Pekerja anak di lokasi tambang
kawasan Timor Barat sudah menjadi isu publik, tetapi sampai dengan sekarang
belum ada suatu ratifikasi yang dilakukan dengan tindakan pelarangan tegas
misalnya penetapan Peraturan Daerah (Perda)
maupun Peraturan Bupati (Perbub) atau mencanangkan daerahnya sebagai “zona bebas pekerja anak”. Sementara Indonesia telah meratifikasi secara berturut-turut
Konvensi ILO (International Labour Organization) No. 38 mengenai usia
minimum untuk bekerja dan Konvensi No. 182 mengenai pelarangan serta tindakan segera untuk menghapus
bentuk-bentuk terburuk pekerjaan untuk anak dan salah satunya yaitu dengan
ditetapkan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
telah menentukan bahwa setiap anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang sehingga
orang tua dilarang menelantarkan anaknya. Orang tua dapat dikenakan sanksi
hukuman kurungan yang cukup berat, termasuk perusahaan, jika mempekerjakan anak
di bawah umur.
Pekerja Anak di Lokasi Tambang Mangan di Desa Buk,Kab.TTU |
Kondisi pekerja anak di lokasi tambang Mangan kawasan Timor Barat, sudah
semakin memprihatinkan karena keberadaan anak di bawah usia 18 tahun sudah
menjadi pemandangan yang lazim, dan hampir di setiap titik lokasi tambang
Mangan rakyat maupun tambang perusahaan terdapat anak-anak sebesar 4-5 % dari
total jumlah pekerja tambang seluruhnya yang didominasi oleh pekerja anak
laki-laki. Meskipun ada beberapa anak yang mengatakan dia ingin bekerja (karena
bayarannya yang menarik atau karena anak tersebut tidak suka sekolah), hal
tersebut tetap merupakan hal yang tidak diinginkan karena tidak menjamin masa
depan anak tersebut. Namun beberapa kelompok penentang pekerja anak merasa bahwa mempekerjakan anak di bawah umur
tertentu merupakan tindakan kekerasan terhadap anak.
Penggunaan anak sebagai pekerja sekarang ini dianggap oleh
negara-negara kaya sebagai pelanggaran hak manusia, dan melarangnya, tetapi negara miskin mungkin masih mengijinkan karena keluarga
seringkali bergantung pada pekerjaan anaknya untuk bertahan hidup dan
kadangkala merupakan satu-satunya sumber pendapatan keluarga. Pandangan
ini mengisyaratkan, bahwa anak merupakan salah satu aset untuk mengatasi
masalah ekonomi keluarga. Akibatnya tidak ada lagi pilihan bagi anak, mereka
harus bekerja untuk menambah penghasilan keluarga.
Faktor Pemicu Anak
Bekerja Di Lokasi Tambang Mangan
Faktor
pemicu , mengapa anak terlibat dalam berbagai pekerjaan di lokasi tambang
Mangan dapat dikatakan beragam hal ynag mendorongnya sesuai dengan
karakteristik kondisi sosial ekonomi (kemiskinan) disamping faktor keterbatasan
Sumberdaya Manusia (SDM) dari orang tua ataupun pengaruh budaya setempat. Hal ini senada dengan laporan penelitian oleh
Le Vine (1988) dalam Irwanto, (1996), menunjukkan bahwa tujuan
mempunyai anak pada masyarakat miskin lebih bersifat kuantitatif, artinya
semakin banyak anak akan semakin kuat jaminan sosial-ekonomi keluarga. Pandangan
ini merupakan salahsatu penyebab utama kenapa anak-anak di bawah umur terpaksa
bekerja pada tambang Mangan karena ada anggapan terutama pada keluarga miskin,
anak merupakan jaminan hidup keluarga karena tenaganya memberikan sumbangan
penghasilan keluarga.
