Selasa, 24 Oktober 2017

PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN SUWEG (Amorphophallus paeoniifolius Dennst.Nicolson) DI KABUPATEN BELU


Oleh:
Ir.Beny. Ulu Meak, M.Si


Suweg adalah tanaman anggota marga Amorphophallus dan masih berkerabat dekat dengan bunga bangkai raksasa (A.titanum) dan iles-iles (A.muelleri). menurut Yuzammi, (2000), budidaya suweg masih sangat minim dilakukan karena tanaman ini termasuk tanaman liar (wild type). Suweg biasanya tumbuh dibawah naungan. Ketika musim kemarau batang dan bunga suweg tidak nampak di atas tanah. Suweg dapat menghasilkan umbi yang dapat mencapai ± 5 Kg, dengan ukuran  umbi bisa mencapai diameter 40 cm, bentuknya bundar pipih, diameter tinggi umbi bisa mencapai 30 cm ( Pinus, 1997).
Suweg dapat digunakan sebagai bahan lem, agar-agar, tahu, pembungkus kapsul, kosmetik, roti dan mie  seperti yang dikatakan oleh Kasno, dkk., (2013) bahwa tepung suweg nantinya dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan produk makanan seperti mie dan roti.
Suweg (Amorphophallus paeoniifolius Dennst. Nicolson) merupakan salah satu  komoditas lokal yang ada di wilayah Kabupaten Belu dan telah  dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber pangan fungsional pada saat paceklik. Suweg adalah pangan lokal nonserealia yang bagian umbinya dapat dikonsumsi oleh penduduk dan diolah menjadi produk tepung. Umbi  suweg sangat jarang digunakan untuk konsumsi langsung karena kandungan kalsium oksalat yang menyebabkan rasa gatal, menyebabkan rasa gatal dan iritasi jika dikonsumsi  sehingga  dilakukan proses penurunan kalsium oksalat dalam umbi suweg dengan cara dilakukan diblansing dengan uap air suhu 50oC selama 15 menit kemudian direndam dengan  NaCl  10 % selama 6  jam (Sulistyowati dan Nugraheni, 2015).
Di daerah Jawa  Amorphophallus  di sebut “Suweg” dan di Belu tanaman ini disebut dengan  “ Maek” dan  tumbuh secara sporadis dimana saja seperti di pinggir hutan jati, di bawah rumpun bambu, di tepi-tepi sungai, di semak belukar dan di tempat-tempat di bawah naungan yang bervariasi karena untuk mencapai produksi umbi yang tinggi diperlukan naungan 50-60% dengan PH tanah 6 – 7,5 (Jansen et al. 1996). Tanaman ini tumbuh dari dataran rendah sampai 1000 m di atas permukaan laut (dpl), dengan suhu antara 25-35℃, sedangkan curah hujannya antara 300-500 mm per bulan selama periode pertumbuhan.
Misi ke-2 pembangunan daerah dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kabupaten Belu Tahun 2016-2021 yaitu meningkatkan pembangunan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Misi ini juga diarahkan untuk menitikberatkan pada  isu strategis pembangunan daerah yaitu peningkatan ekonomi berbasis kerakyatan dan penanggulangan kemiskinan, salah satunya adalah dengan pengembangan  komoditas lokal "Maek" (suweg) dengan 2 (dua) strategi utama  yaitu : (I) meningkatkan optimalisasi potensi lahan yang belum dimanfaatkan; dan (2) Gong Tani (Gotong-Royong Pertanian) dan dimulai pada tahun 2017 ini dengan luasan lahan sebesar 300 Ha dengan fokusnya adalah di Kecamatan Lamaknen Selatan, Lamaknen, Lasiolat, Nanaet Duabesi, Raimanuk, Raihat, Kecamatan Tasifeto Barat, dan Kecamatan Tasifeto Timur. Demikian akan secara bertahap ditambah 100 Ha setiap tahunnya sehingga pada tahun 2021 akan menjadi 700 Ha.
