( Analisis Kontekstual terhadap
pembangunan Pariwisata dan Ketahanan Pangan
di Propinsi Nusa Tenggara Timur)
Oleh
Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si
PENDAHULUAN
Konsep Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (P3EI) yang telah dicanangkan oleh Presiden RI
Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir Februari 2011, merupakan jawaban akan
dinamika perkembangan pembangunan nasional untuk mengurangi angka kemiskinan, penyediaan
lapangan pekerjaan lebih banyak lagi dan lebih meningkatkan ekonomi dalam
mencapai pemerataan pembangunan dan keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Konsep rencana induk P3EI tahun
2011-2025 ini, berbeda dengan beberapa dokumen perencanaan induk yang lain
seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang telah
ditetapkan dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 –
2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4700); maupun Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) yang telah ditetapkan dengan Peraturan
Presiden RI Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) Tahun 2010 – 2014, karena dalam rencana induk P3EI ada
sasaran yang jelas dan dibuat sesederhana mungkin; lengkap dengan alokasi
waktu,kewenangan tanggung jawab,investasi kegunaannya dan hasil yang jelas
dengan penetapan koridor ekonomi dan masing-masing koridor tersebut memiliki
aktivitas ekonomi utama.Jadi penetapam master plan Rencana Induk P3EI dapat
menjadi dokumen komplementer terhadap
RPJPN dan RPJMN untuk menjawab tantangan dan dinamika pembangunan nasional saat
ini (Kuncoro,2011).
Menurut Bappenas (2011) bahwa
peran penting Koridor Ekonomi Indonesia (KEI) difokuskan pada 6 (enam) kawasan
wilayah yaitu : (1) Koridor Sumatra:
sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional; (2)
Koridor Jawa: pendorong industri dan jasa nasional; (3) Koridor Kalimantan: pusat
produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional; (4) Koridor
Sulawesi dan Maluku Utara: pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan
dan perikanan nasional; (5) Koridor Bali Nusa Tenggara: pintu gerbang pariwisata
dan pendukung pangan nasional; dan (6) Koridor Papua dan Maluku: pengolahan SDA
yang melimpah dan SDM yang sejahtera.
Berdasarkan pembagian koridor
demikian, dapat dikatakan bahwa aktivitas utama dalam master plan P3EI adalah
membangun pusat-pusat pertumbuhan di setiap koridor dengan mengembangkan
kluster industri dan/atau kawasan ekonomi khusus yang diintegrasikan dengan
pengembangan kluster dan kawasan yang berbasis kompotensi SDA menjadi komoditi
dan sektor unggulan daerah.
ARGUMENTASI BERDASARKAN
TEORI PEMBANGUNAN
Akselerasi
pembangunan nasional dengan master plan P3EI sebenarnya adalah kerangka
pembangunan yang mengedepankan kemampuan potensi SDA daerah dalam konteks untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi daerah dengan mempertimbangkan kemampuan SDM, teknologi,
infrastruktur dan investasi sebagai daya saing utama dalam menumbuhkan
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi berdasarkan kluster perwilayahan.
Jika
konsep ini dihubungkan dengan teori pertumbuhan ekonomi dari Harrod-Domar
merupakan teori pertumbuhan yang berdasarkan pada peranan investasi untuk
mempengaruhi permintaan agregat komoditi ungulan daerah dan di sisi lain
investasi juga mempengaruhi kapasitas produksi nasional dengan menambahkan stok
modal yang tersedia. Hal ini sesuai pandangan Harrod yang menyimpulkan agar
suatu ekonomi nasional selalu tumbuh dengan kapasitas produksi penuh yang
disebutnya sebagai pertumbuhan ekonomi yang mantap (steady-state growth), efek permintaan yang ditimbulkan dari
penambahan investasi harus selalu diimbangi oleh efek penawarannya tanpa
terkecuali. Tetapi investasi dilakukan oleh pengusaha yang mempunyai
pengharapan yang tidak selalu sama dari waktu ke waktu, karena itu keseimbangan
ekonomi jangka panjang yang mantap hanya dapat dicapai secara mantap pula
apabila aktivitas para pengusaha stabil dan kemungkinan terjadinya hal itu jika
nilai potensi SDA juga akan tetap berada dalam keadaan keseimbangan yang secara
bertahap akan mendorong ekonomi nasional.