Namun
ada pendapat lain yang menyatakan bahwa masalah kemiskinan
bukanlah satu –satunya faktor penyebab
timbulnya masalah pekerja anak. Dengan demikian, ada anggapan bahwa permasalahan pekerja anak akan hilang dengan sendirinya
apabila permasalahan kemiskinan
dapat diatasi, merupakan pandangan yang keliru.
Sedangkan pendapat lain menyebutkan kekuatan ekonomi telah mendorong
anak-anak masuk ke dalam pekerjaan
di lingkungan yang membahayakan merupakan kekuatan yang paling besar
dari semuanya, tetapi kebiasaan
budaya dan pola sosial yang telah berakar juga turut memainkan peranan penting. Maraknya pekerja anak di lokasi tambang Mangan, kawasan Timor Barat minimal
disebabkan oleh dua aspek yang berpengaruh
besar yaitu : Pertama, meningkatnya angka kemiskinan dengan tuntutan biaya hidup,
biaya pendidikan anak, dan lain-lain semakin besar di dalam keluarga telah
mendorong orang tua untuk membiarkan anak-anak di bawah usia 18 tahun untuk
memberikan kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga keluarga misikin di
sekitar lokasi tambang Mangan.; dan Kedua,
kurangnya pengawasan terhadap kecenderungan pengusaha tambang Mangan
menggunakan tenaga kerja anak. Salah satu alasannya adalah pekerja anak dapat
dibayar dengan upah yang lebih rendah dibandingkan dengan orang dewasa.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa
anak –anak dihadapkan bertarung dengan
maut untuk mengais rupiah. Resiko tertimbun longsor atau ancaman penyakit tidak
lebih penting ketimbang mendapatkan uang untuk membantu orangtua. Misalnya
di Kabupaten Kupang, TTS, TTU dan Belu. Anak-anak itu bekerja seperti orang
dewasa yaitu; menggali, mengangkut batu Mangan atau sekedar mengerjakan
apa pun pekerjaan kasar yang diperintahkan ‘bos’-nya. Tak berbeda dengan yang
dilakukan oleh orang tuanya. anak-anak juga mendapatkan gaji dari hasil jual
borongan batu Mangan. Tak heran bila mereka memilih hengkang dari bangku
sekolah, dan lebih mementingkan rupiah. Diperkirakan
pekerja anak rata-rata memberi sumbangan 10 - 15 % bagi ekonomi keluarga. Dengan jumlah sebesar
itu wajar jika banyak orangtua dengan ekonomi yang terbatas merelakan anaknya
mencari tambahan penghasilan. Kenyataan ini menyebabkan anak-anak tersebut
semakin terkungkung dalam dunia kerja yang penuh dengan ketidakpastian.
Alasan lain dari perusahan
tambang Mangan untuk
mempekerjakan anak karena pekerja anak mudah direkrut dan tidak sulit dipecat
karena sifat bergantung dan tidak berdaya mereka. Selain itu, maraknya pekerja
anak di Timor Barat pada sektortambang
Mangan yang sering luput dari pengawasan
pemerintah, menyebabkan banyak temuan tentang upah yang sangat minim, jam kerja
yang panjang dan melelahkan, serta tanpa mekanisme perlindungan K3 karena anak
dipekerjakan dengan tidak memakaiAPD standar di lokasi tambang Mangan.
Pada keluarga miskin di sekitar
lokasi tambang Mangan di Kabupaten TTU, keputusan untuk bekerja sebagian datang
dari anak sendiri, tetapi sebagian lain karena keinginan orang tua. Laporan Penelitian
oleh Meak, dkk (2013) menemukan bahwa
lebih dari separuh orang tua menghendaki anaknya membantu pekerjaan orang tua
dengan maksud bekerja sambil sekolah, namun kenyataannya tetap mengakibatkan
banyak anak usia sekolah lebih tertarik menekuni pekerjaan daripada sekolahnya.