Pada awalnya sekitar tahun 1969 sampai dengan  akhir tahun 1975 umbi tanaman “Maek” (suweg) umumnya hanya dimanfaatkan sebagai pangan alternatif saja terutama pada masa-masa paceklik, dan setelah ada pengusaha lokal yaitu  UD. Gajah Mada Atambua” yang bersedia menampung umbi kering yang telah diiris-iris (gaplek) pada sekitar tahun 2005 sampai sekarang dengan harga jual sebesar Rp.20.000,- per Kg. Kondisi ini sudah mulai memberikan nilai ekonomis karena sudah dilirik oleh pasar luar daerah dan telah merubah persepsi masyarakat untuk melakukan proses budidaya tanaman maek  (suweg) secara lebih baik lagi.
Proses pengolahan umbi maek (Suweg) menjadi gaplek dilakukan dengan pengeringan terlebih dahulu. Caranya, umbi yang dicabut dari dalam tanah dibersihkan, dikupas dan di cuci dengan air bersih. Selanjutnya umbi suweg diiris tipis-tipis dan dikeringkan secara alamiah dengan sinar matahari selama ± 6 hari selanjutnya dapat dijual di pedagang pengumpul di Atambua. Produk ini nantinya akan dikirim ke Surabaya untuk proses pembuatan produk turunan lainnya seperti biskuit berserat tinggi dari tepung suweg dan bahan baku farmasi.
Menurut pengalaman masyarakat di wilayah Kabupaten Belu, sebagai gambaran populasi tanaman suweg setiap hektar lahan adalah 15.873 tanaman dengan jarak tanam 70 cm X 90 cm. Berat umbi per pohon rata – rata 5 kg. Estimasi hitungan secara kasar dengan tanaman yang mati kurang lebih 10%, maka tanaman yang hidup sebanyak 14.286 tanaman yang dapat menghasilkan umbi. Dari jumlah tersebut, jika dikalikan dengan 5 kg, maka akan menghasilkan umbi basah sebanyak 71.430 kg/Ha. Diperkirakan umbi suweg jika dikeringkan untuk dijadikan gaplek kurang lebih 15 %, sehingga dari 1 (satu) hektar dapat menghasilkan gaplek kering sebanyak  10.715 kg/Ha dan jika dikalikan dengan nilai jual Rp.20.000,-/Kg maka setiap hektarnya akan memperoleh uang sebesar Rp.214.300.000,- selama kurun waktu 3 (tiga) tahun masa panen. Angka yang cukup fantastis dan menjanjikan apabila tanaman suweg dapat digalakan di daerah Kabupaten Belu.
          Beberapa faktor pendorong untuk pengembangan tanaman Maek  (Suweg) di Kabupaten Belu adalah:  
1)   Tanaman suweg adalah tanaman yang menghasilkan sumber karbohidrat alternatif selain serealia, sehingga dapat berfungsi sebagai cadangan bahan pangan dalam kondisi paceklik, rawan pangan dan bencana alam;
2)   Ditinjau dari budidayanya, tanaman suweg sangat toleran terhadap kondisi tanah, iklim dan hama penyakit. Tanaman suweg mudah dibudidayakan walaupun ada naungan di atasnya.;
3)   Tepung umbi suweg sebagai pangan fungsional karena memiliki Index Glikemik relatif rendah;
4)   Adanya politicall will dari Pemerintah Daerah dalam pengembangan budidaya, dan sosialisasi manfaat tanaman suweg melalui para penyuluh di pedesaan selaku ujung tombak dalam memperkenalkan tanaman tersebut;
5)   Pemerintah Daerah memberikan kemudahan bagi pelaku usaha dalam pengembangan tanaman suweg, dari hulu sampai hilir.