Selanjtnya
menurut teori pembangunan-Rostow menjelaskan bahwa modernisasi merupakan proses
bertahap, dimana masyarakat akan berkembang dari masyarakat tradisional dan
berakhir pada tahap masyarakat dengan konsumsi tinggi. Pada masa tradisional
hanya mengalami sedikit perubahan sosial, atau mengalami kemandegan sama
sekali. Kemudian berlahan-lahan Negara mengalami perubahan dengan adanya kaum
usahawan, perluasan pasar, pembangunan industri. Perubahan ini adalah
prakondisi untuk mencapai tahap selanjutnya yaitu tahap lepas landas (Todaro, 1989).
Oleh sebab itu secara konektivitas koridor ekonomi Sulawesi-Maluku sebagai
pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan dan perikanan
nasional dan ditopang oleh koridor ekonomi Papua –Maluku sebagai pusat
pengelolaan SDA yang melimpah dapat memberikan kontribusi kepada koridor
ekonomi Jawa sebagai pusat industri dan jasa nasional disamping itu, koridor Bali Nusa
Tenggara: sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional akan mendukung setiap koridor ekonomi lainnya. Oleh karena
itu daya dorong ekonomi harus dapat mendorong berkembangnya kawasan komoditas
daerah dengan nilai pasar yang tinggi. Jika strategi demikian dapat
dioperasionalkan secara optimal, maka akan mungkin sekali pada tahun 2050
Indonesia akan mencapai pembangunan tahap landas (Kuncoro, 2011).
Argumentasi konsep P3EI harus memperhatikan
aspek gravitasi dan aktivitas ekonomi
yang masih cenderung terkonsentrasi secara geografis pada kawasan Barat Indonesia
dengan dukungan kemampuan SDM yang lebih baik dibandingkan dengan kawasan
Indonesia lainnya, sehingga telah menyebabkan mayoritas wilayah Indonesia
merupakan daerah dengan “periferi” atau
jauh dari keramaian pembangunan maka tidak mengherankan jika masih ada 183 daerah
Kabupaten/Kota yang tertinggal di Indonesia, terutama di Kawasan Timur Indonesia
(KTI). Senada dengan pernyataan ini, oleh Arjana (2011) berpendapat bahwa di
KTI seperti Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam mendorong pembangunan
ekonomi masih dihadapkan pada keterbatasan kemampuan SDM untuk mengembangkan
komoditi unggulan di sektor primer sebagai “prime
move” karena masih bersifat sub sistem tanpa memperhitungkan aspek pasar
atau nilai komersial sebagai faktor pendorong dalam kontribusi terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah. Sehubungan dengan itu, maka proses
pelaksanaan pembangunan di Indonesia, perlu didukung oleh SDM yang handal sebagai pelaku-pelaku dalam
pembangunan dengan meningkatkan motivasi berprestasi sesuai pandangan teori dari McClelland dengan konsepnya yang terkenal, yaitu need for achievement (n-Ach). Pandangan
teori ini, mirip dengan etika protestan yang dikemukakan oleh Max Weber, dimana
keinginan dan dorongan untuk berprestasi ini tidak sekedar untuk meraih imbalan
material semata
tetapi ada kepuasan pribadi tersendiri apabila seseorang berhasil
melaksanakan pekerjaannya dengan sempurna. Selanjutnya apabila dalam sebuah masyarakat ada banyak
orang memiliki n-Ach yang tinggi dengan cara kerja
yang baik,
yaitu dengan selalu berpikir dan berusaha untuk menemukan cara-cara baru untuk
memperbaiki kualitas kerja yang dicapainya tanpa memngutamakan imbalan materi
yang diterimanya, sudah
pasti masyarakat tersebut akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi
dalam pembangunan (Suwarsono dan Alvin, 2000).