Sedangkan sebagian kecil keluarga lainnya membiarkan anak-anaknya bekerja baik
dalam lingkungan keluarga maupun kepada orang lain atau kelompok tambang Mangan
yang ada untuk tujuan ekonomi. Dalam situasi krisis belakangan ini
kecenderungan keinginan orang tua untuk memperlakukan anak sebagai tenaga kerja
produktif menjadi makin kuat karena penghasilan yang diperoleh orang tua tidak
lagi mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga.
Dampak Tambang Mangan Terhadap Pekerja Anak
Berbagai bentuk keterlantaran maupun eksploitasi anak dapat berdampak
negatif bagi tumbuh kembang mereka. Sekalipun berbagai peraturan telah
ditetapkan untuk melindungi anak, pada kenyataannya tidak sedikit perlakuan
pengusaha tambang Mangan tanpa mempertimbangkan dampak buruknya pada anak,
seperti: praktik eksploitasi, penempatan anak pada pekerjaan yang tidak sesuai
dengan kondisi fisiknya, bahkan berbahaya bagi keselamatan jiwanya. Resiko yang
paling mengancam pekerja anak di lokasi tambang Mangan adalah runtuhnya lubang/gua, yang hampir selalu menyebabkan
kematian, walaupun tidak ada laporan yang baru mengenai kecelakaan semacam ini.
Selain resiko tersebut, penggalian batu Mangan juga membutuhkan kegiatan fisik yang cukup
berat. Kelelahan dan kesakitan adalah keluhan utama yang diajukan oleh pekerja
anak (Meak, dkk , 2013).
Dampak jangka panjang adalah ketidaksiapan anak dalam menghadapi masa
depan. Pendidikan yang rendah dan kepribadian yang belum matang akan membuat
mereka tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dalam dunia kerja atau
lingkungan sosial. Mereka akhirnya berfungsi sebagai pelestari siklus kemiskinan
keluarganya. Dengan kata lain, tidak ada mobilitas vertikal yang dialami sang
anak dalam perjalanan hidupnya akibatnya pekerja anak akan mengalami gangguan
mental dan putus asa, sehingga kebanyakan anak di lokasi tambang mengalami
putus sekolah. Tidak adanya hubungan kerja antara investor
penambang dengan pekerja tambang telah memperparah kondisi itu. Akibatnya, para
penambang, termasuk buruh anak tidak mendapat jaminan keselamatan kerja,
perlindungan saat kerja, asuransi kesehatan dan perlindungan lainnya. Atas hal
ini, dapat memberikan petaka yang dihasilkan akibat aktivitas penambangan Mangan di Kawasan
Timor Barat -NTT bisa sangat dahsyat. Bahkan pada suatu saat akan mengarah ke genosida (hilangnya ras/suku). Apalagi,
sebagian besar pekerja tambang adalah anak-anak berusia sekolah. Kebiasaan
menghirup dan menelan partikel partikel logam Mangan sangat berbahaya bagi anak
anak. Gejala keracunan Mangan adalah
halusinasi, pelupa (Parkinson) dan kerusakan saraf (kebodohan), emboli
paru-paru dan bronkitis, bahkan ketika
terkontaminasi partikel logam dalam
jangka waktu lama, mereka menjadi impoten.
Sedangkan dalam jangka pendek pekerja anak juga sangat rawan terhadap
tindak kekerasan, eksploitasi tenaga dan bahkan stres. Pekerja anak rawan mengalami
tindakan-tindakan tersebut, sebab perusahaan pada umumnya mempekerjakan anak
tidak berdasarkan segmentasi pekerjaan atas dasar usia. Mereka bekerja di
bidang pekerjaan yang layaknya dilakukan pekerja dewasa. Hal ini memaksa mereka matang sebelum waktunya,
baik secara fisik maupun psikis. Walaupun ada alasan bahwa keterlibatan anak
dalam dunia kerja karena alasan tradisi atau proses mewariskan keahlian oleh
orangtua, namun kenyataannya, ketika ditelusuri lebih lanjut masalah anak-anak
yang bekerja erat kaitannya dengan masalah ekonomi keluarga semata. Hal senada disorot oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO)
di Timor Barat, jumlah pekerja anak pada
sejumlah tambang Mangan rakyat cukup tinggi karena diakibatkan oleh krisis
keuangan keluarga yang berkepanjangan.