DAFTAR PUSTAKA
Kasno A., dkk. 2013. Prospek Suweg Sebagai Bahan Pangan Saat Paceklik. http://digilib.litbang.deptan.go.id/repository/index.php/repository/download/7257/7134; diakses pada tanggal 20 Desember 2013.

Pinus Lingga. 1997. Bertanam Umbi – Umbian. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sulistyowati, Etty dan Nugraheni, Bekti., 2015, Analisis Makronutrient Umbi Suweg (Amorphopallus campanulatus Bl.),  sebagai Alternatif Makanan Diet Anti Diabetes Mellitus Tipe 2, Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi, Yayasan Farmasi, Semarang.

Jansen, P.C.M., C. van der Wilk, and W.L.A. Hetterscheid. 1996. Amorphophallus Blume ex Decaisne. In Flach, M. and F. Rumawas (eds.). PROSEA: Plant Resources of South-East Asia No 9. Plant Yielding Non-seed Carbohydrates. Backhuys Publishers, Leiden.

Yuzammi. 2000. A Taxonomic Revision of the Terrestrial and Aquatic Aroids (Araceae) in Java. [Thesis]. Sidney: School of Biological ScienceFaculty of Life Science, University of New South Wales.


Jumat, 20 Mei 2016

PENDEKATAN PERENCANAAN PARTISIPATIF DALAM PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP





Oleh: Ir.Beny.Ulu Meak, M.Si

Pembangunan yang efektif membutuhkan keterlibatan awal dan nyata dari  masyarakat lokal dan semua pihak pemangku kepentingan (stakeholder) dalam seluruh tahapan kegiatan pembangunan yang akan mempengaruhi prilaku (sikap, motivasi, dan etos kerja) sehingga mutu, efektifitas, dan efisiensi prakarsa pembangunan akan meningkat.Gagasan ini telah disepakati lebih dari satu dekade yang lalu bahwa masyarakat yang dipengaruhi prakarsa pembangunan memiliki hak untuk ikut serta di dalamnya, sehingga ada pembenaran pragmatis dan moral untuk melaksanakan pendekatan perencanaan partisipatif dalam proses penyusunan program pembangunan. Pendekatan perencanaan partisipatif semakin luas diimplementasikan sejak era otonomi Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan sistim pemerintahan secara luas dan utuh kepada Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota), termasuk di dalamnya adalah urusan perencanaan tahunan pembangunan. Perencanaan (planning) merupakan salah satu dari fungsi managemen yang sangat penting dan selalu melekat pada setiap tahapan proses pembangunan lingkungan hidup. Sebuah rencana pembangunan akan sangat mempengaruhi sukses dan tidaknya suatu tahapan kegiatan, karena itu suatu tahapan kegiatan pembangunan yang baik adalah yang direncanakan sebelumnya dan sebaiknya para perencana itu dapat melakukan kegiatan sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Sedangkan makna partisipasi dalam perencanaan pembangunan merupakan perwujudan dari berubahnya paradigma mengenai peran masyarakat dalam pembangunan karena masyarakat bukanlah sekedar penerima manfaat (beneficiaries) atau objek belaka, melainkan agen pembangunan (subjek) yang mempunyai porsi yang penting.
Dimensi perencanaan pembangunan lingkungan hidup merupakan bagian dari perencanaan sosial (social planning) yang diartikan sebagai segala sesuatu perencanaan pembangunan yang berorientasi dan bermotivasi kepada segi-segi kehidupan kemasyarakatan  dan berorientasi pada pembangunan manusia. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya sangat men-syaratkan keterlibatan langsung masyarakat penerima program pembangunan (partisipasi pembangunan), karena dengan adanya partisipasi masyarakat penerima program maka hasil pembangunan ini akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri dan hasil pembangunan akan memberikan manfaat yang optimal bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Pengelolaan Sumberdaya Alam (SDA) dan lingkungan hidup, dewasa ini  menjadi sesuatu yang penting untuk di telaah karena proses pembangunan disinyalir tidak dapat dipisahkan dari adanya kerusakan lingkungan hidup. Korelasi antara pembangunan dan lingkungan hidup sangat sederharna untuk di telaah manakala di dalam proses pembangunan itu tidak terdapat ekstrasi/eksploitasi SDA dan lingkungan hidup  secara berlebihan (over-exploitation),deplesi (depletion),tidak ramah lingkungan dan kurang memperhatikan aspek keberlanjutan (suistanable). Fenomena ini mengharuskan bahwa demi keberhasilan usaha pengelolaan SDA dan lingkungan hidup, masyarakat lokal perlu mempunyai keberdayaan dan kemandirian agar mampu  berperan aktif  melalui mekanisme perencanaan partisipatif.