Kesimpulannya bahwa konsep P3EI
dilaksanakan dengan tetap memperhatikan beberapa argumentasi dari teori
pembangunan terutama untuk dapat membangun kepadatan (density), mengurangi jarak (distance)
dan menghilangkan batasan (division)
dalam upaya untuk membuat pertumbuhan ekonomi lebih pesat dan bersifat inklusif
dengan konektivitas intra dan antar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dari
masing-masing daerah sesuai potensi yang dimiliki (one product,one village) .
IMPLIKASI
KORIDOR EKONOMI INDONESIA BALI-NUSA TENGGARA TERHADAP PROPINSI NTT
Menurut Bappenas (2011) bahwa koridor
ekonomi Bali –Nusa Tenggara sebagai
pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional dan diestimasikan dapat
meningkatkan PDRB dengan laju pertumbuhan koridor sebesar 7,6 % dibandingkan
estimasi base line sebesar 5,6 %. Sektor fokus diarahkan untuk meningkatkan
jumlah kunjungan turis maupun pengeluaran parawisita serta memanfaatkan Bali
sebagai gerbang untuk mempromosikan kunjungan ke daerah tujuan wisata lain
(termasuk Provinsi NTT). Hal lain yang merupakan fokus dari kerangka ekonomi
Bali-Nusa Tenggara adalah meningkatkan produktivitas lahan dan mengembangkan
kegiatan produksi sampai dengan hilir. Sementara infrastruktur yang dibutuhkan
adalah: (1) ekspansi bandara Ngurah Rai atau pembangunan bandara internasional
baru di Bali; (2) pengembangan terminal cruise
tanah ampo-Benoa; (3) pembangunan jalan trans Bali toll road, akses Sarangan-Tanjung Benoa; dan (4) pembangunan energi
pembangkit listrik di Bali.
1.
Implikasi
Pembangunan Pariwisata NTT
Pembangunan
pariwisata di Provinsi NTT diarahkan untuk berkelanjutan, yaitu pembangunan yang dapat didukung secara
ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara etika dan bernilai sosial
terhadap masyarakat. Artinya, pembangunan berkelanjutan adalah upaya terpadu
dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup dengan cara mengatur
penyediaan, pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya secara
berkelanjutan. Hal tersebut hanya dapat terlaksana dengan sistem
penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good
governance) yang melibatkan partisipasi aktif dan seimbang antara
pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan
tidak saja terkait dengan isu-isu lingkungan, tetapi juga isu demokrasi, hak
asasi manusia dan isu lain yang lebih luas. Tak dapat dipungkiri, hingga saat
ini konsep pembangunan berkelanjutan tersebut dianggap sebagai ‘resep’
pembangunan terbaik, termasuk pembangunan pariwisata dengan prinsip antara lain
partisipasi, keikutsertaan para pelaku (stakeholder),
kepemilikan lokal, penggunaan sumber daya secara berkelanjutan, mewadahi
tujuan-tujuan masyarakat, perhatian terhadap daya dukung, monitoring dan
evaluasi, akuntabilitas, pelatihan serta promosi (Bater, 2001)
Propinsi
NTT memiliki potensi pariwisata yang langka di dunia, tetapi keajaiban yang
dimiliki objek wisata tersebut belum menjadi sebuah daya tarik yang memikat
wisatawan untuk terus berkunjung karena pemerintah daerah belum memberi
perhatian serius terhadap sektor tersebut sebagai penghasil devisa dan daerah
Kabupaten/Kota yang merupakan Daerah Tujuan Wisata (DTW) belum ada grand desaign dalam program pembangunan
daerahnya. Beberapa objek wisata yang potensial di Propinsi NTT seperti : (1)
Taman Nasional Komodo (TNK) yang dihuni biawak raksasa Komodo (Varanus commodoensis) di Pulau Komodo
dan Rinca di Manggarai Barat, Pulau Flores; (2) Danau Tiga Warna di puncak
Gunung Kelimutu di Kabupaten Ende; (3) Upacara penangkapan ikan paus secara
tradisional oleh nelayan Lamalera di Pulau Lembata; (4) Taman Laut Riung di
Kabupaten Nagekeo dan taman laut Kepa di Kabupaten Alor; serta (5) Cagar wisata
alam Mutis di pulau Timor (Dinas Kebudayaan dan Parawisata NTT, 2010). Belum
lagi ritual keagamaan seperti Prosesi Jumat Agung menjelang Paskah di Kota
Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur serta beraneka budaya dan kuburan
batu para raja di Pulau Sumba.
