Oleh: Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si
Sejarah
tentang suling bambu sudah sedemikan lama dan erat kaitannya dengan peradaban
manusia. Menurut penutur adat di wilayah As Manulea, Kabupaten Malaka, Provinsi
Nusa Tenggara Timur (NTT) bahwa masuknya alat musik suling bambu di daerah
Timor dibawa oleh para
pedagang dari India yang berlayar ke Indonesia melewati selat Malaka, Batavia
dan kemudian ke Ambon. Dari Ambon menuju pulau bunga (Sekarang Pulau Flores)
dan berlabuh di pelabuhan tradisional Namon
Sukaer (sekarang Atapupu) sekitar abad 16 (Dini, 2019). Hal ini dipertegas
oleh Utomo (2017) bahwa pulau Timor pada abad ke-16 terkenal
sebagai satu-satunya sumber cendana terbaik di dunia sehingga mendorong bangsa
lain untuk datang berdagang cendana.
Menurut
Asa (2014) bahwa musik suling bambu di tanah Timor berasal dari daerah
Minahasa dan Maluku yang pada mulanya muncul dan berkembang di daerah As
Manulea Kabupaten Malaka, Provinsi NTT. Jika dilihat dari alat musiknya, suling
bambu ini hanya digunakan untuk menemani diri dalam mengembala binatang ternak
dengan bentuk dan struktur alat musik yang sangat sederhana. Seiring dengan
perkembangan pendidikan yang ada di As Manulea kesenian yang awalnya berfungsi
sebagai media pelengkap dalam mengisi kesendirian kemudian beralih sebagai seni
pertunjukan.
Musik suling bambu As Manulea, Malaka,
NTT mulai dikenal sejak tahun 1953 yang berawal hanya untuk bermain secara individu
sampai bermain bersama dan ditonton oleh masyarakat luas sampai sekarang. Perkembangan
musik suling bambu ini banyak dimainkan oleh
masyarakat hingga kini karena alat musik ini gampang dibuat dari bahan baku utama bambu yang mudah
didapat, dan relatif mudah untuk memainkannya sehingga dapat terjangkau untuk semua kalangan.
Suling bambu yang tengah berkembang di
pulau Timor khususnya di wilayah dawan As Manlea dan Bani-Bani, Kabupaten Malaka
dan wialayah Lamaknen, Kabupaten Belu begitu
pesat karena awalnya dikembangkan oleh
para guru sekolah dasar dan sekolah menengah pertama yang membimbing anak-anak
untuk mengakrabi suling bamboo lewat kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya
masing-masing. Sebut saja SDK Tunuahu dikala itu dibawah bimbingan Bapak
Emanuel Un Bria, SDK Sasonet, SDK Maerah, SDK Bikane dan kini SDN As Manulea
dan SPN 1 Lamaknen.
Di
Timor dan khususnya Wilayah Belu, Suling bambu banyak dimainkan untuk
mengiringi musik-musik tradisional. Suling Bambu menjadi terkenal dengan bentuk
permaianan ansambel adalah miliknya orang dawan- Malaka. Bahkan suling bambu
kian diminati berbagai kalangan dan setiap suguhan ansambel musik suling bambu
selalu memukau pendengar. Hal ini dikarenakan bahwa musik suling bamboo yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan komunitas tertentu sebagai “Folk Music” atau
musik masyarakat yang merupakan kebiasaan turun temurun sekelompok masyarakat
berdasarkan nilai budaya masyarakat yang bersangkutan.
Perkembangan
fungsi alat musik suling ini untuk menyambut tamu atau untuk memeriahkan
hari-hari nasional maupun acara keagamaan.
Daftar Bacaan
Asa, E. Abanit,
2014. Kontiunitas dan Perubahan Musik
Suling Bambu di As Manlea, Malaka, Nusa Tenggara Timur, Yogyakarta: Skripsi,
Jurusan Musik Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia.
Dini, Yakobus,
M, 2019. Suling Bambu dalam Sebuah
Misteri Leluhur Timor. Artikel dalam https://www.kompasiana.com. Diakses pada
tanggal 3 Januari 2020.
Utomo, Y. Wiji, 2017. Timor sebagai Nusa Cendana: Kronik Cina
sampai Penjelajahan Eropa, Artikel dalam https://sains.kompas.com, diakses pada tanggal 20 Februari
2020.