Pendapatan dari orang tua anak yang rendah membuat anak berusaha menghasilkan
uang dari aktifitas pertambangan Mangan
telah berdampak pada keselamatan dan moral anak juga akan ikut terganggu.
Hal
lain yang teridentifikasi adalah bahwa dengan disertakannya anak-anak dalam
menambang Mangan maka kesempatan bermain bagi anak semakin kurang dan bahkan
tingkat partisipasi sekolah anak juga kian menurun.
Dalam perspektif sosio-psikologis, perusahaan tambang Mangan tidak
memperhatikan sama sekali mengenai lingkungan pekerjaan tempat anak-anak dipekerjakan.
Lingkungan kerja di lokasi tambang Mangan di tempatkan bukan sebagai lingkungan
pendidikan atau media pembelajaran yang layak bagi anak-anak. Lingkungan
pekerjaan anak menjadi lingkungan yang tidak representatif untuk menyokong
proses pematangan intelektual anak. Lingkungan ini tidak membentuk proses
pendewasaan diri anak namun membuat tersumbatnya ruang-ruang positif bagi
pengaktualisasian diri anak dan bagi perkembangan jiwanya. Karakteristik
lainnya ialah lingkungan pekerjaan anak juga membangun hubungan antara
anak-anak dan para pekerja dewasa. Mereka berada dalam poros komunikasi yang
timpang. Dari pihak orang dewasa, pekerja anak dipandang oleh mereka sebagai
pihak yang inferior (lemah, mudah diatur, senantiasa patuh dan lain sebagainya).
Dalam kacamata psikologi anak, orang dewasa dipandang mereka sebagai pihak yang
sebaliknya. Orang dewasa diletakkan dalam posisi yang superior (kuat, suka
memerintah, wajib dihormati, dapat dijadikan tempat mengadu, dan lain sebagainya),
sehingga tanpa disadari banyak resiko dan bahaya lain yang dihadapi yang
mengancam masa depan anak seperti: gangguan
fisik (kelelahan dan dehidrasi, luka, cacat fisik, penyakit akibat terpapar zat
kimia berbahaya, pertumbuhan lambat akibat terbiasa dengan beban berat, gangguan
pada penglihatan, dan pendengaran) maupun gangguan psikis (trauma panjang
karena jika terdapat indikasi tindakan
seksual orang dewasa, gaya hidup konsumtif dan kurang kepercayaan diri).
Daftar Bacaan
Irwanto. 1996, Studies
of Chile Labour in Indonesia: 1993-1996.
International Programme on the Elimination of Child Labour (IPEC), ILO,
Jakarta
Kompas
Com , 2013, Pekerja Anak di Dunia, Artikel dalam http://internasional.kompas.com,
diakses pada tanggal 03 Maret 2013
Meak, Ulu, B; Tahu, Maria, F; Mangngie, Mira, S;
Wisang, H; Naisanu, J; dan Maghi, R, 2013, Dampak Pertambangan Mangan Terhadap
Relasi Jender di Kabupaten Timor Tengah Utara Propinsi Nusa Tenggara Timur, Laporan Penelitian, Kerja Sama Dengan
Oxfam Indonesia, Jakarta.
Suyanto, Bagong dan Sri Sanituti
Hariadi. 2000, Pekerja Anak: Masalah,
Kebijakan dan Upaya Penanganannya. Lutfansah Mediatama,Surabaya.
Wikipedia , 2013,
Pekerja Anak , Artikel
dalam http://id.wikipedia.org,
diakses pada tanggal 21 Febuari 2013