Implikasinya
dalam koridor ekonomi Indonesia-P3EI Bali-Nusa Tenggara dapat menarik wisatawan
yang sudah lama berlibur di Bali dan Lombok seharusnya kita giring masuk ke NTT
melalui Labuanbajo di ujung barat Pulau Flores untuk berkunjung ke Pulau Komodo
apalagi posisi NTT berbatasan langsung dengan Australia dan Timor Leste dengan
pembangunan fasilitas penunjang pariwisata seperti perhotelan dan sarana
transportasi serta telekomunikasi, maupun pembangunan infrastruktur pelabuhan
laut, pengembangan pelabuhan udara El Tari Kupang serta pelabuhan udara perintis
lainnya dan pengembangan jalan trans Flores,Timor dan Sumba. Pengembangan
sektor pariwisata ini, dapat memicu pertumbuhan ekonomi masyarakat di sekitar
objek wisata seperti menyediakan souvenir untuk kebutuhan para wisatawan dan
hasil olahan lain yang bisa dinikmati oleh wisatawan sebagai multiplayer effect. Strategi lain yang
terus dilaksanakan adalah promosi parawisata lewat pelaksanaan berbagai
kegiatan-kegiatan penting dan event-event parawisata pada obyek wisata unggulan
tersebut dan memberikan peluang kepada pihak swasta untuk melakukan investasi
yang bersifat pinjam pakai dan pemerintah dapat melakukan monitoring dan
evaluasi yang terpadu.
Solusi
yang sekiranya paling bijaksana adalah membangun simbiosis mutualisma
antara pariwisata dengan budaya dan lingkungan. Artinya, sambil mengembangkan sektor pariwisata, kita juga turut
serta melestarikan lingkungan hidup dan budaya
kita. Sambil melestarikan kebudayaan kita, kita mengemas pelestarian tersebut
dengan berorientasi pada pariwisata. Jika hal itu dapat teruwujud, semaju
apapun negara kita, kebudayaan tradisional akan tetap terpelihara dan lingkungan
tetap lestari tanpa mengabaikan pengembangan pariwisata (Desky,2001).
2.
Implikasi Pembangunan Ketahanan Pangan
Pembangunan
ketahanan pangan adalah penyediaan pangan dalam jumlah yang cukup dan dapat
diakses oleh seluruh masyarakat dengan pola distribusi yang terjamin dan
tingkat konsumsi yang memadai.Beberapa tantangan pembangunan ketahanan pangan
di propinsi NTT adalah pola bertani yang masih bersfat sub sistim dan
keterbatasan SDM dalam penerapan teknologi pertanian serta motivasi berprestasi
yang masih terbatas.Disamping faktor alam dengan musim hujan yang pendek
dibandingkan dengan musim kemarau.