Mengacu kepada Undang – Undang  Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (pasal 2) ,dikatakan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan atas beberapa asas diantaranya adalah asas partisipatif dan selanjutnya pada (pasal 3) dinyatakan bahwa salah satu tujuan dari pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia.Arahan ini mengharuskan agar di dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, masyarakat dapat memperoleh kedaulatan atas lingkungan itu sendiri dengan memberikan wewenang (authority) dan kekuasaan (power) kepada masyarakat. Artinya masyarakat lokal harus dapat terlibat langsung dan berperan aktif  pada setiap pengambilan keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang dimulai dari sejak proses perencanaan, pelaksanaan, sampai kepada proses pengawasan serta evaluasi dengan tetap memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan sebuah masyarakat dan karakteristik potensi SDA dan lingkungan hidup yang tersedia. Bertolak dari pandangan ini, maka upaya pendekatan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup yang partisipatif merupakan alternatif  untuk menjawab tantangan degradasi SDA dan lingkungan hidup. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa masyarakat lokal memiliki kepentingan dan keterkaitan dengan SDA dan lingkungan di sekitarnya sehingga penting dilibatkan dalam pengelolaan tersebut. Masyarakat lokal akan mau memberikan komitmen jangka panjang dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup apabila ada kepastian akses manfaat dan akses kepada proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup.
Perencanaan partisipatif merupakan salah satu model manajemen yang sekarang di intesifkan untuk di kembangkan oleh berbagai pihak yang menekankan pelibatan dan pemberdayaan masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup. Formulasi perencanaan pembangunan SDA dan lingkungan hidup memerlukan beberapa konsep berdasarkan dinamika perubahan dari lingkungan itu sendiri yaitu ciri-ciri sistem yang akan dipakai dalam pendekatan perencanaan partisipatif. Perencanaan partisipatif  berarti perencanaan yang melibatkan masyarakat lokal yang memiliki kepentingan atas obyek yang akan direncanakan, karena itu perencanaan partisipatif memerlukan informasi dari masyarakat dalam arti perlu pendekatan pada masyarakat untuk melaksanakan perencanaan pembangunan lingkungan hidup pada suatu tempat (daerah) Hubungan masyarakat lokal dengan komunikasinya merupakan dasar untuk memudahkan pelaksanaan perencanaan yang partispatif seperti kebiasaan masyarakat lokal bekerja sama dengan stakeholder  dalam membangun SDA dan lingkungan hidup di desanya karena ruang lingkup dari pembangunan pedesaan, salah satunya adalah pengelolaan SDA dan lingkungan hidup yang dilaksanakan secara holistik (multi sektoral) dan partisipatif berlandaskan pada semangat kemandirian, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.  
Fokus dari perencanaan partisipatif dalam pembangunan SDA dan lingkungan hidup terletak pada proses dari perencanaan itu sendiri dengan keterlibatan aktif  masyarakat lokal untuk menggali gagasan dan menetukan prioritas kegiatan yang dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu menentukan apa yang akan dikerjakan untuk mencapai hasil yang di inginkan secara bersama lewat suatu proses pembelajaran sosial, trans-aktif  dan demokratis dari orang-orang yang terlibat dalam proses perencanaan itu. Pendekatan perencanaan partisipatif diwujudkan dengan keterlibatan secara aktif oleh masyarakat untuk membuat gagasan dan menetukan prioritas rencana kerja pembangunan dan kondisi ini dapat berhasil apabila dalam proses perencanaan itu dapat menyentuh kebutuhan kepentingan masyarakat lokal. Artinya bahwa di dalam proses perencanaan partisipatif perlu mempertimbangkan potensi sumberdaya lokal dan disesuaikan dengan kebutuhan nyata yang ada pada masyarakat lokal serta se-operasional mungkin, sehingga masyarakat lokal dapat timbul rasa memiliki terhadap berbagai rencana kerja yang telah disusun.

SEJARAH MUSIK SULING BAMBU DI TIMOR

Oleh:   Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si Sejarah tentang suling bambu sudah sedemikan lama dan erat kaitannya dengan peradaban manus...