Pola bertani masyarakat di NTT dilakukan secara
tradisional dengan sistim perladangan berotasi yang sering disebut juga sebagai
perladangan berpindah (Swilddening) atau
peladang tebas- bakar (Slash and burning
farmer) dengan memanfaatkan kesuburan tanah hutan dan potensi lingkungan
hutan/belukar yang relatif luas untuk kelangsungan hidupnya dengan waktu rotasi
berladang/berkebun 3 – 5 tahun untuk kembali pada lokasi kebun yang pertama
sedangkan tenggang waktu tersebut kebun yang lainnya dibiarkan bera begitu
saja. Kegiatan tebas –bakar dilakukan dengan menebang hutan/belukar dan
membakarnya secara teratur atau bisanya disebut ” Kono ” (istilah lokal di Kabupaten TTU). Kegiatan ini dinilai
oleh masyarakat sebagai teknologi sederhana dan murah karena memberikan hasil
tanaman yang cukup baik selama 1-2 kali masa tanam pada lahan yang sama
sedangkan berikutnya mereka sudah melakukan rotasi pada kawasan lahan lain. Hal
ini kalau dibiarkan terus akan memberikan ancaman terhadap kelesetarian SDA dan lingkungan hidup (Woha, 2001). Oleh karena itu maka respons petani di NTT harus di
siasati untuk dapat beradaptasi dengan perubahan cuaca dan iklim dengan
mengembangkan berbagai teknologi yang dapat meningkatkan produksi pertanian
lahan kering.
Tinjauan kondisi ini sesuai dengan
pendapat Mau (2008) bahwa upaya-upaya pemantapan ketahanan pangan (food security) dalam
rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dihadapkan pada berbagai persoalan
antara lain adanya pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari
pertumbuhan penyediaannya. Meningkatnya permintaan tersebut sejalan dengan
bertambahnya jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat dan
perubahan pola konsumsi
masyarakat. Sementara itu harus diakui bahwa kapasitas
produksi pertumbuhannya berjalan sangat lamban karena penurunan kwalitas
sumberdaya alam seiring dengan kebiasaan buruk masyarakat dalam pengelolaan SDA dan lingkungan
hidup.
Mencermati
akan koridor ekonomi Indonesia dengan P3EI maka implikasi terhadap pembangunan
ketahanan pangan di Propinsi NTT adalah ; (1) Pemerintah dapat menyusun
kebijakan secara komprehensif dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) untuk peningkatan
program/kegiatan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup berbasis masyarakat; (2)
Meningkatkan upaya untuk mencegah konversi lahan pertanian yang produktif ke
non pertanian; (3) Meningkatkan SDM
sebagai pelaku pembangunan ketahanan pangan dengan pengembangan kedaulatan
masyarakat terhadap pangan yang berbasis keragaman local lewat
kursus/pendidikan dan pelatihan kepada petani pedesaan.
DAFTAR BACAAN
Arjana,
Ida Bagus.
2011.Kependudukan, Lingkungan
dan Pembangunan. Materi Pokok
Perkuliahan
Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (IPSAL), Program
Pasca Sarjana, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Bater, J., 2001, Planning for Local Level: Sustainable
Tourism Development, Canadian Universities Consortium: Urban Environmental
Management Project Training & Technology Transfer Program, Canadian
International Development Agency (CIDA), Canada.
Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional,2011, Master Plan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia Tahun 2011-2025, Artikel dalam http://www.bappenas.go.id, diakses pada
tanggal 28 Juni 2012.
Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi NTT,2010, Profil Obyek Wisata NTT, Kupang.
Desky, M.A. 2001. Manajemen Perjalanan Wisata. Adicita
Karya Nusa.Yogjakarta.
Kuncoro,
M.,2011, Koridor Ekonomi Indonesia, Opini
dalam http://www.mudrajad.com, diakses pada tanggal
28 Juni 2011.
Mau,Y.S,
2008, Dampak Pemanasan Global Terhadap Ketersediaan Pangan Dunia,Konteks Nusa
Tenggara Timur, Orasi Ilmiah disampaikan
pada acara Wisuda Magister, Sarjana dan Ahli Madya Periode Mei 2008,
Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Suwarsono
dan Alvin, Y.S.O.
2000. Perubahan
Sosial dan Pembangunan, Cetakan
ke-3 (Edisi Revisi). Pustaka LP3S
Indonesia, Jakarta.
Todaro,
Michael P. 1989. Pembangunan
Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Terjemahan. Erlangga,
Bandung.
Woha. U. P. 2001. Pembangunan Pertanian Lahan
Kering di Nusa Tenggara Timur. Dalam Pembangunan Pertanian di wilayah Kering Indonesia, Widya Sari, Salatiga.